Bootstrapping: Guru Besar menyelamatkan diri dengan membantu Junior Belajar Riset dan Publikasi Ilmiah

0
138 views

Oleh Bachrudin Musthafa, SPs UPI

 

Editorial Komunita kali—ibarat alat berat — mendongkel-dongkel lapisan permasalahan seputar guru besar (GB) di Republik ini. Melalui analisis dokumen peraturan yang mengendalikan tumbuh-kembang jumlah GB di Indonesia, Komunita nomor ini mempertanyakan mengapa Republik ini tampaknya menghadapi kesulitan memenuhi rencana dan target yang digariskannya sendiri untuk “menghadirkan” minimalnya satu orang GB untuk setiap program studi yang dibuka dan beroperasi melayani mahasiswa di seantero negeri ini.

Dihadapkan pada analisis secara detil seperti ini kita kemudian disadarkan pada kelemahan kita dalam perencanaan dan pengerahan sumberdaya untuk mengurusi hal yang penting ini. Kita belum berhasil menyediakan, menyebarkan  secara merata, dan memfasilitasi pemanfaatan dukungan yang tersedia demi memajukan GB sebagai “agen perubahan” di institusi perguruan tinggi (PT).

Di dalam ruang terbatas ini, musykil rasanya kita dapat menuntaskan persoalan besar ini di sini. Meskipun demikian, sesuai kapasitas yang ada, perkenankan saya turut serta memikirkan posisi dan kesempatan GB yang sebarannya tidak ideal di antara prodi-prodi di perguruan tinggi (PT) untuk mulai (dan melanjutkan) ikhtiar mencicil penutupan rongga (gap) yang menganga di antara berbagai prodi yang tampaknya belum terencanakan dengan baik. Gagasan yang saya maksud adalah menggunakan pendekatan “bootstrapping” untuk membina dan menyiapkan personil pengajar yang dipandang potensial untuk dimatangkan sebagai kandidat GB. Sebagai kolega yang lebih dahulu menjadi GB di tempat kerjanya, seorang GB dapat dengan relatif “mudah” mendeteksi dosen-dosen potensial yang dapat diajak bekerjasama dan mengondisikan diri untuk memantaskan diri menjadi GB dengan segala persyaratannya yang telah relatif jelas diartikulasikan oleh bagian kepegawaian Kemendikbudristek RI yang mengendalikan nasib-peruntungan GB secara sentralistis di seluruh negeri ini.

Dengan alasan keterbatasan ruangan yang sama, artikel ini hanya dapat membicarakan ihwal apa yang perlu disiapkan begitu kandidat secara akademik dapat diidentifikasi secara relatif meyakinkan. Bagaimana staf pengajar (dosen) dapat diidentifikasi sebagai calon-potensial yang menjanjikan untuk menjadi pantas menyandang GB yang baik? Secara umum dosen mengenal teman-temannya dengan baik pula. Secara relatif kolega dapat menaksir potensi koleganya baik secara akademik maupun yang lain-lainnya termasuk integritasnya sebagai staf pengajar, sebagai pembimbing dan pengembang mahasiswa yang belajar dengannya dan sebagai dosen senior yang kelak menjadi atasannya. Seorang dosen—secara umum—dapat “dibaca” sikap keilmiahannya, sikap dan perilaku sosialnya, dan sikap kesejawatannya sebagai sesama staf pengajar.

