Tepat yang dikatakan Heraclitus – filsuf Yunani yang hidup 26 abad lalu di wilayah Turki sekarang atau tepatnya dekat Semenjang Anatolia – bahwa tidak ada yang tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri, “yang kekal adalah perubahan”. Namun hal yang lebih penting, adalah penegasan Al Quran dalam surat Ar-IRa’d : 11 bahwa “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah nasibnya “. Kita sedang dihadapkan pada dinamika perubahan global yang menuntut berbagai kesiapan sebagai bangsa.
Relevansi paragrap di atas terkait dengan realitas saat ini. Kita menghadapi era industri 4.0 yang dikenal dengan era disruptif. Di era industri ini perubahan terjadi sangat cepat dibanding era industri sebelumnya, yakni : era industri 1.0, industri 2.0, maupun industri 3.0. Apalagi di ketiga era tersebut bangsa kita tidak dalam posisi sentral, hanya sebagai follower”.
Rentang perubahan dari era industri 1.0 ke era industri 2.0 sekitar 86 tahun. Sementara dari era industri 2.0 ke era industri 3.0 sekitar 99 tahun. Artinya rata-rata hampir 100 tahun atau satu abad perubahan itu berjalan. Namun dari era industri 3.0 ke era industri 4.0 terjadi lebih cepat, yakni hanya 50 tahun atau setengah abad. Konsekuensi percepatan rentang perubahan ini merupakan tantangan yang sangat serius, mengingat era industri 4.0 memiliki karakteristik yang sangat berbeda. Era ini ditandai melalui kemajuan teknologi, khususnya kecerdasan buatan, robot, teknologi nano, komputer kuantum, bioteknologi, Internet of Things, percetakan 3D, dan kendaraan tanpa awak.
Di Era Industri 4.0 terjadi perubahan besar-besaran di berbagai bidang melalui perpaduan teknologi yang mengurangi sekat-sekat antara dunia fisik, digital, dan biologi (Wikipedia). Terjadi integrasi antara dunia online dengan dunia industri untuk meningkatkan efisiensi proses industri. Sehingga membawa otomatisasi industri ke tingkat yang baru dengan memperkenalkan teknologi produksi massal yang dapat disesuaikan dan fleksibel. Mesin akan beroperasi secara mandiri, atau bekerja sama dengan manusia dalam menciptakan bidang produksi yang berorientasi pada pelanggan dan secara konstan bekerja untuk mempertahankan dirinya. Teknologi informasi dan komunikasi menjadi basis dalam kehidupan manusia. Perkembangan dunia internet dan teknologi Walau kita memahami sebagaimana revolusi terdahulu, Revolusi Industri 4.0 berpotensi meninglcatkan kualitas hidup masyarakat di seluruh dunia. Saat ini, mereka yang telah memperoleh manfaat terbaik adalah konsumen yang mampu membeli dan mengakses dunia digital. Teknologi saat ini telah menghasilkan produk dan layanan baru yang lebih efisien, sekaligus memudahkan kehidupan pribadi. Memesan ojek dan taksi, memesan tiket kereta api dan pesawat terbang, belanja, melakukan pembayaran, mendengarkan musik, menonton film, sekarang bisa dilakukan secara online. Namun, kemajuan di bidang otomatisasi dan kecerdasan buatan tersebut telah menimbulkan kekhawatiran bahwa pekerjaan manusia suatu hari akan diambil alih oleh mesin-mesin. (https://jurnalmanajemen.com) Konsekuensi revolusi industri 4.0 adalah banyak jenis pekerjaan yang terdisrupsi, namun ada pekerjaan baru tidak terduga dan perlu dikreasi. Permasalahan berikutnya, bagaimana agar Revolusi Industri 4.0. mampu menjadi jembatan penghubung antara peserta didik – dunia pendidikan menengah atas dan tinggi khususnya – dengan dunia kerja dan industri yang relevan agar terbangun SDM unggul sesuai cita-cita pendidikan. Oleh karena itu perlu menyiapkan langkah strategis yang salah satunya membangun kesiapan SDM terampil, kompeten dan berkarakter.
