Wawancara Konseptual Tentang Arah Kebijakan Pendidikan Tinggi Di Indonesia: Komentar Praktisi Non-Pejabat Struktural Antara Komunita Dan Bachrudin Musthafa

0
321 views

Komunita: Tentang relevansi dan kualitas Pendidikan Tinggi di
Indonesia…dan Apa yang menjadi Tolak-Ukurnya?

Pertama-tama, Universitas harus didudukkan dalam proporsinya yang benar sesuai visi-misi dan tugas-tugas pokok yang dibebankan kepada setiap universitas yang mungkin unik (secara relatif) dibandingkan universitas yang lain. Jadi, dengan rektor beserta para wakilnya dan jajaran intelektual-birokrat yang mendukungnya (pada level fakultas dan program studi), unit besar yang disebut Universitas ini seyogianya diposisikan sebagai pihak independen, selain dalam posisinya sebagai bagian dari komponen Pendidikan Tinggi (DIKTI) di Indonesia, yang dapat juga dipandang sebagai unit pelaksana sebagian visi-misi DIKTI sebagai Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.

Setelah posisi setiap universitas ini didudukkan secara relatif dengan dirinya sendiri,
dalam organisasi besar ini ada bagian-bagian apa saja yang mengurusi relevansi
program pembelajaran dengan dunia di luar universitas, seperti Industri dan pihak
pemekerja lulusan yang tentunya memiliki harapan dan hak untuk didengar keinginan-
keinginannya (misalnya sekaitan dengan bekal keilmuan dan keterampilan yang
diberikan kepada lulusan universitas yang telah mentas dari proses pendidikan). Di sini
isu kontrol kualitas dan relevansi pengetahuan dan keterampilan lulusan menjadi
penting.

Ada contoh menarik dari Prof. Wardiman (mantan Mendiknas RI) sehubungan dengan
kesenjangan antara kesiapan kerja para lulusan dengan tuntutan dunia kerja. Kata
beliau, lulusan universitas (Perguruan Tinggi/PT) di Indonesia seyogianya diposisikan
sebagai “calon pekerja terampil” yang memiliki kesiapan keilmuan dan keterampilan
berpikir yang siap dilatihkan dan disinkronkan dengan tuntutan kerja.
Jadi—sebaiknya—pihak pemekerja melihatnya seperti ini supaya proporsional: lulusan
PT seyogianya diberi kesempatan untuk beradaptasi dan mengembangkan
keterampilan spesifik yang dituntut pada dunia kerja supaya segera dapat mengambil
peran yang bermakna bagi derap kemajuan dunia-kerja. Untuk keperluan ini, pihak PT
dan Perusahaan (Pemekerja) harus bekerja-sama memfasilitasi lulusan yang akan
beradaptasi dengan “tuntutan nyata di lapangan.”

Melalui desain programnya yang terkenal—disebut “link and match”—Prof. Wardiman
mengindikasikan adanya sinergi terus-menerus antara pihak kampus dengan pihak
industri pemekerja lulusan, Sinergi ini harus didesain sedemikian rupa sehingga
keterkaitan visi-misi program pembelajaran mata-mata kuliah utama tertentu terasa
berkait-berkelindan dengan bagian-bagian penting di perusahaan dan/atau industri.
Seperti di bagian-bagian lain yang penting-penting, “godaan” dan tantangan “survival” bagi program ini terletak pada niat-baik dan kekompakan altruistik yang mementingkan
relevansi pembelajaran dan dengan tuntutan keterampilan dalam dunia kerja.
Yang perlu dicamkan oleh kedua pihak—yakni pihak universitas/PT tempat mahasiswa
belajar dan industri (perusahaan) sasaran tempat kerja– adalah kenyataan dari riset
bahwa pekerja pemikir lulusan PT akan dapat dijadikan motor pemikir bagi kemajuan
perusahaan bila dipandu dan dilatih dengan benar. Ini yang dapat dijanjikan bagi
kemaslahatan PT dan Perusahaan berdasarkan riset ilmiah.

Komunita: Faktor-faktor apa yang menghambat PT dalam mewujudkan relevansi dan
kualitas pendidikan tinggi di Indonesia?

Banyak alasan tentang hal itu dan masing-masingnya dapat saling mempengaruhi.
Alasan yang dapat dibayangkan antara lain yang berikut. (1) Keterbatasan biaya
pengembangan: anggaran yang jumlahnya kecil seringkali dijadikan alasan mengubah-
fokus pada hal-hal yang dianggap paling mendesak (apapun kenyataannya). (2)
Wawasan pengembangan ke depan yang amat-sangat komprehensif. Pada PT yang
relatif canggih terdapat pembedaan antara keperluan pengembangan strategis jangka
panjang dan keperluan jangka pendek yang mendesak (yang masih dianggap searah
namun dilaksanakan dalam skala relatif kecil), (3) Mungkin juga ada dirasakan “godaan”
untuk segera melihat hasil dari “modal yang ditanam.” Gejala keterburuan ini seringkali
mewujud ke permukaan karena ingin melihat hasil dalam waktu relatif cepat (contohnya
dalam hal inisiatif pembaruan yang harus segera dilaporkan kepada penyandang dana
karena tenggat-waktu yang “mepet”).

