Industri teh Indonesia yang lesu berupaya bangkit kembali dari keterpurukan. Salah satu upaya melalui peningkatan kualitas dan kuantitas produksi teh, serta promosi. Ditengah kekhawatiran pandemi Covid-19 tak mematahkan semangat pemilik Arafah Tea, Ifah Syarifah, untuk terus berproduksi dan mengembangkan bisnis tehnya. Memang Teh selain bermanfaat untuk minuman kesehatan, juga banyak sekali inovasi produk teh yang diminati pasar luar negeri. Saat ini, industri teh sedang melakukan inovasi berupa pemanfaatan matcha tea untuk bahan isian kasur dengan pemanas yang banyak digunakan di terapi spa, serta untuk bantal terapi kesehatan.
Salah satu komoditas teh, berhasil menembus pasar Korea Selatan. Matcha tea produksi Arafah Tea, Bandung, Jawa Barat, secara konsisten diekspor ke Korea Selatan. Arafah Tea bersama kelompok tani One yang diketuai H. Alvian memenuhi permintaan tersebut untuk Mei 2020 lalu dengan volume mencapai 21 ton (https://www.medcom.id/ekonomi/).
Sebelumnya melalui event National Tea Competition 2019 pada 18 Oktober 2019 diselenggarakan kompetisi teh. Kegiatan tersebut menobatkan Gubernur Jawa Barat – Ridwan Kamil beserta istri, yakni Atalia Praratya, serta Wakil Bupati Bandung Barat – Hengky Kurniawan beserta istri, yakni Sonya Fatmala menjadi Duta Teh Indonesia. Penobatan ini diharapkan dapat meningkatkan citra teh Indonesia melalui berbagai kegiatan promosi dan edukasi kepada masyarakat. Ridwan dan Hengky dipilih karena sebagai kepala daerah yang tergolong populer, khususnya di media sosial.
Ketua Dewan Pembina Asosiasi Teh Indonesia, Dr. Wahyu, mengatakan National Tea Competition 2019 merupakan kompetisi teh tingkat nasional dan pertama kali diselenggarakan di Indonesia. Tujuan adalah memilih teh asal Indonesia terbaik untuk jenis Teh Hitam Orthodox, Teh Hitam CTC, Teh Hijau, Teh Putih, dan Teh Wangi.
Para peserta berasal dari 54 pabrik teh yang mengirimkan 89 sampel teh. Sampel tersebut dinilai tim independen yang berasal dari dalam negeri dan luar negeri yang ahli dalam pengujian teh. “Kami memberikan apresiasi kepada produsen teh yang mempunyai kualitas terbaik. Pemenangnya akan diikutsertakan dalam lomba teh tingkat dunia di Korea Selatan,” ujarnya di Hotel Savoy Homann Bandung, 18 Oktober 2019 lalu (Ayobandung.com).
Adalah Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil berkehendak membangkitkan Teh Jawa Barat yang mengambil porsi 70 % produksi teh Indonesia. ?Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengunjungi kantor salah satu produsen teh Inggris – Finlays – dalam kunjungan kerjanya di Inggris 23 Juli 2019 lalu. Selain melihat teh hasil produksi Finlays, Emil memperlihatkan teh Jawa Barat.
Dalam kunjungan tersebut, Ridwan membawa berbagai produk teh PTPN VIII, salah satunya white tea termahal di dunia yang berharga 60 USD per kilogram. Ia mengatakan bahwa teh Jawa Barat belum bisa memikat masyarakat Eropa, khususnya Inggris. Ternyata karena katanya teh dari kita itu tidak pas saat dicampur susu. Kebiasaan mereka di sini kan, kalau minum teh pakai susu, ucapnya.
Situasi tersebut, kata Ridwan, menjadi pekerjaan rumah bagi produsen teh Indonesia, khususnya Jawa Barat, agar bisa memasok kebutuhan teh Benua Biru, termasuk Inggris. Setelah mengunjungi kantor Finlays, Ridwan melakukan pertemuan dengan 12 pengusahan yang tergabung dalam UK Asean Bussines Council (www. ayobandung.com). Itulah penggalan-penggalan upaya membangkitkan Teh Priangan, sekaligus Teh Indonesia.
Sejarah Teh Priangan
Tanah Priangan (Jawa Barat) sudah sejak abad ke-17 memiliki perkebunan teh. Secara singkat sejarah perkebunan teh di tanah priangan diawali oleh pionir-pionir berkebangsaaan Jerman dan Belanda.
Tahun 1686, teh masuk ke Indonesia dibawa Dr. Andres Cleyer, seorang dokter pengajar, ahli botani yang juga saudagar VOC berkebangsaan Jerman. Tahun 1824 teh ditanam di Kebun Raya Bogor. Tahun 1826 teh mulai ditanam di kawasan lainnya: Garut, Purwakarta. Pemerintah Kolonial Belanda mengirim Jacobus Isidorus Loudewijk Levian Jacobson untuk belajar pengolahan teh di Tiongkok. Akhirnya wilayah Priangan tengah dipilih menjadi perkebunan teh. Udara sejuk dan topografi pegunungan pada ketinggian 500 sampai 1.000 meter cocok untuk habitat tanaman ini. Keberhasilan penanaman percobaan skala besar di Wanayasa (Purwakarta) dan di Raung (Banyuwangi) membuka jalan bagi J.I.L.L Jacobson meletakkan landasan usaha perkebunan teh di Jawa. Yakni selain Priangan, sejak tahun 1833 Jacobson selaku Inspektur Bidang Tanaman The mengembangkan tanaman teh lebih luas, meliputi : Batavia, Karawang, Banten, Cirebon, serta beberapa daerah lain di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Tahun-tahun berikut berkembangnya perkebunan teh, khususnya di tanah Priangan tidak bisa di-lepaskan dari jerih payah dinasti The Hunderian, yang melahirkan keluarga Holle, Kerkhoven, dan Bosscha. Kerja keras ketiga kerabat ini hingga menjadi pengusaha perkebunan ini disebut Preanger Plannters dan menjadi cikal bakal industri teh di Indonesia. Preanger Planters, julukan bagi pengusaha perkebunan Priangan. Mereka adalah: GIJ van der Hucht (1844), Karel Federik Holle (1865), Adrianan Walrafen Holle (1857), RE Kerkhoven (1873), sampai KAR Bosscha (1896). Sampai saat ini perkebunan teh peninggalan KAR Bosscha masih ada, dikelola oleh PT Perkebunan Nusantara dan menjadi salah satu identitas tanah Priangan (Jawa Barat) (https://kumparan.com/, https://jelajah.kompas.id/).
