Mutual Trust Melalui Kepemimpinan

0
4,299 views
Rika.Rachmawati, SE.,M.Si , Mutual Trust Melalui Kepemimpinan
Rika.Rachmawati, SE.,M.Si , Mutual Trust Melalui Kepemimpinan
Rika.Rachmawati, SE.,M.Si

Bukan suatu hal aneh dimasyarakat kita bahwa masalah-masalah yang terjadi mengedepankan pada kepentingan individu atau sebagian kelompok, muncullah kemenangan-kemenangan baru akan suatu kelompok berdasarkan kepentingannya. Inilah yang menjadi pemicu adanya gap diantara masyarakat yang ada di sekelilingnya. Bagaimana bila kesenjangan itu dibiarkan berlarut tanpa ada media yang menjembataninya. Untuk menetralisir keadaan ini masyarakat membutuhkan suatu wahana membentuk kerangka masyarakat yang bersatu, permulaannnya hendaklah mengeksplorasi diri pada bentuk trust, tanpa trust betapapun hebatnya sarana dan prasarana untuk mencapai tujuan bersama, tidak akan tercapai bila trust tidak pernah menyertainya. trust sebagai sisi emosional kita yang positif untuk meyakini sesuatu yang kita persepsikan.

Trust setiap individu akan berbeda, upaya untuk mensejajarkan tingkatan trust, lahirlah mutual trust, dimana ada umpan balik didalamnya. Mengkaji lebih dalam mutual trust, dengan memulai menggali apa yang dapat kita kontribusikan terhadap apa yang kita harapkan. Mutual trust sangatlah penting guna menjalin simbiosis mutualisme diantara para pelakunya. Individu-individu yang ada didalamnya membentuk suatu keterikatan atas dasar saling kepercayaan (mutual trust). Mutual trust merupakan modal sosial sebagai pemersatu yang membutuhkan lem kekuatan yang sangat tinggi, salah satunya dapat diapresiasikan melalui kepemimpinan.
Kepemimpinan terjadi karena adanya faktor trust. Kepemimpinan tidak berbicara mengenai subyek yang konstan, melainkan dipenuhi dengan dinamika dan perubahan. (Sulistiyani, 2008:12). Kepemimpinan menjadi simbol pemimpin untuk menggerakkan bawahannya, seorang pemimpin bukanlah pemimpin tanpa mengetahui kepemimpinan bagi yang dipimpinnya. Individu yang tergabung dalam ruang lingkup masyarakat akan memerlukan pemimpin untuk mengintegrasikan kebutuhan dan keinginan dalam lingkungan sosial.
Kepemimpinan adalah sebuah hubungan yang saling mempengaruhi diantara para pemimpin dan pengikut (bawahan) yang menginginkan perubahan nyata yang mencerminkan tujuan bersamanya. (Rost, dikutip Sulistiyani, 2008;13). Kepemimpinan yang efektif menyelaraskan bentuk kepemimpinan dengan kondisi ataupun kematangan masyarakat yang memililiki budaya yang beraneka ragam. Faktor kultur tidak dapat dipisahkan dari kebiasaan individu bersikap maupun mempersepsikan sesuatu. Alangkah baiknya keanekaragaman budaya yang kita miliki merupakan asset terpenting untuk menciptakan lingkungan masyarakat dalam sebuah negara, Indonesia, yang memiliki visi dan misi yang sama membangun infrastruktur yang ada dengan mendayakan sumberdaya alam yang kaya, agar dapat dikelola untuk dinikmati dan dijaga kelangsungan hidupnya. Kebudayaan yang beraneka ragam yang kita miliki, kita ciptakan sebagai keunggulan kompetitif (competitive advantage) diantara negara-negara lainnya yang sedang berkembang. Proses itu dimulai dari sumberdaya manusia dan menjadi hal krusial, sebagai elemen kunci.
Budaya masyarakat yang beraneka ragam dapat mempengaruhi pola kepemimpinan, untuk itulah diperlukan pemahaman budaya masyarakat yang adaptif. Budaya adaptif memerlukan pendekatan yang bersifat siap menanggung resiko, keyakinan dan proaktif terhadap kehidupan organisasi dan kehidupan individu. Para

