Beragam tantangan global maupun nasional ditengah perubahan mendasar dunia kerja dan
usaha sehubungan dengan RI (Revolusi Industri) 4.0 yang tengah kita hadapi. Langsung maupun tidak terkait pula dengan bagaimana mengembangkan pendidikan tinggi berkualitas dalam menyiapkan SDM unggul, serta relevansi lulusan yang mampu bersaing secara global. Karena itu perguruan tinggi (PT) dituntut beradaptasi dengan cepat dalam menyiapkan skill dan kompetensi baru lulusan untuk menjawab beragam tantangan yang beragam.
Memang, kualitas dan relevansi pendidikan tinggi bukan hal yang sederhana,
bahkan sesuatu yang dinamis dan multi-dimensi. Karena itu kualitas dan relevansi
pendidikan tinggi harus menjadi perhatian PT. Menghadapi tantangan-tantangan baru
tersebut, sistem pendidikan tinggi secara makro dan mikro harus merobek dirinya
sendiri dari balutan aturan dan regulasi yang telah dibuatnya sendiri, dan
merestrukturisasi dirinya sendiri untuk berkembang ke segala arah yang relevan.
Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) mengidentifikasi
bahwa sebuah sukses pendorong keberhasilan transisi dari pendidikan ke pekerjaan
meliputi unsur-unsur kunci sebagai berikut: 1) ekonomi yang sehat dan pasar tenaga
kerja; 2) jalur yang terorganisir dengan baik dari pendidikan ke pekerjaan dan studi
lebih lanjut; 3) peluang untuk menggabungkan pengalaman belajar dan tempat kerja; 4)
jaring pengaman bagi mereka yang berisiko; 5) sistem informasi dan panduan yang
efektif; serta 6) proses kebijakan yang melibatkan pemangku kepentingan pemerintah
(OECD 2000).
Di dalam konteks tersebut majalah Komunita berdialog dengan Prof. Dr. H.Dadang Suganda, M.Hum., Rektor Universitas Widyatama – salah satu universitas
berpredikat unggul di Jawa Barat. Dengan sikap terbuka beliau, kami berbincang
bagaimana pemikiran beliau dalam menghantar Widyatama menuju peningkatan
kualitas dan relevansi lulusan pendidikan tinggi.
Komunita: Perubahan mendasar dalam dunia kerja dan usaha terjadi terkait RI 4.0
sebuah keniscayaan. Bagaimana Widyatama mensikapi arti Relevansi dan Kualitas
Pendidikan Tinggi berkait dengan kebijakan MBKM?
Prof. Dr. H. Dadang Suganda, M.Hum: Ada dua visi perguruan tinggi (PT), bisa
menerapkan visi ilmu atau teori, dan mungkin ada perubahan signifikan dari Menteri Pendidikan berkaitan dengan tugas PT dalam konteks menerapkan ilmu. Idiom yang
sudah lama digaungkan di Indonesia bahwa PT jangan menjadi menara gading. Hanya
enak dipandang tetapi, tidak membumi dalam kehidupan. Program Menteri Pendidikan
justru ingin membumikan PT supaya relevan dengan kehidupan.
Salah satu yang dikembangkan Universitas Widyatama, pertama kami melihat
bagaimana pasar, baik dalam bentuk dunia usaha dan dunia kerja, maupun dalam
bentuk yang sifatnya di ruang publik. Bagaimana perkembangan pasar di ruang publik,
membutuhkan kompetensi apa, membutuhkan skill apa, dan membutuhkan
keterampilan apa? Kemudian kondisi faktual di ruang publik berkaitan dengan
kebutuhan pasar dijadikan bahan untuk merestrukturisasi kurikulum, restrukturisasi
kompetensi dosen, dan restrukturisasi proses pembelajaran. Sehingga apa yang
diberikan di kampus, baik dalam bentuk ilmu maupun dalam bentuk keterampilan tidak
tercerabut dari kebutuhan pasar. Itu yang menjadi rujukan Universitas Widyatama
merubah iklim akademik. Iklim akademik tersebut sudah lama kami pikirkan. Karena
pertama banyak alumni PT yang tidak punya keterampilan sesuai dengan kebutuhan
pasar, kedua banyak alumni PT yang tidak diserap pasar, dan ketiga banyak alumni PT
yang tidak bisa menciptakan lapangan pekerjaan. Dengan adanya testinomi pasar,
treasure study semacam gambaran pasar itu berkembang, dinamis progresif dan
dijadikan sebagai support untuk mengembangkan kurikulum. Maka kurikulum, model
pembelajaran, dan kompetensi PT relevan dengan kebutuhan pasar sekarang dan yang
akan datang. Itu konsep APTISI dan sudah diturunkan menjadi program kerja.
