AKREDITASI UNGGUL PT SUDAHKAH MENGGAPAI UKURAN MENCERDASKAN KEHIDUPAN BANGSA ???

0
526 views

.

AKREDITASI UNGGUL PT

SUDAHKAH MENGGAPAI UKURAN

MENCERDASKAN KEHIDUPAN BANGSA ???

.

  Pembangunan hanya dapat terwujud jika karakter dan pengetahuan masyarakat dikembangkan melalui pendidikan, sehingga tujuan negara Indonesia bisa didekati capaiannya. Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4, menegaskan tujuan negara Indonesia dalam: “…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.” 

  Tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa diperkuat dalam pasalnya yang menjelaskan bahwa setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan dan negara memiliki kewajiban untuk memenuhi pendidikan setiap warga negara guna mewujudkan tujuan nasional, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.

  Memenuhi kewajiban tersebut memerlukan sistem pendidikan yang komprehensif, saling sinkron, dan mengatur sistem pendidikan dimana negara berkewajiban menyediakan suatu sistem undang-undang yang mengatur dan mengintegrasikan undang-undang yang sudah ada. Sistem pendidikan yang mencerdaskan tentunya mencakup semua komponen pendidikan, baik keluarga sekolah dan masyarakat yang secara bersama mengembangkan kecerdasan peserta didik, kecerdasan bangsa, serta mencerdaskan kehidupan bangsa.

  Sistem pendidikan nasional tentu harus mampu menjawab kebutuhan peningkatan kualitas pendidikan Indonesia yang sudah menjadi kebutuhan mendesak. Fakta-fakta di lapangan saat ini membuktikan bahwa kualitas pendidikan menjadi permasalahan bersama. Sejumlah lembaga survei internasional masih menempatkan kualitas pendidikan Indonesia di urutan bawah. Laporan The Learning Curve, Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), TIMS and PIRLS, World Education Forum PBB, World Literacy menunjukkan kualitas kita termasuk rendah. Demikian juga penilaian oleh UNESCO lewat Programme for International Student Assessment (PISA) maupun UNDP melalui The Global Knowledge Index.

.

Transformasi dan Capaian

  Di tengah fakta tersebut transformasi terus berjalan. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim telah mencanangkan program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) dan Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2035. Ujian awal transformasi ini dihadapkan pada masa Pandemi Covid-19 yang kini telah berjalan 2 tahun. Program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) tersebut tampaknya untuk menjawab tesis bahwa kita berada pada era di mana gelar tidak menjamin kompetensi, lulusan tidak menjamin kesiapan berkarya dan bekerja, akreditasi tidak menjamin mutu, dan masuk kelas tidak menjamin belajar. Konsep ini tentunya memerlukan ekosistem, atmosfer, infrastruktur, serta nilai budaya dan indikator keberhasilan masyarakat yang mendukung.

  Sementara dari sisi perundangan, kini sedang disusun RUU Sisdiknas yang tentu membutuhkan keterbukaan dalam pembahasannya bersama masyarakat. RUU ini dilandasi tiga urgensi: pertama, mandat UUD 45 untuk merancang penyelenggaraan satu sistem pendidikan nasional. Saat ini setidaknya ada tiga UU yang mengatur sistem pendidikan yang memunculkan ketidakselarasan dalam aturan turunannya. Kedua, UU Sisdiknas yang ada kadangkadang mengatur beberapa hal spesifik dan teknis. UU Sisdiknas seharusnya mengatur hal-hal fundamental dan prinsip, sedang mengatur teknis di level PP atau Permen. Ketiga, banyak keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengharuskan mengubah materi UU Sisdiknas yang ada. Demikian diutarakan Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan – Kemendikbudristek, Anindito Aditomo.

  Sedangkan capaian sistem pendidikan tinggi seperti dijelaskan Data Statistik Pendididkan Tinggi 2020 mengacu pada tiga program sasaran, yaitu: 1) meningkatnya akses, kualitas pembelajaran dan relevansi Pendidikan tinggi; 2) meningkatnya kualitas dosen dan tenaga kependidikan; 3) terwujudnya tata Kelola ditjen Pendidikan tinggi yang berkualitas.