Tantangan yang tidak terhindarkan yakni menyiapkan SDM yang siap terjun di sektor industri dengan cara mendorong angkatan kerja Indonesia untuk terus belajar dan berinovasi dalam rangka memahami penggunaan teknologi internet of things atau mengintegrasikan kemampuan di bidang internet dengan lini produksi di industri. Laporan McKinsey menjelaslcan Indonesia kekurangan tenaga kerja menghadapi Revolusi Industri 4.0 sebanyak 9 (Sembilan) juta orang pada tahun 2015 ? 2030, yakni tenaga kerja yang kompeten dalam industri digital. Fakta kebutuhan tenaga kerja sesuai dengan persyaratan dunia usaha dan industri cenderung terbatas, selain di aspek kuantitas, justru kualitas kompetensinya pun menjadi masalah. Walau memang menurut kajian McKinsey pekerjaan baru yang bakal tumbuh di Indonesia masih lebih besar dibanding pekerjaan yang hilang.
Manusia lndonesia – Menggugat Pendidikan
Namun tantangan dan peluang yang begitu dahsyat tersebut menggelitik kita untuk menyimak ciri manusia Indonesia. Menurut Muchtar Lubis seorang wartawan dalam bukunya “Manusia Indonesia” tahun 1977 (42 tahun lalu), serta Ali Akbar tahun 2011 (9 tahun lalu) dalam bukunya “9 Ciri Negatif Manusia Indonesia”. Ali Akbar menulis stereotip manusia Indonesia dalam rentang waktu 34 tahun kemudian setelah Muchtar Lubis.
Ali Akbar dikenal sebagai arkeolog profesional dan pengamat sosial-budaya. Sebagai arkeolog, ia sering menjadi konsultan arkeologi di berbagai daerah Indonesia dan berbagai negara. Ali Akbar adalah staf pengajar Departemen Arkeologi di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Ia telah melakukan banyak penelitian dan menulis buku, diantaranya buku “Situs Gunung Padang”. Selain mengajar dan meneliti, ia juga aktif di berbagai organisasi : sebagai ketua Masyarakat Arkeologi Indonesia (MARI), anggota Indo Pacific Prehistory Association (IPPA), anggota International Council on Monuments and Sites (ICOMOS), anggota International Scientific Committee on Archaeological Heritage Management (ICAHM). Ali Akbar memimpin berbagai riset baik di dalam maupun luar negeri. Beberapa di antara adalah di Situs Kayangan Api, Situs Banten Lama, Situs Pelabuhan Ratu, Situs Gunung Padang dan Situs Batu Naga. Beberapa riset dan presentasi di Belanda, Jerman, Pranciss, Belgia, Swiss, Italia, Wales, Finlandia, Malaysia, Singapura, Cina, India, Vietnam, Korea Selatan, Arab Saudi, Yordania, Mesir. Pada 2006, ia terpilih sebagai Peneliti Muda Indonesia Terbaik di Bidang Sosial dan Budaya yang dianugerahkan oleh Lembaga Ilinu Pengetahuan Indonesia. Tahun 2007, Ali Akbar terpilih menjadi penerima beasiswa Yayasan Sumber Daya Manusia dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (7he Habibie Center). Tahun 2008, ia memeroleh beasiswa dari Universitas Indonesia – Sasakawa (The Nippon Foundation). Tahun 2009, Universitas
Mochtar Lubis (almarhum) sosok seorang wartawan dan pengarang, juga salah satu pendiri Kantor Berita Antara, mendirikan dan memimpin harian Indonesia Raya yang kemudian dilarang terbit, ia juga bagian dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), pernah menjadi Presiden Press Foundation of Asia, anggota Dewan Pimpinan International Association for Cultural Freedom (organisasi CIA), anggota World Futures Studies Federation, serta anggota International Press Institute.
Sebagai wartawan Mochtar menghasilkan karya-karya jurnalistik Perlawatan ke Amerika Serikat (1951), Perkenalan di AsiaTenggara (1951), Catatan Korea (1951), Indonesia di Mata Dunia (1955). Ia juga menjadi editor untuk Pelangi: 70 Tahun Sutan Thkdir Athyahbana (1979), Bunga Rampai Korupsi (bersama James C. Scott, 1984), Hati Nurani Melawan Kezaliman: Surat-Surat BungHatta kepada Presielen Soekarno (1986). Sejumlah novel karyanya memperoleh penghargaan, yakni : Jalan Tak Ada Ujung (1952 diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh A.H. John menjadi A Road With No End, London, 1968), mendapat Hadiah Sastra BMKN 1952; cerpen Musim Gugur mendapat hadiah majalah Kisah tahun 1953; kumpulan erpen Perempuan (1956) mendapatkan Hadiah Sastra Nasional BMKN 1955-1956; novel Harimau! Harimau! (1975) meraih hadiah Yayasan Buku Utama Departeman P & K; dan novel Maut dan Cinta (1977) meraih Hadiah Sastra Yayasan Jaya Raya tahun 1979. Selain itu, Mochtar juga menerima Anugerah Sastta Chairil Anwar (1992). Bersama sejumlah cendekiawan, dia mendirikan Yayasan Obor Indonesia, sebuah penerbit buku.
