0
335 views

.Wawancara

Prof. Hj. Dra. Rachmah Ida M.Com., Ph.D. UNAIR

Guru Besar bidang Media Komunikasi Politik, Film Studies, Digital Media

.

“SISTEM HYBRID”

SOLUSI PENDIDIKAN TINGGI MEMASUKI METAVERSE

.

  Transformasi pendidikan tinggi sebuah keniscayaan menghadapi tantangan era VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity dan Ambiguity) yang dipicu pesatnya kemajuan teknologi informasi, dan digitalisasi. Saat ini sebagian besar perdebatan seputar masa depan pendidikan tinggi berfokus pada keterampilan yang dibutuhkan masa depan. Ini artinya membahas transformasi struktural pendidikan tinggi sesuatu yang tak terhindarkan. Hampir semua yang dikembangkan pendidikan tinggi untuk angkatan kerja abad ke-20 sedang dibangun kembali, termasuk Indonesia dengan MBKM-nya.

  Bertepatan dengan itu, menggema teknologi, dan konsep Metaverse yang ditawarkan untuk pendidikan. Harus kita akui bahwa sistem dan jalur pendidikan tinggi di masa depan perlu dilayani oleh alternatif, dan model inovatif.

  Dalam kaitan tersebut majalah Komunita menemui Guru Besar UNAIR bidang Digital Media dan Film Studies Prof. Hj. Dra. Rachmah Ida, M.Comms., Ph.D. untuk memahami teknologi dan konsep Metaverse bagi pendidikan tinggi agar tetap menjaga pendidikan berkualitas. Di tengah kesibukan beliau kami menghubungi via email dan langsung mendapat kepastian pertemuan via daring pada hari Kamis, 9 Juni 2022. Prof. Hj. Dra. Rachmah Ida, M.Comms., Ph.D. adalah Guru besar Universitas Airlangga (Unair) yang mendapatkan penghargaan internasional sebagai Top 100 Scientist Social Sciences versi AD Scientific Index (Alper-Doger Scientific Index) beberapa waktu yang lalu. Penghargaan tersebut diperoleh berkat kontribusi riset dan penelitiannya di bidang audience, gender, dan komunikasi politik. Berikut perbincangan kami.

Komunita: Mohon dijelaskan tentang Metaverse dan teknologi yang mendukungnya?

Prof. Hj. Dra. Rachmah Ida M.Comms., Ph.D.: Metaverse adalah dunia virtual yang memungkinkan antar pengguna dapat saling terhubung, dapat berkomunikasi, bekerja, bermain, sampai bertransaksi layaknya di dunia nyata. Istilah Metaverse pada dasarnya sampai saat ini belum ada yang mendefinisikan secara pasti. Secara sederhana, Metaverse merupakan konsep dunia virtual yang dapat dimiliki dan diisi dengan berbagai benda dan kegiatan selayaknya dunia nyata. Konsep ini adalah kombinasi dari beberapa elemen teknologi, termasuk virtual reality (VR) dan augmented reality (AR).

Komunita: Bagaimana Metaverse dimanfaatkan dan merubah pendidikan?

Prof. Hj. Dra. Rachmah Ida M.Comms., Ph.D.: Dunia pendidikan negara barat, seperti Monash University Australia, di Inggris ada Oxford University. Mereka sudah punya kampus-kampus virtual melalui website secondlife.com. Seperti public space yang mereka gunakan. Di public space itu mereka bisa mempunyai pulau, apartemen didalamnya dan mereka mempunyai avatar dan semua dibangun secara virtual. Awalnya seperti IBM, American Express mewajibkan karyawannya mengakses website secondlife.com untuk berjualan sebagai marketing American Express. Transaksi di dalamnya menggunakan uang yang disebut Crypto, sebelumnya disebut Token. Misalkan 1 Token (mata uang digital) seharga $1. American Express menjadikan alat pembayaran untuk mengkonversi $ (Dollar) ke Token (mata uang digital).

Jejak cendekia Prof. Hj. Dra Rachmah Ida, MComms. Ph.D.

