IMPLEMENTASI DAN PROBLEMA MERDEKA BELAJAR – KAMPUS MERDEKA

0
7,716 views

IMPLEMENTASI DAN PROBLEMA
MERDEKA BELAJAR – KAMPUS MERDEKA

Prof. Ojat Darojat, M.Bus., Ph.D. – Rektor Universitas Terbuka (UT)

Komunita : Kebijakan MBKM memberi keleluasaan dan kemandirian PT menjalankan Tri Dharma, merdeka  dari birokratisasi, dosen bebas birokrasi, mahasiswa mampu mengembangkan kemandirian mereka, implementasi di UT ?

Prof. Ojat Darojat : MBKM memiliki 4 program strategis. Re akreditasi bersifat otomatis, Re akreditasi yang dilakukan oleh UT memang hanya untuk program studi yang bisa ditingkatkan harkat dan peringkatnya, dan jika habis tidak perlu meregitrasi ulang kepada BAN PT, kecuali bila akan mencoba meningkatkan kelas jika dari C menjadi B tentu kita melakukan serangkaian pembenahan di internal dan kemudian menyampaikan usulan untuk re akreditasi bagi prodi yang masih rendah tersebut. Saya kira sudah berjalan dan ada pula mekanisme yang harus ditempuh berkomunikasi dengan BAN PT.

Hak belajar 3 smester di luar prodi, UT sudah menerapkan tetapi belum merata pada seluruh prodi. Baru 2 prodi yaitu Agri Bisnis dan Perpustakaan. Nanti kita akan melihat bagaimana kelebihan dan kekurangan dari implementasi yang sudah kita lakukan untuk perbaikan ke depan, agar dapat dilakukan secara meluas untuk prodi- prodi lainnya. Kami lakukan mengambil mata kuliah yang ditawarkan di prodi lain masih di internal UT belum untuk eksternal. Untuk tahun 2021 di semester 2 akan mengambil beberapa skema, termasuk salah satunya mengambil skema/ mata kuliah di luar UT, dan juga memulai kegiatan yang lain. Kalau tadi ada 9 kegiatan kampus merdeka, kita akan memberikan keleluasaan kepada mahasiswa, mereka akan mengambil bagian yang mana, dan sifatnya menawarkan, tidak memaksa. UT wajib memfasilitasinya, dan akan mulai lebih masif di tahun 2021 ini. Disamping itu, UT memberi kesempatan untuk PT lain apabila mahasiswanya ingin mengambil mata kuliah secara online di UT. Sudah banyak yang melakukan, seperti satu PTN di Sumatera (Kota Padang) 6000 mahasiswanya mengambil mata kuliah online di UT, ada yang 4000 mahasiswa dan ada yang 100. Menurut saya ini solusi yang bagus sekali dari program Kemendikbud ini. Contoh, di Kota Denpasar mayoritas penduduknya beragama Hindu, sehingga mahasiswa yang masuk ke perguruan tinggi/prodi tertentu untuk MKDU agama Islam agak sulit, dengan cara mengirim mahasiswa mereka secara online ke UT masalah terpecahkan, dengan biaya yang murah dan terjangkau, mereka mendapatkan kualitas pembelajaran MKDU dengan baik. Bagi PTN juga tidak ada keharusan merekrut dosen baru untuk kepentingan MKDU tersebut. Itu merupakan praktek Recource Sharing, sehingga penyelenggaraan pendidikan menjadi lebih murah dan kualitasnya menjadi baik. Contoh lain, ketika suatu PT di Bogor mengharuskan menyediakan tenaga dosen 1:40, artinya membutuhkan dosen MKDU Agama yang cukup banyak, kadang yang menjadi dosen agama rata-rata beragama Islam, dan hanya bisa menjadi dosen MKDU Agama Islam. Melalui praktik Resource Sharing permasalahan dapat dipecahkan, rekrutmen baru dapat dihindari.

Pembukaan prodi baru, memberikan otonomi, Dalam kontek PTN-Satker dan PTN-PKBLU belum bisa diimplementasikan, dan harus memerlukan ijin ke LLDIKTI. Kecuali untuk PTN-BH, ketika mendirikan program studi mereka tinggal komunikasi internal dengan Majelis Wali Amanah/MWA-nya, tetapi dalam konteks UT sebagai PTN-PKBLU/Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, ijin pembukaan prodi baru tetap harus mengajukan kepada Kementerian, belum bisa dilaksanakan oleh PTN-Satker biasa dan PTN-PKBLU. Hal ini hanya bisa dilaksanakan oleh PTN-BH.

Kemudahan menjadi PTN-BH, Sekarang semua PTN-PKBLU sedang didorong menjadi PTN-BH, termasuk UT sedang melangkah kesana. Pada bulan Desember 2020 kita sudah mensubmit 4 dokumen yang dibutuhkan untuk usulah PTN-BH. Diantaranya, dokumen RPJP (Rencana Pengembangan Jangka Panjang), apa yang akan dilakukan UT selama 15 tahun ke depan 2021-2035, dokumen evaluasi diri, dan dokumen masa transisi. Dokmuen-dokumen tersebut kita serahkan langung kepada DIKTI dan kami diberi kesempatan oleh Kemendikbud untuk presentasi pada tanggal 17 Maret 2021, tentang Skema pengembangan UT dari PTN-PKBLU menjadi PTN-BH.

Komunita : MBKM bertujuan mendorong mahasiswa menguasai berbagai keilmuan memasuki dunia kerja. Apakah tafsirnya hanya penguasaan keterampilan teknis, dan relevan dengan tujuan pendidikan tinggi kita ?

