Di Tengah Tekanan Fiskal dan Tantangan Mutu Transformasi PTS Menuju Paradigma Tata Kelola Baru?

0
15 views

Wawancara Ketua APTISI Jabar

Prof. Dr. Ir. H. Eddy Soeryanto Soegoto, M.T.

Di tengah pusaran dinamika pendidikan tinggi nasional, perguruan tinggi swasta (PTS) menghadapi dilema struktural krusial antara tekanan fiskal yang kian kuat, di sisi lain  tuntutan peningkatan mutu yang terus meningkat.

Wawancara Komunita, 5 Juni 2025 dengan Ketua APTISI Jawa Barat, Prof. Dr. Ir. H. Eddy Soeryanto Soegoto, M.T menggali sejumlah realitas di lapangan yang dihadapi PTS. Di balik tantangan tersebut, mengemuka harapan dan inisiatif, strategi dan arah transformasi tata kelola yang lebih adaptif, kolaboratif, dan berorientasi masa depan, agar PTS tidak sekedar bertahan, tetapi juga mampu terus berperan strategis dalam ekosistem pendidikan nasional.

Semoga wawancara ini membuka cakrawala tentang realitas dan harapan PTS di Indonesia di tengah tekanan dan ketimpangan, dan transformasi tata kelola bukan lagi opsi, melainkan keharusan. PTS yang mampu mengadopsi kepemimpinan adaptif, membangun ekosistem pendukung, dan bermitra strategis akan tetap relevan dan berdaya saing. Di sinilah peran APTISI menjadi penting: sebagai penggerak, penjembatan, dan pengawal perubahan. Mari kita simak.

Komunita: Akhir-akhir ini banyak yang menyoroti tantangan berat PTS. Apa saja tantangan utamanya?

Ketua APTISI Jabar: Tantangannya yang dihadapi PTS sangat kompleks, tapi dapat disederhanakan dalam dua aspek utama: tantangan mutu dan tekanan fiskal. Kunci menghadapinya ada pada kemampuan beradaptasi menggunakan kemajuan teknologi, serta kepemimpinan. Namun, tidak semua yayasan atau pimpinan PTS punya kesamaan visi dan kapasitas. Ada yang ingin maju tapi terbentur dukungan yayasan. Sebaliknya, ada pula yang mendirikan PTS demi kepentingan pribadi, bukan untuk pengembangan pendidikan.

Kemampuan beradaptasi dengan kemajuan teknologi tentu harus didukung oleh kepiawaian kepemimpinan di PTS, dan yayasan. Ada kalanya rektor ingin melakukan perubahan, yayasan belum bisa mendukung karena keterbatasan. Itu kendala yang memang terjadi di PTS. Karena itu, pimpinan PTS harus bisa mengambil keputusan tepat mengarahkan perguruan tingginya bergerak sesuai dengan kondisi yang ada.

Kunci utama adalah kepemimpinan dalam mengelola sumber daya yang harus dimiliki PTS sebagai badan pengelola, serta yayasan sebagai badan penyelenggara yang memahami dan mendukung visi misi PTS yang dibangun bersama tersebut.

PTS juga dituntut beradaptasi dengan kecepatan perubahan teknologi – semisal keberadaan AI. Tentu hal ini harus didukung kebijakan masing-masing, perlu regulasi masing-masing PTS  yang mengarah jauh ke depan. Satu kebijakan yang kokoh melangkah mempersiapkan diri bergerak bersama kecepatan perubahan teknologi itu.

Lalu, perubahan internal menyesuaikan dengan kecepatan perubahan eksternal, serta berkolaborasi dalam wadah APTISI, ABP PTSI, APTIKOM, dan seterusnya. Kita melihat sekarang perguruan tinggi besar bukan lagi melihat level standar, tapi sudah melihat ke level internasional. Bandingkan perguruan tinggi di Malaysia, Thailand  sudah mencapai perankingan level QS, dll. APTISI senantiasa mendorong hal ini.

Komunita: Juni 2025 Kemendikbudsaintek mencatat kenaikan jumlah PTS unggul menjadi 194 PTS, namun sekitar 600 PTS masih bermasalah.