1. Mendapat penghargaan internasional Top 100 Scientist Social Sciences versi AD Scientific Index (Alper-Doger Scientific Index). Penghargaan diperoleh berkat kontribusi riset dan penelitiannya di bidang audience, gender, dan komunikasi politik.

2. Dinobatkan sebagai Guru Besar Studi Media Pertama di Indonesia pada 2014.

3. Dalam Google Cendekia, Prof. Rachmah Ida menghasilkan buku dan artikel ilmiah lebih dari 100 karya. Buku tentang kajian media diterbitkan Silkworm Books, Jerman tahun 2010. Buku Imaging Muslim Women in Indonesian Ramadan Soap Operas menjadi buku yang dijual di Amazon.

4. Prof. Ida memberikan pandangan kritis tentang media massa di Indonesia yang mampu membuka mata peneliti komunikasi di Indonesia untuk melihat media massa dengan kritis.

5. Tahun 2014 menulis buku Metode Penelitian: Studi Media dan Kajian Budaya didedikasikan kepada mahasiswa. Mengajari mahasiswa cara meneliti yang benar dari kacamata pendekatan perspektif media dan kajian budaya. Menurut Google Cendekia, buku Metode Penelitian : Studi Media dan Kajian Budaya telah dikutip sebanyak 485 kali.

6. Menginspirasi Peneliti Luar Negeri, dimana salah satu chapter dalam jurnal internasional Journal of The Humanities and Social Sciences of Southeast Asia and Oceania. Karyanya berhasil memberikan dampak besar di dunia penelitian yang banyak disitasi dan menginspirasi beberapa peneliti asing di luar negeri.

7. Menulis karya berjudul “Politics and The Media in Twenty-First Century Indonesia: Decade of Democracy dalam jurnal hasil karangan Prof Krishna Sen dan David T Hill. Salah satu chapternya, menunjukkan bagaimana pemilik media bersekongkol dengan penguasa, yang disebut oligarki media. Tulisan itu membuka mata banyak peneliti luar negeri memahami bahwa pemilik media di Indonesia sangat dekat dengan penguasa. (SINDOnews.com)

  Melihat di Indonesia sangat berbeda. Kita hidup di dalam context culture yang High Context Culture, yakni kultur sosial budaya yang masih mempertahankan konsep tradisional seperti sopan santun, norma, value, dsb. Sementara negara barat menerapkan Low Context Culture, sehingga pendidikan dalam konteks barat selalu sekuler. Metaverse dibangun di negara barat, maka value dari Metaverse adalah low context culture. Mereka tidak memperhatikan konsep value tadi, seperti norma, sopan santun. Kami UNAIR memakai tag line “excellent with morality”, tapi di negara barat tidak ada konsep seperti itu. Bagi mereka prinsipnya a equal”, equality before the law dan liberal arts. Bagi mereka pendidikan adalah demokratisasi.

  Ketika mereka masuk dalam Metaverse untuk dijadikan kampus tidak masalah. Seperti yang kita lakukan sekarang pendidikan lewat online (daring). Kampus yang biasanya di kota besar dan juga di gedung-gedung tinggi, kemudian mereka ingin mempunyai kampus di tepi pantai, maka mereka menciptakan kuliah sambil mendengar deburan ombak. Jadi peserta kuliahnya seperti sekarang ini, mahasiswa membuat avatar-nya masing-masing. Kalau ada rapat Rektor, keputusan didalam rapat itu sah dan menjadi hukum ketetapan regulasi. Itu yang terjadi ketika mereka masuk ke kampus virtual. Kampus virtual sama dengan kampus fisik, itu yang terjadi.

  Di barat tidak jadi masalah soal “quality of content” itu pertaruhan, karena mahasiswa mereka membayar sehingga mereka betul-betul servicing kepada mahasiswanya. Sehingga apapun kontennya betul-betul dipersiapkan dengan baik. Antara kelas virtual dan pshycal kontennya sama, kecuali kelas yang harus menggunakan laboratorium, seperti science, medicals tetap tidak bisa virtual, tetap harus ada pshycal lab. Namun untuk international business, business administration mereka bisa melakukan di dalam virtual.

