Momen 50 Tahun Yayasan Widyatama tentunya mengingatkan kita akan visi
lembaga ini mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebuah visi yang diletakkan pendiri
dan para perintis lembaga ini tidak boleh berhenti walau siapapun yang
melanjutkannya. Visi ini sudah jelas meletakkan dasar-dasar pentingnya kualitas dan
relevansi pendidikan tinggi. Bagaimana pendidikan tinggi harus memberikan kontribusi
bagi kemajuan masyarakat dan kehidupannya. Upaya Widyatama hanya setitik prestasi
sejarah, setitik harapan masa depan, yang selayaknya sarat makna bagi semua
pemangku kepentingan, antara lain mahasiswa serta dunia kerja dan usaha. Dalam
banyak hal Widyatama telah mewujud, namun dalam banyak hal Widyatama belumlah
rampung. Ia memang sebuah cita…..sebuah perjalanan……sebuah perjuangan yang
tentunya sesuatu yang tiada akhir. Namun cita kita ada di generasi-generasi tangguh
Widyatama, melalui kaderisasi dan regenerasi (lili irahali, Juni 2006).
Dalam konteks lebih luas sistem pendidikan tinggi, tantangan relevansi dan
kualitas pendidikan tinggi sampai saat ini belum sepenuhnya terjawab perguruan tinggi
(PT). Yayasan Widyatama sebagai penyelenggara pendidikan tinggi (red. Universitas
Widyatama) konsisten, baik secara internal maupun bersama unsur sistem pendidikan
tinggi lainnya senantiasa berkomitmen menjawab tantangan tersebut.
Penelitian McKinsey, UNESCO, dan ILO (2008) menemukan adanya
kesenjangan antara sistem pendidikan dengan dunia kerja di Indonesia, di mana
lulusan PT tidak sesuai dengan kebutuhan pengguna kerja. Besarnya pengangguran
pemuda berpendidikan, berkaitan dengan persoalan relevansi dan kualitas pendidikan
tinggi dengan dunia kerja. Studi Bank Dunia (2014) tentang sistem pendidikan tinggi
menunjukkan bahwa PT tidak dengan sendirinya merespon tuntutan akan tenaga
terampil dalam pasar tenaga kerja. Hal tersebut merupakan salah satu diskoneksi
utama yang lazim teridentifikasi di Indonesia, bahkan sebagian besar negara-negara
Asia.
Diperkuat prediksi McKinsey Global Institute (MGI) menunjukkan bahwa dalam
pasar kerja global, pada tahun 2030 Indonesia diperkirakan akan mengalami
kekurangan tenaga kerja terdidik dan terampil, tetapi kelebihan tenaga kerja non
terampil. Adanya kesenjangan antara permintaan dan ketersediaan tenaga kerja
berpendidikan juga didukung data ILO (2015) tentang tenaga kerja yang tidak
memenuhi kualifikasi pendidikan dan keterampilan yang proporsinya mencapai lebih
dari separuhnya.
Menjembatani kesenjangan ini tentunya membutuhkan perubahan mindset dan
paradigma baru PT dalam pengelolaan pendidikan tinggi yang berkualitas, agar secara
bertahap mampu menjawab persoalan di atas. Masih sedikit PT menggagas sebuah
mindset dan paradigma baru mensikapi persoalan tersebut. Bahkan masih ada
pemikiran bahwa PT dibutuhkan masyarakat, dan dunia kerja. Padahal di era VUCA(volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity) menjelaskan gambaran situasi duniausaha masa kini yang terus berubah. Perubahan berjalan dalam hitungan menit bahkan detik. Hal yang urgent saat ini sejalan dengan visi pendidikan mencerdaskan kehidupan adalah memecahkan kemandegan kita dalam menyelesaikan problem relevansi dan kualitas pendidikan tinggi. VUCA harus dihadapi dengan mengkristalkan visi dibarengi
perilaku fleksibelitas, mengidentifikasi peluang dan kuatkan keunggulan kompetitif,
mrnghindari kebingungan dan membangun jejaring, mengembangkan kelincahan
(agility) secara efektif. Memang PT harus bersikap proaktif dan adaptif, bergerak ke
segala arah, dan membumi. Sikap yang tidak peduli VUCA, jelas telah
mengembangkan ketidakpercayaan pasar terhadap lulusan pendidikan tinggi.
