URUN REMBUG UNTUK PENDIDIKAN INDONESIA MASADEPAN: Harapan, Tantangan, dan Fokus Kejaran
Bachrudin Musthafa, Ph.D.
Professor of Literacy Studies, UPI Bandung
Sudah sering dipersoalkan publik terdidik mengapa pendidikan (harus) diorientasikan ke “masa depan”, dan “masa kini” (dan juga “masa lalu”). Setiap orientasi ini memiliki alasannya sendiri. Semua kajian tentang arti penting tatapan dan pertimbangan masa lalu, masa kini, dan masa depan seyogianya mengingatkan kita pada pentingnya fokus perhatian dan belajar memanfaatkan kesempatan yang dijalani dengan harapan dan keyakinan kita dapat memperbaiki keadaan.
Dalam ajaran Islam ditegaskan adagium seperti ini: hari ini harus lebih baik dari kemarin; masa depan harus disiapkan agar lebih baik dari hari ini. Sedangkan masalalu merupakan residu pengalaman untuk dipelajari dan dijadikan pijakan sebagai titiktolak perbaikan yang berkesinambungan. Inilah, agaknya, pijakan yang harus kita sepakati sebagai negara-bangsa agar pendidikan di Indonesia semakin baik dan memberdayakan bagi masyarakat Indonesia yang dilayaninya.
Komunita edisi kali ini menghadirkan narasumber ahli Media Komunikasi Politik, Film Studies, dan Digital Media: Prof. Rachmah Ida, Ph.D. dari UNAIR. Dalam format wawancara tertulis, Komunita menyajikan pemikiran Prof. Rachmah Ida sekaitan dengan metaverse dan teknologi yang mendukungnya.
Untuk sumbangan tulisan kali ini, saya ingin membatasi topik pembicaraan seputar beberapa hal saja yang disinggung Prof. Rachmah Ida, khususnya yang bertalian dengan (1) isu benturan budaya, (2) jurang pemisah antara dosen senior (yang mungkin gaptek) dan dosen muda (yang lincah berteknologi tetapi memerlukan pembinaan dalam hal academic content-knowledge), (3) gagasan tentang pengembangan generasi muda yang literat teknologi dan berjiwa “Indonesiani” dengan tatanilai yang “pancasilais”; dan (4) catatan akhir sekaitan dengan pengawalan mutu pendidikan di Indonesia yang lebih sistematis di masa depan.
Urutan penyajian gagasan pada artikel ini akan mengikuti alur yang telah diindikasikan pada alinea di atas.
Benturan Budaya: High Context Culture versus Low Context Culture
Di bagian awal wawancara, ketika menjelaskan metaverse dan teknologi yang mendukungnya, Prof. Rachmah Ida menegaskan bahwa teknologi tidak bebas-nilai: metaverse yang lahir dari “Barat” mengusung tata-nilai Barat– yang tidak-kompatibel dengan yang tengah ditegakkan di dalam sistem Pendidikan Nasional kita di Indonesia.
Lebih tegasnya, metaverse yang lahir dari Barat mengusung nilai “equality” (equalivity before the law dan liberal arts). Dalam perspektif orang Barat, yakni tempat kelahiran teknologi metaverse ini, pendidikan adalah demokratisasi.
Sedangkan bagi Indonesia, nilai yang dibawa teknologi lewat metaverse mengusung paham tertentu, yang pastinya tidak-netral. Dalam sistem pendidikan di Indonesia, yang secara kategorikal termasuk “high-context culture”, salahsatu pesan penting pendidikan adalah “mendidik akhlak dan moral”—oleh karena itu, di Indonesia tata-nilai dan sikap-moral itu penting.
Dengan kata lain, dalam pendidikan di Indonesia, “moral ethics baggage” merupakan salahsatu indikator penting dalam menu kurikulum di Indonesia.
Lantas bagaimana posisi teknologi (termasuk metaverse) untuk pendidikan di Indonesia? Bagaimana sikap pendidikan nasional di Indonesia terhadap aspek fasilitatif produk teknologi semisal zoom, whatsapp, dan video bagi kualitas konten dan cara belajar pembelajar di Indonesia?