Pertama-tama, kita menyadari bahwa sebagai dosen kita berkewajiban menyiapkan mahasiswa memasuki dan berpartisipasi dalam kultur akademik—yang dicirikan dengan ekspektasi dan kebiasaan literat yang lebih spesifik sebagai anggota komunitas ilmiah. Secara umum, di dalam kebiasaan kita berwacana kita cenderung memihak pada “kultur kelisanan”, yakni sebagian besar di antara kita lebih merasa betah mendengarkan daripada membaca teks karya ilmiah. Sebagai akibatnya, kita merasa kurang akrab dengan wacana tulis-ilmiah. Oleh karena itu, secara spesifik kita dituntut menyiasati teks ademik sebagai bahasa ilmiah, yang merupakan “wahana utama” publikasi ilmiah yang akan kita perhatikan secara detil. Bahasa Ilmiah tidak memiliki penutur aseli, dalam arti bahwa tidak ada satu manusia pun yang terlahir sebagai penutur bahasa ilmiah. Artinya, semua orang harus mempelajarinya dari titik nol. Meskipun demikian, sebagian orang mungkin sempat mempelajarinya lebih awal dari yang lainnya, karena “pergaulannya” dengan bahasa ilmiah tertulis melalui bacaan ilmiah yang ditemuinya.

Selain menyadari hal yang mendasar ini, kita juga harus memahami bahwa Bahasa akademik merupakan konsep serbamuka (mutifaceted), yang karena sifatnya yang demikian itu, secara umum kita memperolehnya secara bertahap, melalui proses bawah-sadar melalui frekuensi membaca tulisan ilmiah yang relatif sering. Membaca artikel terpublikasi—dalam hal ini yang sesuai bidang keilmuan kita—merupakan cara terampuh untuk membuat kita akrab dengan cara berpikir dan cara mengungkapkan pikiran dalam bahasa ilmiah dalam bidang tersebut.

Apa yang salah pada praktik pembelajaran yang kita lakukan di kelas-kelas perguruan tinggi (PT)? Tanpa harus menunjuk ini-itu yang patut dipersalahkan, kita dapat merasakan orientasi dalam kurikulum kita memang memihak pada “going wide” (kita ingin semua ilmu dikenalkan pada dan dipelajari oleh mahasiswa) tetapi kita tampaknya kurang sistematis dalam mengurus pemahaman terhadap yang penting-penting (“going deep”). Entah sampai kapan pengembang kurikulum akan terus-menerus berpihak pada yang melebar-lebar dan tidak mau memfasilitasi penukikan-ke-dalam (alias “going deep”) terhadap topik-topik induk  dan teori-teori utama yang membuat mahasiswa kita paham mana yang utama dan mana yang sampingan. Masalahnya sekarang menjadi lebih serius: mungkinkah cara kita belajar dan mengajarkan ilmu di PT mengarahkan kita pada temuan-besar yang akan melahirkan pememang hadiah Nobel? Sebagai negara besar, Indonesia sudah “kecolongan” berkali-kali dalam hal ini, dan jika praktik melebar-lebar ini terus dilanjutkan, pola hasil belajar kita akan sama: tidak akan mengarah pada hal-hal besar dan tidak akan menelurkan kelas pemenang hadial Nobel.

Pendekatan pengembangan professor yang dicoba diangkat melalui artikel ini adalah dengan menggunakan konsep “boostrapping” yang saya kira sesuai dengan kecenderungan pemikiran ilmuwan Indonesia, yang umumnya lebih memilih kolaborasi daripada kompetisi-frontal dan lebih  memilih kemanfaatan sosial bagi kolega daripada menonjolkan diri-sendiri dengan meninggalkan kolega di “gerbong belakang”. Apa yang pada umumnya diperlukan dosen non-GB yang sedang berusaha meniti tangga ke arah publikasi ilmiah “mandiri” untuk menata credentials keilmuan bagi professorship yang diincarnya? Menggunakan pengalaman pribadi (dan teman-teman yang saya kenal) sebagai patokan, dapatlah saya sampaikan tiga hal ini: sebelum menulis, selama menulis, dan setelah menulis. Ketiga tahapan ini sama-sama penting dan seyogianya dilalui dengan penghayatan prima.

Pada tahapan sebelum menulis, calon professor dan pembimbingnya harus sama-sama menyadari bahwa menulis untuk publikasi-ilmiah memerlukan kemampuan menjawab ini: apa yang hendak ditulis, bagaimana menuliskannya, dan hendak dipublikasikan di mana hasil akhir tulisan yang dibuatnya. Setiap pertanyaan dasar ini nanti akan memiliki implikasi jauh ke depannya dan bagaimana GB senior yang membimbingnya akan dapat memfasilitasi perkembangan kandidat professor secara sistematis  dan berdaya-guna.

