Memahami Relevansi dan Kualitas Pendidikan Tinggi

0
372 views

LLDikti IV Jawa Barat dan Banten adalah kepanjangan tangan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dalam memebri layanan dan mengusung kualitas pendidikan tinggi. Karena itukeberadaan lembaga ini tentunya sebagai katalisator yang  memberi ruang pendidikan tinggi (penyelenggara dan pengelola pendidikan tinggi) semakin terbuka dan berusaha meningkatkan kualitasnya. Ada titipan generasi mendatang yang harus diayomi bersama, yakni kehidupan ini adalah titipan anak dan cucu yang harus dipelihara, dipertahankan dan berkembang. Pendidikan tinggi adalah salah satu jembatannya.

LLDikti IV Jawa Barat dan Banten adalah ujung tombak Kementerian
menghantarkan mereka mewujudkan visi, misi, tujuan dan targetnya, “kualitas
pendidikan tinggi”.Dalam hitungan hari, Komunita meminta waktu Ketua Lembaga, Dr. M. Samsuri,S.Pd., M.T berdialog untuk memahami makna Relevansi dan Kualitas Pendidikan
Tinggi dalam persepsi pemegang otoritas (Kementerian yang diwakili LLDikti IV Jawa
Barat Banten). Sangat terbuka sambutan beliau, berikut dialog tersebut.

Komunita: Relevansi dan kualitas pendidikan tinggi menurut pandangan pemerintah
selaku otoritas seperti apa?

Dr. M. Samsuri, S.Pd., MT.: Pertama-tama saya menghaturkan terima kasih kepada
Pak Lili Irahali atas concernnya dalam dunia pendidikan terutama dalam menyampaikan
informasi, baik itu dalam prespektif pemerintah maupun informasi dalam prespektif ahli
pendidikan kita. Masuk pada substansi, kalau kita berbicara terkait dengan strategi
Kementerian terutama strategi bangsa yang dilakukan oleh Kemendikbud-Ristek
mendorong relevansi dan kualitas pendidikan. Yang dimaksud relevansi artinya
pendidikan diharapkan relevan dengan kebutuhan dan dinamika perkembangan dunia,
jadi harus relevan dengan kebutuhan industri dan dunia kerja. Itulah kenapa Prodi-prodi
juga dibuka ruang supaya nomenklatur Prodi itu relevan dengan kebutuhan pasar. Itu
yang dimaksud relevansi.

Kedua, kualitas ini ada dua faktor, yaitu kualitas lulusan, dan tata kelola
penyelenggaraan perguruan tinggi. Kualitas lulusan iukur dengan seberapa besar
penyerapan lulusan di dunia kerja, baik itu yang meng-create activity atau create job, atau multi bekerja Kemudian kualitas yang kedua diukur kualitas penyelenggaraan dan
pelayanan pendidikan tinggi, jadi pelaksanaan pendidikannya tidak abal-abal,
berorientasinya pada mutu.

Komunita: Terkait dengan hal di atas, pendidikan tinggi ada 2 visi, satu akademik,
kedua disebut vokasi, sesungguhnya arah yang mau dikejar memenuhi kebutuhan
dunia kerja atau pengembangan keilmuan, teori?

Dr. M. Samsuri, S.Pd., MT. : Sebenarnya pengembangan keilmuan dan juga merespon
kebutuhan dunia kerja secara langsung itu dua-duanya adalah kualitas. Bukan berarti
seorang lulusan yang kuat secara akademik itu tidak butuh bekerja, dia butuh bekerja
tetapi tempat bekerjanya di tempat- tempat yang bukan dunia praktis, misalkan sebagai
peneliti, kemudian sebagai konsultan dan sebagainya. Sebetulnya kebutuhan dunia
kerja, tetapi bukan kebutuhan dunia kerja praktis. Jadi dua- duanya mengarah pada
kebutuhan dunia kerja, hanya jenis pekerjaanya yang mungkin bisa jadi orientasinya
berbeda. Tetapi tidak menutup kemungkinan seseorang lulusan dari prodi akademik
masuk dalam dunia kerja praktis, ataupun sebaliknya yang penting adalah kemampuan
baik itu knowledge atau skill nya memang harus mumpuni ketika menjadi seorang
lulusan.

Komunita: Relevansi dan kualitas bukan hal yang statis karena dunia kerja seterusnya
akan berkembang dan membutuhkan potensi, kemampuan, dll. Saran otoritas
pemerintah, bagaimana seharusnya perguruan tinggi menyikapinya?

