Untuk mengatasi masalah ini, peserta-didik di Indonesia perlu diperkenalkan dengan pedagogi SCT/L yang menekankan pembelajaran siswa-aktif (active learning), di mana peserta-didik diajari cara bagaimana membangun sendiri pengetahuannya dengan memanfaatkan pengetahuan latarbelakang yang dimilikinya. Dengan cara demikian, peserta-didik dapat mengembangkan pengetahuan yang dipahaminya dengan baik, dan kemudian?dalam jangka panjangnya? mereka dapat berkembang menjadi pembelajar strategis yang mandiri. Weimer (2012a) secara rinci mengajukan sejumlah prinsip pembelajaran siswa aktif termasuk yang dipaparkan di bawah ini.
- Belajar yang hakiki melibatkan peserta-didik dalam aktivitas mengonstruksi makna dan mengembangkan pemahaman. Kegiatan semacam ini dapat didesain guru melalui tugas-tugas tertentu yang otentik. Misalnya pembelajar bahasa diminta menganalisis jenis-jenis konstruksi kalimat dan pilihan kata-kata kerja utama yang ada pada laporan penelitian. Pada kesempatan yang lain peserta-didik yang sama diminta merekam pembicaraan dan menganilisis pola-pola kalimat dan pilihan kata-kata kerja utama yang terjadi pada ruang kuliah di mana dosen sedang menyampaikan penjelasan tentang topik kebahasaan tertentu kepada mahasiswa. Kemudian hasil analisis terhadap wacana tulis-formal yang terkandung dalam laporan penelitian dan wacana-lisan pada sesi kuliah ini dibanding-kontraskan. Dari proses pembanding kontrasan peserta-didik akan diperoleh pola-pola kalimat dan pilihan kata-kata kerja utama yang umumnya dipergunakan dalam wacana-tulis-formal akademik dalam dua modalitas yang berbeda: langgam tulisan dan langgam lisan. Melalui pengalaman langsung dalam mengobservasi kegiatan kebahasaan konteks formal dan menganalisis data tuturan yang diambil dari kegiatan formal-perkuliahan secara lisan peserta didik memperoleh gambaran nyata tentang kesamaan dan kebedaan antara pola-pola kalimat dan kosakata formal wacana tulis dengan pola-pola kalimat dan kosakata formal dalam wacana lisan. Kalau pengalaman langsung menganalisis pola-pola kalimat dan pilihan kata dan pengalaman menyimpulkan hasil analisis ini dilakukan secara tertib, dapatlah dipastikan bahwa pemahaman mahasiswa tentang pola-pola kalimat dan kosakata akademik akan mendalam dan komprehensif.
- Belajar tentang suatu fakta dan belajar melakukan sesuatu merupakan dua proses yang berbeda. Dengan kata lain, proses mempelajari fakta (tentang sesuatu) berbeda dengan mempelajari pengetahuan prosedural/atau mempelajari keterampilan tertentu. Dalam konteks pelajaran (ber)bahasa Inggris, misalnya, kita dapat memastikan bahwa proses memahami grammar berbeda dari proses penumbuhan dan pengembangan keterampilan menggunakan bahasa Inggris untuk berbagai keperluan komunikasi.
- Beberapa hal dipelajari langsung dalam konteks di mana ia ditemukan; sedangkan hal-hal yang lain mungkin dapat diproyeksikan ke dalam konteks yang lebih luas atau bahkan pada konteks yang berbeda sama-sekali. Ini berarti bahwa kita harus mengetahui dan menyadari betul, apa-apa saja yang harus diajarkan dalam konteks naturalnya, dan apa-apa saja yang dapat diajarkan lepas-konteks (decontextualized). Kesadaran semacam ini memungkinkan dosen/instruktur dapat mendesain secara tepat jenis-jenis tugas pembelajaran sesuai hakikat dan tujuan yang hendak dicapainya. Contoh konkret tentang hal ini?antara lain– adalah mempelajari ungakapan idiomatik (idiomatic expressions) yang pada umumnya bergantung pada konteks, dan yang lainnya adalah mempelajari pola-pola kalimat bahasa Inggris yang secara relatif telah demikian baku dan?oleh karena itu?dapat diajarkan lepas-konteks.
- Peserta-didik cenderung mudah belajar dengan cara bekerjasama dengan pembelajar lain. Asumsi ini mungkin juga pas dengan kecenderungan komunitas peserta-didik di Indonesia yang?konon?cenderung mencari konformitas sosial dan tidak gandrung menonjolkan diri- sendiri. Kalau asumsi ini benar, maka dapatlah dipastikan bahwa belajar-melalui-kerjasama (collaborative learning) merupakan modus belajar yang jitu bagi peserta-didik Indonesia; dan
- Belajar yang bermakna terfasilitasi oleh pengartikulasian gagasan (misalnya berbentuk penjelasan) melalui bahasa baik untuk diri-sendiri maupun untuk orang lain (atau guru). Ini berarti dosen/instruktur bahasa Inggris perlu mulai membiasakan memasukkan ke dalam ritual pembelajarannya kegiatan yang mengarah pada internalisasi melalui kegiatan eksternalisasi. Yakni, kemampuan untuk dapat mengendapkan pemahaman dan pengalamannya, (maha)siswa perlu diminta mengartikulasikan dalam kata-kata (baca: bahasa) apa yang dipahaminya dan bagaimana dia sampai pada pemahaman yang berhasil dibangunnya. Kebiasaan melakukan refleksi ini?bila dilakukan dengan benar dan secara konsisten?akan menumbuhkembangkan metakognisi. Yakni, kemampuan mahasiswa memahami cara berpikirnya sendiri sehingga? dalam perkembangannya?kelak yang bersangkutan mampu mengendalikan proses berpikirnya sendiri. Kemampuan ini esensial bagi perkembangan peserta-didik yang bersangkutan ke arah menjadi pembelajar mandiri yang strategis.
- Peserta-didik disibukkan dengan data dan contoh-contoh konkret ujaran dalam bahasa yang dipelajarinya sehingga mereka dapat menyimpulkan sendiri bagaimana bahasa asing itu bekerja dan bagaimana menggunakannya untuk keperluan komunikasi.
- Peserta-didik juga diberi kesempatan berlatih di kelas sehingga mereka dapat merasakan sendiri bagaimana kelancaran dan kefasihan berbahasa dapat dibangun.
- Peserta-didik didorong untuk merenungkan (atau merefleksikan) apa yang dipelajarinya dan cara bagaimana mempelajarinya;
- Peserta-didik dibuat termotivasi karena mereka merasa dapat mengendalikan proses belajarnya sendiri; dan
- Peserta-didik didorong untuk berkolaborasi dengan teman sebayanya di dalam dan di luar kelas.
Dari paparan kelima karakteristik kelas yang mengadopsi SCT/L ini dapatlah dilihat apa yang harus dilakukan agar capaian hasil belajar peserta-didik Indonesia meningkat dengan cara membanding-kontraskannya dengan pola kegiatan dan interaksi belajar-mengajar yang umumnya terjadi di kelas-kelas bahasa asing di Indonesia.