  • Untuk pertanyaan pertama: apa yang hendak ditulis? Hal ini menghendaki basis-pengetahuan topik yang pasti: apa persisnya yang hendak ditulis? Setelah topik ini ditentukan, tibalah saatnya untuk melihat publikasi orang-lain tentang topik ini beberapa tahun belakangan ini: apa yang telah diteliti orang lain dan apa hasilnya? Lakukan pembacaan teliti dan kritis tentang hal penting ini. Apakah yang didapati baru dari pengetahuan yang selama ini dipegang calon GB? Apa bedanya? Adakah “gap” yang didapati dari sisi metodologi? Dari sisi sumber data? Dari sisi cara mengumpulkan data? Dari sisi teori yang dipakai untuk mengumpulkan dan menganalisis data? Hal ini penting dipahami calon GB supaya dia memperoleh penghayatan tentang kesinambungan perkembangan keilmuan di seputar topik yang dipilihnya. Dari pengalaman membanding-kontraskan perspektif dan cara kerja yang dulu dikenalnya dengan cara kerja peneliti yang melakukan publikasi belakangan ini akan muncul kesadaran tentang perkembangan dan mungkin cara baru mengombinasikan arah perkembangan ke depan.
  • Untuk pertanyaan “Bagaimana menuliskannya?” kandidat professor diminta memikirkan tertib cara mengkomunikasikan gagasan-gagasan yang dimilikinya kepada para pembaca yang menjadi sasarannya. Bagaimana membuat intronya? Bagaimana menyajikan pertanyaan yang menjadi fokus bagi publikasinya? Bagaimana menggelar proses penelitian yang dilakukannya: mulai dari data apa yang diperlukannya dan bagaimana mengumpulkannya, dan bagaimana data ini dipastikan validitasnya? Teori apa yang memandu penelitian ini dan parameter apa yang perlu disampikan kepada pembaca agar terasa bahwa penelitian ini memberikan kejelasan tentang hal-hal yang sebelumnya menjadi pertanyaan? Semua rangkaian pemikiran ini harus ditulis dalam bahasa ilmiah yang efisien dan standar yang meyakinkan pihak pembaca bahwa penelitian ini telah benar-benar dilakukan dengan baik dan dengan kontrol kualitas yang terjaga dengan baik pula. Laporan yang ditulis dengan bahasa yang baik sama pentingnya dengan penelitian yang dilakukan dengan baik oleh para penelitinya.
  • Apa yang dilakukan setelah penelitian direncanakan, dilakukan, dan kemudian dilaporkan kepada sidang pembaca? Pada tahap ini—dalam ilmu menulis akademik disebutnya “after writing”– pihak peneliti dan mitra kerja yang dibimbingnya kini dalam posisi mencek bolak-balik memastikan bahwa yang tertulis mencerminkan akurasi yang diharapkan dengan mencek IMRAD (introduction, methods, results, dan discussion). Apakah cara penulisan dan langgam gaya penyajiannya telah sesuai dengan “pakem” menulis akademik dengan menggunakan pertanyaan pemandu penting berikut.
  1. Apakah intro-nya memberikan konteks yang jelas tentang masalah dan tujuan penelitian?
  2. Apakah bagian metode memberikan informasi yang memadai? Termasuk, misalnya, pertanyaan penelitian yang dijadikan fokus dalam penelitian ini? Apakah informasinya jelas tentang siapa partisipan dan/atau sumber datanya? Prosedur apa yang ditempuh dalam pengumpulan data? Bagaimana data dianalisis? Apa hasilnya dan apa temuan studinya yang utama?
  3. Apakah di bagian Hasil Studi informasinya jelas dan lengkap: apa yang telah ditemukan dan apa maknanya? Apa yang dapat dilakukan agar temuan dan hasil yang diperoleh bermanfaat bagi perkembangan keilmuan?
  4. Cek semua tulisan yang terkandung dalam laporan, termasuk singkatan (kalau ada) dan pastikan semua penomoran dan penyajiannya konsisten sehingga memudahkan bagi pembaca untuk memahaminya.