Komunita: Di lingkungan Widyatama, sejauh mana program kerja tersebut ditindak
lanjuti oleh Fakultas dan Prodi, serta dijalankan secara berkelanjutan?
Prof. Dr. H. Dadang Suganda, M.Hum: Pertama-tama tentu ujung tombaknya program
studi (prodi) dan dosen. Karena prodi-lah yang mengetahui dapurnya ilmu dan
dapurnya kebutuhan pasar. Oleh karena itu kami mendelegasikan program kerja ini
kepada prodi dan dosen sebagai ujung tombaknya. Kerja pertama prodi adalah
mengevaluasi kurikulum, apakah kurikulum yang berjalan sesuai dengan kebutuhan
pasar atau sudah kadaluarsa? Kalau sudah kadaluarsa harus ditinjau ulang. Perubahan
kurikulum jangan dipatok harus tahunan atau harus semesteran. Kalau ada perubahan
yang signifikan dan kurukulim berjalan tidak lagi relevan dengan pasar, secara otomatis
harus diubah dan disesuaikan. Apa yang ada di dalam kurikulum tentu bagaimana
capaian pembelajaran mata kuliah, sampaian pembelajaran semester, serta sampaian
pembelajaran prodi.
Yang pertama harus didesain kurikulum, yang kedua tentu dosen. Dosen tidak
bisa stagnan, karena ilmu tidak selamanya permanen, ilmu ada kadaluarsa dan
dinamikanya. Kalau dosen stagnan hanya menerima dan mendapatkan ilmu, dan tidak
pernah sadar ilmu berkembang, lalu mencari sendiri dengan pengalaman apapun,
maka mungkin ilmu yang didapatkan sejak lama itu sudah kadaluarsa. Oleh karena itu,
kami menekankan dosen bbersikap agresif mengembangkan diri, mengembangkan
kompetensi, kepakaran dan juga keterampilan. Dosen kami wajibkan mengembangkan
diri dalam konteks kompetensi dan kepakaran.
Berikutnya, proses belajar mengajar metodologinya. Untuk metodologi yang
terdahulu mungkin sudah kadaluarsa. Misal dosen hanya memberikan ceramah, hanya
memberikan diktat, hanya menguji. Sekarang dengan adanya “Guru Penggerak”- saya
mengutip indikator Guru Penggerak – kalau diterapkan dalam PT menjadi dosen
penggerak sangat relevan. Dosen harus menginspirasi, dosen kreatif, menjadi endorse,
menjadi role model dan lainnya. Proses belajar mengajar agar relevan dengan dunia
kerja, pasar harus memberikan kebebasan kepada mahasiswa untuk merdeka. Dalam
pengertian, bisa jadi mahasiswa lebih dinamis, progresif, serta memberikan
kesempatan mereka untuk kreatif. Tugas dosen di sini membimbing, mengarahkan,
dengan metodologi dan cara mengajar lainnya, dari ceramah diubah menjadi best
practice praktek. Dengan adanya hal ini, mahasiswa mendapatkan pengalaman baru,
yang mungkin juga tidak dimiliki dosen. Sehingga pengalaman baru yang dilakukan
mahasiswa tersebut menjadi ilmunya sendiri secara diam-diam. Oleh karena itu
perkembangan, kemajuan, kecerdasan, keterampilan mahasiswa bisa jadi lebih dinamis
dibandingan dengan dosen. Maka, dosen harus menambah kompetensi, serta
mengembangkan proses belajar mengajar dan infrastruktur. Insfrastruktur adalah dunia
digital, karena kita tidak bisa melepaskan itu semua, dan tidak ada panduan kita
menyambut perubahan dengan digital. Salah satunya cara adaptasi, meskipun ada
pameo yang mengatakan gaptek. Secara bertahap saya mengajak dosen beradaptasi
dengan kondisi insfrastruktur yang berkembang yaitu berbasis digital. Inilah yang
menjadi tugas dosen.