Mungkin masih banyak alasan lain yang dapat dibenarkan tetapi—dalam
perjalanannya, kita memang perlu belajar lebih baik dan belajar lebih kolaboratif dengan
mitra dalam semangat saling-membantu dalam kebajikan.
Memikirkan relevansi dan kualitas suatu PT (perguruan tinggi) jelaslah masalah besar.
Oleh karena itu, kita dapat menyiasatinya dengan cara “mencicil” tugas dengan menata
skala prioritas. Ini merupakan fungsi internal perencanaan di dalam organisasi yang
bersangkutan. Tidak semua PT mau dan mampu mengolah diri sesuai arahan “pusat”:
dalam hal ini mungkin diperlukan diferensiasi tugas berdasarkan minat dan
kesanggupan masing-masing PT. Ambil sebagai contoh pengembangan budidaya
tanaman obat bagi PT yang memiliki minat dan sarana ke arah ini. Fokuskan perhatian
ke tanaman obat ini dan kerahkan sumberdaya dan dana ke bidang pilihan ini dengan
segala daya-dukung “penta helix” yang sering dibicarakan para ahli.
Contoh lain adalah rekayasa teknologi. Bagi PT yang memiliki sumberdaya kuat dan
mitra kerjasama yang cocok dalam semangat saling mengembangkan diri, kolaborasi
jangka panjang dapat direncanakan dan tim-kerja dapat dibentuk untuk saling
memfasilitasi (dengan dukungan “penta helix” yang diseragamkan semangat dan
militansinya) agar para ilmuwan muda dan praktisi yang memiliki kemampuan
teknologisnya untuk mendesain robotika yang bermanfaat dan dapat menghasilkan
keuntungan bagi kelanjutan pekerjaan kolaboratif selanjutnya.

Komunita: Kita perlu belajar spesifik sebelum berkolaborasi. Apa persisnya tuntutan
dunia kerja? Agar para pegawai pemula memiliki kemampuan apa sebagai sasaran
kinerja? Agar mereka siap memproduksi apa?

Di universitas/PT sebagai institusi pendidikan dan pengetahuan kepakaran kita
mengisyaratkan dengan sangat jelas bahwa institusi besar ini menganggap ikhitar kependidikan ini berhasil bila tercapai indikator utama sebagai berikut. Para lulusan
lembaga ini mampu mengartikulasikan dengan baik pengetahuan teoretis dan alasan -alasannya; mampu mengartikulasikan dengan jernih proses-proses yang perlu dilalui
dengan rinci untuk sampai kepada keterampilan yang digambanrkannya; dan mampu
menyebut-kenali perangkat kasus-kasus yang relevan yang dirincinya dalam pengetahuan teoretis dan pengetahuan prosedural yang diungkapkannya.

Dengan demikian, gambaran orang pintar di kampus mungkin tidak sepenuhnya sama-
dan-sebangun dengan gambaran yang ada pada harapan mitra kolaborasi di perusahaan (industri) tempat bekerja. Dengan alasan itulah diperlukan adanya “sinkronisasi” dan pertemuan yang berulang dan terjadual secara sistematis sehingga semua pihak yang bekerjasama (pihak wakil kampus dan pihak pengelola industri)sama-sama memperoleh pemahaman yang lebih baik dan lebih matang. Dengan demikian, salah satu indikator penting keberhasilan suatu kolaborasi adalah peningkatan wawasan yang semakin mendekat dan menyatu secara kohesif.

Komunita: Perlukah atau mampukah PT melakukan pemetaan dan prediksi kebutuhan
tenaga kerja di semua sektor menurut jenjang dan bidang keterampilan dalam
perencanaan jurusan maupun target-target lulusan?

Saya lebih cenderung memberikan keleluasaan pada tingkat prodi atau fakultas untuk
tugas (atau inisiatif) pemetaan ini. Hal ini – andaipun akan dilakukan—harus dilakukan
bersama-sama dengan tim mitra dari industri atau perusahaan yang merupakan mitra-
kerjasama. Jadi, sedari awal, harus disepakati kedua belah pihak apa yang akan
digarap bersama dan bagaimana melakukannya (dan dengan pengaturan sumberdaya
seperti apa).

