Bandung, (15/11/2014), Baru-baru ini para pelaku keahlian informatika Indonesia berkumpul di Universitas Widyatama mengumumkan berdirinya organisasi profesi ahli informatika. Pada kesempatan itu hadir sekitar 300 peserta dari berbagai keahlian informatika. Organisasi ini disebut Ikatan Ahli Informatika Indonesia (IAII). Sebagai organisasi profesi IAII bertujuan meningkatkan kualitas teknologi informasi di Indonesia, melindungi masyarakat dari praktek buruk layanan ahli informatika, meningkatkan kemakmuran, martabat, kehormatan, dan peran ahli informatika Indonesia dalam rangka mencapai tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tercantum pada Pembukaan UUD 1945. Kegiatan yang diselenggarakan di Gedung GSG Universitas Widyatama, Jl.Cikutra 204A Bandung, tersebut juga menggelar Diskusi Panel Profesi dan Organisasi Profesi Ahli Informatika, serta Pendidikan dan Pelatihan Dasar Organisasi IAII Angkatan 2014. Kegiatan tersebut memberi kesempatan kepada para pelaku keahlian informatika (termasuk dan tidak terbatas pada informatika, sistem informasi, manajemen informasi, rekayasa perangkat berita kampus lunak, teknologi informasi, sistem komputer, dan sebagai) yang sebagai profesional, pendidik, praktisi, konsultan, pengusaha dan sebagainya untuk berpartisipasi mensukseskan kegiatan di atas.
Event ini diselenggarakan mengingat perkembangan teknologi informasi yang semakin maju dan canggih. Bahkan kini informasi sudah biasa diakses dari mana saja dan kapan saja. Tidak lagi memerlukan sebuah komputer atau laptop yang canggih, orang sudah bisa mengakses kejadian di seluruh dunia hanya dengan perangkat ponsel mereka.Potensi Indonesia, dengan jumlah penduduk hampir mencapai 350 juta orang dan didominasi penduduk usia produktif, tentunya merupakan salah satu kekuatan ekonomi. Namun, dari jumlah tersebut, setiap tahun, jumlah sarjana Teknologi Informasi (TI) baru mencapai 300.000 orang per tahun. Mereka berasal dari 250 program studi di perguruan-perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Jumlah yang besar tersebut tidak menjamin bahwa sebagian besar alumni TI akan terus mengembangkan kemampuannya di bidang TI. Banyak alumni yang justru berkiprah di dunia non-IT dan tidak sedikit pula yang bekerja di luar negeri. Sedangkan, Indonesia membutuhkan setiap tahunnya 500.000 lulusan TI agar dapat mengejar ketertinggalan di bidang TI.
Di sisi lain, kita juga dihadapkan dengan keinginan pemerintah menerapkan e-government di semua lini. Semua aktivitas yang menggunakan kertas dan cap basah akan digantikan oleh e-document. Tentu saja hal tersebut membutuhkan perencanaan, pembangunan infrastruk tur dan sistem informasi yang matang untuk menjangkau semua kementerian dan pemerintahan daerah di 17.000 pulau di seluruh Indonesia.
Realita SDM TI
Teknologi Informasi memiliki variasi profesi yang sangat beragam. Lulusan TI dapat bekerja sebagai programmer, operator, technical support, system administrator, database analyst, dll. Saat ini semua institusi menetapkan kebutuhan penguasaan teknis dan pengalaman yang berbeda-beda untuk setiap profesi tersebut. Selain itu, setiap perguruan tinggi pun memiliki referensi kurikulum berbeda yang diajarkan kepada mahasiswa.
Akibatnya, lulusan TI di Indonesia memiliki basis pengetahuan yang juga sangat beragam, dan tidak serta-merta siap langsung bekerja di dunia industri. Sementara itu, perusahaan yang mempekerjakan lulusan TI berharap banyak bahwa lulusan TI yang direkrut dapat menyelesaikan berbagai macam persoalan internal perusahaan.
Ketidaksiapan lulusan TI dan kurangnya pengalaman berakibat pada rendahnya kualitas pekerjaan yang dihasilkan lulusan TI, Dampak lanjut menurunkan kepercayaan industri terhadap kualitas lulusan TI di Indonesia. Kondisi ini dijawab dengan menerapkan sertifikasi profesi bagi lulusan TI. Adapun perusahaan yang berniat untuk mengembangkan kualitas SDM TI nya, dapat mengikutsertakan mereka mengikuti pelatihan dan sertifikasi tersebut. Tetapi, banyak proses sertifikasi yang tersedia sudah terafiliasi dengan produk dan teknologi tertentu sehingga perusahaan perlu merogoh kocek cukup dalam untuk membayar biaya pelatihan dan sertifikasi tersebut. Di sisi lain, lulusan TI yang tidak memiliki keahlian dan sertifikasi terpaksa menerima upah yang kurang layak. Inilah tantangan yang harus dijawab IAII selaku organisasi profesi.(mkt)