Idealisasi Guru Besar, Realitas Kini dan Ke Depan ?

0
735 views

Masih menggaung dalam ingatan kita penelusuran jurnalisme investigasi Kompas di awal tahun 2023 edisi Februari – Maret yang memuat 7 hari berturut-turut (2 hari dalam head line, 4 hari di tulisan dalam) mengungkap stigma negatif dosen, pendidik perguruan tinggi, khususnya perjokian karya ilmiah Guru Besar. Fakta ini bisa jadi beririsan dengan data Kemendikbudristek 3 (tiga) tahun terakhir (tahun 2020 – 2023) menyatakan ada 7.598 usulan Guru Besar dimana 64 % setara 4.862 usulan ditolak dengan berbagai alasan. Artinya Kemendikbudristek hanya meloloskan 36 % setara 2.736 usulan Guru Besar. Direktur Sumber Daya Kemendikbudristek, Mohammad Sofwan Effendi menyebut sejumlah faktor penolakan, diantaranya jurnalnya tidak bagus, relevansi keilmuannya tidak cocok, pelanggaran akademik, selebihnya berkaitan masalah administrasi.

Guru Besar sebagai representasi penjaga marwah keilmuan dan akademik kini telah tergerus petualangan transaksional yang mencederai hakikat pendidikan tinggi. Mangadar Situmorang (Kompas, 7 Maret 2023) berpendapat telah terjadi pengingkaran terhadap idealisme kegurubesaran yang seharusnya sarat dengan standar, norma, dan etika akademik baik pada level personal-individual maupun institusional-struktural. Karena hakikat dan arti penting Guru Besar dalam dunia akademik seyogyanya menjadi motor pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sumber jawaban terhadap berbagai persoalan manusia dan kemasyarakatan, serta inspirasi pengembangan peradaban manusia.

Menengok hakikat perguruan tinggi (PT) sebagai penyelenggara  pendidikan tinggi yang menganut asas kebenaran ilmiah, penalaran, kejujuran, keadilan, manfaat, kebajikan, tanggung jawab, kebhinekaan, dan keterjangkauan. Juga fungsi pendidikan tinggi mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan memperhatian dan menerapkan nilai humaniora, mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban. Maka kehadiran Guru Besar memang sebuah keniscayaan. Karena itu, uraian Kompas merupakan pengingkaran yang membuat dunia pendidikan tinggi (perguruan tinggi) kita patut segera melakukan retrospeksi diri.

Bagaimana sesungguhnya idealisasi Guru Besar? Mengambil contoh baru-baru ini yakni peringatan 100 Tahun Prof. Dr. H.C. KPH. Koentjaraningrat (15 Juni 1923 – 23 Maret 1999). Koentjaraningrat seorang ilmuwan, tokoh dan Antropolog pertama Indonesia yang sangat berperan besar dalam mendeskripsikan sejarah dan kebudayaan Indonesia dan berpengaruh besar pada perkembangan bidang Antropologi di Indonesia. Sepanjang hidupnya Koentjaraningrat mendedikasikan dirinya untuk perkembangan Ilmu Antropologi, pendidikan Antropologi dan segala sudut pandang yang berkaitan dengan kebudayaan dan kesukubangsaan di Indonesia. Beliau menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Jurusan Bahasa Indonesia pada tahun 1953, kemudian meraih gelar Master of Arts di bidang Antropologi, dari Yale University pada 1956 dan meraih gelar Doktor Antropologi di Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada 1958.

Dalam perjalanannya beliau merintis berdirinya 11 jurusan Antropologi di berbagai Universitas di Indonesia, aktif mengajar dan menulis banyak hal berkaitan dengan Kebudayaan dan Pembangunan di Indonesia sejak 1957 hingga 1999 yang dituangkan dalam 22 buku dan lebih dari 200 artikel di berbagai makalah ilmiah dan suratkabar di Indonesia maupun mancanegara. Karya-karya dan pemikiran beliau kerap menjadi acuan penelitian mengenai sosial budaya dan masyarakat Indonesia, baik oleh para ilmuwan Indonesia maupun asing. Melalui tulisannya beliau mengajarkan pentingnya mengenal masyarakat dan budaya bangsa sendiri. Buah pemikirannya dan karya beliau sampai saat ini juga masih menjadi buku wajib baca bagi mahasiswa Antropologi Indonesia. Beliau sosok utama yang berjasa mendirikan dasar-dasar ilmu Antropologi di Indonesia, dari sinilah beliau mendapatkan gelar kehormatan sebagai Bapak Antropologi Indonesia, dan penghargaan-penghargaan lainnya.