Prof. Ojat Darojat : Betul sekali. Kita memang berasumsi ketika perguruan tinggi mengambil 8 kegiatan inti dari MBKM memang memberikan peluang kepada mahasiswa berkompetensi dengan cara terjun langsung di lapangan. Ketika pertukaran pelajar pasti akan sama dengan apa yang dilakukan di tempat kita, hanya mungkin suasana, kualiatas dosen dan kurikulum yang pasti berbeda. Pada penguasaan teori dan konsep masih lebih banyak, tapi di kurikulum prodi yang bersangkutan seimbang antara konsep teori yang diajarkan di kelas dengan mereka diberikan kesempatan untuk melakukan kegiatan-kegiatan ekstrakulikuler yang mendukung pencapaian kompetensi tersebut. Ini sangat bergantung pada kurikulum yang dipersiapkan oleh masing-masing perguruan tinggi/PT untuk pertukaran pelajar antar universitas. Kita tahu setiap PT pasti menyediakan kurikulum yang berbeda/sama kepada mahasiswanya disesuaikan dengan kemampuan dan kapasitas yang dimiliki oleh PT yang bersangkutan. Tetapi 8 aspek yang lainnya kalau saya lihat dalam kegiatan pembelajaran itu, melalui membangun desa, mengajar di sekolah, bela negara dan lain sebagainya berorientasi pada kegiatan praktik memberi wawasan kepada mahasiswa, mempersiapkan mereka untuk tampil di lapangan dengan baik. Karena salah satu kelemahan di kita cenderung menciptakan mahasiswa yang sukses di dalam kelas, dengan IPK tinggi dan dituntut menghafal teori-teori dan konsep-konsep yang diberikan kepada mereka, dan ketika UAS mereka harus mendapatkan nilai yang bagus dengan IPK yang baik. Tetapi kurang waktu dosen untuk menyampaikan kepada mereka untuk terjun hidup di masyarakat. Jadi tidak terhubung teori di pembelajaran dengan kehidupan di masyarakat, serta memberikan kesempatan/peluang untuk memahami kehidupan di masyarakat.

Komunita : Bagaimana dengan “Merdeka Belajar – Transformasi Dana Pemerintah untuk PT” memberi peluang meningkatkan kualitas, mendorong terwujudnya lulusan unggul, serta melahirkan talenta-talenta yang mampu bersaing di tingkat global ?

Prof. Ojat Darojat : Transformasi dana untuk PT ada 3 hal ini : a) Insentif berdasarkan capaian Indikator Kinerja Utama untuk perguruan tinggi negeri (PTN), b) Dana penyeimbang atau matching fund untuk kerja sama dengan mitra untuk PTN dan perguruan tinggi swasta (PTS), serta c) Program Kompetisi Kampus Merdeka atau competitive fund (untuk PTN dan PTS) merupakan stimulus yang diberikan oleh Kemendikbud secara berkeadilan sesuai dengan unjuk kerja masing-masing PT. Ini merupakan stimulus yang bagus mendorong PT memperbaiki kualitas pendidikan yang diselenggarakannya supaya nantinya bisa mendapatkan stimulus tersebut.

Terkait butir a), sekarang ada 8 indikator kinerja yang sudah ditetapkan Kemendikbud dan Dirjen DIKTI dan itu akan dilihat masing-masing PT seperti apa. Hanya dalam konteks UT mungkin saya mengkritisi ini baik, tetapi tidak seluruhnya tepat, karena salah satu ukurannya dari jumlah lulusan itu ada berapa persentase yang masuk dalam dunia kerja dan berapa lama periode tunggunya. Dikaitkan dengan capaian lulusan yang cepat bekerja, dalam konteks di UT, mahasiswa hampir 90 % sudah dalam posisi memiliki pekerjaan (pegawai dalam suatu perusahaan), di instansi pemerintah, wirausahawan dan instansi swasta. Indikator yang ini mungkin dapat di review sedikit, kalau di UT pasti tinggi untuk kami, untuk PTS yang basiknya dari STLA/SMA/ SMK mungkin dapat dilihat dan di-review lagi. Bagi kami bukan masalah mendapatkan pekerjaan tapi bagaimana setelah mereka kuliah di UT berdampak pada perusahaan/instansinya dalam karirnya, seperti Jabatannya naik, ataupun ini berdampak positif dalam karir mereka. Itu konteksnya lebih cocok untuk UT.

Untuk butir b) ini sangat bagus memberikan kesempatan PTN/PTS untuk membangun kerjasama kemitraan yang sangat baik dengan dunia kerja, bagi mahasiswa kita mendapatkan peluang pekerjaan dan menggali kompetensi di lapangan dengan para pelaku bisnis. Misalkan mereka ditugaskan oleh dosennya untuk magang di suatu perusahaan, mereka harus mempunyai modal kerja dan modal hidup, itu juga harus diperhatikan supaya nanti matching fund yang akan digelontorkan pemerintah tepat sasaran. Untuk UT dalam kerja sama mitra yang lain itu dengan mahasiswa dengan tempat domisili lainnya, dan rata-rata mahasiswa UT sudah berkeluarga, dan ikatan dinas, maka mereka bisa bermitra sesuai dengan domisili mahasiswa.

Untuk butir c) juga sangat bagus dan penting agar mahasiswa yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan dan lomba-lomba yang dipersiapkan oleh Kemendikbud. Misal keluar negeri mereka butuh biaya untuk kegiatan kompetisi internasional tetapi minimnya dana dari PT.

Komunita : Apa yang dipersiapkan dan dilakukan UT mensikapi kebijakan MBKM -Transformasi Dana untuk PT ?