Indonesia memilihnya sebagai Peneliti Muda Terbaik Rumpun Ilmu Sosial Humaniora. Penelitian Ali Akbar yang pernah dipublikasikan: Situs Gunung Padang: Misteri dan Arkeologi (2013, Jakarta: Change Publication); Quranic Archaeology as a knowledge branch ofarchaeology”, Heritage of Nusantara: International Journal of Religion Literature and Heritage. Vot 1/1 (June 2012): 1-20; “Cultural Resources Management for a Majapahit Kingdom Site in Trowulan, East Java, Indonesia. Conservation and Management of Archaeological Sites. Vol. 16/4 (November 2014): 297-307; Reconstruction of an indigenous community’s belitf in dragon; Research on prehistoric Batu Naga Site in Kuningan, West Java, Jurnal Wacana, Vol 18/3 (2017). Buku-buku karya Ali Akbar, yakni : Prasejarah di Jakarta dan Sekitarnya (2007), Museum di Indonesia: Kendala dan Harapan (2010), 9 Ciri Negatif Manusia Indonesia (2011).
Kedua orang penulis dari beda generasi dan reputasi mereka yang tidak diragukan ini mengungkap stereotip manusia Indonesia dengan sifat-sifat negatif yang bisa menghambat kemajuan bangsa. Menurut mereka berdua manusia Indonesia banyaksisi lemahnya. Rentang pembangunan era Soekarno walau memberikan ruang bebas terhadap pendidikan. Konsep sosialisme dalam pendidikan memberikan prinsip dasar bahwa pendidikan merupakan hak semua kelompok mayarakat tanpa memandang kelas sosial apapun. Namun sisi kelemahan masih ada nuansa pendidikan kolonialis yang dibangun sebab bangsa Indonesia saat itu masih mengalami transisi baik secara politik, budaya maupun ekonomi. Rentang pembangunan era Soeharto selama 32 tahun melahirkan kebijakan-kebijakan pendidikan, khususnya pendidikan dasar terjadi loncatan signifikan dengan adanya Instrulcsi Presiden (Inpres) Pendidikan dasar. Namun Inpres Pendidikan dasar belum ditindaklanjuti dengan peningkatan kualitas. Ketika Soeharto lengser keparabon 21 Mei 1998, dilanjut era Reformasi yang telah memberikan ruang cukup besar bagi perumusan kebijakan-kebijakan pendidikan baru yang bersifat reformatifdan revolusioner.
Realita 74 tahun sejak kemerdekaan dideklarasikan ternyata ciri atau stereotip manusia Indonesia belum banyak berubah, terutama sifat-sifat negatifnya. Apa yang salah dengan capaian kemerdekaan lndonesia? Bahkan era reformasi yang telah melewati masa 21 tahun, dan kini menghadapi era industri 4.0 atau era disruptif yang menjadi tantangan dan peluang, namun ternyata masih dihadang perilaku korup, tidak disiplin, boros, percaya takhayul, mudah mengamuk, malas, indi-vidualistik, cidak bertanggungjawab, rendah diri, iri hati, kurang peduli dan latah yang semakin tampak dalam kehidupan kemasyarakatan bangsa ini. Realitas di lapangan kini banyak menunjukkan hal tersebut.
