SOFT SKILL DALAM PERSPEKTIF PENDIDIK
Ki Hajar Dewantara peletak dasar pendidikan nasional menegaskan bahwa kompetensi pendidikan seharusnya mendorong agar manusia dapat hidup mempunyai kecakapan dasar, memiliki pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill) yang dapat dipelajari, sikap (attitude) yang arif, rendah hati dan manusiawi. Hal ini dipertegas UU No. 12 tentang Pendidikan Tinggi bahwa pendidikan tinggi sebagai jenjang terakhir pendidikan formal berfungsi
a. mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa
b. mengembangkan Civitas Akademika yang inovatif, responsif, kreatif, terampil, berdaya saing, dan kooperatif melalui pelaksanaan Tridharma dan
c. mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dengan memperhatikan dan menerapkan nilai Humaniora. Ketiga fungsi tersebut sesungguhnya memiliki nilai-nilai karakter yang di dalamnya tentu terkandung substansi soft skill. Persoalannya banyak perguruan tinggi dalam rangka meningkatkan mutu pendidikannya lebih berorientasi pada peningkatan IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) dan lulus tepat waktu sebagai indikator keberhasilan peningkatan mutu, dibanding menguatkan aspek soft skill.
Belum banyak terlihat kebijakan yang terstruktur dalam proses pembelajaran di perguruan tinggi yang memberi porsi yang memadai bagi substansi soft skill. Disinyalir hanya perguruan tinggi tertentu yang memberi perhatian mendasar pada hakekat fungsi pendidikan tinggi sebagaimana tersebut di atas, termasuk bagaimana soft skill dikembangkan untuk mengurangi kesenjangan kompetensi lulusan agar diserap dunia kerja.Tampaknya perlu belajar dari Skenario India.
Ketiga fungsi tersebut sesungguhnya memiliki nilai-nilai karakter yang didalamnya tentu terkandung substansi soft skill. Persoalannya banyak perguruan tinggi dalam rangka meningkatkan mutu pendidikannya lebih berorientasi pada peningkatan IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) dan lulus tepat waktu sebagai indikator keberhasilan peningkatan mutu, dibanding menguatkan aspek soft skill. Belum banyak terlihat kebijakan yang terstruktur dalam proses pembelajaran di perguruan tinggi yang memberi porsi yang memadai bagi substansi soft skill.
Disinyalir hanya perguruan tinggi tertentu yang memberi perhatian mendasar pada hakekat fungsi pendidikan tinggi sebagaimana tersebut di atas, termasuk bagaimana soft skill dikembangkan untuk mengurangi kesenjangan kompetensi lulusan agar diserap dunia kerja.
Tampaknya perlu belajar dari Skenario India. Laporan NASS-COM terbaru mendukung fakta yang menyatakan bahwa 75 % dari para insinyur tidak dipekerjakan karena fokusnya selalu pada akademisi dan teori. Ini menunjukkan krisis soft skill yang merupakan fenomena universal. Tetapi justru masalah dan alasan India menyelenggarakan pendidikan tinggi mengacu
pada alasan-alasan yang naif :
- Sistem pendidikan dirancang memaksa siswa untuk lebih berkonsentrasi pada belajar hafalan dari pada mengembangkan semangat penyelidikan, yang merupakan faktor yang paling dominan untuk mencapai keberhasilan di tempat kerja .
- Selama pendidikan di perguruan tinggi, banyak insinyur mengabaikan mempelajari humaniora, bahasa dan seni. Dalam proses ini, perkembangan untuk melengkapi kecerdasan manusia dan fakultas seperti kreativitas dan keterampilan antar-pribadi menjadi terhambat.
Bagaimana praktek pendidikan tinggi dalam perspektif perguruan tinggi kita ? Rektor UPI, Prof. Sunaryo menegaskan bahwa
esensi perguruan tinggi adalah selain mencetak individu yang memiliki ilmu juga harus dapat melahirkan individu-individu yang dapat menerapkan ilmu yang didapatkannya sehingga bermanfaat bagi masyarakat atau menjadi kata hati umat manusia, kata hati bangsa dan bahkan kata hati kehidupan. Untuk itu, setiap perguruan tinggi memiliki otonomi untuk membuat pilihan dan mempertanggungjawabkan hasil pilihannya dalam memilih alternatif-alternatif untuk melahirkan para sarjana yang terbaik. Esensi tersebut tentunya harus terdapat benang merah dengan kompetensi kebutuhan dunia kerja.