  Persoalan di Indonesia, banyak yang mempertanyakan siapkah pendidikan kita dengan Metaverse. Karena pendidikan di Indonesia dengan High Context Culture, yakni harus mendidik akhlak dan moral. Pendidikan yang diterapkan di Indonesia punya “moral ethics baggage”, sementara di barat ethical educations academic mereka wujudkan dalam bentuk regulasi-regulasi yang padat. Misalkan soal “plagiarism”, mereka punya aturan dan cara menghindari freezing ini, tapi kita di Indonesia tidak punya mata kuliah seperti itu. Perbedaan context culture ini yang menjadi kendala Metaverse di Indonesia. Kita mau masuk Metaverse, dunia teknologi pendidikan sudah begitu pesat dan negara barat sudah melakukan Metaverse pendidikan. Kita ada student exchange dari negara barat agar merasakan pendidikan di Indonesia, tapi di sisi lain kita sebagai tenaga pengajar, sistem pendidikan kita itu belum bisa menerima Metaverse. Contoh: “tolong duduknya yang sopan”, “tolong celana tidak sobek-sobek”, “itu berhijab, hijabnya yang sopan”. Pendidikan kita dengan konsep Metaverse jauh sekali GAP-nya. Cara pendidikan kita dengan memberikan pemahaman moral, etika, pergaulan, sopan santun dan sebagainya akan menjadi persoalan besar. Memang Pak Jokowi menyatakan semua masuk dalam Metaverse, tapi karena kultur kita high context culture” sehingga ini menjadi persoalan.

Komunita: Dengan kondisi di atas, bagaimana persiapan pendidikan tinggi kita terhadap implementasi Metaverse?

Prof. Hj. Dra. Rachmah Ida M.Comms., Ph.D.: Menurut saya, kita memakai sistem Hybrid seperti yang sekarang ini kita lakukan di masa Pandemi ini. Misalkan 14 kali pertemuan (For a weeks Effective Teaching Time) yaitu: 7 weeks memakai Metaverse dan 7 weeks tatap muka. Tentunya agar peserta didik masih bisa kita monitor perilakunya, karena orang tua mahasiswa menitipkan kepada pihak sekolah untuk memperbaiki akhlaknya. Jadi orang tua percaya bahwa pendidik mengajarinya lebih baik daripada orang tua. Berbeda dengan di barat orang tua adalah madrasah pertama bagi anak anaknya, dan pendidik hanya fasilitator. Itu yang membedakan. Kalau di Indonesia pendidik tidak saja fasilitator tapi juga yang mengajari moralnya. Sehingga menurut saya sistem hybrid mungkin lebih flexible ketika kita menerapkan Metaverse. Artinya, di satu sisi kita masih menggunakan konsep konvensional, di sisi lain kita bisa tetap menggunakan perkembangan teknologi maju. Apalagi mahasiswa kita sudah sangat berkembang sebagai instagramers, tiktokers dan lainnya, rasa ingin tahunya sangat besar. Apalagi bagi anak-anak yang Fomo (Fear of Missing Out) takut ketinggalan zaman. Karena itu kita tidak bisa menghindar, apabila menghindar mereka akan mencari kampus dengan teknologi yang canggih, tapi di sisi lain mereka masih butuh sentuhan kemanusiaan agar mahasiswa kita ajarkan value dan norma- norma juga etika.

Komunita: Dampak Metaverse bagi kemajuan pendidikan tinggi dan kualitas lulusan?