Dr. M. Samsuri, S.Pd., MT.: Perguruan tinggi/PT menyikapi dinamika dari relevansi
yang tidak statis, dinamis karena memenuhi kebutuhan dunia kerja dan kebutuhan di
lapangan. Tentu yang pertama, PT, Prodi kemudian perangkat SDM bahkan perangkat
kurikulumnya juga harus adaptif dengan perkembangan dan dinamika zaman. Dinamika
kebutuhan kerja dan dunia usaha kebutuhan dunia industri, kalau PT cara berfikirnya
masih kuno, pasti tertinggal. Itulah kenapa kita terus mendorong PT bergaul, dan
arusnya lebih cepat untuk mengadaptasi dinamika zaman. Itulah kenapa kebijakan
Kampus Merdeka itu lahir, supaya PT dan unsur di bawahnya, prodi termasuk dosen-
dosennya cepat beradaptasi dengan perkembangan zaman. Jadi kebijakan MBKM
untuk menjawab relevansi dan mendorong kualitas agar menjadi lebih baik dengan
tuntutan semakin banyak.

Komunita: Realitas bahwa tidak semua PT mempunyai potensi dan sumberdaya yang
sama, mungkin disparitasnya begitu tinggi. Sebetulnya faktor apa yang menghambat
PT begitu sulit mewujudkan relevansi dan kualitas yang sudah didorong sekian lama?

Dr. M. Samsuri, S.Pd., MT.: Pertama, yang saya lihat mengapa PT mungkin tidak semua, agak lambat beradaptasi dengan perkembangan tantangan zaman – tidak semuanya – biasanya yang lambat beradaptasi atau sulit mengikuti permkembangan zaman ini karena mereka tidak mau merubah mindset. Jadi merasa dibutuhkan sebagai penghasil lulusan padahal seharusnya cara berfikirnya PT membutuhkan dunia industri dan dunia usaha sebagai partner untuk menyerap lulusannya. Untuk menjadi partner kira- kira orientasi
pendidikannya akan ada perubahan apa. Yang paling mendasar adalah lambatnya
perubahan mindset, kalau yang cepat melakukan perubahan mindset juga akan cepat
adaptasinya. Jadi PT itu sekarang harus betul-betul mendekat dengan dunia kerja dan
dunia industri.

Komunita: Ada sisi pandang dunia pendidikan, bahwa kewajiban PT mempersiapkan
lulusan sebagai “calon pekerja terampil” yang kemudian perlu dipoles kembali oleh
dunia kerja. Fungsi PT dan Dunia kerja berbeda walau bersinggungan.

Dr. M. Samsuri, S.Pd., MT. : Saya mengulangi sedikit bahwa orientasi pendidikan kita.
Orientasi yang pertama harus melahirkan, satu lulusan yang berkualitas, indikasinya
adalah dia cepat terserap di dunia kerja, baik meng-create pekerjaan sendiri atau
masuk menjadi pekerja. Yang kedua, orientasi pendidikan harus memberikan layanan
yang berkualitas, dalam arti pelaksanaannya harus baik. Maka produktifitas PT itu
diukur seberapa banyak publikasi dan lainnya. Yang ketiga, apabila sudah berkualitas
kita dorong sebanyak-banyaknya bisa dinikmati oleh masyarakat kita. Kemudian
mindset bahwa PT hanya sebatas menyiapkan SDM, meyiapkan lulusan tanpa berfikir,
lulusan tersebut terserap atau tidak ini yang harus betul-betul diajak berbalik 180
derajat. Oleh karena itu, program Kementrian selain program kampus merdeka, maka
magang itu didorong, supaya sedari mahasiswa akhir itu sudah kenal dengan industri.
Setelah itu magang dan proyek didorong untuk mahasiswa terlibat dalam projeknya
supaya mereka mempunyai kenalan dengan dunia usaha, dunia industri dan dunia riset
atau yang lainnya. Kalau mau melakukan pemagangan di non-government organitation
memungkinkan dan semua aspek memungkinkan, itu upaya yang dilakukan untuk
mendekatkan. Kemudian tentu bagi PT harus mengukur, maka sekarang indikator
kinejra PT itu diukur sejauh mana mahasiswanya terserap di dunia kerja, atau meng
create pekerjaan. Maka PT juga perlu mengukur itu. Itulah pentingnya setiap PT
mempunyai treasure study, ataupun pusat karir yang menjem-batani sampai lulusan ini
bisa cepat dapat pekerjaan atau meng create pekerjaan.

Komunita: Ada pandangan bahwa PT kurang merespon dunia kerja?

