Menguatkan Profesionalisme Dosen PTS, Kewajiban Para Pihak?

0
1,215 views

Menyimak pendapat Prof. Drs. H. Mohamad Nasir, Ak., M.Si., Ph.D  – mantan Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (2014–2019): bahwa untuk   menghasilkan lulusan  yang  memiliki  daya  saing  tinggi  dibutuhkan  dosen  yang  memiliki  kompetensi  inti  keilmuan (core  competence) yang kuat, mempunyai soft skill, critical thinking, kreatif, komunikatif   dan   mampu   berkolaborasi    baik   dengan peserta didik. Secara peraturan mewujudkan hal tersebut sesungguhnya sudah diatur dalam peraturan perundangan pendidikan tinggi, termasuk Undang-Undang Guru dan Dosen. Namun untuk menuju ke sana kita dihadapkan pada realita yang tidak bisa dinafikan.

Dari sisi kelembagaan, jumlah perguruan tinggi (PT) di Indonesia  (data Kemendikbudristek tahun 2021) mencapai 4.481, terdiri: 2.990 PTS (Perguruan Tinggi Swasta), 125 PTN (Perguruan Tinggi Negeri), 171 PTKL (Perguruan Tinggi Kedinasan), dan 1.195 PTA (Perguruan Tinggi Agama). Jumlah tersebut mengelola 29.831 Program Studi. Namun status akreditasi institusi perguruan tinggi tersebut lebih banyak dengan status akreditasi belum menggembirakan, bahkan ada yang belum akreditasi (lihat gambar di atas). Tentunya kondisi tersebut memberikan pengaruh bagi kualitas penyelenggaraan pendidikan tinggi, khususnya PTS. Karena tentunya ada problematik struktural yang tidak mudah untuk diurai yang berdampak kemana-mana.

Dari sisi proses penyelenggaraan, perguruan tinggi tentunya membutuhkan sumber daya yang cukup, diantaranya sumber daya dosen. Proses pendidikan di perguruan tinggi sangat jelas melibatkan sosok dosen selaku pendidik profesional bagi para pembelajar. Tahun 2021 dosen  perguruan tinggi secara nasional berjumlah 320.052 orang.  Dari jumlah tersebut sebanyak 137.208 dosen mengajar di perguruan tinggi negeri (PTN, PTK, PTA). Sementara, 182.844 dosen lainnya mengajar di perguruan tinggi swasta (PTS).

Dilihat sisi kualifikasi pendidikan, jumlah dosen terbesar berpendidikan  S2 mencapai 233.604 (73,69 %), disusul S3 sekitar 58.187 (18,35 %), pendidikan S1 berjumlah 16.678 (5,26  %), Spesialis 5.512 (1,74 %), Profesi 1.376 (0,43 %), dan Diploma 1.656 (0,52 %). Dari jumlah tersebut komposisi jabatan fungsional dosen, tergambar: Tanpa Jabatan = 108.365 (33,86 %); Asisten Ahli, = 88.858 (27,76 %); Lektor,= 83.852 (26,20 %): Lektor Kepala = 31.785 (9,93 %); serta Profesor = 7.192 (2,25 %). Dimana jabatan fungsional Lektor Kepala dan Guru Besar relatif sangat sedikit, bahkan mungkin darurat Guru Besar bila setiap Program Studi harus memiliki seorang Guru Besar. Lebih parah kapan bisa dicapai bila dosen tidak  menjalankan profesionalismenya.

Karena itu, dosen  dituntut memenuhi jabatan fungsionalnya. Hal ini semakin berkurang bila dikaitkan dengan diantara mereka akan mencapai usia pensiun. Hal inipun semakin memprihatinkan apabila dikaitkan dengan  harapan mantan Menteri Riset Pendidikan Tinggi, Nasir (2018) di atas. Ini tantangan yang patut diambil solusi bersama agar jumlah dan komposisi dosen justru semakin proporsional, juga profesionalisme mereka.

Kita pahami bersama berdasar perundang-undangan dosen adalah pendidik profesional dan  ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Apa yang dikandung dalam definisi di atas? Tugas dosen dapat dilaksanakan sesuai fungsinya. Apalagi di era kini dosen dituntut mengembangkan kemampuan baru karena dinamika perubahan yang dipacu oleh kemajuan teknologi dan megatrend dunia.