Prof. Hj. Dra. Rachmah Ida M.Comms., Ph.D.: Kita kembalikan pada core business pendidikan tinggi, core busniness kita adalah academic services jadi kita memberikan pelayanan akademik. Artinya kualitas yang bisa kita jaga dan monitor adalah kualitas cara pengajaran kita, yakni: pertama, metode cara pengajaran harus tetap dijaga dan di-upgrade; kedua adalah konten. Selama ini saya (kebetulan saya assessor BAN-PT), melihat kelemahan itu. Apa yang diajarkan stagnan (itu-itu saja), sementara kasusnya sudah sangat berkembang. Dari sistem pengajaran dan text booknya sudah tertinggal jauh, sudah tidak compatible. Tampak upgrade yang mungkin kurang dilakukan. Jadi menurut saya meski teknologi itu high cost, soal dana, fasilitas dan pendanaan yang sulit diperoleh, tetapi dengan kualitas yang baik core business kita dapat kembali. Meskipun teknologi menjadi bagian yang juga perlu dilakukan. Caranya adalah dosennya juga harus mahir teknologi. Misalkan apabila mengajar harus keep in touch dengan teknologi terbaru dan aktif di media social. Mahasiswa juga dapat menyelesaikan dengan prespective kekinian. Jadi sudah lupakanlah buku-buku kurikulum kuliah kita dahulu, sudah tidak update dengan zaman sekarang. Dilihat dari beberapa universitas apabila saya mengakses, kita harus move on mau tidak mau.

Komunita: Kapan sebaiknya Pendidikan Tinggi memanfaatkan Metaverse?

Prof. Hj. Dra. Rachmah Ida M.Comms., Ph.D.: Kita tidak harus terburu-buru, dalam arti itu ada di dalam dunia capitalis industry. Jadi kita di dalam dunia pendidikan harus menyesuaikan, dan pemerintah harus mengetahui kondisi dari Perguruan Tinggi/PT yang sudah siap atau belum. Istilahnya sudah harus ancang-ancang berlari cepat, karena perubahan itu tidak mudah. Saya penganut paham, apabila ada perubahan tidak selalu harus instant, tapi harus gradual. Kita mulai menggunakan pembelajaran melibatkan media social, melibatkan teknologi, mahasiswa membuat tugas di e-learning, jadi kreatifitas mahasiswa kita ajarkan, dengan begitu lambat laun kita siap menuju Metaverse nantinya. Tentu saja tidak bisa instant.

Komunita: Tidak semua PT dapat segera mengimplementasi Metaverse, apakah akan timbul kesenjangan yang semakin lebar dalam aspek pengelolaan, kualitas pendidikan?

Prof. Hj. Dra. Rachmah Ida M.Comms., Ph.D.: Mereka menginginkan paling tidak Universitas harus Pick Up (harus bisa menangkap perubahan). Tiga sampai 4 tahun itu waktu yang disediakan untuk memikirkan. Apakah kita mengubah konten kurikulum atau metodologi pengajaran kita. Kita mulai menyiapkan sistem akademik, seperti sistem absensi, sistem e-learning, dsb. Kemudian kita menyiapkan mental, mungkin besok tidak lagi memakai tulisan tangan yang harus kita koreksi lagi, mungkin itu bagi saya, mungkin mau tidak mau besok kita masuk ke dalam dunia ”avatar”. Seperti sekarang kita sudah memasuki kembali kuliah luring itu kemunduran menurut saya, kemarin kita sudah online dan kembali ke offline. Mengapa? Saya setuju kita menggunakan hybrid, karena ada teknologi, kenapa kita tinggalkan teknologi seperti zoom, aplikasi zoom itu akan terus update semakin canggih, dan tidak menutup kemungkinan zoom memasuki Metaverse. Kalau kita tinggalkan, memasuki ke offline dengan 14 kali pertemuan tatap muka, pada saat memasuki online, zoom akan semakin canggih dan mungkin saja kita akan tertinggal jauh.

Komunita: Kunci pendidikan tentunya dosen sebagai pendidik, kesiapan dosen kita?

Prof. Hj. Dra. Rachmah Ida M.Comms., Ph.D.: Pertama, dosen harus sudah bisa merubah cara berfikirnya (Open Mind). Bagi dosen-dosen muda mereka akan cepat sekali, tapi bagi dosen–dosen yang menengah dan yang sudah senior, agak sulit untuk mengikuti. Resistensi pasti ada, saya tidak menyalahkan itu. Dan selalu yang ditekankan bahwa pendidikan tidak selalu seperti itu, karena dengan teknologi semuanya sekuler, kita tidak bisa mendidik value, norma dan etika, karena teknologi diciptakan tidak untuk itu, itu social construction of technology, teori itu sudah banyak diterima banyak orang. Kedua, kesiapan keterampilan, harus dimiliki oleh dosen. Jadi mau tidak mau dosen harus update, dan bisa mengoperasionalkan teknologi yang semakin canggih. Menurut saya dosen harus lebih kreatif, dalam inovasi pendidikan harus kreatif dan inovatif. Dosen harus bisa menciptakan temuan-temuan baru cara mengajar yang dapat diterima oleh mahasiswa Kemarin saya baca di media, di Australia salah satu mahasiswa yang berkebutuhan khusus (tuna netra) lulus kuliah, karena dia mendengarkan kuliah melalui zoom, dan apabila offline ibunya mengikuti perkuliahan juga dan kemudian ibunya yang membacakan materi di rumah. Artinya artikel itu menjelaskan bahwa teknologi itu memudahkan bagi orang- orang yang punya kekurangan seperti itu.