Ali Akbar menggaribawahi bahwa ciri-ciri negatif yang lebih besar dibanding ciri positif ini menjadi faktor penghambat Indonesia untuk bisa berhasil menjadi bangsa dan negara maju. Salah satu indikator kecenderungan sifat emosional misalnya, yang terbentuk sejak era kolonial dan terus berlanjut hingga era kemerdelcaan dan reformasi. Di era kolonial, masih ada unsur “takut” kepada penguasa, namun justru sangat berbeda ketika memasuki era kemerdekaan. Ketidakpuasan kepada pemerintah membuat kaum oposisi emosional sehingga melakukan aksi kekerasan. Aksi itu kemudian dihadapi pemerintah juga dengan kekerasan. Antar kutub perbedaan saling tumpas. Ujungnya lahirlah benih-benih balas dendam yang terus beranak pinak yang sampai saat ini belum bisa dituntaskan. Ciri manusia Indonesia sebagaimana uraian dalam kedua buku tersebut, tentunya kurang mendukung tantangan dan peluang yang kini dihadapi, yakni terbangunnya manusia Indonesia yang produktif, berkarakter dalam menjawab dinamika Revolusi Industri 4.0.
Membenahi kecenderungan sifat-sifat negatiftersebut, tidak mungkin hanya mengandalkan seorang pemimpin. Pemimpin yang kharismatik, memiliki keunggulan super, tetap tidak akan mampu membuat Indonesia maju dengan cepat. Setiap warga negara harus bergerak untuk merubah dan menekan sifat negatif yang melekat dalam tubuhnya (bangsa Indonesia). Ingin mewujudkan impian Indonesia maju dan sejahtera dibutuhkan pembangunan serius sumber daya manusia. Dalam hal inilah pendidikan menjadi ujung tombak (hups://www.netralnewscom). Bagaimana dengan pendidikan kita. Moh. Yamin dalam bukunya “Menggugat Pendidikan Indonesia” (Moh lizmin, Ar-Ruzz Media, 2009) menggugat hubungan sosial dalam masyarakat kapitalis – seperti yang terjadi pada tatanan masyarakat kita, yakni pendidikan – yang selalu didasarkan pada hubungan penindasan. Dikatakannya Pendidikan seharusnya sebagai media liberasi atau pembebasan, memberdayakan mereka yang lemah dan tertindas, serta mengubah bentuk-bentuk ketidakadilan sosial.
Yamin mencoba membedah fenomena semrawutnya persoalan pendidikan di Indonesia, yang secara hakekat implementai pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang beradab, berdaya saing tinggi, berkualitas dan mandiri. Namun kenyataannya, Survey Political and Economic Risk Consultan (PERC – tahun 2000) bahwa kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia yaitu di bawah Vietnam. Ini menunjukkan bahwa kualitas pendidikan kita pada saat ini dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Ketertinggalan Indonesia dalam mutu pendidikan baik pendidikan formal maupun informal menyebabkan daya saing Indonesia sangat rendah dan menyebabkan Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia. Hal di atas menunjukkan bahwa perhacian Pemerintah dalam masalah pendidikan masih terasa sangat minim yang tercermin dari beragamnya masalah pendidikan yang makin rumit.
Sejarah pendidikan di negeri ini selalu diwarnai kepentingan politik praktis oleh segelintir orang, sehingga pendidikan tidak mampu melakukan hal-hal yang konstruktif. Realitas membuktikan bahwa pendidikan selalu diarahkan untuk membenarkan kepentingan penguasa dan kroni-kroninya. Pendidikan berada dalam penjara kekuasaan sehingga pendidikan itu sendiri tidak mampu meningkatkan kualitas bangsa ini.
Padahal definisi pendidikan yang melipuci politik pendidikan dan pembentukan karakter bangsa, relasi politik pendidikan dan pembentukan karakter bangsa serta pengaruh politik pendidikan terhadap pembentukan karakter bangsa. Pendidikan adalah media mencerdaskan kehidupan bangsa dan membawa bangsa ini pada era pencerahan. Pendidikan bertujuan untuk membangun tatanan bangsa yang berbalut dengan nilai-nilai kepincaran, kepekaan dan kepedulian terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan merupakan tonggak kuat untuk mengentaskan kemiskinan pengetahuan, menyelesaikan persoalan kebodohan dan menuntaskan segala permasalahan bangsa yang selama ini terjadi. Peran pendidikan jelas merupakan hal yang signifikan dan sentral, karena pendidikan seharusnya membuka dan memperluas pengetahuan sehingga bangsa ini betul- betul melek terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan dihadirkan untuk mengantarkan bangsa ini menjadi bangsa yang beradab dan berbudaya.
