Pandemi Covid-19 – Degradasi, Resiliensi dan Equilibrium PT ?

0
639 views
PLee

Pandemi Covid-19 – Degradasi, Resiliensi dan Equilibrium PT ?

Sidang Pembaca yang budiman,

            Tahun 1665, Universitas Cambridge (Trinity College Cambridge) ditutup karena wabah “maut hitam” (The Great Plague) melanda London. Isaac Newton seorang mahasiswa berusia 20 tahun menerima gelar sarjana pada Januari 1665 tepat saat wabah melanda London. Universitas Cambridge ditutup pada 7 Agustus 1665 dan mendorong para cendekiawan residennya pindah ke pedesaan yang berpenduduk kurang padat. Newton kembali ke pertanian keluarganya di Woolsthrope Manor sampai Universitas dibuka kembali pada akhir 1666.

Suatu hari, dia duduk di taman, dan melihat apel jatuh yang menginspirasinya merumuskan “teori gravitasi universal”. Dia memberi tahu William Stukeley agar memasukkan anekdot tersebut dalam biografinya yang akan diterbitkan setelah ia meninggal (Stukeley, 1752). Masa-masa itu menjadi masa produktif Newton dalam pengembangan ilmu optik dan cahaya, kalkulus, serta hukum gerak dan gravitasi.

Moral cerita ini adalah sejauh apapun lembaga pendidikan harus ditutup karena pandemi, kegiatan akademik seharusnya tetap berjalan, dimana ada roh yang senantiasa berkomitmen pada ilmu pengetahuan, pendidikan dan pelatihan disitulah pembangunan berkeadaban berlangsung.

Merujuk pada pemikiran James R. Davis dan Adelaide B. Davis, mahasiswa atau (lulusan PT) bukan hanya belajar untuk mengetahui, namun menjadi manusia pembelajar, yakni mereka harus mampu mengembangkan cara pikir dan memecahkan masalah. Karena, manusia pembelajar akan belajar dan mengembangkan ilmu tidak hanya di bangku kuliah, juga dalam pengalaman dan realitas kehidupan sebenarnya. Manusia pembelajar juga tidak diukur dari gelar dan atribut lahiriah yang dimiliki, tapi dari mental dan karakternya, serta dari kontribusi untuk kemajuan ilmu dan peradaban.

Benar adanya, sebuah ujung akhir pendidikan tinggi formal harus menghasilkan sumber daya manusia/lulusan pembelajar yang “mampu terus berkembang” mencari solusi problem-problem masyarakat, serta sejalan dengan dinamika dunia usaha dan industri menghadapi Industri 4.0, serta Society 5.0.

Pandemi Covid-19 yang berjalan 1,5 (satu setengah) tahun telah menguras energi, menggerus dan mendegradasi apa yang telah kita capai, termasuk pendidikan tinggi. Bahkan mungkin masih dibutuhkan nafas lebih panjang dalam menghadapinya. Pandemi mengubah kebiasaan sosial karena social distancing, lockdown, serta protokol kesehatan sehingga digital menjadi salah satu ruang publik yang mengaitkan kita dengan masyarakat. Sisi lain, Pandemi tersebut menguji aspek kepemimpinan begitu berat tanpa ada contoh sebelumnya. Lebih jauh dalam pandangan positif, Pandemi sesungguhnya menciptakan equilibrium sebagai proses keberkahan Illahi. Yakni tercipta suatu keadaan dimana interaksi yang terjadi antara komponen-komponen yang ada di dalam aktivitas hidup manusia tetap dan dapat berjalan secara harmonis dan juga berimbang, serta memberikan dampak yang signifikan terhadap kesejahteraan umat manusia ke depan.

Pandemi secara nyata telah memberi dampak terhadap aktor pendidikan tinggi yakni: mahasiswa, dosen, tenaga non pendidik, serta institusi pendidikan tinggi, pimpinan perguruan tinggi dan yayasan, bahkan sistem pendidikan secara keseluruhan. Bagi institusi pendidikan tinggi pandemi yang terjadi tiba-tiba, dan di sebagian besar kasus tidak ada rencana darurat selain mencoba melanjutkan pembelajaran jarak jauh. Pandemi telah menambah tingkat kerumitan pada pendidikan tinggi. Apalagi beberapa tantangan yang selama ini belum terselesaikan seperti kualitas pendidikan, ketimpangan akses dan pencapaian, relevansi lulusan, dan kini hilangnya pembiayaan publik secara progresif. Karena itu penting bagi kita untuk mulai membuat konsep jalan keluar dari krisis ini, serta memastikan tingkat inklusi dan kesetaraan setinggi mungkin. Lalu bagaimana tindakan institusi pendidikan tinggi tetap menjamin hak masyarakat atas pendidikan tinggi selama pandemi dan pasca pandemi.