  Data statistik tersebut menunjukkan perguruan tinggi di Indonesia masih gemuk yakni 4.593 PT yang terdiri: PTS 3.044 (66,27 %), PTA 1,240 (27 %), PTK 187 (4,07 %), dan PTN 122 (2,66 %). Secara berturut jumlah PT terbesar di pulau Jawa 2,220 PT, Sumatera 1.695 PT, Sulawesi 509 PT, Kalimantan 278 PT, Nusa Tenggara & Bali 243 PT, Papua 115 PT, dan Maluku 68 PT. Memang ada penurunan sebesar 0,01% dari tahun lalu dikarenakan proses pemutakhiran data dan peningkatan kualitas perguruan tinggi, antara lain melalui program penggabungan PT. Pertanyaannya apakah distribusi jumlah 4.593 PT berimbang dengan populasi 270.200.000 penduduk, dan kepadatan penduduk yang berbeda di setiap propinsi maupun pulau sebagaimana tergambar di atas.

  Dari jumlah tersebut PT yang terakreditasi adalah 2.713 (59 %), sisanya 1.880 (41 %) belum terakreditasi. Dari yang terakreditasi, terdiri akreditasi: A sejumlah 95 PT, B sejumlah 809 PT, C sejumlah 1.291 PT; Unggul sejumlah 4 PT, Baik Sekali 50 PT, serta Baik 464 PT. Uraian tersebut menggambarkan jumlah terbesar adalah akreditasi yang paling rendah.

  Sementara program studi berjumlah 29.413 program studi, yang terdiri atas bidang ilmu: Pendidikan 6.032 (21 %), Teknik 5.390 (18 %), Sosial 4.302 (15 %), Kesehatan 4.034 (14 %), Ekonomi 3599 (12 %), Pertanian 1.988 (7 %), Agama 1.692 (6 %), MIPA 1.219 (4 %), Humaniora 731 (2 %), serta Seni 426 (1 %). Dari jumlah tersebut 23.691 (81 %) program studi terakreditasi, sisanya 5.722 (19 %) belum terakreditasi. Ini artinya dari sisi kualitas melalui sistem akreditasi, baik PT maupun program studi masih membutuhkan upaya lebih untuk mencapai target kualitas sesuai standar akreditasi tersebut.

  Dari sisi mahasiswa terdaftar di PT sejumlah 8.483.213 orang, terdiri jenjang: Diploma-1 berjumlah 2.778 (0,033 %), Diploma-2 berjumlah 6.934 (0,082 %), Diploma-3 berjumlah 668.922 (7,885 %), Diploma-4 berjumlah 206.685 (2,436 %), Sarjana berjumlah terbesar 7.113.663 (83, 856 %), Magister berjumlah 318.789 (3,758 %); Doktor berjumlah 44.099 (0,520 %), Spesialis berjumlah 12.989 (0,153 %), serta Profesi berjumlah 108.354 (1,277 %). Jenjang Sarjana yang terbanyak padahal kebutuhan dunia usaha dan industri lebih pada jenjang vokasi. Jumlah mahasiswa ini dibimbing 312.890 dosen. Bila dilihat dengan rata-rata kasar rasio dosen: mahasiswa tergambar 1 : 27. Artinya rasio 1 dosen dibanding dengan 27 mahasiswa.

  Sementara itu, Lulusan berjumlah 1.535.074 orang (18 %) dari jumlah mahasiswa terdaftar 8.483.213 orang. Data lulusan tersebut relatif lebih kecil dibandingkan dengan jumlah mahasiswa baru yang terdaftar sejumlah 2.163.681 orang (26 %) dari sisi partisipasi pendidikan tinggi atau supply mahasiswa. Artinya angka partisipasi pendidikan tinggi terkait dengan jumlah PT dan populasi penduduk usia pendidikan sesungguhnya masih mungkin ditingkatkan.

  Sedangkan pilihan studi mahasiswa masih terbagi dalam bidang ilmu konvensional, yakni: Pendidikan sebesar 1.831.768 (21.59 %), Ekonomi sebesar 1.771.864 (20.89 %), Sosial sebesar 1.648.219 (19.43 %), Teknik 1.374.528 (16.20 %), Kesehatan sebesar 658.633 (7.76 %), Pertanian sebesar 414.890 (4.89 %), MIPA sebesar 274.693 (3,24 %), Agama sebesar 256.044 (3,02 %), Humaniora sebesar 170.221 (2.01 %), serta Seni sebesar 82.373 (0,97 %). Bidang ilmu baru atau cabang ilmu baru terkait dengan dinamika perkembangan teknologi informasi dan komunikasi atau lainnya belum terlihat.