Dr. M. Samsuri, S.Pd., MT.: Masih ada pandangan dan itu harus dipaksa untuk
merespon dengan cara PT diwajibkan diukur indikator kinerjanya mengikuti program
MBKM supaya lebih bergaul. Karena sepanjang pengamatan kami mereka melihat satu
respon mahasiswa yang bertanya urusan akademik tata kelola, kemudian tentang
pemilik PT untuk PTS yaitu owner Yayasan. Dalam aspek-aspek yang lain, kadang-
kadang akhirnya lupa untuk mendorong lulusan. Kemudian kalau regulator tidak
memaksakan berorientasi pada outcome, berorientasi pada lulusan yang berkualitas
dengan cara membuat kebijakan dan program MBKM itu. Perlahan pemerintah membuat inisasi dengan diberi insentif dan lainnya sambil terus didorong PT melakukan
MBKM secara mandiri, jadi lama-lama menjadi culture/ kebiasaan, awalnya sulit harus
diberikan stimulus.

Komunita: Kekosongan tenaga berkualitas yang dibutuhkan dunia kerja di level
menengah, apakah seperti itu?

Dr. M. Samsuri, S.Pd., MT. : Terutama level-level yang menjadi KKNI nya, jadi
kompetensi dari lulusan tersebut, arahnya kesana.

Komunita: PT didorong agar lebih dekat dengan dunia kerja (dari unsur struktural yang
tertinggi Rektorat, ada Fakultas dan Prodi Prodi dengan bidang garapan sangat
beragam dan spesifikn. Sejauh mana PT harus mempersiapkan atau mendorong
struktur di bawahnya membuat pemetaan kebutuhan dunia kerja?

Dr. M. Samsuri, S.Pd., MT. : Memang ujung tombak sukses tidaknya PT untuk
membangun kolaborasi dengan dunia kerja dan industri itu pada level Program Studi.
Kalau Prodinya terbuka dan dosen-dosennya mulai terbuka, untuk kolaborasi dengan
dunia usaha dan industri, itu akan memegang peran kesuksesan. Jadi kalau mau
berhasil PT itu memang seharusnyya fakultas dan universitas jangan terlalu
mengekang program studi, diberi kebebasan untuk melakukan improvisasi dan
kolaborasi. Dan secara formal ditandatangani oleh fakultas atau universitas itu tidak ada
masalah. Tetapi dipastikan itu apabila inisiatif dari masing-masing prodi potensinya bisa
berjalan. Karena itu, SPM (Sistem Penjaminan Mutu) itu paling penting adalah di level
prodi.

Komunita: Tidak semua PT memberikan kewenangan desentralisai kepada program
studi. Prodi dalam menjalankan programnya perlu dukungan kebijakan, finansial, dll.
Apakah hanya terjadi di PTS, kalau PTN tidak?

Dr. M. Samsuri, S.Pd., MT. : Di PTN juga sama, tetap pelaporannya terpusat.
Sebenarnya banyak pilihan yang dapat dilakukan di PT. Kalau semuanya serba
desentralisasi, keuangan, dll dilakukan sendiri oleh Program Studi, kemudian mencari
partner sendiri, saya yakin nanti ujung-ujungnya akan berkutat pada mereka mengatur
manajemen. Pandangan saya, berdasar pengamatan saya tentang PT yang maju dan
langgeng adalah prodi yang dalam sistem keuangannya di-support tetapi mereka tidak
serta merta mencari sendiri dan digunakan sendiri. Kalau terjadi nanti tidak bisa saling
subsidi silang, jadi tetap harus terkontrol dan dikelola oleh PT. Itu pentingnya good
government university, tetapi program studi diberikan reward dan insentif jika berhasil
mencapai indikator-indikator yang ditetapkan. Kalau semua diserahkan, nanti prodi
akan menjadi pusat administratif, malah tidak akan masuk ke substansi fungsi prodi. Itu
yang saya perhatikan banyak PT yang menerapkan pola seperti itu. Jadi prodi yang
maju jumlah mahasiswanya sibuk memanfaatkan anggaran itu. Tetapi kalau dikelola
terpusat secara administratifnya akan bisa menghasilkan subsidi silang. Prodi ini belum terlalu kuat berati perlu ada investasi dosen baru misalnya. Kalau semua dilakukan oleh
prodi dan sudah menjadi zona nyaman, suatu saat akan diubah tidak akan concern.
Konteksnya kelembagaan secara keseluruhan, tetapi prodi tetap diberi ruang dengan diberi reward apabila mereka untuk mencapai target–target kinerja tertentu.

Komunita: Untuk percepatan peningkatan relevansi dan kualitas pendidikan tinggi
sinergi dan kerjasama antara PT dengan pemangku kepentingannya didorong
pemerintah dengan insentif melalui program MBKM, tetapi kelihatannya tidak terkoneksi
dengan tepat?