Ketua APTISI Jabar: APTISI berusaha sebagai motor kolektif dan penggerak bersama. Artinya, kita berusaha merangkul PTS untuk bergerak bersama berkembang ke arah yang lebih baik. PTS unggul – 15 PTS unggul di Jawa Barat – memberi contoh bagi yang lain. Tapi sayang masih ada PTS yang menutup diri.  Biasanya ada masalah internal. Selain itu ada kepemimpinan yang lemah, ketidakterbukaan, atau visi yang menyimpang dari tujuan pendidikan.

Komunita: Lalu, bagaimana sikap APTISI terhadap PTS bermasalah?

Ketua APTISI Jabar: Selama ini kami sudah sering mengajak mereka duduk bersama mengurai masalah dan mencari solusi. Barangkali kami bisa membantu. Tapi kalau sudah parah dan tidak bisa diselamatkan, kami membantu mahasiswanya.

APTISI juga bekerja sama dengan LLDIKTI dalam relokasi mahasiswa dan dosen dari PTS bermasalah. Ada PTS tertentu yang sama sekali sudah tidak bisa ditolong. Kami membantu mahasiswanya. Misalnya kondisi akreditasinya C, sementara PTS yang menerima unggul.  Kami harus berbesar hati menerima dan menyelamatkan mahasiswa, lalu bagaimana SPP-nya: semisal 1 juta per semester, sementara SPP PTS yang menerima 10 juta per semester tentu harus berbesar hati. Gambaran di atas merupakan salah satu solusi yang bisa dilakukan bersama dengan LLDIKTI menyelamatkan mahasiswa dari PTS yang ditutup sehingga mahasiswa tidak dirugikan.

Kedua, berusaha membantu dosen-dosen di lingkungan APTISI yang perlu peningkatan kemampuan menulis karya ilmiah. Misal, Unikom bisa menerima 3 kelas kapasitas 50 untuk membina dosen dalam penulisan ilmiah, sehingga jabatan fungsional dosen tersebut bisa naik dari asisten ahli ke lektor, lektor ke lektor Kepala dan seterusnya.

Komunita: Bagaimana APTISI mensikapi kebijakan penerimaan mahasiswa baru PTN yang semakin agresif dengan meluncurkan berbagai program penerimaan mahasiswa?

Ketua APTISI Jabar:  Kami sudah membicarakan hal tersebut ke Kementerian, dengan Menteri Prof. Satrio, maupun Menteri Prof. Brian.  Namun saya melihat belum ada langkah-langkah konkrit, seolah-olah masih membiarkan. PTN sudah seperti gurita dalam penerimaan mahasiswa baru. Mereka tidak hanya mengambil mahasiswa dalam jumlah besar, tetapi juga kurang memperhatikan kualitas.

Kami merangkul semua PTS, Jawa Barat 350 PTS, Banten hampir 200 PTS. Se-Indonesia lebih 3.000 PTS. Kalau sistem PTN mengeruk mahasiswa baru dengan cara-cara yang tidak etis. Saya pikir sangat disayangkan.  Padahal proses belajar mengajar atau akademik di PTS harus berkualitas bagus, demikian pula karier dosen yang mengajar juga harus jelas.  Seharusnya PTN fokus pada jenjang S2 dan S3, sementara S1 dikembangkan bersama PTS. Selanjutnya seharusnya PTN lebih berbicara menjadi perguruan tinggi kelas dunia.

Komunita: Tekanan fiskal dari pemotongan anggaran Kementerian, dan kenaikan pajak menjadi sorotan. Bagaimana dampaknya bagi PTS?

Ketua APTISI Jabar: Dampaknya signifikan. PTS harus cerdas mengelola keuangan dan mengejar hibah. Tapi faktanya, tidak semua PTS siap bersaing. Kami rutin mengadakan workshop, pelatihan, tapi masih ada yang kurang antusias. Inkonsistensi ini menghambat.

Terkait dengan pajak memang merupakan kebijakan masing-masing Pemerintah Daerah. Semestinya bagi penyelenggara pendidikan tinggi sebagai lembaga nirlaba seluruhnya dapat keringanan. Kemudian pemotongan anggaran di Kementerian terkait efisiensi, kami bisa memaklumi.

Kondisi di atas menuntut PTS harus mensiasati dan mengerahkan kemampuan. Bagi dosen-dosen, khususnya di bidang penelitian dan pengembangan berlomba memperoleh hibah dari berbagai lembaga yang memang sangat selektif. Kami selalu berpikir bagaimana PTS bisa meraih hibah tersebut dengan melakukan pembinaan, melalui seminar, lokakarya, ataupun workshop terkait hibah.