Prof. Ojat Darojat : Kalau PTS seperti Universitas Widyatama itu sangat perlu. Masukkan saya setiap PTS itu untuk memperoleh anggaran dari pemerintah tidak serta merta/ hadiah, tapi dengan cara kompetisi. Kita harus betul-betul mempersiapkan mahasiswa untuk berkompetisi, bukan hanya mahasiswanya tetapi juga kualitas dosen yang mendukung kegiatan MBKM dan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi mahasiswa untuk terlibat di dalam kegiatan kompetisi tersebut sesuai dengan kapasitas mahasiswa dan kapasitas kampus. Namun yang utama tidak bisa memaksa mahasiswa dan kita sebagai PTS/PTN wajib untuk memfasilitasi dan mahasiswa yang memilih, untuk menghasilkan learning out yang maksimal bagi PTS/ PTN nya.

Yang kedua, kita sebagai penyelenggara pendidikan harus membenahi cara kerja/author working agar mencapai capaian kerja yang optimal. Pencapaian ini adalah kontrak dengan Kementerian teknis, dengan Kemendikbud. Kontrak itu harus diturunkan ke bawah, seperti ke Wakil Rektor, Dekan, Kaprodi, dan Sekprodi. Bagaimana caranya agar dapat tercapai, di case cadding oleh PTN/PTS, agar setiap Prodi dibuatkan kontrak dan pembagian pencapaian indikatornya, supaya setiap Prodi melibatkan mahasiswanya turut mengambil bagian sesuai dengan skema yang dirancang. Itu adalah kewajiban manejemen dari level atas s.d level bawah, dan seluruh elemen manejemen harus terlibat. Jadi kontrak yang sudah disepakati tadi itu termasuk bagaimana cara mendapatkan supporting financial dari Kemendikbud. Apakah Matching Fund dan lainnya harus menjadi bagian dari skema perencanaan tahunan yang akan kita eksekusi selama tahun berjalan. Misalkan RKAT di tahun 2021 di dalam RKAT kita sepakati bersama.

Kalau UT menerapkan Prinsip SMART (Spesific: hal- hal yang secara khusus disepakati dalam kontrak untuk kinerja indikator bagian yang akan dilakukan dalam tahun berjalan, Measureable: terukur dalam hal anggaran, SDM dan juga waktu yang ditentukan, Achivable: Program yang dibuat harus dapat dicapai, terbina dan terbimbing supaya program kerja memungkinkan untuk dapat dicapai, Realistic : Disesuaikan dengan kapasitas, dan sebagai PT dengan pembelajaran jarak jauh, dan disesuaikan dengan mahasiswanya dan programnya Real betu-betul sesuai dengan yang direncanakan, Terakhir Timely Bound: SMART goal harus terikat waktu karena memiliki tanggal mulai dan selesai. Jika tujuan tidak dibatasi waktu, tidak akan ada rasa urgensi dan, oleh karena itu, mudah bagi Rektor untuk melakukan kontrol dan monitoringnya). Saya kira itu yang harus dilakukan dalam eksekusi pelaksanaannya.

Komunita : Elemen dasar “kebebasan akademik” sebagai prasyarat pengembangan lembaga akademik sudah disentuh kebijakan MBKM ?

Prof. Ojat Darojat : Kebebasan Akademik itu menurut saya marwah yang harus kita jujung tinggi, kita fasilitasi di kampus. Kebebasan akademik itu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Kewibawaan Akademik, bisa ditumbuhkan di PT apabila adanya kebebasan akademik yang memang memungkinkan mahasiswa untuk berkembang sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya.

Ini belum tersentuh betul karena mahasiswa kapasitasnya berbeda-beda, ada mahasiswa yang fast learner ada yang slow learner, harusnya learning outcome itu disesuaikan dengan kemampuan mahasiswa, Namun yang terjadi tidak demikian. Kalau elemen dasar Kebebasan Akademik harusnya ini disesuaikan dengan kemampuan mahasiswa, jadinya learning outnya pasti berbeda. Pengemasan Kurikulum menurut saya setiap mata kuliah yang diambil dalam satu semester itu menuju pada penguasaan kompetensi tertentu, jadi harus dikemas setiap semester itu micro learning/micro credential, yang mengarah kepada capaian kompetensi tertentu. Sehingga mahasiswa tidak dituntut harus 8 semester pembelajaran. Menurut saya kebebasan akademik itu harusnya seperti itu. Jadi Learning outcomenya melahirkan skills bagi mahasiswa, sesuai character building mahasiswa yang berbeda-beda jadi kemampuannya juga berbeda-beda, daya tangkapnya juga berbeda-beda juga.

Komunita : Harapan PT dalam mengimpelementasikan MBKM yang bertepatan Pandemi Covid 19 ?

Prof. Ojat Darojat : Saya kira harapannya PT harus mengakselerasi. Online Learning itu bukan pilihan, tetapi merupakan Keniscayaan. Jadi semua orang sekarang sedang diakselerasi dan diharuskan bagaimana caranya supaya kita bisa Moving Forward dari cara-cara pembelajaran konvensional menuju cara pembelajaran yang intregrasikan teknologi. Sekarang cara-cara mengajar konvensional yang sudah diterapan puluhan tahun sebelumnya bagi dosen-dosen tertentu akan resistance, tetapi bagaimana caranya sekarang para Rektor Universitas ataupun Pimpinan Kampus secara komitmen menyertakan semua pihak di dalamnya agar semua bergerak bersama-sama difasilitasi agar mempunyai kemampuan mengintregrasikan teknologi di dalam proses pembelajaran. Ini merupakan suatu kebutuhan nyata pada saat ini seiring dengan revolusi industry 4.0. Harus ada komitmen dari Top Level Manajemen PTN & PTS menyediakan kesempatan bagi semua stakeholder di PT tersebut agar mereka menyukseskan Program Kemendikbud mengusung program-program MBKM, dan program lainnya. Terakhir tugas bersama menjadikan mahasiswa menjadi SDM unggul menyambut Bonus Demografi hingga tahun 2025.

Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., L.L.M., Ph.D. – Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani/Unjani

Komunita : Pada tahun 90-an ada program “link and match” yang diluncurkan Prof Wardiman selaku Mendikbud ?

Prof. Hikmahanto Juwana : Esensinya sama dengan yang sekarang, tapi jangan dilihat dari istilah, harusnya “intensi” dibalik itu. Kalau berbicara “link and match” perguruan tinggi jangan seperti “menara gading”, tidak bersentuhan nantinya dengan apa yang di lapangan. “Link and Match” adalah bagaimana caranya para mahasiswa bisa langsung diserap oleh industri, tapi juga harapannya dapat dimanfaatkan oleh industri. Sekarang istilahnya adalah “triple helix”, antara pemerintah, perguruan tinggi dan dunia industri, mereka bisa melakukan kerjasama.

Terlepas dari “istilah”, kami Unjani sedang lakukan itu semua. Saya sebagai Rektor tahu betul jangan sampai Universitas ini menjadi “menara gading”. Oleh karena itu bagaimana mahasiswa kita dipersiapkan agar masuk ke dalam dunia kerja dan industri, juga memberdayakan mereka dalam UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) untuk bekerja di dalam kampus. Misal meliput sebagai media untuk liputan kampus baik radio, televisi kampus, juga majalah kampus, dan mereka mendapatkan pengalaman kerja secara professional dengan pengarahan dari dosen, dan para senior-seniornya, juga dapat menjadi rekognisi bahkan menjadi SKS suatu mata kuliah. By nature mahasiswa seperti itu. Kalau mereka tidak diberi kesempatan untuk mendapatkan pengalaman itu sayang, memang belum berpikir tentang financial. Jadi yang kita sebut “link and match” atau “triple helix” sedang kami lakukan. Seperti penelitian yang harus match dengan pemerintah, misalkan kami terjemahkan TNI AD, penelitian-penelitian yang ada di Unjani diarahkan berkaitan dengan dunia/industri Militer. Misal ada mahasiswa dengan dosennya ingin membuat mobil listrik. Apabila dibuat seperti yang sudah ada, tidak akan menjadi nilai lebih, karena sama dengan kompetitor dari perguruantinggi lain yang membuat mobil listrik. Jadi harapan saya mereka membuat mobil listrik dengan perbedaan dan ciri khas Unjani, apalagi kami bekerja sama dengan PT PINDAD. Saya pikir dengan ide membuat mobil listrik untuk keperluan militer. Misalkan mobil-mobil militer dengan bahan bakar bensin pastinya jarak tempuhnya terbatas dan harus kembali mengisi bahan bakar. Kalau menggunakan tenaga listrik atau tenaga surya yang menghasilkan listrik akan sangat berguna dan jarak yang ditempuh akan lebih jauh ketimbang dengan mobil bahan bakar bensin. Kalau untuk mahasiswa dan dikompetisikan pasti akan mendapatkan nilai bagus bahkan juara, ketimbang sekedar menjadi follower dari mobil listrik yang ada.

Kami sebagai Universitas peneliti mengembangkan inovasinya akan ditunjukkan kepada industri yang sudah bekerja sama dengan kami untuk memproduksi secara massal. Saya akan menyampaikan kepada Bapak KASAD, untuk para mahasiswa dan dosen kita yang sudah menjadi peneliti. Bapak KASAD akan mendukung dengan memanggilkan industri besarnya seperti PT PINDAD, karena masih satu bendera dengan TNI AD. Juga kami mengusulkan kepada Yayasan untuk mendirikan unit usaha dengan pengelolaan dan kendali dibawah kami (Rektorat). Jadi unit usaha ini memang arahnya untuk pendidikan dengan demikian yang kita sebut sebagai triple helix itu berjalan.

Komunita : Apakah kebijakan MBKM, menjawab problema di lapangan dimana dunia usaha/dunia industri mengatakan lulusan PT tidak siap kerja ?

Prof. Hikmahanto Juwana : Saya lihat dulu praktek dari berbagai Negara. Ambil contoh Amerika, disana mahasiswa S1 banyak diajarkan bukan ilmu yang spesifik, istilahnya liberal art. Mereka bisa belajar apa saja, bahkan olah ragapun ada SKS untuk memenuhi persyaratan.

Di Jepang pengalaman dari teman-teman, peserta didik harus kerja keras sejak TK, supaya masuk SD yang bagus, SMP yang bagus, SMA yang bagus, juga setelah itu masuk Universitas yang bagus. Tapi ketika di Universitas menurut mereka itu adalah masa-masa mereka menikmati hidup. Maka orang di Jepang, apabila sudah masuk Universitas mereka tidak belajar tapi nilainya A semua, mereka pelesiran, karena dalam seumur hidup mereka yang paling mereka nikmati adalah pada waktu di Universitas. Kenapa seperti itu? Ternyata industrinya menghendaki mahasiswa itu kalau bisa kosong, ibarat kertas kalau bisa masih putih bersih, biar nanti industilah yang mencoret-coret kertas kosong itu. Tapi kalau ada salah satu Universitas di Jepang yang sangat berfikir, mereka tidak akan masuk di ranah industri, pasti masuknya ke Pemerintahan, karena pemerintahan banyak sekali regulasinya, dan mereka tidak bisa melakukan inovasi. Tapi mereka yang masuk ke perusahaan swasta, disanalah mereka dibentuk, maunya seperti apa. Artinya saya mengatakan bahwa jangan dunia industri berharap seperti itu. Bahwa yang dilahirkan dari Universitas adalah mereka yang langsung bisa siap pakai kerja, tidak akan bisa seperti itu.