Memaknai Dosen Profesional

Prof. Dr. Ir. Abdul Hakim Halim, M.Sc., Koordinator Kopertis periode 2013 – 2017 (Komunita – 2014) menggambarkan bahwa profesi adalah sebuah pekerjaan, dimana untuk mendapatkannya dibutuhkan pengetahuan (knowledge), skills, dan biasanya profesi pasti ada ujian, seperti profesi dokter, dan profesi dosen. Pertama, knowledge ditunjukan dengan gelar akademik S1, S2 dan S3. Jenjang akademik S1 diartikan bahwa  seseorang sudah mengenal ilmu dan tahu cara menggunakannya. Jenjang S2 diartikan seseorang sudah mengetahui bagaimana caranya mencari ilmu atau menjadi seorang researcher namun masih dalam pengawasan supervisor. Sedangkan jenjang S3 diartikan seseorang sudah mempunyai kemandirian dalam research. Maka tidak bisa tidak profesi dosen minimal S3, karena tugas dosen bukan hanya mengajar tetapi juga harus memiliki kemandirian dalam berilmu.

Kedua, Skills atau keterampilan ditunjukkan oleh pengalaman, pengalaman ditunjukkan dari jabatan akademik yaitu tenaga pengajar, asisten ahli, lektor, lektor kepala dan guru besar. Bagi seorang dosen jabatan akademik ini bisa jadi proses panjang, namun tetap harus dijalani. Skills juga ditunjukkan dari sertifikasi dosen, dimana sertifikasi dosen adalah instrumen pemerintah untuk mengukur seberapa jauh tingkat keprofesionalan seorang dosen.

Pertanyaannya kenapa seseorang memilih karir dosen? Harus dicek pada saat seleksi awal atau tes masuk.  Artinya apa? Seseorang yang ingin menjadi dosen harus dicek apa misi, filosofi, dan cita-citanya. Jangan sampai karena dia bisa mengajar lalu menjadi dosen, sebab dosen mempunyai tugas Tridharma Perguruan Tinggi yaitu pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Kalau seorang dosen hanya mau mengajar saja tanpa penelitian dan pengabdian, maka tidak bisa disebut sebagai dosen, tapi disebut sebagai instruktur seperti di lembaga kursus/privat. Jika dia mengajar di lembaga kursus/privat maka dia tidak perlu melakukan penelitian dan pengabdian.  Kemudian kalau seorang dosen hanya mau menjadi peneliti saja tanpa melakukan pengajaran dan pengabdian kepada masyarakat, maka apa bedanya dengan peneliti lembaga research. Kalau dosen hanya mau melakukan pengabdian  saja tanpa pengajaran dan penelitian maka apa bedanya dosen dengan pegawai negeri sipil yang bertugas melayani dan mengabdi pada masyarakat.

Maka saya menyebut dosen sebagai profesi yang luar biasa. Oleh karena itu siapa yang mau bekerja di profesi ini haruslah seorang yang profesional, sebab tugas seorang dosen begitu luar biasa. Kegiatan Tridharma tidak boleh sembarangan, misalkan dia mengajar sesuatu ilmu yang belum jelas atau belum proven diajarkan, kemudian dia melakukan penelitian tapi penelitiannya belum selesai/tuntas namun sudah dianggap sebagai hasil dari penelitian, ini semua hanya bisa dipahami kalau dia seorang ilmuwan.

Ilmuwan dibentuk oleh namanya knowledge circle. Siklus knowledge dimulai dari penciptaan ilmu, sharing, paten, prototype dan komersialisasi. Pertama, proses penciptaan ilmu dimulai dari riset orang lain, lalu terakumulasi oleh riset-riset lanjutan dari orang lain, sampailah pada suatu tahap yaitu tahap pelipat-gandaan ilmu, pelipat-gandaan ilmu ini menjadi 2x lipat terjadi pada tahun 1700 Masehi – 1900 Masehi. Kemudian sejak 1950 Masehi pelipat-gandaan ilmu itu terjadi setiap 5 tahun sekali, dan nanti di tahun 2020an ke depan  pelipat-gandaan ilmu akan terjadi setiap 73 hari, dan lebih cepat lagi. Kenapa pelipat-gandaan ilmu ini semakin cepat, karena dibantu oleh teknologi dan internet. Kedua, sharing atau menyampaikan ilmu kepada orang lain. Sharing bagi seorang dosen bisa dilakukan dengan cara mengajarkan keilmuannya kepada mahasiswa, lalu menseminarkan hasil riset atau keilmuannya pada seminar nasional atau seminar internasional. Ketiga, melakukan paten, setelah penelitian atau riset ini teruji maka dilakukan paten. Akan tetapi tidak semua ilmu bisa melakukan paten, seperti ilmu manajemen tidak bisa melakukan paten, yang bisa melakukan paten hanya ilmu yang menghasilkan produk. Keempat, prototype adalah suatu proses dimana pengetahuan yang sudah mapan, dan useful bagi orang lain. Tahap terakhir yaitu komersialisasi.