Kata kunci adalah “shifting behavior”, “leadership reset”. Pandemi bukan pembatas, namun “opportunity” dan momentum menumbuhkan inisiatif-inisiatif yang mampu memecahkan berbagai masalah di masa krisis ini. Sehingga tentunya mendorong institusi pendidikan tinggi bersikap inovatif dalam dalam menerapkan pola kepemimpinan; serta proses pembelajaran kreatif, luwes dan ulet, dengan salah satunya memanfaatkan pengetahuan dan teknologi sebagai “enabler” dan “transformer”. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kini sangat memungkinkan untuk hal tersebut.

Demikian pula, menguatkan kerjasama dan kolaborasi lintas perguruan tinggi dan sektor terkait, lintas ilmu, lintas pelaku dengan tanpa mengurangi kualitas pembelajaran dan mutu lulusan yang kita usung bersama. Kerjasama adalah kebutuhan perguruan tinggi untuk meningkatkan mutu “Tri Dharma Perguruan Tinggi” meliputi bidang pembelajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat walau dibatasi pandemi. Kerjasama memiliki fungsi penguatan kualitas pembelajaran, kualitas penelitian, serta kualitas pengabdian pada masyarakat seiring perubahan global pendidikan tinggi.

Apakah ini terus mewujud? Memang perlu kajian mendalam. Namun dari dialog dan pengamatan dengan beberapa penyelenggara, pengelola dan komunitas pendidikan tinggi, dapat diserap sebuah  optimisme untuk senantiasa bangkit dan menjawab pandemi dengan solusi-solusi terbaik sesuai kondisi masing-masing lembaga pendidikan tinggi, demi mengusung peningkatan kualitas SDM. Itulah amanah jiwa-jiwa para pendidik.

Tampak bisa ditangkap alternatif solusi adalah perlu mengatur ulang pola kepemimpinan, serta memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga memicu dan memacu perguruan tinggi mewujudkan transformasi diri. Dalam aspek kepemimpinan, pola kepemimpinan perguruan tinggi perlu responsif terhadap keadaan paling mutakhir, serta mengatur ulang peran kepemimpinan dalam menghadapi pandemi dan normal baru. Pandemi Covid-19 nampaknya masih belum terprediksi, sehingga membutuhkan ketahanan. Sebagaimana tulisan Gleb Tsipursky 8 Mei 2020 lalu menyebut dengan jelas kata “Ketahanan” (Resilience) dalam adaptasi kebiasaan baru Pandemi Covid-19. Gleb Tsipursky mengurai strategi berbasis penelitian tentang bagaimana organisasi dan individu dapat beradaptasi secara efektif dengan New Abnormal dan bencana serupa. Ia menunjukkan bagaimana mengembangkan rencana strategis yang efektif dan membuat keputusan besar terbaik dalam konteks ketidakpastian dan ambiguitas yang ditimbulkan Pandemi Covid-19 dan bencana skala besar yang bergerak lambat dalam bukunya Resilience: Adapt and Plan for the New Abnormal of the Covid-19 Coronavirus Pandemic.

Sedang dalam aspek ilmu pengetahuan dan teknologi salah satunya teknologi digital yang tersedia perlu dioptimasi, dengan tanpa mengurangi karakteristik profil lulusan, karakteristik pembelajaran dan prosesnya, karakteristik peserta didik, serta tujuan pendidikan itu sendiri.

Bagi perguruan tinggi swasta/PTS, baik badan penyelenggara (Yayasan) maupun badan pengelola (Perguruan Tinggi) merasakan tekanan yang sangat berat. Namun apapun perlu diwujudkan agar tetap mampu bertahan dan menciptakan equilibrium baru sebagai keberkahan Illahi dalam menjalankan peran sebagai lembaga pencerdas anak bangsa. Mari kita wujudkan bersama. Wallahualam.

Vivat Widyatama, Vivat Civitas Academica, Vivat Indonesia dan Nusantara tercinta. (@lee)

Redaksi – Lili Irahali