Sementara itu, Drs. Enang Rusyana, M.Pd – Kepala UPBJJ Universitas Terbuka Bandung mengungkapkan bahwa untuk membangun, memajukan, dan mengembangkan suatu wilayah, diperlukan SDM yang berkualitas. SDM yang berkualitas dihasilkan di antaranya oleh pendidikan yang berkualitas pula. Oleh Icarena itu, penyediaan pelayanan pendidikan dan peningkatan mutu pendidikan wajib ditingkatkan. Kewajiban itu menjadi tanggung jawab negara, dalam konteks ini yang dimaksud dengan negara adalah pemerintah dan masyarakat.
Kalau kita berbicara dalam konteks pendidikan tinggi, maka tanggung jawab pemerintah adalah mendirikan Perguruan Tinggi Negeri (PTN), sementara masyarakat mendirikan Perguru an Tinggi Swasta (PTS). Sekarang, PTN dan PTS di Indonesia ini ada selcitar 4.529 PT dengan 24.892 Program Studi dengan jumlah penduduk 255 juta. Bandingkan dengan China, PT di China hanya 2.824 dengan jumlah penduduknya mencapai 1,4 milyar (Ristekdikti, 2017). Dari sisi jumlah PT, seharusnya Indonesia dapat melayani penduduk usia kuliah untuk menempuh pendidikan tinggi. Namun faktanya, tidak demikian. Buktinya APK PT yang menjadi dasar pengukuran daya serap pendidikan tinggi terhadap penduduk usia kuliah hanya selcitar 31,5%. Artinya apa itu? Daya serap pendidikan tinggi terhadap penduduk usia kuliah (19 – 23 tahun) sangat rendah. Keberhasilan pelayanan pendidikan tinggi kita masih rendah.
APK PT kita secara nasional, seldtar 31,5%. Masih kalah dari Malaysia yang 38%, Singapura 78%, dan Korea Selatan 98%. Tentu hal itu memprihatinkan. Apabila kita berbicara APK PT Jawa Barat, lebih memprihatinkan lagi, karena APK PT Jawa Barat itu baru sekitar 20 %. Padahal di Jawa Barat ini, jumlah lulusan SMA, baik negeri maupun swasta pada tahun 2018 saja berjumlah 184.866 orang. PTN/PTS yang siap melayani ada sekitar 380 (PTN 19, PTS 361).
Menurut kajian Kemenristekdikti (2017), ada lima kesimpulan APK PT kita rendah : (1) jumlah PT terlalu banyak, (2) sebagian besar PT kecil, (3) secara umum mutu PT tidak bagus, (4) jumlah PT vokasi dan institut teknologi kurang, (5) prodi STEM [science, technology engineering, mathmetics] kurang. Adapun rekomendasi Kemenristekdikti terhadap lima hal dia atas adalah: (1) jumlah PT yang banyak itu cukup dipertahankan saja, kalau perlu dikurangi, (2) PT yang kecil-kecil dimerger, (3) pendampinngan mutu oleh PT berkategori baik kepada PT berkategori kurang, (4) jumlah politeknik dan institut teknologi ditambah, dan (5) melakukan moratorium terhadap prodi non-STEM. Di samping itu, mungkin daya beli masyarakat kita juga masih banyak yang belum bisa menjangkau biaya pendidikan di PT.
Upaya peningkatan APK PT itu tidak hanya menjadi tanggung jawab PT saja, paling tidak harus ada pelibatan dari tiga pihak, yaitu pemerintah, perguruan tinggi itu sendiri, dan dunia usaha. Pemerintah sebagai pengemban amanah Pasal 31 UUD 1945 jelas disebutkan perannya:
Ayat 3 : Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yangmeningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
Ayat 4 : Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Ayat 5 : Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Untuk mewujudkan hal itu, pemerintah telah berbuat banyak. Di antaranya saja, telah menerbitkan UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi Pada Pasal 48 Ayat 4 dinyatakan bahwa pemerintah memfasilitasi kerja sama PT dan PT dengan dunia usaha/industri dalam bidang penelitian. Pada Pasal 86 Ayat 1, pemerintah memfasilitasi dunia usaha/dunia industri dengan aktif memberikan bantuan dana kepada PT. Melalui skema tersebut, PT melakukan research and development untuk kepentingan dunia usaha/industri dan menghasilkan lulusan yang siap pakai di dunia usaha. Dunia usaha/industri memberikan bantuan dana kepada PT (berupa dana penelitian, bantuan bengkel kerja, beasiswa, dll.) dan menerima SDM siap pakai serta hasil research and development PT. Dari skema itu muncullah RAPID (Riset Andalan PT dan Industri). Itu teorinya, ya. Barangkali, seperti itulah skema yang dimaksud oleh Leydesdorff dan Etzkowitz dengan The Triple-Helix Model (2001). Apakah ada kendala dalam implementasi skema tersebut? Banyak. Misal, terdapatnya perbedaan persepsi dan orientasi di antara pendidikan tinggi dengan dunia usaha/dunia industri.
Kemudian yang terbaru, pemerintah melalui Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi menerbitkan Permenristekdikti Nomor 51 Tahun 2018 tentang Pendirian, Perubahan, Pembubaran Perguruan Tinggi Negeri, dan Pendirian, Perubahan, Pencabutan Izin Perguruan Tinggi Swasta. Pada Bab V Pasal 28 sampai dengan Pasal 34, pemerintah mengatur tentang PSDKU (Program Studi di Luar Kampus Utama) dan pada Bab VII Pasal 38 sampai dengan Pasal 63 tentang Pendidikan Jarak Jauh.