Dalam wawancara dengan Komunita yang dirujuk di depan, narasumber kita mengatakan bahwa kita harus memanfaatkan sebaik-baiknya produk teknologi itu untuk kemaslahatan pendidikan dan pembelajaran bagi peserta-didik kita. Sementara itu, mengingat potensi infiltratif produk teknologi yang dimaksud, pendidikan di Indonesia harus mulai waspada dan mulai memikirkan langkah antisipatif bagi “keamanan” tata-nilai moralitas dan sopan-santun Ke-Indonesia-an dan tata-cara gaul Pancasilais yang tengah diupayakan dikukuhkan dalam peserta-didik yang belajar bersama kita.
Dalam kaitannya dengan pembiasaan secara selektif memanfaatkan produk-produk teknologi yang bermanfaat bagi pendidikan di Indonesia—khususnya yang telah terbukti menyelamatkan pendidikan di Indonesia seperti zoom, whatsapp, dan video dangan berbagai turunannya yang kian hari kian banyak jumlahnya – pesan narasumber adalah bahwa Indonesia harus mulai menyiapkan generasi anak-anak muda terpilih yang dapat dan mampu diamanahi mengkritik teknologi (yang pantas diwaspadai) dan menjaga keseimbangan dalam arah perkembangannya dengan amanah sikap-moral utama yang dititipkan melalui tata-cara gaul Pancasilais yang dimaksud di muka.
Jurang Pemisah antara Dosen Senior (yang mungkin Gaptek) dan Dosen Junior (yang Lincah Secara Teknologis)
Prof Rahmah Ida—sambil lalu menyinggung kekuatiran tentang sikap kita di Indonesia yang cenderung buru-buru dan kurang hati-hati dalam mengambil pilihan dan arah pengembangan sistem pendidikan untuk masa depan. Dalam artikel saya kali ini, saya ingin menyumbangkan sedikit catatan tambahan sebagai follow-up terhadap “sistem hybrid” yang ditawarkan Prof. Rachmah Ida dalam mengelola format pembelajaran dengan pola “tujuh pertemuan daring” dan “tujuh pertemuan tatap muka”.
Dalam pola yang disebutkannya sebagai “hibrida” ini, Prof. Rachmah Ida belum mengartikulasikan secara eksplisit mau diapakan dosen senior yang cenderung gaptek dan mau diapakan dosen junior yang cenderung melek-teknologi ketika mengajar menggunakan modalitas yang disebut hibrida itu.
Sebagai penulis artikel, saya ingin mengedepankan format “collaborative teaching” untuk membantu mempercepat pengembangan keterampilan dosen di Perguruan Tinggi dengan cara seperti berikut.
Pertama, alih-alih membiarkan dosen senior dan dosen junior membagi dua beban kerja menjadi daring (dalam jaringan seperti memanfaatkan zoom dan teknologi lainnya) dan luring (di luar jaringan atau “tatap muka” langsung), dengan motif memelihara kebiasaan memberi kuliah online seperti menggunakan modus online, saya cenderung memanfaatkan kesempatan ini untuk menghadirkan dua kelompok dosen untuk bekerjasama: saling mengisi dan membelajarkan. Kedua kelompok dosen yang dimaksud adalah seperti yang digambarkan berikut ini:
Bagaimana caranya?
Dalam format collaborative learning kedua belah pihak dapat mendiskusikan dan kemudian menyepakati topik-topik utama dan pengetahuan konseptual utama yang hendak diajarkan. Pastikan kedua-belah pihak menyepakati indikator-indikator utama pemahaman dari topik yang hendak diajarkan. Juga perlu disepakati adalah prosedur pemahaman yang harus dilalui dalam rangka memahami konsep-konsep utama yang dimaksud dan apa tanda-tanda pemahaman (indikator) yang dapat dipegang sebagai acuan penilaian.
Dari deliberasi tentang konten bidang studi ini, dosen junior dapat menangkap isi matakuliah yang dianggap penting, dan tinggal sekarang giliran dosen junior ini memikirkan modalitas penyampaiannya melalui bantuan teknologi.
Dalam hal ini dosen junior dapat mengambil posisi sebagai “instruktur” sekaitan dengan modalitas-belajar berbantuan teknologi (technology-assisted learning mode) yang dimaksud, yang kedalaman konsep dan wawasan keilmuannya diperoleh dari sumbangan dosen senior yang menjadi mentor dan mitra mengajarnya.