Prodi sebagai lembaga yang mengakomodir aspirasi dosen, kebutuhan
mahasiswa, mengubah kurikulum, mempersiapkan paradigma, skema-skema kegiatan,
insfrastruktur dan lainnya. Tugas Prodi adalah melaksanakan belajar mengajar,
bagaimana kepakaran dosen harus dikembangkan, kurikulum sesuai dengan pasar,
mahasiswa diberi kemerdekaan untuk mendapatkan ilmu dari dosen atau dari luar,
prodi bisa mendesain kurikulum sesuai dengan pasar. Itu tugas prodi.
Komunita: Sejauhmana intensitas prodi mendapat ruang cukup untuk bersinergi, dan
dosen didorong mengenal dan berkelindan dengan dunia usaha dan industri?
Prof. Dr. H. Dadang Suganda, M.Hum.: Bagaimanapun prodi harus responsif dan
peka terhadap perkembangan. Prodi jangan diam di tempat, juga jangan mengandalkan
informasi saja. Tetapi proaktif menjadi ujung tombak, yang sifatnya proaktif dan harus
menjalin kerjasama dengan mitra. Apakah industri, masyarakat, komunitas, atau BUMN
itu bagus. Yang penting bagi kami bahwa mitra kerjasama bisa memberikan kontribusi
bagi prodi. Kontribusi penguatan proses belajar mengajar. Apakah menggunakan
kesempatan mengundang praktisi, menitipkan mahasiswa untuk belajar di issue yang
lain. Itu hal yang sifatnya teknis, dimana prodi paling tahu relevansi antara prodi dan
mitra apa yang sesuai. Namun tentu ada kaitannya dengan bagaimana CPL/ OBE
(Outcome Base Education). Prodi akan menciptakan mahasiswa dengan kompetensi
apa pada prodi itu, lalu OBE-nya dirujuk, kemudian di-setting untuk bisa kerjasama
dengan mitra OBE-nya.
Dosen di zaman yang sangat canggih ini, bukan hanya memiliki ilmu dari bacaan
dan text tetapi justru yang paling diharapkan sekarang sebagai dosen penggerak
adalah menerapkan ilmu yang dimiliki, mengembangkan ilmu, lalu mentransfer ilmu.
Kalau sudah dimiliki tentu dosen tidak bisa diam di tempat. Bahkan pemerintah
memberikan alokasi kegiatan yang dapat memberikan dan menciptakan ilmu, lalu
direkognisi oleh masyarakat. Yang direkognisi adalah hasil karya dosen yang relevan
dan bermanfaat bagi masyarakat banyak. Artinya dosen tidak bisa diam di tempat,
dosen harus bergerak. Bahwa nanti pada kesempatan bergerak, ilmu yang didapatkan
masih relavan itu baik. Tetapi kalau sudah kadaluarsa, artinya kita punya input bahwa
ilmu yang kita dapatkan dahulu mungkin sudah tidak update. Dan sekarang kita harus
mencari ilmu baru, darimana? Tentu dari usaha sendiri, dari pengalaman, kreatifitas,
inovasi dan lainnya.