.

Komunita: Dari aspek lembaga Perguruan Tinggi, saran Prof. untuk implementasi Metaverse?

Prof. Hj. Dra. Rachmah Ida M.Comms., Ph.D.: Untuk institusi pertama, adalah sarana dan prasarana, karena itu kewajiban mereka. Sarana prasarana harus disiapkan, yakni membangun teknologi pendidikan atau membangun teknologi supporting pendidikan dan sistem administrasi akademik, karena keduanya harus sinkron. Kalau akademik saja sistem administrasi akademiknya tidak jalan ya tidak bisa, jadi harus keduanya. Kedua adalah upgreeding skill dari tendiknya, staf-stafnya, karena menjadi supporting sistem, mereka yang mengoperasionalkanya. Ketiga, tentu saja keterbukaan pemimpin PT atau lembaga pendidikan akan perkembangan ini.

Prof. Hj. Dra. Rachmah Ida M.Comms., Ph.D.: Pendidikan harus bisa menjadi penyeimbang teknologi. Kalau tidak, masyarakat kita akan dihantam teknologi. Manusia yang menciptakan, manusia juga yang dikalahkan teknologi. Itu tantangan kita sekarang. Jadi, kita harus menyiapkan generasi yang bisa menjadi pengkritik teknologi, dan menjaga keseimbangannya.

Komunita: Apa yang harus kita waspadai, dampak dari Metaverse untuk menjaga kualitas pendidikan dan pengajaran nilai-nilai peserta didik?

Prof. Hj. Dra. Rachmah Ida M.Comms., Ph.D.: Pertama, kita harus mewaspadai regulasi (cyber law), kecuali ITE, tidak mengatur terjadinya crime, seperti plagiarism, copy paste, pencurian, itu ancaman kita. Kedua, ancaman kita adalah HOAX (kebohongan). Misalkan dosen mengambil sumber pengajaran dan tahunya HOAX, ya sudah selesai. Dan lainnya adalah hambatan software. Kita harus melawan juga malware/virus dengan security system.

  Kesimpulannya: Institusi pendidikan tidak bisa independen dari perkembangan industri kapitalisme teknologi. Mau tidak mau harus ikut perkembangannya. Persiapannya adalah kita mempersiapkan konten dan wadahnya. Kita harus kuat dikontennya baru wadahnya. Jika ingin bersaing dengan teknokrat-teknokrat meraup banyak keuntungan dari teknologi maju ini, pendidikan harus bisa menjadi penyeimbangnya. Kalau tidak, masyarakat kita akan sangat tertinggal, dan dihantam oleh teknologi. Buktinya sekarang masyarakat kita membeli quota internet 100 ribu adalah hal yang mudah, bahkan kelas menengah ke bawahpun menggangap quota ini murah. Bagi mereka lebih baik membeli quota daripada makan. Supaya mereka bisa tiktokan, twitteran, bisa tetap instagraman, yang penting mereka beli quota daripada makan. Kalau seperti itu, maka kita akan kalah dengan teknologi, manusia yang menciptakan, manusia juga yang dikalahkan teknologi. Itu tantangan kita sekarang. Kita harus menyiapkan generasi yang bisa menjadi pengkritik teknologi, dan menjaga keseimbangannya. (lili_irahali – 9 Juni 2022)

(Rewrite & Interview: Lili Irahali – Audio to transcript: Yanda Ramadana)