Karel Albert Rudolf (KAR) Bosscha adalah sepupu RE Kerkhoven, yang diangkat menjadi administratur perkebunan teh di Malabar, ketika RE Kerkhoven mendirikan NV. Assam Thee Onderneming Malabar. Selama menjadi administratur, Bosscha banyak melakukan inovasi dan perubahan. Kerja keras Bosscha membuat perkebunan Malabar maju dan merangsang pekebun lainnya mengembangkan tanaman teh. Berkat jerih payahnya mengembangkan kultur jaringan teh, Bosscha dijuluki Raja Teh Priangan.
Sejarah perkebunan The Priangan, sebenarnya mengandung cerita sedih, dan tidak semua menyenangkan. Perkebunan-perkebunan kopi dan teh pada masa awal VOC dan Kolonialisme Belanda memakai sistem tanam paksa: Cultuurstelsel dan Preangerstelsel. Belanda memaksa rakyat kebanyakan menanam komoditi yang laku dipasaran Eropa ketika itu, dan mematok harga rendah untuk menjamin keuntungan besar. Sistem tanam paksa didokumentasikan antara lain melalui novel Max Havelaar yang ditulis Multatuli. Berkembangnya Ekonomi Bandoeng Tempo Doeloe ditopang sektor perkebunan. Sektor ini pula menjadikan Bandung menjadi pusat pemerintahan, pusat ekonomi, dan pusat pendidikan.
Tantangan Teh Jawa Barat
Teh Indonesia dikenal karena memiliki kandungan katekin (antioksidan alami) tertinggi di dunia. Kebanyakan produksi teh Indonesia adalah teh hitam, diikuti oleh teh hijau. Komoditas teh Indonesia yang dikembangkan sejak 1824 saat pencanangan pertama budidaya teh untuk perkebunan dilaksanakan. Pada awalnya, tanaman teh belum memberikan devisa bagi pemerintah Hindia Belanda. Namun, pemerintah Hindia Belanda tetap mengusahakan tanaman teh hingga mencapai produksi yang memuaskan. Bahkan, pada 1835 teh dari Jawa ini merupakan teh pertama di luar China yang masuk pasar Eropa. Hingga tahun 1940, ekspor teh mencapai 72.500 ton, sehingga komoditas teh menduduki peringkat ke-2 dari komoditas ekspor perkebunan setelah karet.
Indonesia bergantung pada ekspor teh produk primer atau hulu. Kurang berkembangnya industri hilir teh Indonesia mengurangi daya saing industri teh Indonesia di pasar internasional. Ekspor produk-produk hilir teh berkontribusi hanya kira-kira 6% dari total eskpor teh.
Walau saat ini Indonesia produsen teh terbesar ketujuh di dunia. Hasil produksi teh menurun di beberapa tahun terakhir, karena alih fungsi lahan, beberapa perkebunan teh berubah menjadi perkebunan kelapa sawit, sementara yang lainnya menghentikan produksi berganti sayuran atau produk pertanian lain yang lebih menguntungkan. Juga minimnya upaya peremajaan tanaman teh yang umumnya sudah tua, karena sebagian besar areal kebun teh adalah perkebunan rakyat pula.
Sumbangan terbesar produksi teh Indonesia adalah Jawa Barat yang menyumbang sekitar 70% dari produksi teh nasional, baru disusul Jawa Tengah dan Sumatera Utara.
Bahkan kini, kinerja ekspor teh Indonesia terus menurun. Pada tahun 2018 menjadi 49.038 ton saja. Keadaan tersebut menyebabkan pangsa volume ekspor teh curah (industri hulu) Indonesia di pasar dunia menurun terus dari 8 persen pada tahun 2000 menjadi tinggal 1,6 persen pada tahun 2018.
Sekretaris Eksekutif Asosiasi Teh Indonesia (ATI), Atik Darmadi mengatakan, sebagian besar teh yang diekspor berupa black tea (80%) dan green tea (20%). “Rata-rata produksi teh yang dihasilkan dari sejumlah petani dan perusahaan BUMN 140 ribu ton/tahun. Bahan baku teh sekitar 70% diproduk sejumlah petani teh Jawa Barat (Jabar). Sedangkan sisanya sebanyak 30% dari petani Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara dan Bengkulu.
Ini artinya, tantangan bagi Jawa Barat membangun kembali kontribusi perkebunan tehnya, terkait dengan terjadinya pengurangan lahan yang berjalan terus menerus, kualitas dan produktivitas (produksi teh dari perkebunan rakyat), kondisi tanaman teh yang perlu peremajaan, infrastruktur yang masih lemah (terkait biaya logistik), teknologi, serta masih berkutat pada produksi hulu (bahan baku), belum meningkat ke produk hilir teh, dan lainnya. Jadi produksi the Jawa Barat memerlukan perbaikan di hulu maupun hilir. (Lee)
Dari berbagai Sumber