Nah, Widyatama memberi ruang untuk itu. Bahkan setelah Widyatama membuat
rencana strategis, peta jalan, dan ada program-program kerja. Ini dengan tujuan dan
kebijakan yang diarahkan agar dosen mempunyai kemandirian, dalam konteks dosen
bisa menciptakan sebuah karya dan menerapkan sebuah ilmu, dan harus ada
pengakuan dari masyarakat bahwa ilmu itu relevan dan bermanfaat bagi masyarakat
sebagai pengguna. Hal itu sudah kita buat program kerjanya. Widyatama sudah
mengakomodasikan dalam rencana pengembangan tahunan. Kami tidak Top-Down
tetapi lebih ke Bottom-Up. Tugas Universitas mengontrol dan memberi kebijakan.
Apakah yang dilakukan prodi, dosen, juga fakultas sebagai organisasi rumpun keilmuan
sudah sesuai dengan visi dan misi Universitas. Itulah tugas Universitas sebagai
pengontrol, pengarah, pembuat kebijakan, supaya apa yang dilakukan mencapai visi
dan misi, juga target-target yang dicanangkan.
Komunita: Kendala dan hambatan dalam upaya mewujudkan relevansi dan kualitas
pendidikan di Widyatama?
Prof. Dr. H. Dadang Suganda,M.Hum.: Yang paling mendasar adalah tradisi, watak,
budaya dan kebiasaan. Budaya yang selama ini terbelenggu oleh iklim yang bersifat
Top-Down dan selalu diberi petunjuk, tinggal melaksanakan. Kemudian ada perubahan
bahwa ada kemerdekaan untuk menciptakan dan bergerak sendiri. Menurut saya yang
paling utamanya adalah keterbelengguan cara berfikir, cara bertindak dosen dalam
melakukan itu semua, dan budaya yang sifatnya Top-Down tadi harus diubah pelan-
pelan menjadi Bottom Up.
Komunita: Ada pandangan PT/PTS tidak merespon kebutuhan dunia kerja, sejauh ini
hanya merespon regulator, pemilik PT/PTS, mahasiswa dari sisi layanan tetapi tidak
memperhatikan dunia kerja dan industri?
Prof. Dr. H. Dadang Suganda, M.Hum.: Kalau memang stigma itu ada dalam setiap
PT, mungkin harus ada perubahan paradigma berfikir. Di Widyatama, Yayasan sebagai
owner sangat support dan juga apresiatif terhadap apa yang dilakukan Rektorat. Sebab
bagaimanapun citra dan branding, popularitas PT dimata customer adalah apakah PT
dapat mencetak SDM yang memiliki ilmu yang bisa menjadi bekal hidup kelak mahasiswanya. Ini tidak bisa dihindari, oleh karena itu paradigma berfikir yang lama
seperti itu sekarang harus berubah. Customer akan mengapresiasi, menghargai,
menghormati sebuah PT jika lulusannya bisa diserap dalam dunia kerja dan institusi.
Juga jika lulusannya punya keterampilan, punya ilmu dimana dia bisa menciptakan
jalan kehidupannya sendiri. Tujuan pendidikan adalah mencerdaskan bangsa.
Kemudian kata cerdas itu, apabila seseorang mempunyai kecerdasan yang maksimal,
maka dia memiliki banyak sekali kemampuan yang bisa dia ciptakan. Untuk menurunkan kecerdasan itu sekarang PT harus diberi contoh bagaimana mengimplementasikan kecerdasannya dalam dunia hidup. Jadi PT harus mempunyai pemikiran berorientasi kepada kebutuhan hidup yang nyata di masyarakat sekarang.
Komunita: Bagaimana hubungannya dengan ikatan alumni yang bisa kita pandang
sebagai jembatan?
Prof. Dr. H. Dadang Suganda, M.Hum.: Ikatan alumni sangat strategis, karena citra
sebuah PT bahwa PT itu berkualitas atau tidak, salah satunya ditopang oleh bagaimana
alumni diterima, dan berkiprah. Jadi kiprah-kiprah alumni itu menjadi potret sebuah PT.