Fungsi Lembaga dan Dosen

Kelembagaan pendidikan tinggi yakni: perguruan tinggi, serta perguruan tinggi & yayasan (untuk PTS) berfungsi sebagai penyelenggara dan pengelola pendidikan tinggi yang mengembang visi dan misi, yang secara umum bertujuan mencerdaskan anak bangsa.  Karena itu, Prof. Dr. Abdul Hakim Halim, M.Sc. menegaskan lembaga perguruan tinggi seharusnya tidak hanya menceramahi para dosen saja, tapi melakukan program-program pembinaan yang terstuktur dan resmi. Semisal pelatihan peningkatan kemampuan dosen dalam hal bahasa Inggris, pelatihan penulisan paper/jurnal. Juga mendorong dosen banyak membaca, meneliti dan mengajar. Idealnya, PTS membangun sebuah sistem lingkungan akademik yang baik, kejujuran, dan pembagian kelompok dosen menurut bidang keahliannya.

Strategi pengembangan dosen di PTS diperlukan dengan tujuan meningkatkan produktivitas sehingga akhirnya akan meningkatkan kualitas pendidikan. Penerapan proses manajemen strategis dalam pengembangan dosen merupakan hal yang tepat dengan kondisi PTS menghadapi peluang dan tantangan menghadapi kebutuhan di masa yang akan datang. Misi setiap PTS merupakan tujuan mendasar yang membedakan dengan perguruan tinggi lain, dan mengidentifikasikan ruang lingkup PTS tersebut yang berkaitan dengan hasil pelaksanaan.

Prof. dr. AIi Ghufron Mukti, M.Sc., Ph.D.

Guru Besar UGM (Komunita – 2017)

Makna dan Peran Profesi Dosen tidak pernah berubah dalam konteks waktu. Baik prespektif dahulu  maupun hari ini, dosen tetaplah  profesi yang  mengemban  amanah, membangun peradaban sebuah bangsa, bahkan dunia. Sejak  dahulu  tugas dosen adalah melakukan dan mengamalkan Tridharrna perguruan tinggi (pendidikan,  penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat). Tridharma  harus  dipandang  sejajar  bukan  bertingkat, tidak ada satu yang lebih penting darl yang lainnya. Ketiganya saling menyempurnakan, dan tanpa dosen yang melaksanakan Tridhanna secara utuh peran dan profesi dosen terasa kurang bermakna.

Dosen adalah Insan cendikia, pendidik, sekaligus ilmuwan. Dosen mewarisi masa depan, dengan pelestarian  dan penggalian ilmu pengetahuan. Dosen seharusnya menjadi penemu ulung, pencipta dan perancang teknologi bagi kehidupan. Dosen pun harus berdiri sebagai solusi. Memberikan berjuta gagasan menjawab setiap tantangan. Dosen, mulia karena menjalankan amanat profesinya. Koreksi serta evaluasi diri merupakan bagian dari  perbaikan yang  berkelanjutan. Mari terus bergerak bersama-sama fokus, larut mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, tidak perlu kita riuh, khawatir, dalam senyap kita bersiap, berlari memberikan  tanda, bahwa Indonesia masih menyala pada ilmu pengetahuan dunia. Indonesia selalu butuh dosen hebat, Dosen yang mampu memberikan legacy atau warisan bagi generasi kehldupan selanjutnya. Dosen yang dikenal, tidak hanya karena kemuliaannya sebagai seorang pendidik, tetapi juga karena karya, dan penemuannya yang membuat dunia menjadi lebih baik.

