MENYEGARKAN INGATAN MENCERDASKAN KEHIDUPAN BANGSA, INDONESIA 2045, DAN AJAKAN UNESCO

0
644 views

             Lili-6MENYEGARKAN INGATAN

MENCERDASKAN KEHIDUPAN BANGSA, INDONESIA 2045,

DAN AJAKAN UNESCO

.

  Pada akhir 2021 dan awal 2022 media arus utama – Kompas – mengangkat permasalahan pendidikan tinggi/perguruan tinggi (industrialisasi pendidikan, kolaborasi, riset dan inovasi, disrupsi digital, kompetensi lulusan, dosen, guru besar) yang dalam beberapa sisi menimbulkan sikap prihatin dan miris. Ada nuansa kemunafikan, prostitusi akademik, serta bertumbuhnya predator-predator pendidikan. Namun demikian seyogyanya kita tetap berpikir positif. Agar pendidikan tinggi mencapai tujuannya di tengah kebijakan MBKM, menghadapi Pandemi Covid; mempersiapkan Visi Indonesia 2045, serta ajakan UNESCO dalam “Futures of Education 2050”.  Bukankah, duapuluh atau tigapuluh tahun adalah masa yang relatif pendek mewariskan sesuatu yang bermanfaat bagi generasi masa depan yang menjadi hak mereka.

  Mencoba menelusuri pemikiran para pendiri bangsa yang menembus masa dan mendahului paham-paham pembangunan progresif yang menempatkan manusia sebagai subjek luhur. Sebagaimana diuraikan Prof. Sri Edi Swasono (perpustakaan.bappenas.go.id, 2005) bahwa “mencerdaskan kehidupan bangsa” merupakan konsepsi budaya, dimana kehidupan bangsa yang dicerdaskan bukan sekedar kemampuan otaknya. Politik para pendiri bangsa menolak sikap dan perilaku ke-inlander-an, yaitu sikap hidup sebagai yang terjajah, terbenam harga dirinya, penuh unfreedom atau keterbelengguan diri. Sesungguhnya kehidupan yang cerdas menuntut kesadaran harga diri, harkat, dan martabat, kemandirian, tahan uji, pintar dan jujur, berkemampuan kreatif, produktif, dan emansipatif.

  Dalam konteks mencerdaskan kehidupan bangsa tersebut, lembaga pendidikan tinggi memiliki peranan sangat strategis yang menjadi pusat-pusat pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat untuk menumbuh-kembangkan potensi peserta didik – anak-anak bangsa – sebagai makhluk individu, sosial, susila, religius, berwawasan kebangsaan yang kuat, lepas dari sikap sebagai yang terjajah, serta memiliki kompetensi yang dapat diandalkan. Dalam konsep Mendikbudristek adalah melahirkan lulusan dengan profil: bernalar kritis, mandiri, kreatif, gotong-royong, kebhinekaan global, dan berakhlak mulia. Jenjang pendidikan tinggi yang diusung perguruan tinggi (PT) dianggap sebagai terminal terakhir yang menghantarkan anak-anak bangsa menjadi sumber daya manusia yang cerdas dan berkarakter, sehingga diharapkan lahir bangsa cerdas yang mampu memecahkan masalah pembangunan bangsanya, serta akhirnya membawa kesejahteraan bagi masyarakat.

  Pemikiran mendasar mencerdaskan kehidupan bangsa yang dicantumkan para pendiri bangsa dalam Pembukaan Undang – Undang Dasar 1945, serta diperkuat dalam pasalnya bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan dan negara memiliki kewajiban memenuhi pendidikan setiap warga negara guna mewujudkan tujuan nasional, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebagai cita-cita, pemikiran tersebut secara terstruktur diturunkan dalam berbagai peraturan perundangan tentang pendidikan dan pendidikan tinggi, diantaranya: UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Standar Nasional Pendidikan (SNP), Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012, dan seterusnya. Namun dalam perjalanannya kerangka aturan perundangan justru masih membelenggu usaha mencerdaskan kehidupan bangsa. Masih banyak kendala mencapai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.