Berbicara realitas kini, baik dari sisi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maupun etika akademik sangat bertolak belakang sebagaimana dilansir harian Kompas. Bisa jadi sesungguhnya realitas kini bagai “gejala gunung es” yang mencederai dunia keilmuan dan akademik. Padahal Guru Besar yang memberi warisan keilmuan sangat kita butuhkan. Tampaknya kita lupa mempersiapkan diri mengembangkan kandidat-kandidat Guru Besar yang berorientasi dan mampu menopang pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan dilandasi norma-norma akademik yang seharusnya. Baik secara individu personal dosen, maupun secara kelembagaan perguruan tinggi.

Ketentuan Kemendikbudristek menyebutkan setiap perguruan tinggi, bahkan setiap program studi wajib memiliki Guru Besar. Setiap program studi yang merupakan cabang keilmuan disyaratkan memiliki seorang Guru Besar. Faktanya dari 4.593 PT dengan 29.413 program studi, tersedia 312.890 dosen sedang Guru Besar baru mencapai sekitar 5.479 orang (Statistik Pendidikan Tinggi 2020). Dikaitkan dengan PT memang jumlah Guru Besar melebihi sedikit walau penyebarannya tidak proporsional di masing-masing PT. Namun bila dikaitkan dengan jumlah program studi sangat ironis, Guru Besar di perguruan tinggi baru dipenuhi 2 % saja. Artinya 98 % program studi di perguruan tinggi kekurangan,, bahkan tanpa Guru Besar.

Jelas sekali, pendidikan tinggi mengalami “Darurat Guru Besar”. Guru Besar dengan idealisasi kompetensi yang sesuai sebagaimana idealnya seorang Guru Besar yang mampu mewariskan keilmuan, menjawab tantangan masa depan, serta menginspirasi pengembangan peradaban manusia dengan nilai-nilai kemanusiaan. Meminjam istilah Mangadar adalah Guru Besar yang lahir  dari komunitas akademik, komunitas ilmu yang merupakan hasil pekerjaan kolektif, institusional dan absah. Disinilah ada peran PT yang lupa mendorong berkembangnya komunitas akademik dan komunitas ilmu.

Tantangan kemasyarakatan yang senantiasa berubah, maka seharusnya keilmuan dan pengembangannya justru semakin diintensifkan. Karena sejatinya perkembangan kemasyarakatan memunculkan persoalan-persoalan baru yang justru harusnya dijawab melalui ilmu pengetahuan dan teknologi yang mumpuni dengan berlandas nilai-nilai kemanusiaan. Inilah barangkali tantangan mengisi kekosongan Guru Besar dengan itikad membangun peradaban, serta kemakmuran yang berkeadilan. Apalagi di era kini, pendidikan tinggi perlu mengembangkan kapasitas tidak hanya untuk menganalisis dan memecahkan masalah ilmiah (teknis), namun juga harus menekankan interkoneksi lintas disiplin ilmu dan lintas sektor.

Guru Besar dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat melibatkan pengintegrasian keahlian ilmiah dengan fokus pada implikasi ilmu pengetahuan yang lebih luas ke masyarakat. Guru Besar harus menjembatani kesenjangan antara pengetahuan ilmiah dan masyarakat dengan mengajar, melibatkan masyarakat, melakukan penelitian, memengaruhi kebijakan, dan berkolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan.……. Wallahualam.

Vivat Widyatama, Vivat Civitas Academica, Vivat Indonesia dan Nusantara tercinta. (@lee)

 

Redaksi – Lili Irahali