Masuknya Kakao di Indonesia
Dr. C.J.J. Van Hallorang yang pertama kali mengadakan seleksi terhadap pohon induk di Djati Renggo dan Getas. Kedua nama kebun tersebut digunakan untuk menamakan beberapa klon kakao jenis criollo yang sampai soot ini masih digunakan, dengan kode DR dan G berbagai nomor.
a.Sebelum Kemerdekaan
Walaupun bubuk cokelat telah dikenal sebagai pencampur minuman oleh bangsa Indian suku Maya di Amerika Tengah sejak abad sebelum masehi, namun baru abad ke-15 biji kakao mulai diperkenalkan di belahan dunia lain. Dengan kegunaannya sebagai upeti atau alat barter bernilai tinggi, biji kakao sebagai pencampur minuman diperkenalkan kepada bangsa Spanyol.
Usaha pengembangan pertanaman kakao dirintis bangsa Spanyol ke benua Afrika dan Asia. Di Afrika kakao diperkenalkan pada abad ke-15 dengan daerah penanaman terutama di Nigeria, Pantai Goding, dan Kongo. Pada waktu yang bersamaan kakao juga di perkenalkan di Asia, terutama daerah-daerah yang berdekatan dengan kawasan Pasifik.
Kakao yang diperkenalkan pada tahun 1560 di Sulawesi Utara berasal dari Filipina. Jenis yang pertama kali di tanam adalah criollo, yang oleh bangsa Spanyol diperoleh dari Venezuela. Produktivitas kakao ini relatif rendah dan peka terhadap serangan homa dan penyakit, tetapi rasanya enak. Pada tahun 1806, usaha perluasan kakao dimulai lagi di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Penanaman dilaksanakan di sela-sela areal pertanaman kopi. Pada tahun-tahun selanjutnya didatangkan lagi jenis kakao yang lain, mengingat kelemahan jenis kakao criollo. Dr. C.J.J. Van Hall. MacGillvray, Van Der Knaap adalah peneliti-peneliti yang giat melakukan seleksi guna mendapatkan bahan tanam unggul maupun klon induk pada awal pertanaman kakao di Indonesia. Pada tahun 1914, MacGillvray telah menulis buku mengenai cokelat, kemudian dituliskannya lagi pada tahun 1932 sebagai edisi kedua.
Tahun 1888 diperkenalkan jenis java criollo asal Venezuela yang mulanya kakao asal Sulawesi Utara tadi, sebagai tanaman tertua untuk mendapatkan tanaman unggul. Sebelumnya, pada tahun 1880 juga diperkenalkan tanaman jenis Forestero asal Venezuela untuk maksud yang soma. Dari hasil penelitian saat itu, direkomendasikan tanaman klon-klon DR, KWC dan G dengan berbagai nomor. Sejalan dengan itu, pengembangan tanaman kakao di Indonesia, khususnya di Jawa berjalan pesat. Pada tahun 1938 telah terdapat 29 perkebunan kakao dengan distribusi 13 perkebunan di Jawa Barat, 7 perkebunan di Jawa tengah, dan 9 perkebunan di Jawa Timur. Perkembangannya juga di dorong oleh meluasnya penyakit karat daun kopi oleh Hemeleia vastatrix, sehingga menyebabkan musnahnya areal pertanaman kopi di Jawa. Disamping itu, oleh perusahaan perkebunan, pengembangan usaha kakao juga dilakukan oleh petani pekebun, terutama di Jawa Barat.
B.Sesudah kemerdekaan
Pengalihan usaha perkebunan menjadi milik negara pada awal kemerdekaan menjadikan usaha pengembangan pertanaman kakao menjadi semakin baik. Daerah-daerah di Jawa Barat dan Sumatra Utara merupakan hasil pertanaman kakao yang kemudian berkembang dengan pesat. Perkembangan pertanaman kakao dengan demikian telah meluas ke Indonesia bagian barat.