  Analisis Rosser (2018) – Lowy Institute – Australia menyebutkan bahwa: Tantangan terbesar pendidikan Indonesia bukan lagi meningkatkan akses tetapi meningkatkan kualitas. Pemerintah berharap mengembangkan sistem pendidikan ‘kelas dunia’ pada tahun 2025. Namun, banyak penilaian menunjukkan bahwa kinerja pendidikan masih butuh jalan panjang mencapai tujuan tersebut. Banyak Guru dan Dosen tidak memiliki pengetahuan mata pelajaran yang dibutuhkan dan keterampilan pedagogis menjadi pendidik yang efektif; hasil belajar untuk siswa miskin; dan ada perbedaan antara keterampilan lulusan dan kebutuhan pemberi kerja. Alasan di balik masalah kinerja pendidikan yang buruk tersebut bukan hanya masalah rendahnya pengeluaran masyarakat untuk pendidikan, defisit sumber daya manusia, insentif yang merugikan struktur, dan manajemen yang buruk. Akar masalahnya adalah politik dan kekuasaan”.

  Pemerintah mencanangkan “Visi Indonesia 2045 sebagai salah satu jawaban “mencerdaskan kehidupan bangsa”, yang mengusung 4 (empat) pilar, yaitu: (1) Pembangunan Manusia serta Penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, (2) Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan, (3) Pemerataan Pembangunan, serta (4) Pemantapan Ketahanan Nasional dan Tata Kelola Kepemerintahan. Upaya transformasi yang diusung Pemerintah ini apakah bisa dijawab dunia pendidikan tinggi. Mungkin waktu yang akan menjawab dengan jelas, walau didukung dengan berpikir positif.

  Tantangan lain, UNESCO meluncurkan Visi Pendidikan 2050(“Futures of Education 2050”) bertepatan dengan hari Pendidikan Internasional, 24 Januari 2022 lalu yang menegaskan pentingnya memikirkan kembali pendidikan. Ajakan UNESCO, Bagaimana pendidikan bertransformasi mengatasi berbagai tantangan global yang mampu menyatukan kita pada upaya bersama, serta menghasilkan pengetahuan dan inovasi untuk masa depan berkelanjutan, serta kesejahteraan bersama.

  Lima saran transformasi pendidikan tersebut, yakni: 1) Pedagogi yang menganut prinsip-prinsip kerjasama, kolaborasi, dan solidaritas,; 2) Kurikulum yang menitikberatkan pada pembelajaran ekologis, antarbudaya, dan interdisipliner; 3) Guru yang lebih profesional sebagai tokoh kunci transformasi pendidikan dan sosial; 4) Sekolah yang perlu dikembangkan sebagai wahana pendidikan yang mendukung inklusi, kesetaraan, serta kesejahteraan individu dan masyarakat; 5) Kesempatan pendidikan sepanjang hidup, serta seluas dan sedalam ruang budaya dan sosial yang berbeda.

  Apakah permasalahan dan tantangan ini kita pandang sebagai peluang melakukan transformasi untuk mencapai visi mencerdaskan kehidupan bangsa. Semua berpulang pada sebagaimana analisis Rosser (2018), akar masalahnya politik dan kekuasaan.

  Semoga semangat dan berpikir positif kita merupakan pendorong, serta dalam rentang pembangunan ini membuahkan sebuah terobosan yang mampu memberikan ruang bagi siapapun menyelenggarakan dan mengelola pendidikan sesuai dengan kapasitas dan sumber daya yang tersedia sebaik-baiknya, sehingga mampu mengembangkan sumberdaya manusia unggul, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta kesejahteraan individu dan masyarakat. Wallahualam.

  Vivat Widyatama, Vivat Civitas Academica, Vivat Indonesia dan Nusantara tercinta. (@lee)

.

Redaksi – Lili Irahali