Apabila kita—sebagai institusi di Indonesia—dapat membudidayakan “collaborative learning” sebagai modalitas utama untuk saling membelajarkan di antara sesama dosen, insya Allah kita dapat mendekati lebih lekat lagi konsep saling-membelajarkan yang diajarkan agama kita, khususnya Islam.
Gagasan pengembangan generasi muda yang literat teknologi dan berjiwa “Indonesiani” dan tatanilai yang “pancasilais”
Seperti diungkapkan secara eksplisit dalam sub judul di atas, gagasan yang gamblang dan sederhana ini dalam realitas dan praktiknya di lapangan—saya kuatir– tidak akan semudah yang dibayangkan. Seperti juga diindikasikan dalam cara pikir yang disampaikan narasumber Prof. Rachmah Ida yang dijadikan figur sentral dalam Komunita kali ini, pendidikan nilai di Indonesia masih akan menghadapi berbagai benturan dan perjuangan panjang. Beberapa isu pokok yang langsung tampak dalam mata-batin kita adalah, antara lain, ini: universalitas nilai dan kode-etik sosial (social code of ethics).
Masalah ini bukan perkara sederhana karena kita menganut pluralisme agama dan plularisme budaya. Sementara beberapa hal sepintas tampak gamblang dan “mudah diatur”—dalam realitasnya—hal-hal semacam ini lebih tepat diposisikan sebagai “regulative ideals” (atau cita-cita pemandu pandangan) dan bukan dalam tataran panduan praktis implementatif.
Itulah mengapa—dalam hal yang satu ini—Sistem Pendidikan Nasional Indonesia telah menelan sedemikian besar sumberdaya terbaik yang dimiliki negeri ini, tetapi tanpa menghasilkan simpulan yang jelas dan pasti. Dengan tetap bersemangat dengan cara melihat masalah ini sebagai “jihad kependidikan”, Sistem Pendidikan Nasional kita harus tetap didukung dengan semangat yang gegap-gempita. Ini merupakan “jihad kolektif” sepanjang hayat yang hasilnya tidak dapat ditunggu dengan kepastian dan hitungan masa yang sederhana.
Catatan akhir pengawalan mutu pendidikan di Indonesia yang dikuatirkan akan lebih genting di masa depan
Melalui Komunita masalah mutu pendidikan Indonesia telah sering diperbincangkan tetapi tidak pernah tuntas, karena selalu parsial dan hanya menekankan pada satu-dua aspek saja dari kompleksitas masalah yang dihadapi.
Mutu pendidikan dan pembelajaran ini memang merupakan masalah kompleks yang di dalamnya menyangkut banyak variabel dengan berbagai kemungkinan (komposisi) variabel yang kompleks. Dengan kata lain, saya ingin menekankan, bahwa masalah mutu pendidikan dan pembelajaran bukan masalah ringan yang dapat diselesaikan dalam tempo yang cepat. Bagaimana masalah mutu pendidikan dan pengajaran dapat digambarkan secara relatif akurat?
Jawabannya mungkin tidak dapat dirumuskan dengan singkat dalam forum ini karena—menurut otoritas di KEMENDIKNASRISTEK yang pernah saya tanya—masalah mutu pendidikan dan pengajaran di Indonesia merupakan “masalah yang cair” yang dari waktu ke waktu perlu didefinisikan dan didefinisikan-kembali. It’s a fluid matter to be defined and redefined from one moment to another.
Meskipun demikian, sebagai suatu ikhtiar kita tetap saja memerlukan patokan-patokan, meski sesederhana apapun patokan itu. Inilah yang saya maksudkan dengan pancangan kualitas sebagai “regulative ideal”: sebagai suatu gambaran yang ada di depan atau yang berada di atas yang kita hanya dapat dekati secara relatif, namun tak pernah dapat kita capai sebagai sesuatu yang final.
Karena, masalah titik final dalam masalah ini berarti titik henti. Kita berhenti hanya ketika kita mati.
Wallahu a’lam bisshawaab. (Hari Raya Agung 2022, Bachrudin Musthafa)