Oleh karena itu kerjasama dengan alumni bukan hanya dari aspek keterikatan batin,
dan juga norma sosiologis hubungan yang bersangkutan dengan PT. Tetapi alumni
harus memberikan juga support dan masukkan kepada PTnya, bahwa bagaimana
alumni diterima pasar, juga nilai alumni di pasar. Alumni memberikan semacam
masukan untuk mengubah, bahwa ilmu yang didapatkannya masih relevan atau sudah
kadaluarsa. Maka alumni yang menjadi salah satu testimoni untuk mengubah kurikulum
Jadi hubungan PT dengan alumni sangat strategis. Bukan hanya sebagai lulusan tetapi
alumni juga sebagai treasure, testimoni, juga citra (branding), juga customer yang
secara existing betul-betul menjadi potret sebuah universitas.
Komunita: Sejauh mana Widyatama menjalin keeratan dengan alumni? Sejauh mana Widyatama menjalin keeratan dengan alumni?
Prof. Dr. H. Dadang Suganda, M.Hum.: Kebetulan kami sudah bertemu dengan
alumni, dan diskusi bagaimana peran yang harus dilakukan oleh alumni. Kemudian
bagaimana alumni juga memberikan masukkan, juga hubungan baik itu terus
dilaksanakan, kemudian dikembangkan. Bahkan dari alumni sekarang yang saya
harapkan semacam ketulusan, bukan hanya untuk kepentingan pribadi, tetapi
kepentingan lembaga, khususnya universitas dan kepentingan masyarakat. Jadi
kepada alumni kami menghimbau, mari kita bersama-sama membesarkan universitas,
mahasiswa dan juga masyarakat, terutama dalam kaitannya relevansi lulusan dengan
pekerjaan dan apresiasi pasar.
Komunita: Merespon dunia kerja, apakah PT/ Fakultas/ Prodi perlu melakukan
pemetaan kebutuhan dunia kerja sesuai dengan bidang keilmuannya?
Prof. Dr. H. Dadang Suganda, M.Hum.: Menurut saya bukan perlu tetapi harus.
Pertama universitas terutama prodi tentunya pemetaan mengenai kebutuhan pasar itu
menjadi keharusan, dan itu sebagai input bagi kita melihat audit seberapa jauh prodi
yang sedang kita ampuh, dan berjalan masih relevan. Kedua, mengapa harus, karena
bagaimanapun ilmu itu berkembang dan bertransformasi, alam itu berkembang juga kehidupan. Jika kita tidak mengevaluasi kondisi prodi, sementara institusi menghadapi
perkembangan ilmu, alam dan kehidupan. Apabila kita tidak merespon jangan–jangan
bisa menjadi hal yang mubadzir. Jadi untuk melihat kerelevansian antara prodi dan
dunia nyata maka harus dipertahankan. Lalu bagaimana pemetaan itu. Pertama ada
pemetaan ilmu linear, ada pemetaan ilmu yang beririsan dengan kehidupan nyata,
bahkan ada yang bertolak belakang atau tidak ada dalam kompetensi prodi. Inilah
kesempatan merdeka kita untuk menciptakan sesuatu yang baru. Jadi hal-hal yang
bersifat inovasi, kreatifitas itu berangkat dari upaya kita memotret dunia nyata. Hasil
pemotretan itu bisa jadi, ada ilmu yang masih relevan, ada yang beririsan, dan ada
yang sama sekali tidak bersinggungan. Karena hidup itu memerlukan modal. Modal
yang kita berikan kepada mahasiswa mungkin hanya modal ilmu dan teori, kemudian
pergaulan, agama, sosial, kesehatan, watak dan sikap. Kita tidak bisa memberikan
seluruhnya. Maka satu-satunya cara adalah kita harus memberikan kesempatan
kepada mahasiswa dan dosen untuk bergaul. Dalam pengertian bukan hanya bergaul
dalam lingkungan kampus, tetapi juga lingkungan luar kampus. Itulah hakikat kampus
merdeka, memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk belajar di luar kampus,
dan tidak dibelenggu oleh kompetensi prodinya. Tetapi belajar di luar kampus boleh di
luar prodi, boleh beririsan. Asal indikator-indikator kompetensinya terukur baik yang
sifatnya sains, keterampilan maupun sikap.