Sesuatu yang layak dipikirkan dan ditindaklanjuti dunia pendidikan tinggi secara
bersama-sama. Tegasnya, kita harus berangkat bersama mengangkat PT sebagai
lembaga pemberi solusi yang layak dan mampu menghidupkan diri dan pemangku
kepentingannya, khususnya mahasiswa, serta dunia kerja dan industri. Ini artinya
mengangkat hakekat pendidikan tinggi yang mengemban amanah membangun
kecerdasan dan kebermanfaatan. PT bukan lagi lembaga yang menyandang predikat
menara gading. Inilah paradigma baru yang harus menerap dalam diri masing-masing
PT, dalam ekosistem pendidikan tinggi.
Paradigma baru memang membawa kita kembali ke titik nol kilometer, garis
awal. Yaitu awal bersaing dan mengalahkan pengaruh besar dari paradigma lama.
Paradigma lama yang membelenggu kita dengan ketergantungan pada figur-figur
lembaga bukan pada sistem. Padahal sistem akan membawa kita pada tataran yang
bisa diperbaharui dan disempurnakan terus menerus di kala figur-figur itu silih berganti
secara alamiah.
Paradigma baru ini tentu harus menihilkan siapapun yang hanya mendompleng
dan berpikir untuk kepentingan diri belaka. Siapapun mereka, dan di lini manapun.
Apakah dosen, pegawai biasa, apalagi pemegang fungsi pimpinan, baik setingkat
sekretaris prodi, prodi, dekan, direktur, bahkan wakil rektor atau rektor, ketua sekalipun.
Paradigma baru membutuhkan manusia-manusia yang mau dan berani meninggalkan
cara berpikir lama. Manusia-manusia yang berpikir untuk memperteguh kualitas
pendidikan tinggi dan masa depan PT yang telah dirintis melalui konsepsi dan
komitmen para pendahulunya.
Paradigma baru membutuhkan pemimpin-pemimpin yang mampu membawa
paradigma baru itu dalam proses perjuangan meningkatkan kualitas PT. Karena tanpa
pemimpin-pemimpin yang berkompetensi di setiap lini dan tingkatan, maka terjadi
ketidakberdayaan paradigma baru berkembang tidak sesuai dengan yang diinginkan.
Merujuk J. Arthur Barker dalam buku “Paradigm” menyebutkan pemimpin
adalah seseorang yang akan kita ikuti ke suatu tempat yang tidak akan kita kunjungi
sendirian. Pemimpin selayaknya mengatur di dalam paradigma. Dan Pemimpin
selayaknya pula memimpin di antara paradigma. Dengan demikian akan terjadi
peningkatan paradigma. Peningkatan paradigma akan menjadikan paradigma baru
berdayaguna dan menuju paradigma berikutnya.
Dalam konteks pendidikan tinggi, perubahan paradigma memang membutuhkan
keahlian lanjutan dalam hal peningkatan paradigma itu sendiri. Hal ini untuk
menghindarkan kita terjebak memperbaiki dan memperbaharui relevansi dan kualitas yang sudah ketinggalan jaman secara terus menerus. Karena relevansi dan kualitas adalah sesuatu yang dinamis dan multi-dimensi.
Dalam kaitan itu Arthur Barker menawarkan suatu pola pilihan yang terjadi selama perubahan paradigma : 1) mengubah paradigma, mempertahankan konsumen;
2) mengubah paradigma, mengubah konsumen.
PT sudah seharusnya, dan sudah saatnya bersikap adapatif, proaktif,
menggagas mindset dan paradigma baru dalam menjawab kebutuhan pemangku
kepentingan, yang juga pasar. Salah satunya kerjasama dan sinergi perguruan tinggi
dengan dunia usaha dan dunia industri, baik di tingkat regional, nasional maupun
internasional perlu dikembangkan menjadi sebuah eko sistem yang saling menguatkan.
Akankah upaya ini berjalan dan berhasil ? Tergantung, terutama pada pemimpin-
pemimpin PT tersebut. Di era VUCA seperti ini, hanya para pemimpin visioner yang
memandang penting arti mencerdaskan anak bangsa berkualitas yang bisa berhasil
membawa pendidikan tinggi pada proforma yang diharapkan pemangku kepentingan
dan pasar. Artinya bukan sekedar pemimpin formalitas ataupun pemimpin yang
oportunis. PT memang membutuhkan pemimpin-pemimpin di dalam lininya pada saat
PT menggagas pilihan paradigma baru ini. Siapakah, dan siapkah mereka ?
Wallahualam.
Vivat Widyatama, Vivat Civitas Academica, Vivat Indonesia dan Nusantara
tercinta. (@lee)