Melalui PSDKU, sebuah perguruan tinggi dengan persyaratan yang ditetapkan kementerian dapat membuka pendidikan akademik dan vokasi untuk program diploma, sarjana, pascasarjana, dan doktor di luar kampus utama. Di Jawa Barat sudah ada contohnya, seperti ITB di Cirebon, Unpad di Pangandaran, dan IPB di Sukabumi. Melalui PJJ, PT dapat menyelenggaran PJJ dalam bentuk mata kuliah, program studi, atau bahkan perguruan tingginya sekalian seperti halnya Universitas Terbuka. Tentu penyelenggaraannya wajib mengikuti berbagai persyaratan yang ditetapkan pemerintah, di antaranya adalah program studinya terakreditasi A. Apabila sebuah PT menyelenggarakan PJJ kurang dari 50% program studinya, maka PT tersebut tidak perlu mengajukan izin kepada Kemenristekdikti, namun apabila melebihi 50% maka diperlukan izin terlebih dahulu. Kedua bab pada Permenristekdikti tersebut pesannya sangat jelas tentang bagaimana strategi yang diupayakan pemerintah untuk meningkatkan APK PT.
Dalam konteks peningkatan APK PT di Jawa Barat, selama ini Pemprov Jawa Barat melalui Dinas Pendidikan telah berkontribusi nyata di antaranya dengan memberikan bantuan biaya pendidikan kepada para mahasiswa yang tersebar di PTN dan PTS di seluruh Jawa Barat. Demikian pula dengan Pemkot Bandung, melalui Dinas Pendidikan Kota Bandung, di antaranya berkontribusi nyata untuk meningkatkan APK PT di Kota Bandung dengan memberikan dana bantuan studi untuk mahasiswa Kota Bandung yang bernama Bawaku. Di daerah lain, seperti di Pangkal Pinang, saat ini digalakkan oleh berbagai instansi tentang Gerakan #SAMAHSAJA (Satu rumah minimal satu sarjana).
Saya kira pemerintah telah memberikan fasilitasi kepada perguruan tinggi, baik berupa regulasi, peluang kerja sama dengan industri, kucuran dana langsung kepada masyarakat berupa pemberian beasiswa dengan berbagai skema, dan lain-lain. Tinggal bagaimana setiap PT menyikapinya dan bagaimana para calon mahasiswa menangkap peluang yang ada. Kalau PSDKU dirasa berat oleh beberapa PT yang kurang mampu, mungkin PJJ adalah solusi terbaik yang dapat diambil PT tersebut. Universitas Terbuka dengan 40 Unit Program Belajar Jarak Jauh-nya yang tersebar di seluruh Indonesia dapat dijadikan partner untuk menyelenggarakan PJJ, baik berupa penawaran mata kuliah, maupun program studi. Kalau tidak ada perubahan kebijakan, sekarang ini Universitas Terbuka diberikan amanat oleh pemerintah (Kemenristekdikti) untuk menyusun semacam mata kuliah nasional yang dapat digunakan oleh PT-PT lain secara online. Dengan demikian, PT-PT lain terutama yang kesulitan dengan SDM dosen (misal dosen MKDU) dapat menggunakan mata kuliah nasional itu dari UT. Nama atau istilahnya apa belum jelas benar, tapi intinya seperti itu.
Yang berikutnya, untuk menyiasati rendahnya daya beli sebagian masyarakat, mungkin PT perlu merancang skema pengambilan SKS yang dapat diambil sesuai dengan kemampuan mahasiswa. Misal, pada semester X, mahasiswa mampu untuk membayar sebanyak 20 SKS, tetapi pada semester berikutnya hanya mampu untuk membayar 3 SKS saja. Tetapi, hal itu memang akan berbenturan dengan aturan tentang lama studi di PT. Sampai dengan saat ini hanya Universitas Terbuka yang dapat melakukan kebijakan seperti itu, karena UT menerapkan dua konsep pendidikan; yaitu pendidikan terbuka dan pendidikan jarak jauh. Konsep pendidikan terbukanya itulah yang memungkinkan UT dapat melakukan kebijakan pengambilan SKS seluwes seperti yang digambarkan di atas. Terbuka itu mengandung arti, siapa saja, di mana saja, ijazah SLTA atau setara SLTA tahun berapa saja, usia calon mahasiswa berapa saja, mengambil program studi diploma atau sarjana apa saja tanpa memperhatikan jurusan SLTA-nya, mengambil berapa SKS saja dalam setiap semester, mau berapa tahun lamanya untuk menyelesaikan studi (mau tepat waktu sesuai dengan ketentuan lama studi di PT lain maupun mau molor belasan tahun), silakan, bebas, terbuka. Paling tidak, sampai saat ini UT menerapkan kebijakan tersebut seperti halnya Open Universities di negara-negara lain di dunia.
Pemerintah, dalam hal ini Kemenristekdikti beserta pimpinan perguruan tinggi pasti sudah memikirkan berbagai upaya yang cerdas untuk meningkatkan APK PT ini. Tinggal bagaimana implementasinya di lapangan, itu saja barangkali. Misal yang saya tahu, Rektor UT didorong Kemenristekdikti untuk menjalin kerja sama dengan rektor-rektor PTN dan PTS di seluruh Indonesia dalam persiapan penyelenggaraan PJJ di PT-PT selain UT. Saya kira, kerja sama tersebut tidak boleh berhenti hanya pada dokumen untuk kelengkapan akreditasi saja, tapi benar-benar diimplementasikan. (By Nugroho Hardiyanto)