  Dari uraian tersebut tampak tujuan pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas, mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi dan siap menghadapi tantangan dalam dunia industri masih membutuhkan upaya lebih. Memang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terus mendorong upaya tersebut dengan melakukan transformasi Pendidikan tinggi melalui kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) yang memiliki 8 kegiatan bentuk pembelajaran. Implementasi kebijakan diikat dengan kontrak kinerja dan pengaturan distribusi anggaran perguruan tinggi, yang diatur dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 754/P/2020 mengenai Indikator Kinerja Utama Perguruan Tinggi (IKU PTN).

  Terdapat tiga fokus utama dari IKU PTN diantaranya kualitas lulusan, kualitas dosen dan pengajar, dan kualitas kurikulum. Pengukuran ketiga fokus tersebut dirincikan menjadi delapan indikator.

.

Akreditasi Unggul PT

  Akreditasi yang didalamnya tercantum tingkatan akreditasi (Unggul, Baik Sekali, Baik.) adalah standar baru dalam memberdayakan mutu sistem persekolahan, diantaranya untuk perguruan tinggi. Terkait dengan ukuran mutu pendidikan melalui akreditasi didorong memberikan substansi kualitas, bukan formalitas. Mari kita simak perjalanan ukuran mutu pendidikan tinggi yang berkualitas dalam pendidikan persekolahan jenjang pendidikan tinggi.   

  Saat ini telah berlaku perubahan sistem penilaian akreditasi dari instrumen akreditasi program studi/instrumen akreditasi perguruan tinggi (IAPS/IAPT) 7 standar, ke Instrumen Akreditasi Program Studi (IAPS) 4.0 dan Instrumen Akreditasi Perguruan Tinggi (IAPT) 3.0. IAPS 4.0 mulai diberlakukan sejak 1 April 2019 sedang IAPT 3.0 telah berlaku sejak 1 Oktober 2015.

  Sekilas seolah perubahan sistem penilaian lama dengan yang baru hanya terletak pada cara penyebutan peringkat saja. Secara awam difahami sebagai C=Baik, B=Baik Sekali, dan A=Unggul. Padahal, substansi perubahan sistem penilaian tidaklah sesederhana itu. Bagi PT (perguruan tinggi) atau PS (program studi) yang sudah terakreditasi A tinggal diubah menjadi terakreditasi Unggul, yang B diubah ke Baik Sekali, dan C tinggal ganti menjadi Baik. Sesungguhnya tidak demikian, dan tidak pula semudah atau sesederhana itu.   

  Proses konversi dapat dilakukan hanya berdasarkan dua cara. Pertama, menggunakan Instrumen Suplemen Konversi (ISK) sebagaimana tertuang di dalam Peraturan BAN PT Nomor 2/2020. ISK ini diusulkan Dewan Eksekutif (DE) dan ditetapkan Majelis Akreditasi (MA) yang khusus digunakan untuk konversi peringkat dari sistem peringkat A, B, dan C ke sistem peringkat Unggul, Baik Sekali, dan Baik. Kedua, mengajukan reakreditasi dengan menggunakan APS 4.0 atau APT 3.0.

  Perpanjangan peringkat akreditasi bagi PS atau PT hanya berlaku  satu kali, dan pada perpanjangan berikutnya akan ditambah dengan ISK, sehingga peringkat akreditasi bagi APS (Akreditasi Program Studi) atau APT (Akreditasi Perguruan Tinggi) tersebut akan menggunakan peringkat akreditasi Unggul, Baik Sekali, atau Baik.

  Sistem penilaian akreditasi yang baru ini memang diklaim BAN-PT lebih sederhana dan spesifik dengan instrumen penilaian lebih responsif dan sesuai perkembangan zaman (T. Basaruddin, 2018). Namun tetap menjadi sesuatu yang memberatkan bagi sejumlah perguruan tinggi. Bagaimana tidak. Belum tentu yang telah terakreditasi A dapat dengan mudah meraih Unggul, demikian pula seterusnya. Terdapat kriteria tambahan yang harus dipenuhi agar sebuah PT atau PS dapat meraih akreditasi dengan peringkat terbaru di atas. Menteri Pendidikan, Kebudayaan dan Ristek (Mendikbudristek) menyampaikan bahwa akreditasi perguruan tinggi yang ditetapkan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) akan diperbaharui secara otomatis setiap lima tahun.

