Editorial

0
434 views
komunita Edisi 18 editorial

komunita Edisi 18 editorial

Sidang Pembaca
yang budiman,

Ada sebuah tanya RINDU. Dimana, kapan, dan bagaimana mahasiswa ? mahasiswa penggerak masyarakat dan pembangunan bertumbuh dan tersebar di negeri ini ? Tanya ini timbul melihat realita proses pembangunan wilayah yang didambakan masyarakat berjalan lambat mengingat kelangkaan kader-kader penggerak perubahan dan pembangunan di seantero negeri.

Gaya hidup mahasiswa kini sangat berbeda dengan mahasiswa dahulu. Mahasiswa tampak lebih hedonistik, pragmatik. Juga ramai di media massa ketika mereka melakukan tindakan-tindakan anarkis semisal : tawuran antar mahasiswa, perusakan kampus, perseteruan kepemimpinan mahasiswa tidak dengan nalar akademik, sepertinya dianggap biasa. Bahkan, sinyalemen anggota Komisi III DPR RI Fraksi PKS Aboe Bakar Alhabsy membuat kita terkejut. Dalam diskusi ‘Hitam Putih Pemberantasan Narkoba ‘di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, 6 Agustus 2016 lalu, Alhasby mencatat jutaan mahasiswa terlibat penyalahgunaan narkoba (narkotik dan obat terlarang). Dari sekitar 7 juta mahasiswa, lebih dari 30% nya pengguna narkoba, bahkan diperkirakan 70% atau 4,9 juta mahasiswa terlibat penyalahgunaan narkoba.

Atas realita tersebut, negara mengalami kerugian mencapai Rp 50 triliun setiap tahun. Mirisnya, hal ini masih akan berlangsung, karena berdasarkan penelusuran Badan Narkotika Nasional (BNN) masih ada sekitar 30 ton narkoba yang lolos dan siap beredar di masyarakat, terutama di kalangan mahasiswa.

Apakah ini salah satu bentuk “degradasi moral” generasi Y dan Z (kategori generasi mahasiswa kini) bangsa ini ? Generasi Y memang masih menggeliat, mencari kemapanan dalam bidang pekerjaan maupun pribadi, walau tidak dipungkiri beberapa sudah menjadi pimpinan perusahaan sejak usia muda. Sedang generasi Z, sekarang ini mempakan anak-anak muda yang rata-rata masih mencari jati diri, beberapa di antaranya sudah mempunyai penghasilan sendiri yang cukup besar terutama dari bidang seni.

Hilangnya idealisme membuat mahasiswa seperti kehilangan arah. Momentum-momentum setelah reformasi pun menjadi kehilangan jiwa di mana mahasiswa bisa berperan. Pasca reformasi, mahasiswa seperti kehilangan momentum. Mahasiswa seakan-akan tidak peduli lagi dengan nasib bangsanya, hanya ada segelintir mahasiswa yang masih peduli dan konsisten. Padahal mahasiswa juga insan akademik yang tentunya memiliki logika akademis serta intelektualitas yang dibutuhkan masyarakat. Agenda reformasi dan mahasiswa saat ini seperti berjalan sendiri ? sendiri. Tidak ada yang mengawal reformasi, padahal reformasi telah berjalan 18 tahun dan belum menunjukkan perbaikan berarti bagi masyarakat.

Benarkah sikap mahasiswa kini cenderung apatis dan terkungkung, karena sistem pembelajaran kampus yang menyekat mahasiswa dari persoalan masyarakatnya ? Benarkah sistem pembelajaran sekarang, membuat mahasiswa hanya mengejar nilai (indeks prestasi) dan hanya berpikir bagaimana caranya lulus cepat. Sehingga mahasiswa kehilangan daya kritis, mahasiswa tidak peka menangkap realitas sosiologis dan realitas psikologis yang terjadi dalam masyarakat. Mahasiswa menjadi kelompok elitis dan jauh dari masyarakat. Benarkah sistem pembelajaran kini hanya melatih mahasiswa menjadi kuli ? Bukan mahasiswa sebagai penggerak pembangunan atau agen perubahan ?

Jika sinyalemen ini benar, sungguh memprihatinkan dan tentunya menggerogoti potensi mahasiswa sebagai penggerak pembangunan dan agen perubahan yang sekaligus keberlanjutan bangsa ini. Menjaga potensi diri mahasiswa tentunya harus berangkat dari kesadaran mahasiswa itu sendiri sebagai salah satu komponen bangsa, sekaligus generasi penerus. Apapun peran mereka, sesuai dengan kompetensi keilmuan dan bidang yang digelutinya.

Mahasiswa mempunyai kewajiban untuk mengubah mentalitas hedonis dan pragmatis tersebut untuk kembali pada jati diri mahasiswa, yang mempunyai idealisme tinggi. Salah satu alternatif adalah dengan menghadapkan langsung mahasiswa pada masalah – masalah yang terjadi di masyarakat. Dengan menghadapkan langsung mahasiswa kepada masalah yang terjadi di masyarakat, mahasiswa diharapkan mampu menangkap realitas sosiologis dan psikologis masyarakat. Karena itu, Perlukah kita menggugat mahasiswa?

Sebuah riset kecil yang dilakukan IMM (Mahasiswa Muhammadiyah) membagi mahasiswa dalam lima karakter. 1) mahasiswa akademis, 2) mahasiswa romantik, 3) mahasiswa hedonis, 4) mahasiswa agamis, 5) mahasiswa organisatoris. Fragmentasi karakter mahasiswa tersebut tentunya menjadi keprihatinan bersama, apalagi jika memang komposisinya ke arah hedonis, akademis pragmatis. Serangkaian strategi pendidikan yang diluncurkan clan diimplementasikan pemerintah konon dirancang untuk melahirkan generasi emas Indonesia pada 2045.

Tetapi benarkah strategi pendidikan kini melalui membangunkan mahasiswa akan jati diri dan perannya ? Mahasiswa hams mulai sadar dan berperan menjadi human resources yang kompetitif serta memiliki dasar nasionalisme, dipadu dengan pengabdian.

Prof Intan Ahmad, Dirjen Belmawa – Menristekdikti mendorong Mahasiswa di era global saat ini jangan berorientasi pada gelar. Menurutnya, “lulusan PT seharusnya tak hanya pintar secara keilmuan, tetapi juga harus pandai berkomunikasi dengan orang lain. Memiliki kemampuan berbahasa asing, kritis, dan memiliki motivasi tinggi untuk sukses. Tuntutan peran besar inilah yang perlu dikreasi mahasiwa, karena hal-hal ini tidak dapat dipelajari di dalam pendidikan formal, non ? formal. Menjadi penentu ‘Generasi Emas’ adalah yang lebih penting. Berprestasi adalah pijakan awal yang harus diteruskan dengan pendidikan ‘soft skills’ agar dapat aktif dan bermanfaat bagi lingkungannya. Pendidikan bukan hanya … untuk menjadi Sarjana, tapi menjadi berpendidikan adalah mengetahui mana yang benar dan salah, ada ‘learning outcome ‘ dari hanya sekedar otak. Banyak lulusan PT pandai secara keilmuan, namun belum menjadi penggerak di masyarakat “.