 

anggota secara aktif mendukung usaha satu sama lain untuk mengidentifikasi pemecahan yang dapat berfungsi. (Kliman disadur Tika(2005;13). Satu faktor yang harus diperhatikan, setiap daerah atau wilayah memiliki kekhasan ataupun keunikan budaya masing-masing. Kelebihan yang dimiliki suatu daerah tidak menjadi keunggulan yang menghilangkan nasionalisme. Siapapun yang menjadi pemimpin tidak dilihat dari kefanatikan suatu daerah, dengan menjadikannya simbol untuk menduduki kursi kepemimpnan. Kapabilitas merupakan suatu ukuran, bagian dari kepercayaan masyarakat yang dititipkan pada pemimpinnya. Dengan demikian landasan membangun masyarakat yang memiliki mutual trust melalui kepemimpinan dengan budaya masyarakat yang beraneka ragam, akan lebih mudah untuk dibangunnya. Karena masyarakat tidak membutuhkan sekedar wacana-wacana, masyarakat lebih kritis menghadapi setiap perubahan yang ada, untuk itulah syarat pembangunan yang terpenting adalah dengan manifestasi yang nyata.

Untuk mengembangkan mutual trust, salah satu dasar yang dapat membangunnya adalah teori Albert tentang individual personality, menjelaskan tentang keseimbangan antara cara individu melihat dirinya, cara individu ingin dilihat dan cara individu dilihat oleh orang lain. Semakin harmonis hubungan ketiga hal tersebut, semakin kuat kepribadian seseorang. Dengan kepribadian yang kuat individu akan melangkah kedepan dengan pasti, dengan keyakinan orang lain akan menerima kehadirannya dan memberikan kepercayaan kepadanya. Adapun mengimplementasiannya :

1. Individu melihat dirinya.
Bagaimana seorang individu mengenali dirinya dalam konteks sifat, sikap yang merupakan cerminan diri. Kemampuan melihat dirinya sangatlah penting, mengetahui sisi kelemahan dan kelebihan yang dimiliki oleh individu bersangkutan. Apabila individu melihat dirinya sebagai seseorang yang memiliki power ataupun kemampuan, menjadikan bekal utama dalam membentuk PD (percaya diri). Percaya diri inilah yang menjadi awal kebangkitan untuk mampu bersosialisasi dalam lingkup masyarakat. Kepercayaan diri dibina dengan memiliki kontrol penyeimbangnya, yakni kecedasan emosional (Emotional Intellegence).

 

2. Individu ingin dilihat.
Sebagai individu yang memiliki rasa bangga terhadap apa yang dimilikinya, selalu memperlihatkan sikap-sikap positif yang dibawanya dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Sikap ini timbul dari dalam keluar. Ketika sikap itu direfleksikan akan memberikan suatu respon terhadap penerimanya.

 

3. Individu dilihat oleh orang lain.
Sikap dari luar/masyarakat yang menilai individu, tentunya cara ini menekankan pada apa yang kita lakukan dan dipersepsikan oleh masyarakat. Untuk membangun masyarakat yang memiliki mutual trust melalui kepemimpinan dengan budaya heterogen, maka untuk mewujudkannya belajar mengenali diri sebelum mengenal orang lain atau individu lainnya, dengan mengenali diri, pemahaman untuk orang lain atau individu lainnya akan lebih membuka pikiran kita untuk mengenal perbedaan menjadi sebuah kekayaan, yang penuh dengan nilai-nilai yang bermakna. Tujuh kebiasaan yang menggambarkan sebuah pendekatan yang menyeluruh dan terintegrasi terhadap efektivitas pribadi dan antar pribadi, dan bahwa lebih daripada yang ada didalam kebiasaan-kebiasaan individual itu sendiri, kunci yang sebenarnya terletak dalam hubungan diantara kebiasaan-kebiasaan dan bagaimana mereka diurutkan (Covey, 1997).

Paradigma Tujuh Kebiasaan

1. Jadilah Proaktif

Jadilah sebagai individu yang terus dipacu untuk mengembangkan kebiasaan proaktivitas. Stimulus yang ada mempengaruhi pola pikir untuk merespon, sebagai tindakan dalam kebebasan untuk memilih. Individu yang proaktif memperhatikan dari sudut pandang pada paham-paham yang dianutnya sebagai sebuah nilai yang dijadikan barometer dalam kebebasan untuk memilih, sadar betul bahwa apa yang dipilihnya merupakan kematangan yang penuh tanggung jawab. Menjadi proaktif menegakkan pilar-pilar kematangan berpikir dan bertindak.