  Perbedaan pengelompokan akreditasi A, B, dan C menggunakan instrumen akreditasi 7 standar. Sedangkan untuk pengelompokan akreditasi Unggul, Baik Sekali, dan Baik menggunakan IAPS 4.0 dan IAPT 3.0. Jadi setidaknya terdapat 2 pembeda utama antara IAPT 7 Standar dengan IAPT 3.0. Pertama, terletak pada titik berat penilaian. Pada IAPT 7 standar lebih menekankan aspek input dan proses, sedangkan pada IAPT 3.0 memberikan bobot yang besar pada aspek output dan outcome. Kedua, pemenuhan dan pelampauan standar nasional pendidikan tinggi (SN-Dikti). Jadi hal terpenting dalam IAPT 3.0 (Baru) adalah diukurnya pemenuhan dan pelampauan SN-Dikti, dan hal ini belum bisa diukur dengan IAPT 7 standar karena instrumen tersebut baru dikembangkan tahun 2011. Sementara SN-Dikti baru ditetapkan pada tahun 2014. Kedua perbedaan inilah yang menyebabkan ketidaksetaraan peringkat akreditasi antara peringkat A dengan Unggul, B dengan Baik Sekali, dan C dengan Baik.

  Secara sederhana, sebagaimana tujuan akreditasi BAN PT yakni untuk menentukan kelayakan sebuah PT atau PS berdasarkan SN-Dikti, maka pemerintah ingin perguruan-perguruan tinggi dapat mencapai atau melampaui standar mutu tersebut baik bidang akademik maupun non akademik (Muhammad Yasar, 31 Mei 2021).

Mencerdaskan Kehidupan Bangsa

  M, Jumarin dalam tulisan dalam Jurnal Ilmiah Kependidikan, AKADEMIKA: Vol. 16, No. 1, April 2017 menggambarkan bahwa konsep cerdas, kehidupan yang cerdas memiliki makna beragam dan berkembang. Awalnya kecerdasan lebih dimaknai sebagai kemampuan kognitif yang digunakan untuk menjelaskan sifat pikiran yang mencakup sejumlah kemampuan, seperti: kemampuan menalar, merencanakan, memecahkan masalah, berpikir abstrak, memahami gagasan, menggunakan  bahasa, dan belajar. Kecerdasan in erat kaitannya dengan kemampuan kognitif yang dimiliki oleh individu yang biasa disebut intellegensi (IQ).

Perkembangan lanjut, kecerdasan memiliki makna sangat luas, yaitu kemampuan dalam berbagai aspek kehidupan yang tidak terbatas pada kemampuan kognitif semata. Kecerdasan merupakan istilah umum untuk menjelaskan sifat yang mencakup sejumlah kemampuan individu dalam menyelesaikan suatu masalah yang dihadapi. Kata cerdas berarti memiliki kemampuan yang dapat digunakan untuk menyelesaikan atau menghadapi persoalan nyata, sehingga cerdas bermakna kreatif, inovatif dan solutif. Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah sebuah konsepsi budaya, bukan sekedar konsepsi biologisgenetik. Artinya bukan saja menghasilkan otak yang cerdas, melainkan juga untuk mencapai kemajuan yang adab, harga diri, kesejahteraan dan sebagainya.

Para psikolog awal lebih memahami konsep kecerdasan sebagai kemampuan dasar yag bersifat umum (general capacity factor), kemudian berkembang konsep sekelompok kemampuan (common factor), kemampuan berkembang adanya kemampuan kusus (specific factor) (Sumadi, 1993). Psikolog kontemporer umumnya lebih memiliki konsep multi factor, yaitu manusia memiliki kemampuan umum, kemampuan kelompok dan kemampuan khusus. Dengan demikian arah dan kualitas kecerdasan setiap individu akan berbedabeda. Ada seorang yang cerdas dalam aspek bahasa, lain lebih cerdas dalam aspek hitungan (numerical), lain lebih menonjol dalam kecerdsan ruang (spatial), dan sebagainya.

Kecerdasan dipengaruhi faktor bawaan dan lingkungan. Setiap orang memiliki potensi dasar kecerdasan yang dibawa sejak lahir (faktor bawaan) atau bisa disebut dengan bakat. Potensi dapat dikembangkan melalui pemberian stimulus atau rangsangan dari luar, agar kemampuan bawaan tersebut berkembang. Stimulasi tersebut dapat berupa nutrisi, fisik, psikologis, perlakuan paedagogis, sosial, budaya dan sebagainya. Seorang juga dapat mengoptimalkan kemampuan dasar tersebut menjadi sebuah kemampuan yang fungsional melalui berbagai upaya, seperti latihan, menciptakan kondisi tertentu dan sebagainya.

