AKUNTANSI PEMERINTAHAN MENUJU KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

0
901 views

Perkembangan perbaikan pengelolaan Akuntansi Pemerintahan sejak Indonesia merdeka hingga saat ini telah mengalami perbaikan yang mendasar, meskipun dampak upaya perbaikan tersebut tidak dirasakan langsung oleh masyarakat secara signifikan.
Hal ini karena perilaku korupsi oknum penyelenggara pemerintahan sudah mencapai tingkat yang akut. Sebagai gambaran bahwa mantan pejabat atau yang masih menjabat sebagai kepala daerah baik pada tingkat propinsi, maupun tingkat Kabupatan Kota lebih dari 60% tersangkut masalah korupsi atau penyimpangan pengelolaan keuangan daerah. Kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku, Kesesuaian dengan Standar Akuntansi Pemerintahan, efektivitas Sistim pengendalian intern merupakan suatu keniscahyaan.
Oleh sebab itu upaya mencegah atas penyimpangan penyelenggaraan pengelolaan keuangan daerah merupakan suatu kewajiban untuk diprioritaskan selain upaya penindakan. Upaya penyelamatan atas kebocoran keuangan Negara atau keuangan daerah seyogyanya dimulai dengan menata kembali sistem pengelolaan daerah yang lebih bersifat akuntabel, adaptif, fleksibel. Kebocoran yang sudah banyak disinyalemen orang itu sekitar 10 ? 15 % dari APBN maupun APBD.
Sebagai contoh yang saat ini hangat dibicarakan mengenai penyusunan anggaran daerah DKI, kini terungkap bahwa sejak penyusunan anggaran saja sudah ada indikasi upaya penyimpangan, apalagi ketika sudah sampai pada realisasi penggunaan anggaran. Kebocoran pelaksanaan dilapangan tersebut bahkan telah menjadi?budaya buruk yang berlangsung bergulir sampai pada tingkat pelaksana yang berada di garis depan. Apalagi implementasi Standar Akuntansi Pemerintahannya juga masih belum sesuai ketentuan yang berlaku akan menjadi jalur lain untuk un-efisiensi.
Penyelenggaraan lelang proyek yang penuh rekayasa sudah menjadi rahasia umum. Perilaku kolusi dan nepotisme sangat kental terjadi dalam setiap proses realisasi anggaran kegiatan baik di daerah maupun di tingkat pusat. Penyusunan laporan keuangan daerah yang mayoritas masih belum memadai (di atas 60% berstatus WDP atau TW) menggambarkan kepada kita bahwa tata?bagai kota (jika nilai proyeknya sekitar 10 milyar saja).
Disamping itu prosentase penggunaan anggaran yang distribusinya untuk belanja materiil di bawah 30 persen dari seluruh total anggaran, maka pergerakan pembangunan infrastruktur sudah dapat kita bayangkan akan mengalami perlambatan. Kenyataan yang bersifat global itu bukan lagi menjadi perhatian utama bagi siapapun yang seharusnya berwenang mencegah terjadinya penyimpangan terhadap realisasi penggunaan anggaran, baik pusat maupun daerah. Laporan keuangan pusat maupun daerah yang masih belum signifikan itu akan dapat menjadi kontributor positif