Pesan Mendikbud, Bisakah Masalah Lulusan PT Teruraikan?

0
884 views

Darurat Pendidikan Tinggi

Pesan Mendikbud

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Nadiem Makarim ,Cdang belanja masalah dan merancang strategi dan terobosan dalam menjalankan fungsinya sebagai menteri yang membidangi pendidikan dan kebudayaan. Ia membuka ruang jumpa dengan sebanyak mungkin stakeholden pendidikan dan kebudayaan yang sarat dcngan problem dan masalah luar biasa pelik, yang salah satunya adalah masalah lulusan PT. Ia menegaskan bahwa untuk lima rahun kedepan, yang menjadi prioriras nomor satu untuk pendidikan tinggi dan Perguruan Tinggi Indonesia adalah mencetak pcmimpin masa depan. Artinya, mahasiswa yang saat ini scdang duduk di bangku kuliah harus disiapkan menjadi pemimpin setelah lulus perguruan tinggi.

Deklarasikan pesan disampaikan di hadapan civitas akademika Universitas Indonesia ketika serah terima jabatan Rektor Universitas Indoncsia dari Prof. Muhammad Anis kepada pejabat baru Prof. Ari Kuncoro Rabu, 4 Desember 2019 lalu di kampus Depok Jawa Barat. Ini menjadi pesan yang sangat penting bagi dunia pendidikan, khususnya pendidikan tinggi dan perguruan ringgi. Perubahan budaya organisasi perguruan tinggi yang selama ini sudah terbentuk dalam mengelola perguruan tinggi “just business as usual management”. Yakni sebagai sebuah formal itas dan rutinitas yang nyaris minim, bahkan miskin dengan inovasi, terobosan dan kreatifitas.

Padahal sesungguhnya Proses Pembelajaran yang terjadi di kampus, ada di bawah kontrol dan kendali penuh para Rektor, pimpinan fakultas dan program studi, Dosen dan semua para ahli yang ada disana. Secara sederhana seharusnya tidak ada alasan bagi perguruan cinggi tidak bisa mencetak pemimpin berkarakter dalam kurun waktu 3 sampai 5 tahun. Ke depan scjumlah tantangan harus dihadapi dan dikelola oleh para rektor/pimpinan perguruan tinggi adalah: Pertama, perkembangan dan perubahan di bidang teknologi yang menyentuh seluruh dimensi kehidupan manusia, termasuk dunia perguruan tinggi. Kedua, republik ini sedang memasuki perubahan orientasi praktis kegiatan.

Nadiem menegaskan “Kita memasuki era di mana gelar tidak menjamin kompetensi. Kita memasuki era di mana kelulusan tidak menjamin kesiapan berkarya. Kita memasuki era dimana akreditasi tidak menjamin tnutu. Ini hal-hal yang harus segera disadari”. Ketiga, mengelola proses pembelajaran dengan kemerdekaan. Yang merdeka bukan hanya peserta didik, terapi juga guru atau dosen dalam mengelola proses pembelajaran.

Nadiem menegaskan bahwa kemerdekaan itu harus menampak dalam setiap jenjang unit pendidikan yang dikelola, dan tidak sekedar formalitas mengikuti SOP belaka. Dengan kemerdekaan, masing-masing memiliki otonomi dalam membuat output berkualitas. Dan otonomi adalah cerminan dari kepercayaan kepada setiap pengelola unit pendidikan. “Dalam era ini ekspektasi saya adalah lembaga perguruan tinggi merdeka dari berbagai macam regulasi dan birokratis”. “Para pendidik dan dosen juga dimerdekakan dari birokrasi. Dan yang terpenting mahasiswa diberikan kemerdekaan untuk belajar sesuai kemauannya, sesuai kemampuannya, sesuai interest dia,” jelas Nadiem. Problematik Indonesia disoroti para peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) belum lama ini masalah ekonomi, kualitas dan produktivitas tenaga kerja Indonesia mensikapi tantangan era industri 4.0 yang dipaparkan dalam berbagai kesemparan. Bhima Yudhistira, ekonom Indef, dalam bincang dengan tabloid Kontan menyorot tiga hal penting permasalahan ekonomi tahun 2019.

Salah satunya, kualitas tenaga kerja yang belum ideal. Sejumlah 60% tenaga kerja merupakan lulusan sekolah mcnengah pertama (SMP), atau bahkan di bawahnya. Sedangkan lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK) menduduki tingkat pengangguran tertinggi. M. Fadhil Hasan, Ekonom Senior Indef juga mengatakan saat ini perekonomian ke depan mengarah ke dunia digital. Maka mau tidak mau, dunia usaha dan industri akan mengarah ke sana. Namun, persoalannya sudahkah dipersiapkan tenaga kerja untuk memasuki era tersebut, serta keahlian apa yang dibutuhkan agar mereka bisa jadi bagian dari digital ekonomi. Menurutnya, pendidikan keahlian tenaga kerja Indonesia masih pada era ekonomi 1.0 atau 2.0, sementara perkembangan masyarakat dan ekonomi sudah mengarah pada era industri 4.0. Karena itu, sesun uhnya ada gap anrara perkembangan perekonomian dengan kesiapan tenaga kerja.

Di era digital ckonomi ke depan hampir 60 persen tenaga kerja akan digantikan dengan berbagai teknologi. Sementara faktanya, dari total 124,5 juta yang bekerja, mereka ada di sektor formal 40 persen dan informal 60 persen, serta pengan uran sejumlah 7 juta. Kondisi ini menyebabkan masalah produktivitas tenaga kerja yang rendah. Kedua, ketidakcocokan tingkat pendidikan tenaga kerja dengan kebutuhan dunia usaha dan industri, ujar Fadhil dalam diskusi “Menyelesaikan Masalah Struktural Ketenagakerjaan” di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan,14 Maret 2019 lalu. Kontradiksi dengan realita angkatan kerja lulusan SMK atau perguruan tinggi sekarang, ketika mereka memasuki ke pasar kerja, mereka masih memerlukan berbagai training untuk meningkatkan “skill” agar cocok dengan kebutuhan dunia usaha dan industri. Pcndapat scnada dikemukakan Eko Listiyanto, peneliti Indef lainnya. Tingginya jumlah penganggur yang berlatar belakang pendidikan SMK serta PerguruanTinggi tren-nya selalu naik sejak tahun 2012. Padahal, penganggur dari latar belakang pendidikan lain cenderung mengalami penurunan. Faktor penyebab, yang terampil dan terdidik tingkar penganggurannya naik adalah : Pertama, para lulusan PT terlalu mcmilih pekerjaan yang hendak dijalani selepas pendidikan. Kedua, ada kemungkinan kemampuan atau lulusan SMK dan PT tidak sesuai dengan kebutuhan dunia usaha dan industri saat ini. Kalaupun selama ini, produk perguruan tinggi seperti gambaran di atas dan uraian berikut adalah lulusan yang tidak kompeten, berarti ada yang salah dalam manajemen perguruan Inilah yang akan menjadi pusat perhatian Nadiem untuk mengubahnya secara ”fundamental agar prioritas nomor satu ini dapat diwujudkan dengan jelas dan tegas.