Karena itu, Prof. Sunaryo berpendapat bahwa: paradigma dunia pendidikan harus mulai dirubah sehingga para mahasiswa harus mendapatkan juga soft skill sebagai penunjang dalam percepatan kinerja dan karir saat memasuki dunia kerja atau di masyarakat. Intinya adalah para lulusan-lulusan perguruan tinggi harus dibekali ilmu survival menghadapi dunia kerja yang sangat bergerak cepat. Soft skill yang meliputi kemampuan berkomunikasi, bernegosiasi dan berfikir kreatif wajib dimiliki para lulusan perguruan tinggi. Harap diingat bahwa soft skill bukanlah ilmu yang dapat dipelajari dalam waktu singkat, tetapi merupakan life – long process yang memerlukan waktu lama ditempa melalui berbagai dinamika kehidupan, kehidupan kampus maupun kehidupan masyarakat dengan kemampuan fleksibilitas dan adaptasi yang tinggi.
Yang paling utama perguruan tinggi atau sekolah di jenjang sebelumnya wajib menciptakan manusia yang siap belajar sepanjang hayat. Salah satu strategi yang dapat diterapkan oleh perguruan tinggi dalam menyiapkan lulusan-lulusan yang handal dalam menghadapi tekanan berat dalam dunia kerja atau masyarakat adalah dengan memperkenalkan sedini mungkin terhadap mahasiswa apa yang akan dihadapinya di masa akan datang dengan program yang dinamakan early exposure. Seperti diterjunkan ke masyarakat sebagai bagian dari training awal. Kemudahan fasilitas saat ini juga seharusnya dijadikan sebagai penunjang untuk mempermudah dalam proses belajar bagi para mahasiswa, belajar lebih keras dan berusaha lebih banyak.
Hal senada diungkapkan Prof. Ichsan Setya Putra, Ketua Satuan Penjaminan Mutu ITB bahwa dunia pendidikan seharusnya tidak selalu menekankan pada kompetensi keilmuan saja tetapi seperti yang dicantumkan di badan akreditasi di Amerika Serikat. Badan Akreditasi di Amerika memasukan soft skill di urutan tertinggi porsinya. Disana juga dicantumkan kemampuan
berkomunikasi dan team work, memahami etika profesi. Perlu juga menyadari pentingnya lifelong learning, memahami dari 11 kompetensi, 6 diantaranya masuk soft skill. Seperti contoh berkaitan dengan kompetensi engineer di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat seorang insinyur harus mampu mengimplikasikan solusi-solusi tekniknya bagi masyarakat. Dari hal
tersebut dapat diketahui bahwa soft skill (dalam hal ini empati) dicampurkan dengan keilmuan teknik guna membuat masyarakat lebih maju dengan kehadiran ilmu teknik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kompetensi yang harus
dimiliki para mahasiswa adalah bukan hanya kompetensi keilmuan yang dipelajarinya tetapi juga problem solving skill dengan langkah kenali masalah, sederhanakan masalah, buat model dari masalah tersebut kemudian diselesaikan lalu dievaluasi.
Pendidikan karakter dimulai bagaimana seseorang bisa memberikan empati (our under achievening collegues). Intinya bagaimana melatih mahasiswa untuk empati. Seharusnya Dosen memberikan team dynamics theory. Contohnya dulu ada KKN tematik (menyelesaikan masalah-masalah di masyarakat) untuk membangun rasa empati. Pendidikan pembentukan karakter dimulai dari membangun rasa empati sehingga timbul rasa ingin membangun atau memperbaiki sesuatu yang kurang tepat yang akhirnya timbullah integritas (kejujuran) dari setiap individu. Mengenali pemahaman-pemahaman langkah supaya terintegrasi yaitu dimulai dengan yang pertama yaitu konsep, IPK (integritas, prestasi dan komitmen), dirancang memasuki tahapan yaitu akademik, cokurikuler dan extrakurikuler. Perubahan perilaku mahasiwa itu tidak cukup dengan membuat SK (surat keputusan).
Menumbuhkan soft skill memerlukan environment yang mendukung yang terintegasi antar dosen, mahasiswa, dan seluruh elemen karyawan. Keberhasilan seseorang tidak ditentukan dengan IPK atau IQ seseorang, tetapi bagaimana seseorang bisa berinteraksi dengan orang lain.
Interaksi sangat luas. Intrapersonal ke dalam diri, sedang interpersonal dengan sesama. Intrapersonal lebih pada kemampuan
mengendalikan emosi/emotional intelligence (mengenali, memahami, mengendalikan dan mengarahkan emosi), mengelola diri seperti time management, selalu mengasah gergaji (longlife kearning yaitu teknik belajar terus) seperti olahraga yaitu mengasah dirinya untuk hidup sehat, spiritual. Kemampuan berkomunikasi interpersonal dengan orang lain tidak hanya untuk berbicara tetapi juga mendengar individu lain. Aktif di kegiatan himpunan (leadership & sinergi). Sinergi artinya mencari jalan keluar yang lebih baik dari dua pikiran yang berbeda, mendengarkan dengan empati (emphatic listening) memahami lawan bicara kita, sudut pandang seseorang, kemampuan membentuk team works. (Lee)