Komunita: Khusus Widyatama, bagaimana pendekatan sinergi dengan dunia kerja dan
dunia usaha?
Prof. Dr. H. Dadang Suganda, M.Hum.: Pertama-tama tentu kami apresiasi Pusat
Karir Widyatama yang telah menjadi model yang ditunjuk DIKTI. Pusat Karir Widyatama
agresif sekali melakukan kerjasama, melakukan treasure study, testimony baik dari
alumni, terutama customer dalam lingkup yang lebih luas Itu salah satu bentuk evaluasi
kondisi Widyatama Kedua, kami sudah menerapkan program kampus merdeka. Itu
tidak sederhana, ada perubahan ilkim dari yang sifatnya regular dengan merdeka.
Tentu ada semacam adaptasi perlu waktu secara bertahap. Sekarang sudah ada
perubahan karakter sikap, baik dari dosen, prodi, pimpinan, juga dari mahasiswa itu
sendiri. Mudah-mudahan secara bertahap akan menjadi kebiasaan Kami mengangkat
agar perubahan ini terus mengakar menjadi tradisi di Widyatama. Itu kebijakan yang
dilakukan dalam rangka perubahan-perubahan yang sedang dihadapi.
Komunita: MBKM sesuatu yang baru bagaiamana prodi dan dosen diberi ruang, dan
Universitas memberikan kebijakan. Bagaimana kendali Widyatama agar tujuan dicapai?
Prof. Dr. H. Dadang Suganda, M.Hum.: Konsep yang pertama, Universitas
menggelontorkan program kampus merdeka. Kedua, di tingkat operasional,
memberikan kemerdekaan untuk mengimpelementasikan. Ketiga, tentu kami evaluasi,
seberapa jauh dan apa yang diharapkan Universitas itu dilaksanakan. Keempat, ada
semacam bottom up. Apa aspirasi operasional teknis dilaksanakan, kemudian evaluasi
dan hasil dari semua proses itu nantinya sudah tergambarkan bagaimana proses
implementasi dan lainnya. Kami menarik kesimpulan pertama sekarang Widyatama membuat kebijakan bersifat sebagai rujukan umum, sudah dibuatkan pedomannya,
dibuatkan juga bagaimana operasionalnya, baik dalam implementasi dan evaluasinya.
Kemudian ada semacam sosialisasi kepada Prodi, Dosen, Mahasiswa agar mereka
memahami apa konsep kampus merdeka. Dan paling kasat mata, kami sudah membuat
semacam kelompok khusus implementasi kampus merdeka dengan adanya
“koordinator” Duta Kampus Merdeka Widyatama, ada PIC yang menangani kegiatan
teknis dalam bidang indikator yang diberikan pemerintah. Tetapi juga kami memberikan
keleluasaan kepada PIC untuk menciptakan hal-hal baru. Jadi PIC diberi tugas
program-program pemerintah baik dari dana, indikator luarannya, proses output dan
input, maupun bagaimana proses kegiatannya. Kami mendorong dan memberikan
arahan dibuatkan program–program yang artinya inisiatif internal Widyatama, inisiatif
PIC. Mengapa demikian, karena prinsip kegiatan kampus merdeka adalah kegiatan-
kegiatan mahasiswa di luar kampus. Kalau itu menghasilkan indikator variable
kompetensi untuk bekal hidup mahasiswa ke depan harus diakuisisi, meskipun bagian
dari temuan-temuan inovasi. Sebab Widyatama menganut pemikiran bahwa,
pengalaman adalah ilmu yang secara diam-diam dianugerahkan oleh Tuhan kepada
manusia dan menjadi pengetahuan individu yang khas, dan pengetahuan itu sekaligus
menjadi modal dia. Kebetulan saya terinspirasi oleh Dirjen Vokasi, Wikan Sakarinto,
S.T., M.Sc., Ph.D. Ia mengatakan bahwa ia belajar di Jerman S2 dan di Jepang S3,
kemudian menjadi Dirjen, ilmu yang saya dapatkan dari petualangan luar negeri, tidak
semuanya relevan dengan apa yang dikerjakan sekarang, justru ilmu yang saya
dapatkan dari pengalaman itulah yang memberikan kontribusi bagi hidup saya. Artinya
bahwa pengalaman menjadi modal juga untuk seseorang memiliki ilmu, dan
keterampilan. Hal itu dijadikan sebagai rujukan inspirasi untuk diterapkan di Widyatama
Ada Duta Kampus, PIC. Ada tugas-tugas yang harus dilakukan oleh PIC, koordinator
lapangan, dan lainnya.