2. Merujuk pada tujuan akhir
Sebagai manusia yang dianugerahi akal pikiran, alangkah baiknya mengoptimalkan kehidupan yang dijalani dengan agenda padat karya, tujuan yang ingin dicapai, target-target dalam tahap kehidupannya, lakukan dengan mengagendakan rencana-rencana jangka pendek dan jangka panjang, kerjakan sesuatu berdasarkan peta hidup. Sehingga apa yang dilakukan menjadi fokus dan terarah, tidak keluar dari koridor yang telah dirujuknya. Selalu gunakan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Jadikan segala aktifitas yang dilakukan dalam kehidupan bertumpu pada satu tujuan, atau yang dikenal dengan teori path goal.
3. Dahulukan yang utama
Membuat skala prioritas merupakan asfek penting, kita memilah atas apa yang dipilih. Mengambil tindakan siap dengan segala bentuk konsekuensi yang akan diterimanya. Sebagai individu yang memiliki kehendak bebas, pertanggungjawaban tidak hanya terhadap diri sendiri, tetapi pada lingkungan karena manusia tidak pernah terlepas dari interaksi masyarakat sekitarnya. Dengan membuat skala prioritas hasilnya memenej diri menjadi efektif.

 

4. Berpikir menang
Tempatkan dalam isi kepala kita kata menang, konsep menang memotivasi untuk bisa mencapai kinerja yang optimal. Menang disini bukan karena kemandirian kita, tetapi saling ketergantungan (interdepency) yang memang mekanisme kerjanya selalu adanya kerjasama. Membuat kemenangan setara dengan kesuksesan yang dimiliki individu adalah untuk bersama. Filosofinya tidak ada kemenangan tanpa kemenangan sebelumnya. Menang merupakan perbaikan dari kekurangan. Hal ini menunjukkan apa yang dikerjakan dari setiap individu hasilnya sesuai apa yang diharapkan.

 

5. Berusaha mengerti terlebih dahulu, baru dimengerti
Kunci utama mengerti keluhan ataupun kritikan orang lain, menyajikannya bahwa yang berbicara itu adalah yang kita alami, dari sudut pandang yang sama. Tokoh diri yang menyusup melalui penjelmaan orang lain, akan membuat diri kita lebih sensitif, ingin diperhatikan, memancing emosi orang disekitarnya, yang berantusias dengan pengalaman yang kita alami, dan orang akan berempati. Dengan demikian memandang orang lain itu adalah kita, memudahkan langkah kita untuk mengerti terlebih dahulu tentang orang lain atau individu lainnya, sebelum kita ingin dimengerti oleh orang lain.

 

6. Wujudkan sinergi
Formulasikan kekurangan dan kelebihan menjadi suatu kesatuan yang saling meniadakan perbedaan, yang berpatokan pada satu tujuan. Munculkan kekuatan positif dengan berpikir positif, yang berdampak pada sikap dan perilaku yang positif pula. Sinergi awal dari mindset kita. Cara kerja sinergi sama seperti cara kerja organ tubuh.

 

7. Asahlah gergaji

Ada empat sisi dalam diri kita, yaitu fisik, spiritual, mental, sosial/emosional. Fisik dengan melakukan olahraga seimbang, periksakan badan secara berkla, penuhi gizi makanan seimbang, istirahatkan tubuh dengan waktu yang cukup. Spiritual, gunakan waktu ibadah dengan tepat, isilah bathin kita, hati kita dengan kekayaan hubungan kita dengan Sang Pencipta.apapun yang kita lakukan, bila kita memiliki hati penuh dengan spiritual, akan membawa kecerdasan emosional, pengendalian diri. Mental, sediakan waktu luang untuk berintropeksi atas segala bentuk kejadian yang dilewati, mengatur diri atau memenej diri terhadap suasana diluar yang diperkirakan. Sosial/emosional, perbanyaklah berinteraksi dengan berbagai kalangan individu, ikut aktif dalam kegiatan kemasyarakatan, hal-hal seperti ini membentuk kematangan sisi emosional kita, dan kita menjadi peka terhadap orang lain. Dengan apa yang telah penulis paparkan ini secara ringkas, hal ini dapat menjadi dorongan untuk dapat maju dan berkembang secara bersama, dengan saling mengeratkan satu sama lain dalam membentuk kerjasasama yang dibentuk dengan saling kepercayaan.

Rika Rachmawati, Dosen Fakultas Bisnis & Manajemen, dan peneliti di Universitas Widyatama.