Kita kan maunya mahasiswa adjustment ke industrinya lebih cepat maka disini pentingnya MBKM, “Link & Match”, dan “Triple Helix” dalam konteks mempercepat (fast moving). Kalau saya lihat seberapa kita siapkan mahasiswa S1 langsung masuk industri dan langsung siap kerja, ya tidak bisa seperti itu. Kecuali kalau Vokasi, memang itu keterampilan, yang diajarkan oleh dosen itu bukan teoritis atau doktrin tetapi memang ilmu keterampilan. Misal saya dengan latar belakang Hukum, memangnya mahasiswa-mahasiswa saya di Fakultas Hukum langsung bisa membuat surat perjanjian atau akta notaris, ya tentu tidak. Mereka diajarkan tentang perjanjian itu sendiri iya, tapi bagaimana tentang membuat perjanjian ya tidak diajarkan. Nah untuk mereka membuat sendiri perjanjian bagaimana? Ya pada saat masuk dalam dunia kerja, tapi sebelum masuk ke dunia kerja Universitas tentu boleh berinisatif mendorong mahasiswa tahu bagaimana cara membuat perjanjian tersebut, dengan memanggil dosen yang mempunyai keterampilan seperti itu. Atau kita dorong mahasiswa magang di suatu kantor advokat, sehingga mereka ter-ekspose. Nah ini yang menjadi penting dari MBKM, “Link & Match” dan “Triple Helix”. Tapi sekali lagi jangan industri terlalu banyak menuntut/meminta lulusan Universitas langsung siap bekerja. Sekarang ini ada kecenderungan seperti itu. Misalkan lulusan Hukum jadi diplomat langsung ya tidak bisa. Nantinya Universitas akan terbebani dengan mata kuliah-mata kiluah baru, padahal mahasiswa mengambil mata kuliah supaya cepat lulus. Jadi ini yang menurut saya agak kurang pas.

Komunita : Ada komunikasi antara Universitas dengan dunia industri/usaha untuk menemukan solusi?

Prof. Hikmahanto Juwana : Kalau soal komunikasi, saya sebagai Rektor Unjani konsolidasi ke dalam memberikan pemahaman kepada para Dekan, kemudian harapan saya para Dekan dapat berkomunikasi dengan dunia industri/usaha. Saya selalu bilang otoritas ilmu, dosen dan mahasiswa adalah Fakultas.

Komunita : Terkait pendidikan Akademik dan Vokasi. Apakah ada kecenderungan yang akademik akan divokasikan?

Prof. Hikmahanto Juwana : Menurut saya dua hal yang berbeda. Karena kalau keterampilan mulai mahasiswa masuk hari pertama harusnya sudah diajarkan tentang keterampilan. Tapi kalau masuk ke universitas memang harus banyak cerita tentang teori-teori, doktrin dan pemahaman baru setelah itu mereka silahkan mau ke jalur keterampilan juga bisa untuk dipraktekan di tempat mereka kerja. Tapi kalau misalnya mereka mau jadi peneliti atau jadi dosen itu diteruskan pembelajaran teorinya.

Kalau saya melihat di jenjang S1 itu mereka mempunyai kesempatan yang lebih luas, ketimbang hanya keterampilan saja. Kalau vokasi memang harus berorientasi pada ketermapilan. Bahkan apabila di dunia hukum keterampilan itu kalau di Indonesia, misalnya D1, D2, D3 di vokasi. Kalau dunia hukum di negara Amerika keterampilan itu dididik dan dia kemudian bisa dapat gelar S2. Di Amerika sekolah hukum itu bukan memberikan ilmu pengetahuan hukum kepada mahasiswanya, tetapi keterampilan untuk mempraktekkan. Untuk itu dapat diambil setelah jenjang S1 dahulu. Kalau di Indonesia yang sudah ada degreenya S2 seperti Magister Kenotariatan, orientasinya adalah mengajarkan peserta didik untuk terampil dalam membuat akta dan surat perjanjian, jadi harusnya jangan terlalu banyak teorinya. Ada juga S2 profesi dan berbagai macam nomenklaturnya.

Komunita : MBKM ada 8 item yang harus dipersiapkan, tentunya harus ada perubahan mindset di Unjani ?

Prof. Hikmahanto Juwana : Waktu muncul kebijakan MBKM banyak rekan-rekan civitas bilang kita MoU dengan kampus-kampus lain. Itu kami lakukan supaya mahasiswa bisa belajar di universitas lain, tapi harusnya kita bisa membuat lebih dari itu. Akhirnya saya membuat kerjasama dengan dunia industri, supaya para mahasiswa bisa mengikuti program magang. Bahkan beberapa Dekan saya dorong, seperti Prodi Akuntansi Unjani mencari kantor kerjasama untuk akuntan di Jakarta, sehingga para mahasiswa dapat melakukan magang disana. Memang perlu waktu, jadi saya ingin mahasiswa saya lebih berkembang di tempat lain, bahkan dunia internasional. Misal Accounting Firm dari luar negeri dan mereka harus mengetahui standarnya seperti apa. Saya inisiasi hal-hal seperti itu, tapi saya juga bilang, jangan juga magang diterjemahkan keluar kampus, kenapa gak di dalam kampus, dan kita pun butuh, mereka bisa bekerja dalam fakultas-fakultas.

Sekarang sosial media menjadi daya tarik tersendiri untuk para calon mahasiswa. Agar fakultas dan para Dekan memanfaatkan acara-acara/event untuk diliput mahasiswa dan nanti dimasukkan dalam sosial media. Saya memberikan sks untuk itu kepada mahasiswa, karena mereka sudah bekerja, bukan saja dapat pengalaman tapi juga dapat sks nya. Di lingkungan kita banyak yang membutuhkan tenaga dari mahasiswa, mereka tidak kalah, apalagi generasi milenial sekarang, berbeda dengan generasi kita dahulu, kadang kita punya akses untuk mendapatkan literature, mendapatkan data informasi, jaman sekarang era sudah digital dan sangat mudah mendapatkan informasi. Hal seperti ini yang terus coba kami lakukan membuka kesempatan-kesempatan untuk mahasiswa dapat tersalurkan dalam kaitan kampus merdeka ini.