Duta kampus berperan mendesain implementsi kampus merdeka di Widyatama,
dan didistribusikan kepada PIC. Lalu Duta kampus punya konsep, PIC mengajar itu
bagi mahasiswa itu. Akan mengajar apa materinya, bagaimana proses belajar
mengajarnya, siapa yang mendapatkan pengajarannya dan lain- lain. Duta kampus
sebagai Koordinator dan PIC sebagai orang yang ujung tombak mengimpelemntasikan
operasional kampus mengajar itu. Jadi RektoratUniversitas tentu memberikan tugas
kepada Duta Kampus dan PIC untuk bisa merancang secara terukur. Bahwa
impelementasi kampus merdeka tidak hanya dalam bentuk wacana, tetapi input dan
output, serta hasilnya jelas.
Komunita: Kerjasama Widyatama banyak sekali dengan dunia industri, dalam kaitan
relevansi lulusan apa sudah terwujud?
Prof. Dr. H. Dadang Suganda, M.Hum.: Memang kita sudah banyak kerjasama
dengan dunia industri. Apresiasi dunia industry bahwa Widyatama menjadi salah satu
lulusan yang diperhitungkan untuk diterima di dunia pekerjaan. Tentu capaian ini akan
terus digalakkan, dan kerjasama dikembangkan lebih teroganisasi dengan baik supaya
kebutuhan-kebutuhan dalam pencapaian indikator akreditasi dalam konteks internal PT terpenuhi juga. Saya kira hal-hal yang berkaitan dengan kerjasama tentu pentahelix
sudah. Dan sekarang ada hexahelix tentu kegiatan-kegiatan yang tidak terakomodasi
dalam pentahelix pemerintah, komunitas, media, bisnis dan masyarakat, tentu akan kita
akomodasikan dalam hexahelix. Jadi pentahelix dikembangkan dan dipelihara, serta
hexahelix juga dibuka keran-kerannya. Untuk itu, insiatif individu dan organisasi diujung
tombak kita beri ruang yang lebih leluasa (merdeka).
Komunita: Ada pendapat tenaga kerja asing lebih professional daripada tenaga
Indonesia?
Prof. Dr. H. Dadang Suganda, M.Hum.: Saya melihat dari prespektif yang namanya
kebutuhan tenaga kerja itu harus membumi. Yang dimaksud membumi secara teknologi
ada beberapa Negara mempunyai keterampilan lebih tinggi, tetapi dalam konteks
implementasi pembangunan tidak bisa tercerabut dari akar budaya. Karena itu
Widyatama menganut pembangunan berkelanjutan. Berkelanjutan artinya tidak
menghilangkan ruang-ruang budaya, ruang tradisi kebiasaan tempat orang berada
kontekstual. Sedangkan kalau dari luar negeri dan tidak mengenal budaya kita,
mungkin ada hal yang sifatnya menjadi tidak relevan, tidak membumi dengan
kebutuhan masyarakat setempat. Jadi di satu sisi orang mengatakan tenaga kerja luar
negeri mempunyai keterampilan IT, tetapi dalam konteks implementasi pembangunan
apakah relevan dengan dunia Indonesia. Sebab kalau ada semacam program-program
yang tidak membumi akan terjadi gegar budaya. Ketika orang gegar budaya kehilangan
pegangan, daya hidup, spirit dan lainnya. Widyatama tetap akan berbasis pada
bagaimana budaya menjadi tolok ukur untuk mengembangkan kemampuan-
kemampuan mahasiswa. Karena pada akhirnya mereka akan hidup di bumi Indonesia
dan sebagai pedomannya kami memegang prinsip pembangunan berkelanjutan. Ada
17 tujuan pembangunan berkelanjutan dan kami memegang filosofi “kehidupan ini,
alam ini, ilmu ini bisa jadi bukan warisan nenek moyang, tetapi titipan anak dan cucu”.