Yang jelas pendidikan itu menumbuhkan kritisisme sosial. Menurut abli sosiologi pendidikan terdapat relasi resiprokal (timbal
balik) antara dunia pendidikan dengan kondisi sosial masyarakat. Relasi ini bermakna bahwa apa yang berlangsung dalam dunia pendidikan merupakan gambaran dari kondisi yang sesungguhnya di dalam kehidupan masyarakat yang kompleks.
Karena itu, perlu upaya penyelamatan pendidikan. Bahwa berbagai persoalan pendidikan di Indonesia perlu mendapatkan penanganan serius kedepan. Penyelamatan pendidikan berupa konsep pendidikan yang lebih dan berlandaskan_nilai-nilai kemanusiaan harus menjadi agenda penting guna mengupayakan pendidikan yang lebih beradab dan berkemanusiaan. Adapun upaya yang dapat dilakukan: Pertama, Menata ulang konsep pendidikan. Perlunya menata ulang konsep pendidikan dikarenakan pendidikan di Indonesia ini tidak memiliki keseriusan dalam menerapkan otonomi pendidikan. Kedua, Meletakkan kembali pilar pendidikan humanis. Perlunya meletakkan kembali pilar pendidikan humanis dikarenakan pendidikan adalah memanusiakan manusia muda, meningkatkan manusia muda ke tarafinsani, bancuan dan bimbingan bagi anak yang sedang berjalan menuju manusia yang lebih sempurna yang lebih insani, serta membantu peserta didik untuk menemukan nilai-nilai kemanusiaannya. Harapan dalam upaya ini memiliki titik konsentrasi dari berbagai masalah yaicu pada: a) Politik pendidikan yang memberdayakan, b) Kurikulum pendidikan yang mencerdaskan, c} Pendidik yang memanusiakan peserta didik, d) Praksis pendidikan yang dialogis. Keriga, Reorientasi tujuan pendidikan nasional. Perlunya reorientasi tujuan pendidikan nasional karena hal ini salah satu hal yang penting agar bangsa ini tidak lagi kehilangan tujuan pendidikan sebagaimana yang diamanatkan oleh Konsitusi Dasar 1945. Yang meliputi tujuan pendidikan adalah yang berorientasi pada bangsa yang berkualitas, bangsa mandiri, beradab, dan bangsa yang berdaya saing tinggi.
Ada harapan baru, ketika Presiden Joko Widodo menunjuk Menteri Pendidikan dan Kebudayaan baru – Nadiem Makarim dalam jajaran Kabinetnya untuk menyegarkan konsep pendidikan di Indonesia. Salah satu kebijakan yang dilontarkan Nadiem adalah Kemerdekaan Belajar bagi peserta didik dan guru.
Lebih jauh, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim Sebagaimana dilansir Attps://nasional.tempo.co menyampaikan empat prioritas Kementeriannya yang disampaikan dalam rapat koordinasi bersama di Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan 31 Oktober 2019 lalu. Pertama, pembelajaran anak. Ia akan mengecek apakah yang diberikan Kementerian terserap oleh para siswa. Satu konsep yang sangat penting adalah studi badan-badan. Semua peraturan dan penggunaan dana harus dicek, kata Nadiem. Kedua, strukeur kelembagaan. Nadiem mengatakan struktur kelembagaan baik internal maupun eksternal badan-badan akan mendukung tujuan pembelajaran. Struktur kelembagaan ini bisa berdampak positif terhadap kualitas pembelajaran. Ketiga, menggerakkan revolusi mental di masyarakat. Nadiem menyebut untuk menyukseskan program revolusi mental Presiden Jokowi, tidak dapat hanya dilakukan di sistem institusi pendidikan saja. Jadi pengembangan karakter itu bukan hanya dari kurikulum, bukan hanya pembelajaran dari guru, tapi masyarakat secara luas. Itu yang akan kami kembangkan. Keempat, pengembangan teknologi. Dalam hal ini banyak yang harus difokuskan. Fokus dari teknologi ini bisa membantu guru, dalam menjalankan kegiatan pendidikan. la menyebut ada paradigma yang keliru di masyarakat soal pengembangan teknologi ini. Menurutnya teknologi di ranah pendidikan banyak disalahpahami, diartikan akan mengganti peran guru dan menembus batas ruang kelas. Persepsi ini sangat keliru. Teknologi itu untuk memperbaiki atau meningkatkan kapasitas, bukan untuk menggantikan. Semoga. (Rewrite by Lili Irahali, dari berbagai sumber)