Komunita : Bagaimana dengan kesiapan kurikulum di semua fakultas dan prodi?

Prof. Hikmahanto Juwana : Tidak harus merubah kurikulum. Di luar negeri juga seperti itu, mahasiswa tidak perlu sensitive dan responsive terhadap kemauan dari industri. Kita memberikan pemahaman-pemahaman yang akan lebih memperdalam dari industri tentang keterampilan-keterampilan. Kurikulum kita sudah berat, ada 5 jenis yang harus ada didalam kurikulum: 1) Yang dipesan Negara, seperti Agama dan Pancasila; 2) Yang menjadi pesanan Universitas, ciri khas universitas seperti kami Unjani dengan mata kuliah kedisiplinan/KeAhmadYani an; 3) Yang disepakati oleh fakultas dengan fakultas lainnya, consortium untuk menentukan mata kuliah yang harus dimiliki mahasiswa; 4) ciri khas yang dimiliki oleh fakultas yang bersangkutan; 5) baru setelah itu bebas. Kita menyesuaikan dengan kebutuhan, dan yang repot dosen yang mengajar, kecuali mereka mempunyai pengalaman praktek, mereka bisa menyampaikan kepada mahasiswa. Tapi secara alamiah dosen lebih menekankan pada sisi teorinya daripada sisi praktiknya, sehingga kalau ada mata kuliah yang sifatnya practice jangan-jangan dosennya yang tidak bisa menyampaikan kepada mahasiswa. Itu yang kami cegah, jangan sampai kurikulum terlalu responsive tapi yang mengajarnya tidak ada.

Komunita : MBKM Transformasi Pendanaan bagi PT, sejauh mana dimanfaatkan sehingga dapat mengembangkan aspek riset dan inovasi ?

Prof. Hikmahanto Juwana : Tentu membantu, dan Unjani sangat ingin mendapatkan dana tersebut apakah pendampingan atau hibah. Tentu kita coba untuk mendapatkan. Kita tahu recources itu terbatas artinya, kita tidak berdiam diri untuk bergantung pada anggaran yang disediakan oleh pemerintah. Apa yang bisa kita lakukan pastinya akan dilakukan semaksimal mungkin. Kebetulan Unjani milik Angakatan Darat (AD) dan sudah membuka diri, ini kami manfaatkan juga.

Komunita : MBKM, apakah akan mengurangi makna kebebasan akademik ?

Prof. Hikmahanto Juwana : Dalam memaknai MBKM pertama, jangan sampai program S1 menjadi program Vokasi; kedua, kurikulum jangan terlalu responsive terhadap kemauan industri. Marwah universitas harus tetap terjaga karena kebebasan akademik yang membuat universitas tetap berkembang. Kebebasan akademik di kampus harus ada basis ilmiahnya, yang kedua tidak berpihak dan harus netral. Mungkin saja bersifat kritikan bagi pemerintah, dan masukan untuk pemerintah namun basisnya harus ilmiah, scientific. Jadi kebebasan berfikir bukan dengan demontransi mahasiswa. Saya kurang setuju, dan itu kurang baik.

Komunita : Bagaimana tetap menjaga karakter Unjani sehubungan dengan MBKM ?

Prof. Hikmahanto Juwana : Saya ingin tiap universitas memunculkan ke-khas-an masing-masing. Misal Unjani dengan nuansa disiplin yang tinggi. Saya menyampaikan kepada Bapak KASAD membutuh asrama untuk mendidik mahasiswa yang ingin mengikuti pola asuh dengan kedisiplinan yang tinggi. Sehingga selain ilmu juga mendapat pola asuh yang disiplin. Harapan saya dengan “link and match”, merdeka belajar mereka bisa diterima di TNI AD juga melalui jalur ilmu, atau TNI AL atau TNI AU, serta bisa diterima Institusi-Institusi Sipil dengan lulusan kedisiplinan yang tinggi.

Mahasiswa mendaftar ke suatu universitas sebaiknya bukan karena memilih universitasnya, tetapi apa yang ditawarkan universitas. Kedepannya saya ingin mahasiswa masuk dengan ke ciri khasan dari Universitas tersebut.

Komunita : Pesan untuk Civitas dan Teman-teman PT yang lain ?

Prof. Hikmahanto Juwana : Untuk Civitas, Dosen dan Mahasiswa, kita harus bisa mengkapitalisir apa yang menjadi kebijakan pemerintah, mengkapitalisir MBKM dengan tidak harus terpaku mahasiswa lulus dengan skripsi, namun bisa dengan magang di suatu perusahaan, ataupun penulisan di jurnal. Menjalin kerjasama antar universitas untuk memunculkan ke Indonesiaan kita. Sehubungan dengan pandemi Covid-19 para mahasiswa walaupun belajar secara daring, tapi tetap dapat membuka wawasan mereka. Mendorong dosen kita untuk senantiasa meningkatkan kompetensi. Mengkapitalisasi hal tersebut harus kita lakukan.

Untuk sesama rekan, kita coba mengidentifikasi jati diri kita, kita harus bisa menunjukkan ke-khas-an masing-masing perguruan tinggi kita. Apa yang membedakan kampus saya dengan anda, agar para mahasiswa mampu memilih dan tahu apa yang dia pilih.

Djoko S. Roespinoedji, S.E.,Pg.Dipl.

Ketua Yayasan Widyatama, Wakil Ketua ABP PTSI Jawa Barat

Komunita : Bagaimana Badan Penyelenggara memaknai kebijakan MBKM bertepatan dengan pandemi Covid-19 ?