Artinya harus dipelihara, kemudian keadaan bumi masih dapat dipertahankan dan
berkembang uyang ujung-ujungnya sebuah negara bisa mengakomodsaikan kebutuhan
masyarakatnya sesuai dengan kemampuan negaranya. Kalau kita terus mengimpor
tenaga asing nanti bagaimana dengan manusia Indonesia? Justru kita harus
mengeksploitasi orang Indonesia hidup di Indonesia dan mendunia.
Komunita: Terkait relevansi dan kualitas ini, Apa saran bagi PT dan jajarannya, juga
dunia kerja?
Prof. Dr. H. Dadang Suganda, M.Hum.: Setelah melihat kondisi faktual di beberapa
PT, dan mengaudit kondisi kami. Saran bagi PT tentu sebuah PT mempunyai Visi, Cita-
cita dan target. Kemudian target itu harus terukur dalam pengertian, apapun target jika
kapabilitas dan kapasitas resources yang dimiliki tidak bisa mencapai itu mungkin
hanya akan berantakan. Kedua, sebuah PT tidak bisa narsis seolah-olah paling super
dan paling hebat. Perubahan terjadi per detik dan menit. Karena itu bisa jadi kualitas
unggulan yang dimiliki saat ini, 3-5 tahun akan datang akan tergilas oleh dinamika
kemajuan jaman. Terakhir PT harus menciptakan semacam branding, citra dan keunggulan apa yang akan diangkat didalamnya. Sebab tidak mungkin seluruh keunggulan kita raih, harus mempunyai skala prioritas apa yang akan dilakukan. Terakhir tentu membina mahasiswa, dosen, dan prodi mengarahkan mereka untukselalu responsif terhadap kondisi faktual sekarang dan yang akan datang. Bahkandalam pandangan ilmuwan ke depan dunia dalam kondisi VUCA (Volatility, Uncertainty,Complexity, dan Ambiguity) Kondisi ini akan mengacaukan situasi pendidikan. Olehkarena itu harus ada strategi, PT harus memiliki strategi bagaimana menghadapi era VUCA. Kalau tidak merancang strategi, tunggu tanggal mainnya, bisa jadi tergerus jaman atau beradaptasi pada jaman. Dua sisi yang harus kita pikirkan.
Bagi dunia kerja menjadi mitra strategis. Karena dunia kerja akan mendorong
kondisi PT. Dunia kerja juga harus kritis terhadap PT, kalau PT dianggap sudah tidak
punya kualitas yang relevan dengan dunia kerja maka menurut saya justru cara apapun
yang dilakukan dunia kerja untuk mengkritisi PT menjadi bagian dari support dan input
yang harus diterima PT. Bahkan PT harus mengundang praktisi dari dunia industri/
kerja, memberikan pembekalan dan kurikulum, pelatiha-pelatihan, agar PT mempunyai
bobot pemikiran yang nyata dalam kehidupan sehari-hari.(lee-Nov2022)
Interview & Rewrite: Lili Irahali – Audio to transcript: Yanda Ramadana
Narasumber: Dadang Suganda adalah Professor of Linguistics,
dan Guru Besar Universitas Padjadjaran yang juga Rektot Universitas Widyatama.
Meraih Sarjana dariUNPAD (1983), Magister Hukum dari UNPAD(1993), dan Doktor dari
UNPAD (2003).