Dalam psikologi dikenal berbagai kecerdasan, konsep awal yang popular adalah Intelligence Quotient (IQ), kemudian berkembang dengan berbagai jenis kecerdasan. Zohar dan Marshal (2000), misalnya mengemukakan konsep kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient/SQ), Goleman (1995) mengemukakan konsep kecerdasan emosional (Emotional Quotient/EQ), Ary Ginanjar (2001) mengemukakan konsep kecerdasan EmosionalSpiritual (Emotional-Spiritual Quotient/ESQ). Covey (1990) mengemukakan kecerdasan fisik, kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual. Howard Gardner menyebut dengan kecerdasan majemuk, yang awalnya ada delapan faktor, kemudian berkembang menjadi 9, yaitu: kecerdasan bahasa, kecerdasan visual spasial, kecerdasan logis matematis, kecerdasan musik, kecerdasan kinestetik, kecerdasan intra personal, kecerdasan interpersonal, kecerdasan eksistensial dan kecerdasan naturalis. Syumanjaya (2014) mengemukakan kecerdasan perilaku. Beberapa konsep kecerdasan lain juga dikemukakan seperti kecerdasan memecahkan masalah (advisory Quotient), kecerdasan finansial, kecerdasan buatan, kecerdasan budaya, bahkan kedepan akan berkembang kecerdasan di areaarea lain.

Tidak mudah untuk mengatakan atau menilai bahwa seseorang itu cerdas atau tidak, sebab label kecerdasan sangat tergantung dengan kebudayaan. Orang di suatu tempat/budaya dikatakan cerdas, tetapi belum tentu disebut cerdas pada lingkungan sosial budaya lain, atau orang yang cerdas dalam suatu aspek, belum tentu cerdas dalam aspek lain. Tingkat kecerdasan seseorang dapat diketahui melalui pengukuran, dengan menggunakan alat ukur yang telah dikembangkan. Dewasa ini telah dikembangkan berbagai alat ukur kecerdasan, sesuai dengan aspek kecerdasan dan tujuan pengukuran. Alat ukur kecerdasan atau tes kecerdasan yang telah di buat secara ilmiah memiliki berbagai keterbatasan, diantaranya tidak akan pernah bebas dari pengaruh budaya (free culture test). Pengukuran psikologis khususnya kecerdasan sangat penting untuk kepentingan pendidikan, namun harus menggunakannya dengan cara yang bijak.

Terkait dengan kehidupan yang cerdas adalah kehidupan yang memiliki kemampuan untuk menghadapi permasalahan hidup secara cepat, tepat dan bermakna. Kehidupan yang cerdas berarti menyangkut seluruh aspek kehidupan, bukan hanya aspek kognitif, tetapi juga aspekaspek yang lain. Mencerdaskan kehidupan adalah sebuah konsepsi budaya, bukan sekedar konsepsi biologisgenetik, artinya bukan saja menghasilkan otak yang cerdas, melainkan juga untuk mencapai kemajuan yang adab, harga diri, kesejahteraan dan sebagainya. Kehidupan suatu bangsa baru dapat dikatakan cerdas bila tiap warganya dapat naik dari tempat kelahiran terendah ke tingkat pencapaian tertinggi berkat pendidikan. Lagi pula bangsa yang berhasil pada masa depan adalah yang tidak hanya membukakan pintu bagi sebagian talenta dari sebagian anak bangsa, tetapi mengembangkan semua talenta dari semua anak bangsa.

.

Pendidikan Yang Mencerdaskan

Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran, agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan keagamaan, mengenali diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara (UU No. 20 tahun 2003). Terkait fungsi dan tujuan pendidikan (UU No. 20 Tahun 2003, pasal 3) secara konseptual dan normatif tujuan pendidikan kita sangat ideal, dan itulah sosok atau gambaran manusia Indonesia yang cerdas. Mewujudkan tujuan tersebut diperlukan sebuah sistem pendidikan. Pemerintah telah mengusahakan sebuah sistem pendidikan yang mencerdaskan melalui berbagai peraturan perundangan, namun dalam implementasinya dirasakan belum optimal. Akhirnya fungsi tujuan pendidikan yang mencerdaskan kehidupan bangsa belum terwujud.