Djoko S. Roespinoedji, S.E., Pg.Dipl. : Pelaksanaan MBKM bertepatan pandemi Covid-19, maka dalam rangka mengutamakan keselamatan dan kesehatan mahasiswa dan pendidik, pembelajaran secara online diakselerasi atau mengalami percepatan. Sebagai Badan Penyelenggara, pembelajaran online memberikan beberapa opportunity yaitu : pertama) memberikan waktu leluasa kepada mahasiswa untuk mengatur pembelajarannya (kuliah sambil bekerja, berkarya, atau bahkan mengikuti program lain di kampus lain atau lintas prodi untuk memperkaya disiplin ilmu). Pembelajaran online dengan tetap mendapat bimbingan dosen memberi ruang kepada mahasiswa membekali diri secara leluasa dengan ilmu pengetahuan yang baik serta mengimplementasikan ilmunya di kehidupan masyarakat kelak, sehingga siap beradaptasi dengan dunia kerja (terutama dalam hal sikap mental dan karakternya); kedua) bisa meningkatkan jumlah mahasiswa, tanpa harus menambah sarana dan prasarana.

Namun yang perlu dicermati terkait budaya teknologi digital yang berkembang pesat. Fenomena ini satu sisi membuat generasi muda bisa menjadi insan yang memiliki pengetahuan dan wawasan yang lebih baik dan mumpuni, namun sisi lain lemah atau miskin dalam karakter. Dunia digital yang begitu liberal, juga mengandung konten informasi digital yang menjadikan pembentukan karakter tereliminasi. Padahal harapan kami mahasiswa tidak hanya memiliki kecerdasan intelektual, namun juga punya softskill, attitude yang baik, sopan santun, tata krama, dan loyal. Karena kebutuhan SDM di perusahaan tidak hanya yang pintar secara intelektual yang utama adalah karakter. Kami selaku badan penyelenggara Widyatama memberi perhatian penuh dalam aspek karakter peserta didik ini, salah satunya mata kuliah bersama pembentukan karakter Widyatama.

Komunita : Sejauh mana MBKM mendorong Badan Penyelenggara meningkatkan kualitas lulusan, kualitas dosen dan kualitas kurikulum ?

Djoko S. Roespinoedji, S.E.,Pg.Dipl. : Konteks program MBKM mendorong masing-masing individu mahasiswa memiliki kebebasan memilih program “merdeka belajar”, agar mahasiswa benar-benar siap menjawab tantangan industri ke depan. Namun ada beberapa persyaratan sebagai pedoman yang harus dipenuhi kampus dan mahasiswa. Artinya tetap dalam kontrol dan kendali kampus sebagai penyelenggara pendidikan bagi mahasiswa.

Dari sisi manajemen, penyelenggaraan, outp ut itu harus berjalan beriringan. Dukungan memang tidak lepas dari pola pembelajaran dan kurikulum, dosen sebagai tenaga pendidik yang memberikan transfer ilmu kepada mahasiswa harus meningkatkan kualitas diri dan mengimplementasikan sesuai kompetensi masing-masing. Dosen diharapkan bisa menjadi lead atau mentor bagi mahasiswa, serta menarik keingintahuan dan minat mahasiswa dalam pembelajaran baik di kelas, maupun online.

Dalam hal kualitas kurikulum, para dosen didorong untuk aktif mengembangkan diri, dengan melakukan riset bersama mahasiswa, serta beradaptasi dengan dunia industri. Dosen diberikan ruang untuk berkreasi, meng-eksplore kompetensi, bekerjasama dengan industri, dengan pola strategi yang diatur. Belajar dari perusahaan besar di luar negeri, mereka sambil menggandeng perguruan tinggi untuk Research Development untuk membangun strategi perusahaan yang baik. Sejauh ini, banyak juga dosen Widyatama yang berkiprah di dunia Industri, itu hal yang baik.

Komunita : Bagaimana meningkatkan riset dosen terkait Transformasi Dana untuk PT dalam program MBKM ?

Djoko S. Roespinoedji, S.E.,Pg.Dipl. : Melihat perjalanan Widyatama, publikasi riset sudah kelihatan terpacu. Hal ini menunjukkan bahwa klasifikasi dosen Widyatama, bukan hanya pembelajaran saja, dosen-dosen juga bersemangat membuat riset penelitian. Sepanjang berprogress di 3 tahun terakhir ini, Yayasan akan memberikan kompensasi. Harapannya riset dosen ini menjadikan dosen memiliki opportunity yang lain, melalui kerjasama dengan dunia industri ataupun dengan perguruan tinggi yang lain. Idealnya, Widyatama memiliki 5-10 % dosen yang aktif dalam mendorong riset dan pembaharuan-pembaharuan yang ada.

Nah, Transformasi Dana untuk PT dalam kebijakan MBKM tentu sangat membantu kami melakukan percepatan dalam meningkatkan opportunity lain dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan sumberdaya manusia.

Komunita : Harapan Badan Penyelenggara menerapkan kebijakan Kemendikbud di atas ?

Djoko S. Roespinoedji, S.E.,Pg.Dipl. : Memang perlu perubahan paradigma dosen, yakni dosen bukan sekedar pengajar, namun sebagai dosen penggerak. Dalam ketentuan Tri Dharma, dosen harus melakukan suatu riset yang bersentuhan dengan komunitas eksternal, kemudian hasil riset dipublikasikan dalam bentuk jurnal, sehingga kemampuan dan kompetensinya diakui. Kampus Merdeka setidaknya semakin memberi ruang untuk itu. Harapan Yayasan kepada civitas akademica agar lulusan Widyatama sesuai dengan kebutuhan Industri, maka dosen ataupun mahasiswa terus meng-eksplore kemampuan dirinya, melakukan studi riset yang berguna bagi pembelajaran, sehingga makin diakui intektualitas dan kompetensinya.