Sejalan dengan itu, program pemuliaan untuk mendapatkan tanaman unggul terus giat dilaksanakan. Tahun 1973 diperkenalkan kakao jenis bulk melalui seleksi yang dilakukan oleh PT Perkebunan VI dan Balai Penelitian Perkebunan (BPP) Medan. Kakao jenis bulk pada tahun berikutnya memperkecil kemungkinan untuk memperluas penanaman kakao jenis criollo. Seperti diketahui, kakao jenis bulk dikenal sebagai jenis kakao yang relatif tahan hama dan penyakit, produksinya tinggi walaupun rasanya sedang.
Program pemuliaan PT Perkebunan VI dan BPP Medan itu,yang tetuanya terdiri dari biji-biji campuran Na, Pa, Sea, ICS, GG, DR, Poerboyo dan Getas, menghasilkan biji yang dikenal dengan nama varietas sintetik 1, 2, dan 3. Tetua tersebut berupa biji illegitim hibrida Fl dari Malaysia, yang ditanam sebanyak 150.000 pohon.
Pada tahun 1976, BPP Jember juga melakukan program pemuliaan dalam rangka mendapatkan tanaman hibrida. Pemuliaan bertujuan menghasilkan tanaman biji hibrida dengan efek heterosis. Sejumlah persi angan dari klon-klon ICS, Sea, dan DR telah diuji untuk maksud itu. Secara bersamaan usaha untuk mendapatkan tanaman klon yang dapat dijadikan sebagai induk maupun tanaman praktek juga dilaksanakan di kebun Kaliwining Jember,dan Malangsari.
Di Sumatra Utara, penelitian yang sama terus dilaksanakan dalam rangka pengembangan pertanaman kakao. Beberapa PT Perkebunan mulai melakukan penanaman kakao bulk, seperti PT Perkebunan IV dan II. PT Perkebunan II bahkan melakukan perluasan penanaman kakao di Irian Jaya dan Riau serta membangun kebun benih kakao di Maryke, Medan. Pembangunan kebun benih kakao tersebut dilaksanakan bersama P4TM (Pusat Penelitian Dan Pengembangan Perkebunan Tanjung Morawa) Medan yang saat ini telah menghasilkan tanaman biji hibrida, dengan tetua klon? klon Sea, ICS, Pa, TSH, dan IMS. Biji-biji hibrida yang dihasilkan kebun benih kakao masih dalam tahap pengujian.
Perkembangan yang pesat dari pertanaman kakao di Indonesia, menyebabkan peningkatan produksi secara cepat. Bila pada tahun 1970-1977 produksi kakao Indonesia hanya 2.000-3.000 ton, maka pada tahun 1980 angka itu melonjak menjadi 7.000 ton. Dengan produksi kakao dunia saat ini 1.600.000 ton, maka potensi Indonesia sebagai penghasil kakao masih baik prospeknya. (T. H. S. Siregar, S.Riyadi, Nuraeni. L. Coklat; Pembudidayaan, Pengolahan, Pemasaran, http://eyber-farmer. blogspot.eo.id/2010)
Indonesia berpeluang menjadi produsen utama kakao di dunia karena ketersedian lahan dan kemungkinan pengembangannya di masa mendatang. Indonesia merupakan negara terbesar ketiga yang memproduksi biji kakao setelah negara Pantai Gading dan Ghana. Luas lahan kakao di wilayah Indonesia tercatat 1,7 juta hektare dengan produksi baru sebanyak 712 ton per tahun. Sebanyak 94 persen perkebunan kakao diusahakan sekitar 1,6 juta rakyat, berbeda dengan perkebunan kelapa sawit yang sebagian besar dikelola pengusaha besar.
Ketersediaan lahan memungkinkan dibandingkan Ghana dan Pantai Goding. Selain itu, biji kakao Indonesia memiliki keunggulan, yakni memiliki rasa khas dan tak ditemukan di negara lain. Sejak 2009 telah dimulai Gerakan Nasional (Gernas) penanaman kakao. Tidak banyak negara yang menghasilkan biji kakao kering, terfermentasi maupun tidak. Berikut adalah negara-negara utama penghasil kakao (FAO, 2013).