Komunita: Solusi utama agar PTS tetap survive dan berkembang?

Ketua APTISI Jabar: Sebagai ilustrasi, ada batas tertentu sebuah perguruan tinggi bisa tumbuh dan berkembang. Perguruan tinggi tergantung mengampu berapa program studi/prodi. Makin banyak prodi, makin besar kebutuhan finansial bagi pengembangan dirinya. Misal perguruan tinggi adalah sekolah tinggi atau politenik prodinya relatif sedikit. Tapi kalau universitas mempunyai berapa fakultas kemudian berapa prodi, maka ada jumlah minimal mahasiswa yang harus mereka penuhi.

Semakin sedikit prodi yang diampu tentu pengeluaran makin kecil. Namun makin banyak prodi, makin besar juga pengeluaran. Disinilah peran pimpinan perguruan tinggi beserta jajaran melakukan upaya-upaya agar jumlah mahasiswa baru minimal berada pada level yang tidak boleh kurang dari ketentuan. Ada batas minimal, dan batas maksimal, sehingga minimal PTS tersebut bisa membiayai aktivitas berkelanjutan, dan mengembangkan dirinya.

Artinya batas minimal dan maksimal harus disikapi. Jangan melebihi kapasitas, atau jangan kurang dari batas minimal. Batas minimal itu tergantung PTS masing-masing. Hal ini dalam rangka menjaga standar mutu. Dengan jumlah minimal kira-kira bisa memenuhi standar, kalau lebih tinggi kira-kira bisa mengembangkan diri. Karena masing-masing PTS mempunyai batas tersendiri.

            Solusi utama agar PTS tetap survive dan berkembang adalah Entrepreneurial mindset. Jangan hanya bergantung pada SPP mahasiswa. Harus punya unit bisnis penopang. Unikom misalnya, mempunyai unit restoran, kafe, peternakan, hingga kapal ikan. PTS harus punya misi jangka panjang dan visi kewirausahaan.

Jadi pola pikir seorang pimpinan PTS ke arah entrepreneurial mindset. Ketika membangun sebuah perguruan tinggi, lalu perguruan tinggi tersebut maju, atau sambil bertumbuh, perguruan tinggi tersebut mulai mengembangkan diri melalui pendirian unit-unit bisnis yang bertahap menopang perguruan tingginya. Jadi, bisnis-bisnis tersebut akan mendukung keberadaan perguruan tinggi. Kita tidak bergantung sepenuhnya pada SPP mahasiswa.

Artinya, sambil berjalan, kita sudah mulai mengembangkan perguruan tinggi, sehingga membuat lebih tenang dan lebih terhormat. Hal ini sangat bisa dilakukan, namun  kembali lagi pada mimpi perguruan tinggi itu. Kira-kira berapa persen idealnya, sehingga menjadi perguruan tinggi yang baik dan berkembang.

Komunita: Apakah pola pikir ini realistis diterapkan?

Ketua APTISI Jabar: Realistis. Semua bisa mulai dari kecil, tapi konsisten. Kuncinya ada pada kepemimpinan: visioner, jujur, jeli melihat peluang. Yayasan juga harus bisa memilih pemimpin yang mampu mengelola sumber daya dengan baik.

Makna bagi PTS secara menyeluruh, baik berstatus akreditasi unggul, sangat baik, atau baik. Ataupun PTS yang baru berdiri sama saja. Asal mengembangkan pola pikir entrepreneurial mindset, atau  tidak terpaku pada SPP (tuition fee) mahasiswa PTS akan berkembang bagus ke depan.

Sebagai pimpinan PTS harus betul-betul inovatif, dan kreatif menggerakkan sumber daya. Kata kuncinya PTS mau dan harus berkembang, pertama – ada komitmen Yayasan.  Yayasan harus melihat siapa menjadi rektor, menjadi ketua atau direktur. Yayasan harus melihat bahwa kandidat pemimpin piawai mengelola sumber daya. Piawai mengelola man, money, mesin, material, manajerial. Kedua, kejujuran dan integritas dirinya bagus. Apakah yang bersangkutan bisa mendukung Yayasan. Ketiga, harus jeli melihat peluang. Karena di swasta itu, masalah hidup adalah peluang. Kalau pimpinan tidak jeli melihat, kemudian meraih peluang akan berat.