Dengan cara berpikir dan prosedur kerja yang serupa, tim ini juga mengajak pihak
pendukung (yang diistilahkan dengan “penta helix” itu). Dengan demikian, masalah pentingnya “pemetaan dan kebutuhan dan prediksi kebutuhan tenaga kerja” itu merupakan hajat bersama kita sebagai “komunitas terdidik” yang memilih bekerjasama untuk menopang perbaikan kualitas proses dan produkpendidikan kita sebagai bagian penting dari forum-kerja “penta helix” yang kita bicarakan ini. Kita sepakati urgensinya dan kita modali pengembangannya. Kita lakukan ini semua bersama-sama sebagai komunitas terdidik yang peduli terhadap pemberdayaan bersama bagi seluruh kelompok yang kita upayakan perbaikan kesejahteraannya.

Komunita: Apakah tenaga kerja asing (TKA)—dari sisi kualitas, profesionalisme, dan
kompetensi—lebih baik dari tenaga kerja Indonesia?

Sejauh yang pernah saya baca dan saya yakini selama ini, kualitas kerja,
profesionalisme, dan kompetensi kerja, tidak ada kaitannya dengan latar belakang
kebangsaan seseorang. Selama ini belum ada studi sistematis yang membandingkan
kualitas kerja, profesionalisme, dan kompetensi kerja orang asing di Indonesia dan
membandingkannya dengan “pekerja lokal”. Dalam ketiadaan data hasil studi sistematis
tentang hal ini, kita hanya dapat menduga-duga. Kalau saya harus menduga-duga tentang kualitas kerja, profesionalisme, dan kompetensi kerja, saya kira tiga hal ini merupakan fungsi dari nilai yang dipilih individu dalam bekerja dan menginvestasikan energi dan keterampilan untuk menyajikan yang terbaik bagi apa (dan siapa) saja yang dianggapnya penting sebagai sasaran pengabdiannya.

Dengan basis keyakinan semacam ini, saya lebih cenderung menyerahkan kontrol
kualitas kerja, profesionalisme, dan kompetensi kinerja pada pelatih-pelatih yang menghayati olah-batinnya ke arah pengabdian bagi kemaslahatan orang lain yang
sedang dilayaninya. Dengan memosisikan kualitas kerja, cara pandang terhadap pekerjaan, dan keterampilan yang dikerahkan terhadap tugas yang dilakukan berafiliasi dengan niat
melayani dan mengabdi kepada pekerjaan yang sah dan dianggap baik, maka masalah
besaran upah tidaklah menjadi parameter satu-satunya dalam pelaksanaan pekerjaan
yang mulia.

Komunita: Apa saran-saran bagi PT dan Dunia Usaha sekaitan dengan relevansi
antara Dunia Pendidikan dan Dunia Kerja?

Saran dari saya sederhana saja: Carilah keberkahan dari apa-apa yang kita kerjakan
dan upayakan melalui kerja keras dan kerja tuntas yang kita niatkan sebagai “jejak
kehadiran kita” di suatu konteks tempat dan waktu. Caranya bagaimana? Niatkan
kegiatan fasilitasi peningkatan kualitas kerja dan perolehan penghasilan dari pekerjaan
kita sebagai amal kebjikan sebagai tugas eksistensial kita. Dalam melaksanakan semua
pekerjaan ini, niatkan sebagai bentuk ungkapan cinta-kasih melalui pelaksanaan
kewajiban kita kepada Negara Republik Indonesia melalui upaya peningkatan kualitas
layanan kepada lulusan perguruan tinggi (PT) melalui wadah yang ada melalui
kewenangan yang ada pada kita.
Dengan orientasi nilai semacam ini, nilai pekerjaan dan penilaian terhadap kualitas
yang melekat padanya bukanlah masalah dunia semata melainkan masalah ibadah
yang bermatra ukhrowi (keakhiratan). Insya Allah berkah (Bachrudin Musthafa).

Interviewer: Lili Irahali

Narasumber: Bachrudin Musthafa, adalah Guru Besar UPI, dan Dekan periode (2012-2016) Fak. Bahasa Universitas Widyatama. Ia meraih gelar Sarjana dari IKIP Bandung, 1979 (Bachelor in English Education), Indiana University,
1992 (Master in Rhetoric), Ohio State University, 1997 (Ph.D. in Literacy Education – early childhood education). Ia peneliti dan guru besar dengan disiplin pada primary education, teacher education, serta teaching methods, serta mengembangkan berbagai riset (69 aktivitas riset tercatat dalam https://www.researchgate.net/. Ia memiliki Google
Scholar h-index 13, dengan lebih 1.000 sitasi atas karya-karyanya, per Desember 2022. Sejak tahun 2013 sampai saat ini Bachrudin Musthafa menulis untuk majalah Komunita.