Siapkah Lulusan Sarjana Hadapi Tantangan MEA?

0
480 views

Dalam dekade terakhir ini, tantangan yang dihadapi kaum terdidik di lapangan pekerjaan kian berat. Tantangan yang paling utama adalah tingkat persaingan lapangan kerja yang semakin sempit, sementara dunia pendidikan terus mencetak anak didiknya di semua jurusan. Belum lagi dengan gempuran teknisi-teknisi handal dari luar yang akan masuk ketika MEA diberlakukan.

Data Organization for Economic Co- operation Development (OECD) 2012, Indonesia diprediksi menjadi negara dengan jumlah sarjana terbanyak kelima di dunia pada tahun 2020. Data tersebut merupakan proyeksi dari berbagai program peningkatan jumlah lulusan perguruan tinggi yang dilaksanakan setiap tahunnya.

Namun, penyerapan lulusan sarjana di Indonesia tergolong lambat. Sampai saat ini sebanyak 442.000 lulusan sarjana di Indonesia masih menganggur dan masih mencari pekerjaan. Jumlah ini mewakili 5,5% dari total tingkat pengganguran terbuka di Indonesia yang mencapai 7,17 juta orang (data Badan Pusat Statistik 2013).

Lantas mengapa di Indonesia sarjana banyak yang menganggur? Lambatnya penyerapan tersebut salah satunya disebabkan kualitas lulusan sarjana yang belum sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. Seperti diketahui, seiring dengan perkembangannya yang cukup pesat, dunia industri di Indonesia lebih membutuhkan teknisi, sementara perguruan tinggi lebih banyak menghasilkan akademisi.

Belum lagi salah satu tantangan diberlakukannya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) pada tahun 2015. Yakni kesepatan pasar tunggal persatuan bangsa bangsa Asean, di mana lalu lintas barang, jasa dan orang bebas keluar masuk di seluruh anggota Asean. Di seluruh Asean akan terjadi saling tukar tenaga kerja, tergantung siapa membutuhkan siapa, tentu dengan kualifikasi yang dibutuhkan oleh sebuah perusahaan.

Jika kondisi Indonesia terus-menerus kekurangan tenaga profesional yang memiliki keterampilan serta kompetensi kerja, maka bukannya tidak mungkin perusahaan- perusahaan di Indonesia akan semakin mendatangkan teknisi-teknisi dari luar negeri. Apa artinya ini semua?

Artinya beberapa bulan ke depan, persaingan memperebutkan lapangan pekerjaan akan semakin kompetitif. Seseorang wajib memiliki keahlian khusus sebagai spesialisasi yang dimiliki. Selain spesialisasi atau sebut saja kompetensi yang dimiliki, nantinya bahasa pengantar sehari-hari di dunia bisnis setidaknya adalah menguasai bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar.

Maka, lulusan sarjana atau calon tenaga kerja yang tidak berkompetensi dan tidak menguasai bahasa asing akan tersingkir! Jadi kesimpulannya, persaingan tenaga kerja sekarang ini belum apa-apa jika dibandingkan kondisi 2015 nanti. Pada saat itu seluruh tenaga kerja akan berkompetisi memperebutkan peluang di pasar kerja, siapa yang siap akan terus berkarir dan siapa yang tidak siap akan menganggur. Kalau begini, lulusan sarjana Indonesia pada ke mana?

Keluhan bahwa ternyata banyak sarjana yang menganggur sebenarnya dirasakan sudah ada sejak dahulu. Hanya saja, jumlahnya tidak sebanyak sekarang ini. Hal ini menimbulkan sebuah pertanyaan besar. Siapakah yang patut dipermasalahkan terhadap persoalan tersebut? Apakah ini kesalahan perguruan tinggi yang meluluskan sarjana tersebut atau salah seorang mahasiswa yang telah mendapatkan gelar tersebut namun tidak memiliki keberanian mengambil resiko dan kurang berinovasi, ataukah kesalahan dari pemerintah Indonesia?

Yang jelas tanggung jawab pemerintah di sini sangat diperlukan. Pemerintah hendaknya menyadari bahwa persoalan mahasiswa menganggur adalah masalah yang serius yang nantinya berdampak pada semakin tingginya tingkat kemiskinan di Indonesia. Selain itu, agar mempunyai SDM yang didukung dengan keahlian teknis, sudah saatnya ada kebijakan yang baik dari perguruan tinggi untuk meningkatkan kualitas-kualitas maha- siswanya.

Namun, jika lulusan sarjana masih saja terkendala untuk berkarir dalam dunia industri, maka jalan yang paling tepat adalah mengefektifkan kehadiran wirausaha muda alias entrepreuner. Pemerintah dan dunia akademik harus mendukung para mahasiswa, baik dalam hal permodalan, pengembangan kemampuan, dan lain sebagainya untuk menumbuhkan keberanian para ?sarjana dalam menciptakan lapangan pekerjaan.

Mahasiswa dapat memulai karirnya dengan usaha kecil-kecilan dulu. Sebab berdasarkan pengalaman, pengusaha sukses memulai usahanya sebagai pengusaha kecil. Tentunya disertai dengan ketekunan, kesabaran dan kerja keras. Lihat saja, jumlah entrepreuner Indonesia yang berhasil di dunia bisnis saat ini jumlah terus bertambah, mereka bergerak di segala bidang, mulai di sektor perbankan, industri, properti, IT, jasa keuangan, perkapalan, industri penerbangan dan seterusnya.

Sebut saja beberapa diantaranya seperti Yusuf Kalla (pemilik Kalla Grup) dan Chairul Tanjung (perbankan/Bank Mega, Trans TV, Carrefour), yang mengelola perusahaan skala dunia. Mereka sejak kecil tidak pernah bersekolah di bidang wirausaha, mereka berbisnis berdasarkan pengalaman semata. Tapi berkat kemauan yang kuat serta kerja keras, mereka berhasil membangun kerajaan bisnis berskala nasional, bahkan Yusuf Kalla Grup dan Para Grup milik Chairul Tanjung. www.neraca.co.id, 06 September 2014