Unikom misalnya fokus pada tujuan pendidikan, yakni pendidikan yang didukung juga oleh unit-unit bisnis yang kita bangun. Pola pikir ini ada dalam diri para pimpinan PTS. Artinya, bisnis utama adalah perguruan tingginya, sekundernya adalah unit-unit bisnis yang dibangun untuk menopang pendidikan tinggi. Memang income-wise (segi pendapatan) setiap PTS seharusnya berbeda. Jadi kembali kepada para pemimpin PTS masing-masing.

Jujur Unikom, diawali dari lembaga kursus yang dimulai dari kursus private, kemudian bimbingan tes, kemudian ke LPK. Ketika terjadi era Reformasi, saya ambil peluang membuat Sekolah Tinggi. Lalu dalam waktu 6 bulan, saya gabung Sekolah Sekolah Tinggi ini menjadi Unikom. Kemudian membuka fakultas-fakultas baru, serta program-program studi baru. Saya melihat menempatkan seorang pemimpin harus memiliki entrepreneurial mindset dengan  tiga kata kunci di atas.

Komunita: Bagaimana kolaborasi dengan PTN, serta dunia usaha dan industri (DUDI)?

Ketua APTISI Jabar: Kolaborasi penting. Tapi butuh SDM yang siap. Mahasiswa harus dibekali, agar saat masuk industri tidak merepotkan. Pimpinan PTS harus mempunyai tim khusus untuk menjalin kerja sama dengan DUDI dan luar negeri. Ini soal trust dan sinergi internal.

Kolaborasi antara PTN dengan PTS  sangat dimungkinkan untuk menghasilkan terbosan-terbosan baru, baik terkait dengan karya ilmiah, guru besar, juga menciptakan produk-produk baru sangat dimungkinkan. Tinggal bagaimana antara pimpinan perguruan tinggi mengimplementasikan dengan dimotori forum rektor misalnya.

Dengan dunia industri, ada industri yang membuka diri, tapi ada yang menutup diri. Industri kadang-kadang tidak mau direpotkan oleh mahasiswa yang baru belajar.  Masalahnya terlihat saat kita menerapkan kampus merdeka ada yang bisa dilakukan tapi ada juga tidak. Oleh sebab itu, PTS  ketika mengirimkan para mahasiswanya ke suatu industri harus sudah dibekali dengan kesiapan yang baik, agar pada saat praktek di industri, tidak merepotkan industri.

Karena itu kerjasama dengan DUDI harus di-create. Disitulah seorang pemimpin, seorang rektor, seorang direktur, atau ketua dituntut menempatkan tim di bagian A, misalnya untuk khusus mengurusi masalah internasional, masalah industry yang harus ada orangnya. Dengan begitu, setelah ditunjuk, memahami tugas, mereka menjalankan perannya.

Sebagai pimpinan memberikan gambaran kendala, rambu-rambu, dan mereka  menjalankan. Artinya ini juga soal trust pimpinan. Sejauh mana pimpinan memilih kandidat-kandidat calonnya untuk menduduki sesuatu posisi dengan memberikan trust. Karena trust tentunya mencakup aspek desentralisasi, otonomi, dan lainnya.

Lebih jauh, pimpinan tertinggi memegang fungsi sebagai perumus arah organisasi, pemberi teladan, pengarah, dan pengendali terhadap jajaran manajemen di bawahnya. Sinergi vertikal antara top, middle, dan lower management sangat penting dalam mewujudkan organisasi yang sehat dan berkelanjutan.

Komunita: Bagaimana membangun sistem trust dan kaderisasi di lingkungan PTS?

Ketua APTISI Jabar: Seorang pemimpin harus legowo, harus bisa melahirkan pemimpin-pemimpin baru untuk kelanjutan institusi PTS. Trust harus dibangun, dimana trust juga berarti desentralisasi dan pemberian reward.

Caranya tentu kita menempatkan kandidat berdasar jenjang. Seseorang yang ditempatkan, mendapat tugas, wewenang dan tanggungjawab, maka akan jalan dengan sendirinya. Namun ada juga yang tidak demikian. Sehingga kita secara bertahap mendapatkan yang terbaik. Itu bisa terlihat pada saat action di lapangan. Karena fungsi pemimpin bukan duduk di belakang meja, tetapi action-oriented.  Dia terjun ke lapangan, agar tahu mana yang bisa, mana yang tidak. Hal itu akan mempercepat mereka tumbuh dulu. Saya melihat teman-teman kita ada yang sudah bagus, tapi masih banyak juga yang belum.

