Pandangan terhadap citra yang terbentuk dalam media fotografi pada kebanyakan orang, umumnya sebatas pemindahan objek asli ke bidang gambar. Pandangan ini yang kemudian menjebak kita pada pemahaman bahwa, fotografi hanya sebatas media perekaman yang berhubungan dengan cahaya dari objek. Munculnya pandangan tersebut sangat wajar karena perkembangan teknologi kamera yang nyaris tidak pernah selesai dalam capaian kesempurnaan visual. Kamera-kamera terbaru yang menawarkan kemudahan dalam hal pengoperasian bermunculan, sehingga setiap orang bisa dengan mudah melakukan pemotretan.
Ketika penggunaan kamera telah memasyarakat, dan cenderung menjadi gaya hidup, tentu perlu diimbangi dengan cara pandang terhadap media fotografi. Melalui cara pandang inilah, setidaknya kita tersadarkan bahwa transformasi teknologi kamera dari masa ke masa membutuhkan juga imajinasi dan kreativitas dari para pegiatnya. Dengan berkembangnya cara pandang terhadap fotografi, jebakan konvensi fotografi yang berkisar pada komposisi, pengolahan intensitas cahaya, dan pengaturan pencahayaan, dapat dihindari. Walaupun kerap ditemukan, muatan ide muncul berdasarkan penentuan subject-metter berupa pencitraan hasil permainan proses pencahayaan dan sudut pandang.
Secara visual, tekstur yang terekam memperlihatkan sejumlah bentuk-bentuk organik yang disusun sedemikian rupa dan bahkan cenderung repetitif. Tampak pada gambar, ada rasa garis tegas yang hadir dan dipertemukan oleh nada-nada lengkung di dalam suatu ruang. Ketidakjelasan obyek terlihat pula pada karya yang dibuat oleh Jenifer yang diberi judul Menangkap Cahaya dengan memanfaatkan garis-garis dari permainan lampu yang keluar dari ikatan figuratif. Jenifer memanfaatkan sebuah lampu senter yang digerakkan sehingga membentuk garis-garis lengkung tidak beraturan dalam bingkai dan latar yang gelap. Perekaman yang dilakukan oleh Jenifer hampir mirip dengan karya yang dibuat Philippe Halsman ketika memotret Salvador Dali yang sedang menggambar dengan senter. Dengan keberanian menampilkan objek seperti itu, Bryan dan Yolandita justru menghasilkan karya masing-masing yang mencengangkan secara visual.
Karya-karya lain selebihnya, memperlihatkan bentuk visual yang baik seperti halnya pada karya-karya yang mengutamakan teknik pemotretan. Secara konvensi, mungkin karya-karya yang dipamerkan secara visual dianggap tidak mencapai kesempurnaan. Terlepas dari capaian kesempurnaan, yang jelas karya-karya yang dipamerkan sesungguhnya mencerminkan adanya dorongan kreativitas, kepekaan dan terhadap objek. Pilihan teknik mereka pada saat merekam obyek menunjukkan adanya keinginan untuk mencoba. Walaupun, tampak seperti main-main bagi orang dewasa. Ini merupakan ciri dari usia anak, yang secara alami memang mempunyai rasa keingintahuan yang tinggi. Rasa keingintahuan yang kuat menjadikan dorongan bermain pada diri seorang anak sebagai salah satu cara untuk mereka dalam mengeksplorasi kemampuan dirinya. Hal ini berpengaruh pada cara para fotografer belia dalam pameran ini memperlakukan obyek yang dianggap biasa oleh orang dewasa. Dari objek yang sederhana ini, fotografi menjadi tidak bisu dan diam, melainkan mampu menyuguhkan makna dan bahkan sanggup berbicara.
Secara visual karya-karya ini menyuguhkan representasi obyektif dari obyek. Namun, pada beberapa karya telah tampak konstruksi yang utuh antara bentuk visual yang selalu indah dengan isi yang dituturkannya. Melalui suguhan keseluruhan karya, orang-orang dewasa dihadapkan pada kenyataan bahwa ketika anak-anak dibekali pengetahuan tentang cara memotret, mereka dapat menghasilkan karya yang baik seperti yang dibuat oleh para fotografer dewasa sekaligus menunjukkan semangat anak-anak dalam berkarya. Bravo untuk kawan-kawan fotografer belia!
Asep Deni Iskandar, M.Sn. Dosen Fakultas DKV Universitas Widyatama