Adalah benar mencerdaskan kehidupan bangsa harus dilakukan melalui pendidikan, sebab kecerdasan tidak genetically fixed, tetapi dapat dan harus diajarkan atau dikembangkan. Pendidikan yang mencerdaskan tidak hanya cukup mencerdaskan peserta didik, namun juga mencerdaskan seluruh ekosistem pendidikan yang meliputi orang tua, siswa, guru, dan masyarakat (keluarga, sekolah, dan masyarakat). Apabila ketiga ekosistem tersebut cerdas, maka peserta didik akan lebih cerdas, atau pendidikan akan mampu mencerdaskan. Ekosistem pendidikan merupakan bagian yang sangat penting dalam mewujudkan pendidikan yang mencerdaskan, sebab peserta didik hanya sekitar 6 atau 7 jam berada di sekolah, dan sisanya berada dalam keluarga dan masyarakat. Ketiga ekosistem tersebut saling terkait, semuanya memberikan kontribusi yang penting dalam mewujudkan pendidikan yang mencerdaskan.

Pemerintah telah merumuskan standar pendidikan nasional (yang terbaru PP. No. 57 tahun 2021 dan turunannya) sebagai upaya meningkatkan kecerdasan bangsa, yang terdiri dari 8 (delapan) komponen standar, yaitu: standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, standar pendidikan, standar tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, serta standar pembiayaan. Kedelapan standar tersebut memang terkait dengan ekosistem pendidikan sekolah dan itu sangat penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang mencerdaskan, namun ekosistem lain harus dioptimalkan. Oleh karena itu perlu dibangun sistem pendidikan yang melibatkan seluruh ekosistem pendidikan, yaitu siswa, ekosistem keluarga dan masyarakat.

Komponen ini sangat penting, dimana sistem pendidikan nasional selama ini fokus pada pendidikan persekolahan. Kedelapan standar pendidikan secara minimal harus dipenuhi, namun untuk mewujudkan pendidikan yang mencerdaskan praktek pendidikan harus melampaui kedelapan standar tersebut, diantaranya adalah:

a. Aspek pendidik: pendidik hendaklah memiliki kompetensi, baik personal, sosial, pedagogis dan profesional. Juga pendidik yang memiliki dedikasi, komitmen, memiliki visi, mampu menginspirasi dan sebagainya.

b. Aspek isi atau materi pendidikan: harus disesuaikan dengan perkembangan peserta didik dan kontekstual dengan kehidupan, materi harus terstruktur, sederhana, mudah dipahami, menyediakan kurikulum pilihan bagi peserta didik.

c. Aspek proses: menjadi sangat penting dalam pendidikan yang mencerdaskan, sebab melalui proses peserta didik memperoleh stimulasi bagi pengembangan kecerdasannya. Oleh karena itu dalam proses pendidikan diperlukan pendekatan yang berpusat pada peserta didik, peserta didik aktif, menyenangkan menghadapi tantangan, jauh dari ancaman. Pendekatan individual harus lebih ditekankan.

d. Aspek sarana dan prasarana: lingkungan di sekolah (sosial, alam) harus kondusif memberikan rasa aman, serta harus memadai.

e. Aspek pengelolaan: merupakan kriteria minimal mengenai perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan pendidikan yang dilaksanakan oleh satuan pendidikan/sekolah agar penyelenggaraan pendidikan efisien dan efektif.

Jadi Pendidikan memiliki peran sentral dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Fungsi utama pendidikan di Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, dimana tidak hanya mencerdaskan aspek intelektual, tetapi mencerdaskan aspek yang lain, tidak hanya mencerdaskan manusia Indonesia, tetapi mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan yang mencerdaskan adalah pendidikan yang mampu mengembangkan seluruh potensi anak bangsa untuk kemaslahatan hidup dan kehidupan. Sistem pendidikan yang mencerdaskan adalah komponen pendidikan, baik keluarga, sekolah dan masyarakat yang fungsional dan secara bersama-sama mampu mengembangkan kecerdasan peseserta didik, kecerdasan bangsa, mencerdasan kehidupan bangsa.

(Dari berbagai sumber, Rewriter: lili irahali15 Maret 2022): Kemendikbudristek – Data Statistik Pendididkan Tinggi 2020; M. Hadi Subhan – Universitas Airlangga, Kompas 4 Maret 2022; M, Jumarin – Jurnal Ilmiah Kependidikan, AKADEMIKA: Vol. 16, No. 1, April 2017; Dr Muhammad Yasar STP M Sc., Memahami Grade Akreditasi BAN PT Terbaru, 31 Mei 2021 – https://aceh.tribunnews.com.

.