Artinya pengembangan kualitas SDM harus diperhatikan terus. Mana yang berkemampuan akademik, mana lebih pada managerial. Terus dikembangkan dalam kaitannya dengan itu. Tentunya berkaitan juga dengan usaha meningkatkan kualitas mereka yang konsekuensinya ada biaya bagi mereka.

Biasanya orang-orang yang terpakai bekerja bisa cepat karena adanya semangat. Semangat muncul karena ada trust yang diberikan oleh pemimpin, juga sebaliknya. Secara otomatis juga akan membawa dampak pada reward, yang tentunya bisa bermacam-macam. Perangsang-perangsang lain juga diberikan bagi karyawan tertentu yang berprestasi luar biasa. Yayasan bisa memberikan tips-tips yang bisa membuat karyawan tetap berkontribusi. Karena mendidik dan membina sumber daya butuh proses dan waktu.

Dari kecenderungan seperti itu, pendekatan tidak selalu pada pola birokratis maupun formil. Ada pendekatan informal, pendekatan pribadi. Bahwa kaderisasi yang sudah dilakukan sangat bagus, namun jangan lupa melakukan pendekatan pribadi yang membuat ada keterikatan batin dengan mereka. Pembinaan sumber daya manusia juga kadang-kadang perlu memberi ruang berbuat salah yang masih bisa ditolelir. Tentu melalui ruang ini, tidak boleh langsung diberi punishment. Manusia kadang berbuat keliru, tidak ada yang sempurna. Jadi kalau ada yang berbuat kesalahan memang harus dipanggil dengan pendekatan pribadi lebih efektif. Juga melalui pendekatan prosedur yang ada seperti: SP1, SP2 dan seterusnya. Namun juga harus mengambil keputusan tegas bagi mereka-mereka yang cenderung tidak bekerja dengan baik dan benar.

Komunita: Apa peran organisasi seperti APTISI, ABPTSI, dan APTIKOM dalam memperkuat tata kelola?

Ketua APTISI Jabar: Ini wadah untuk belajar secara kolektif, dan bertumbuh bersama. Melalui keorganisasian APTISI, ABP PTSI, maupun APTIKOM di atas dapat menyerap kelebihan PTS unggul, untuk perbaiki kekurangan. Kuncinya adalah mau berbaur dan berproses bersama. APTISI terus membangun ekosistem kolaboratif melalui seminar, pelatihan, dan forum rutin. Dengan kebersamaan, ada hal-hal positif bagi kita semua membangun institusi PTS masing-masing.

Komunita: Kebijakan pemerintah yang bagaimana bisa menyelamatkan, memperkuat PTS.

Ketua APTISI Jabar: Kebijakan pemerintah yang mengafirmatif sangat diharapkan mengingat PTS  berjumlah relatif banyak. Maka kebijakan pemerintah seharusnya betul-betul mengakomodir kepentingan PTN, juga kepentingan PTS.

Semisal Pemerintah membuat kebijakan, dimana PTN lebih memperkuat pada jenjang S2, S3, kemudian PTS fokus pada jenjang S1. Sehingga untuk S2, S3 peserta didik tidak melirik ke luar negeri, karena merangkulkan kualitas setara di luar negeri.

Komunita: Apakah perlu Dewan Nasional Pendidikan Tinggi?

Ketua APTISI Jabar: Sangat perlu. Dewan ini bisa menampung aspirasi dari PTN dan PTS. Bisa memberi saran strategis kepada pemerintah secara lebih objektif. APTISI tidak harus demo, lebih baik ada Dewan yang mengadvokasi secara sistemik. Ini akan memperkuat kebijakan pendidikan tinggi nasional. Misalnya salah satunya yang urgent PTN jangan menerima mahasiswa baru yang agresif dan berlebihan, agar PTS bisa berkembang.

Saya kira bisa disinergikan, ada forum rektor, ABPTSI, APTISI untuk mengusung berdirinya Dewan Nasional Pendidikan Tinggi. Dengan adanya Dewan Nasional Pendidikan Tinggi permasalahan dapat diselesaikan terintegrasi untuk kepentingan nasional. Artinya power memperbaikan sistem pendidikan tinggi menjadi lebih kuat.

(Interview & Written by lili irahali)