Implementasi strategis peningkatan mutu dosen PTS seyogyanya melalui tahapan penetapan tujuan tahunan, pembuatan kebijakan, memotivasi dan, pengalokasian sumber daya peningkatan mutu dosen. Kaitan peningkatkan mutu dosen, dan sistem manajemen yang mengangkat sesuatu sebagai strategi (strategy) usaha yang berorientasi pada kepuasan pelanggan dengan cara melibatkan pelanggan dan seluruh anggota organisasi. Sistem manajemen terfokus pada pernyataan do the right things, first time, every time (kerjakan sesuatu yang benar sejak pertama kali setiap waktu) dengan meletakkan kerangka pemikiran perbaikan mutu secara berkelanjutan yang terdiri dari reaksi berantai untuk perbaikan kualitas, transformasi organisasi dan peran esensial pimpinan.

Solusi manajemen strategis peningkatan mutu dosen di PTS adalah solusi berbagai kesenjangan dalam dukungan sosial seperti penghargaan, pengakuan, gaji, besarnya tunjangan dan fasilitas yang lain. Hal ini sejalan dengan proses manajerial strategis dosen yang dimaksudkan untuk memberdayakan dosen sehingga dapat berprestasi. Maka, dosen juga dapat melaksanakan fungsinya dengan memuaskan. Diperlukan tiga kondisi yaitu: a) kondisi yang memberi peluang kepada dosen untuk melaksanakan dan mengembangkan pekerjaannya secara lebih baik (managing ability), b) kondisi yang memberikan kesempatan kepada dosen dalam melaksanakan tugas atau pekerjaannya tersebut dengan sangat memuaskan, c) kemudian kondisi yang mendorong dosen untuk melaksanakan pekerjaannya dengan baik.

Dalam proses penerapannya tentu harus menghindari praktik-praktik manajemen yang dapat merugikan setiap keputusan yang didasarkan pada pandangan jangka pendek, sempit dan terkotak-kotak yang akhirnya dapat merugikan organisasi PTS.

Upaya dan peran tambahan bagi PTS dalam mendorong peningkatan  profesionalisme dan keilmuwan dosen yakni membangun budaya akademik yang baik. Misalkan memberikan ruang kerja dosen (mendapat meja kerja ketika tidak mengajar), lalu membaca buku, membuat jam kerja kantor dosen untuk memberi waktu dosen melakukan penelitian dan pengabdiannya di dalam kampus. Membuat sistem pemantauan dosen dengan FRKD (Form Rencana Kegiatan Dosen) yang dibuat diawal semester oleh masing-masing dosen (yang memuat rencana mengajar mata kuliah – berapa sks, berapa banyak mahasiswa bimbingan, membuat judul penelitian dan rencana publikasi). Di akhir semester masing-masing dosen membuat progres pencapaian dari rencana awal, sudah berapa persen yang berhasil dicapai.

Bagaimana dengan dosen itu sendiri. Dosen pada perguruan tinggi mempunyai peranan yang sangat strategis ditinjau dari pembinaan akademik dan mahasiswa. Salah satu unsur yang jadi inti penggerak dan pengelola perguruan tinggi adalah para dosen yang merupakan tenaga kependidikan yang profesional, sehingga tinggi rendahnya kualitas suatu perguruan tinggi tergantung dari derajat profesional yang dimiliki oleh dosen itu sendiri (Sinambela, 2017).

Profesionalisme dosen berkaitan dengan kualifikasi dan performa yang diaktualisasikan dengan penguasaan kompetensi akademik, personal, sosial dan profesional secara integral. Dosen senantiasa memelihara dan mengembangkan profesionalisme dalam bidang keilmuan dan keahliannya, sekaligus berusaha memahami dan meningkatkan kepuasan pelanggannya, dimana pelanggan utama dosen adalah mahasiswa. Profesionalisme dosen merupakan salah satu tolak ukur dalam sistem penjaminan mutu akademik. Profesionalisme harus menjadi nilai kultural yang dimiliki dosen untuk selalu menampilkan karya terbaik dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai dosen, dalam suasana akademik yang memungkinkan terjadinya hubungan yang sehat antara mahasiswa dengan dosen, antar dosen, serta antar mahasiswa. Suasana kondusif diperlukan untuk memungkinkan pengembangan potensi semua pihak secara maksimal, terutama mahasiswa dan dosen, dalam mencapai standar mutu akademik yang unggul. Semoga. (lee-06052023).

 

Dari berbagai sumber: lili irahali