Dr. M. Samsuri, S.Pd., MT.: Memang koordinasi dan kolaborasi mudah diucapkan,
tetapi tidak mudah diimplementasikan. Salah satu cara yang terbaik antara prodi dan
dunia usaha dan industri/DUDI harus dekat. Misalnya bisa dimulai dengan mengundang
praktisi untuk mengajar. Jadi DUDI di-uwongke dengan mengajak partisipasi mengajar
saja dahulu, sesudah kenal dan dekat, dia akan membawa mahasiswa masuk ke dunia
kerja atau industrinya tersebut. Itu langkah yang paling efektif, untuk itu sangat
tergantung pada inovasi masing-masing PT. Karena itu, PT harus merubah mindset
jangan merasa yang paling penting, yang bagus merasa membutuhkan orang lain,
bukan merasa dibutuhkan. Semisal kami LLDIKTI apabila merasa dibutuhkan kita akan
memposisikan sebagi bos, tetapi kalau kita merasa membutuhkan kita jemput bola, apa
kebutuhannya, apa yang bisa dibantu. Demikian pula PT membutuhkan DUDI. Jadi PT
dari level pimpinan tertinggi sampai prodi harus bergaul dengan dunia kerja dan dunia
industriDUDI.

Ini akan menjadi pekerjaan yang besar karena banyak sekali prodinya, dan dari
sisi dosen juga sudah sangat banyak bergaul, maka praktisi mengajar (dari DUDI)
diundang pelan-pelan dengan didampingi dosennya supaya menciptakan kolaborasi
yang baik, kemudian ada linkage yang baik. Menurut saya hal-hal praktis seperti itu
dapat memberikan dampak, daripada hanya MoU dan ditumpuk selesai. Jadi level prodi
melakukan pendekatan-pendekatan dengan dunia kerja dan industri jauh lebih
bermanfaat.

Komunita: Mengapa aspek dokumen (MoU misalnya) sepertinya menjadi sangat
penting bagi syarat akreditasi?

Dr. M. Samsuri, S.Pd., MT. : Akreditasi pembuktiannya berbasis dokumen, karena itu
ujungnya harus ada perjanjian kerjasama sebagai syarat administratif dan syarat legal.
Kalau tidak dibuat nanti dosennya keasyikan bermain sendiri dan lama-lama tidak lapor.
Apalagi kalau mendatangkan income yang banyak akan diam saja. Itu yang tidak boleh.

Komunita: Saran Bapak selaku perwakilan otoritas untuk perguruan tinggi dan dunia
usaha dan industri dalam rangka mendorong relevansi dan kualitas pendidikan tinggi?

Dr. M. Samsuri, S.Pd., MT.: Ada tiga saran yang penting bagi PT. PT harus menjadi
perguruan tinggi yang sehat dalam segala hal, yakni sehat tata kelolanya, seoptimal
mungkin tidak ada konflik, kemudian sehat dalam konteks. Untuk itu, Pertama, PT memiliki SPMI (sistem penjaminan mutu internal) yang baik, ketika kurikulumnya didesain dengan kebutuhan dunia usaha dan industri. Kemudian PT harus membuka ruang banyak membangun kolaborasi dengan duniausaha dan industri untuk memastikan bahwa lulusannya bisa kenal dan terserap di dunia usaha dan industri, taat azaz, kemudian SPMI yang baik, dan banyak membuka ruang kerjasama.

Kedua, Agar PT semakin berkualitas, pada level prodi dan dosen harus
membuka mindset untuk membangun kolaborasi dengan dunia usaha dan dunia
industri ataupun masyarakat.

Ketiga, aspek mahasiswa. Mahasiswa sejak masuk sudah diberikan orientasi,
sebagai mahasiswa yang bertanggung jawab, meski diberi kebebasan ikut program
kampus merdeka tetapi harus tetap punya tanggungjawab serius. Mahasiswa tersebut
harus mulai berfikir mandiri, berarti berusaha sekeras-kerasnya.
Perguruan tinggi harus selalu berfikir sebagaimana undang-undang yayasan
harus merubah mindset-nya, serta tidak selalu mementingkan keuntungan. Harus
mencontoh PTS di bawah perserikatan jauh lebih langgeng, karena tidak terlalu kental
kepentingan pribadinya, namun lebih mementingkan kepentingan lembaganya.
Kepada dunia usaha dan industri, juga harus mulai ikut serta memikirkan
perkembangan pendidikan. Dimana-mana pendidikan maju apabila dunia usaha dan
industrinya mau ikut serta didalamnya. Setidaknya mereka membuka ruang dan
bekerjasama, apakah memberikan masukkan untuk penyesuaian kurikulumnya. (lee-
Des2022)

Interview & Rewrite: Lili Irahali – Audio to transcript: Yanda Ramadana