Bachrudin Musthafa, MA, PhD
Guru Besar UPI dalam Bidang Literasi, Bahasa & Sastra lnggris
Gonta-ganti personil dalam suatu pemerintahan merupakan hal yang biasa kita saksikan dari waktu ke waktu dan dari masa pemilihan pimpinan yang satu ke masa pemilihan yang lainnya. Sering kali mungkin kita pertanyakan apa alasan penggantian seseorang dengan yang lainnya: pertimbangan apa yang merupakan motif utama penggantian itu Mungkin tentang pengetahuan pada bidang garapannya Mungkin keterampilan mengelola sumberdaya yang berada pada bidang tanggung jawabnya Atau mungkin cara orang tersebut menghubungkan diri dengan orang lain baik di dalam maupun di luar lingkup ruang gerak pekerjaan sehari-harinya … Bisa jadi semua ini merupakan modal penting bagi nasib peruntungan seseorang dalam profesi yang dijalaninya.
Hal serupa itu juga terjadi pada bidang pendidikan dan pengajaran serta kurikulum yang mengarahkannya. Kurikulum dikatakan mengarahkan gerak pendidikan dan pengajaran karena memang tugas strategis kurikulum demikian adanya: memberikan garis haluan dan parameter keberhasilanrelatif pelaksanaannya.
Konon, sejak kemerdekaan RI di tahun 1945 sampai sekarang di tahun 2017, di Republik yang kita juluki NKRI ini telah terjadi tak kurang dari sembilan kali ganti kurikulum. Setiap terjadi pergantian ini para pakar dan kaum awam yang peduli pendidikan turut angkat bicara dan banding pandangan serta adu argumentasi. Ujung-ujungnya, sering kali, atas nama kekompakan, satu keputusan diambil dan sebagai konsekuensinya satu ukuran keberhasilan belajar ditetapkan dan diberlakukan alas hasil belajar pembelajar yang beraneka itu.
Dalam tulisan ini akan disoroti satu sisi dari ikhtiar perbaikan upaya kependidikan yakni pengembangan keterampilan yang merupakan kriteria sah untuk menimbang keberhasilan atau kegagalan suatu upaya kependidikan. Keterampilan merupakan kata kunci untuk setiap kurikulum betapapun sulitnya kata ini diterjemahkan ke dalam praktik.Komunita kali ini mempersoalkan jenis keterampilan yang dituntut dunia kerja: yakni “keterampilan lunak” (soft skills), yang selama ini oleh para akademisi di kampus-kampus diakui kepentingannya namun ditelantarkan dalam praktik kegiatan belajar – mengajar, termasuk asesmen hasil belajar dari waktu ke waktu dan di akhir setiap semester.
Apa itu soft skills? Dalam Komuita edisi nomor 20 (2017) ini para pakar kontributor dan narasumber tampaknya telah bersepakat untuk memahami bahwa soft skills merupakan keterampilan non-teknis akademis yang tidak melekat pada kurikulum inti prodi (program studi) di Perguruan Tinggi (PT) di Indonesia, Karena itulah kiranya mengapa dikatakan dalam pengantar artikel oleh editor Komunita bahwa PT belum mampu menyiapkan lulusan dengan tingkat penguasaan “keterampilan lunak” yang baik. Tentang akurasi “tuduhan” ini kita tak perlu persoalkan. Meski demikian, ada yang perlu dipikirkan dengan sangat serius untuk langkah kita kedepan:apakah soft skills dapat diajarkan? Kalau memang dapat diajarkan, bagaimana mengajarkannya dan apa saja yang harus diwaspadai dalam menyiapkannya? lni pertanyaan inti yang perlu segera dicarikan jawabannya .
Pertama, sebagai keterampilan, soft skills tunduk pada sifat dasarnya sebagai keterampilan. Semua jenis keterampilan baik yang lunak maupun yang “keras” dapat dirumuskan dalam gerak dan dalam kata-kata. Keterampilan ini, dengan demikian, berada dalam kontrol kesadaran kita. Oleh karena sifatnya yang demikian, soft skills dapat diajarkan.
Kedua, sebagai bentuk keterampilan, soft skills dapat dibangun dan dikembangkan melalui latihan berulang. Akan halnya otot lengan dan otot kaki yang dapat dilatih melakukan gerakan tertentu dengan cara dan kecepatan tertentu, “otot mental” yang menyifati perilaku sosial (salah satu bentuk panting soft skills) dapat juga dilatihkan melalui praktik yang diulang-ulang. Bagaimana caranya? Apakah cara tertentu akan menghasilkan “buah” perilaku yang berbeda?
Lazimnya, dalam dunia pendidikan dikenal pembedaan dua hal: pembiasaan sampai refleks atau dihapal mati “tanpa mikir” seperti layaknya gerak fisik dalam beladiri dan olahraga lainnya; dan yang lainnya pembiasaan olah batin (termasuk olah pikir dan olah hati) yang memerlukan “permenungan” pada awalnya tetapi setelah terbiasa dapat dieksekusi “secepat kilat” juga. Yang pertama oleh para pendukungnya dikatakan sebagai refleks fisik bawah sadar ; yang kedua dikatakan sebagai penajaman kecenderungan batin.
Yang pertama dijuluki mindless practice (karena sepintas seperti tidak mengandalkan pikiran), sedangkan yang ke dua disebut mindful/ practice (karena, meski dikeakan dengan cepat, kecenderungan mental ini lahir dari pikrian reflektif yang penuh pertimbangan lahir batin). Bisakah kita mendidik mahasiswa agar berkecenderungan baik dan pro-sosial?
Pertanyaan semacam ini sudah mulai dipikirkan para pakar pendidikan karakter sejak lama. Pesan intinya adalah bahwa kita bisa mendidik mahasiswa dalam berbagai tataran kebajikan: mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk; terampil melakukan apa yang baik; dan ini tataran yang masih merupakan tantangan mencintai kebajikan.
Melalui artikel ini saya ingin mengajak atau tegasnya menantang para dosen untuk mengambil misi ini sebagai “misi ukhrowi” (atau misi altruistik keakhiratan). Yakni, tanpa mengendurkan semangat mencerdaskan dan menerampilkan para mahasiswa sehingga mereka terampil menyerap informasi dan menyadap gagasan inovatif, dosen secara moral berkewajiban “menyolehkan” maha siswa sehingga para mahasiswa berkecendungan dan berketerampilan berbuat yang baik-baik dan pada ujungnya mencintai berbuat kebajikan.
Kalau para pengajar dapat menginvestasikan pikiran, energi, waktu, serta keahliannya ke arah ini secara berkelanjutan, dapat dipastikan bahwa satu dua generasi mendatang, NKRI dapat memetik buah amal sholeh ini berupa tumbuh mekarnya para cendekiawan muda yang terampil secara teknis dan mulia secara sosial dan moral. lnilah cikal bakal kado terindah bagi para pejuang kemajuan NKRI di masa datang. Merdeka! BM/17Agustus, 2017
Networking Promosi Sustainability Pendidikan & Rise!di Pascasarjana Sekretariat UPI