Pada saat Professor pembimbing dan calon professor yang dipandunya bekerja sama dalam sesi tutorial, pastikan keduanya memegang laporan penelitian yang telah terpublikasi pada jurnal yang terindeks (semisal SCOPUS atau badan pengindeks lainnya). Fungsi naskah tercetak ini sangat nyata: sebagai artefak yang akan ditelaah dan dibahas secara detil dari segi “what to write” (topik yang dibahas) dan “how to write it” (segi cara penulisannya) dan “for what purposes” (tujuan penulisannya, karena tujuan penulisan akan menentukan cara penulisannya). Agar professor senior terjaga marwah akademiknya, disarankan agar yang berperan sebagai instruktur terlebih dahulu paham secara detil “luar-dan-dalam” tentang tujuan dan isi dalam dokumen yang hendak dibahasnya sebelum diberikan salinannya kepada calon professor yang akan belajar dari yang senior.

Ketika tengah menuliskan apa yang hendak disampaikan dalam artikel—khususnya pada saat-saat pengambilan keputusan ketika menulis—para penulis yang belum dianggap professional biasanya tak mampu menjaraki tulisannya. Itulah mengapa dalam pedagogi penulisan akademik draf kasar dan gonta-ganti struktur kalimat dan kosakata dianggap bukti penting tentang terjadinya proses berpikir terus-menerus. Ini pada saatnya merupakan bukti penting prosedur berpikir yang dilalui penulis ketika mengartikulasikan gagasan dan gaya-ungkap tulisan ilmiah yang dibuatnya. Dengan semangat menjaga marwah akademik penulis yang hendak menjadi BG, pembimbing yang mendampingi hendaknya mencermati “proses kreatif” produksi teks akademik ini dengan seksama sehingga pembimbing juga memperoleh masukan tentang “perjuangan” artikulasi gagasan khususnya bagi penulis yang kurang latihan dan tak begitu banyak membaca—khususnya tentang genre penelitian yang sedang diupayakan pengakrabannya.

Demikianlah proses produksi dan konsumsi gagasan dalam teks akademik seyogianya dilakukan secara terus-menerus di dalam paguyuban para penulis dan pembaca teks akademik yang memotori penyiapan, pematangan, dan pengangkatan professor-baru yang terus-menerus ditingkatkan pengetahuannya dan keterampilan artikulasi penulisannya secara sinambung dalam komunitas penggiat pembaca dan penulis akademik di Perguruan Tinggi.

Dalam teori akuisisi pembacaan dan penulisan tulisan akademik telah sangat lama diakui adanya “prinsip” bahwa proses membaca dan menulis dapat dipandang sebagai dua-sisi dari kepingan mata-uang yang sama: keduanya tidak boleh dipertentangkan dan/atau tidak boleh memperlakukan yang satu dan meninggalkan yang lain. Berkat kemampuan membaca kita dapat mengembangkan keterampilan menulis; dan ketika sedang menulis kita tengah mengasah keterampilan membaca dengan mengaplikasikan endapan pengetahuan yang dahulunya kita peroleh melalui tulisan orang lain.

Kalau kita kembali ke prinsip sebelum menulisselama kegiatan menulis—dan setelah kegiatan menulis, kita akan merasakan bahwa siklus pengembangan diri ini sejatinya siklikal: memutar. Melalui proses ini kita akan belajar secara terus-menerus. Demikian juga yang terjadi pada calon Professor yang dibimbing Professor Senior: kedua-duanya akan memperoleh imbas positif dari pertukaran ide dan wawasan yang dilakukannya karena gagasan yang diartikulasikan sejatinya tak menjadi mati melainkan terartikulasikan kembali dengan penambahan arti.

Wallahu a’lam bis-shawaab.