Prof. Dr. Obsatar Sinaga, S.Ip., M.Si. – Rektor Universitas Widyatama

Komunita : Langkah kongkrit membekali, serta mendorong dosen lebih kreatif dan demonstratif mensikapi program MBKM ?

Prof. Obsatar Sinaga : Widyatama membuat Direktori Kepakaran, yakni: 1) setiap fakultas harus memiliki Direktori kepakaran dosen (sesuai mata kuliah yang diampunya), 2) kompetensi tambahan yang sesuai kebutuhan pasar. Dosen harus melek industri dan kebutuhan pasar agar dapat mengarahkan mahasiswa memilik hak belajar 3 (tiga) semester di luar kampus. Dosen harus bergaul dalam keilmuan, agar tidak gagap menghadapi situasi kampus merdeka ketika memberikan arahan kepada mahasiswa memenuhi hak belajar 3 (tiga) semesternya di atas.

Dalam kaitan di atas, dosen harus belajar dari luar kampus (dari pergaulan sosial, tempat praktik kerja mahasiswa, industri, masyarakat). Dosen untuk kampus merdeka jangan “kurung batok”, jangan merasa diri sudah pintar dan lain sebagainya, karena dinamika keilmuan sangat cepat, progresifitas perkembangan dunia sangat cepat, harus terakomodasi dan segera ditransfer keilmuannya. Dosen harus turun gunung, terjun ke masyarakat, terjun ke industri, riset, ke desa-desa, pertukaran mahasiswa, untuk menyerap apa yang ada di masyarakat (situasi eksisting) untuk bisa update keilmuan yang mutakhir.

Infrastruktur akademik itu sendiri kaitannya penilaian, pembimbingan, pelatihan tidak akan seperti dulu. Sekarang harus ada semacam kolaborasi menyesuaikan dengan kebutuhan. Dosen harus meng metodologi pendidikan. Pendidikan tatap muka bukan lagi sebuah dogma yang harus dijalankan dosen. Mungkin dosen memberikan dengan cara wisata, mengikutsertakan mahasiswa dalam praktik risetnya, membuat produk sendiri, membuat pelatihan-pelatihan. Rekayasa pendidikan dalam metodogi pembelajarannya tidak lagi bertatap muka dikelas, tapi aktifitas dosen yang sifatnya demontratif.

Setelah membuat Direktori Kepakaran, kami memberikan pelatihan-pelatihan kepada para Dosen untuk memberikan inspirasi bagi mahasiswa. Dosen juga diarahkan mendorong PKM integrated (Pengabdian kepada Masyarakat ter-integrasi) melibatkan dosen, mahasiswa, struktural, dan masyarakat, yang bertujuan agar dosen dapat melihat langsung bagaimana praktik pembelajaran kampus merdeka. Sekarang sudah membuat perencanaan dengan Kecamatan Parongpong untuk kampus merdeka, PKM Integrated, Simkatmawa mahasiswa. Akumulasi dari kegiatan tersebut ber-impact pada penaikan struktur kurikulum transformative di Widyatama.

Praktiknya, dosen didorong untuk mendemonstrasikan konsep pembelajarannya di masyarakat langsung. Dengan harapan dosen dapat terinspirasi merubah metodologi pendidikan dalam kampus merdeka. Sehingga pembelajaran akan senantiasa terbarukan.

Komunita : Sejauh mana manfaat kebijakan MBKM – Transformasi Dana untuk PT ?

Prof. Obsatar Sinaga : Kami menyambut baik bantuan pemerintah, manfaatnya selain memberikan faktor finasial juga memberikan pengetahuan, inovasi, dan kreatifitas, karena dengan adanya desain proposal yang sangat terbuka untuk inovasi dan kreatifitas, maka setiap organ yang terlibat akan memiliki kreasi dan imajinasi untuk memperkaya wawasan yang lebih kaya lagi. Setidak-tidaknya dapat bersaing dengan orang lain, melihat bagaimana orang lain menciptakan, memperkaya diri sendiri untuk kemampuan desain kurikulum dan pembelajaran. Dua manfaat tersebut berupa hasil input kebendaan; serta pembentukan karakter, kecerdasan, pengalaman. Tujuannya bukan faktor finasial saja, tetapi dengan setiap organ yang terlibat membuat desain proposal, dan implementasi kampus merdeka. Maka akan memiliki semacam wawasan, imajinasi, yang pada akhirnya memberikan sinyal-sinyal kepada perubahan pola pembelajaran. Ada variable-variable yang menuntut baik lembaga, prodi, fakultas, dan dosen tadi. Sekarang dimunculkan bantuan untuk prodi, dosen penggerak, dan lainnya.

Komunita : Proyeksi target berapa lama untuk mencapai kampus merdeka di Widyatama ?

Prof. Obsatar Sinaga : Tahun 2021 Widyatama sudah mulai. Kami sudah melakukan relaksasi kurikulum kampus merdeka sehingga mahasiswa baru ada di koridor kurikulum kampus merdeka. Target kami, setelah mahasiswa selesai 5 (lima) semester. Selama 2.5 tahun dididik di prodi kemudian dievaluasi, setelah itu akan kita lihat seberapa jauh kompetensi dan sejauh mana capaian pembelajarannya. Lulusan diberi kemampuan atau luaran apa ? Ukurannya adalah secara skills, kemampuan yang diberikan kampus kepada mahasiswa harus sesuai kebutuhan pasar dan industri. Secara sains (keilmuan), mahasiswa akan memiliki imajinasi, pengetahuan yang kaya tentang dunia pasar dan dunia industri. Sehingga setelah lulus 5 semester di prodi, akan dievaluasi untuk 3 semester di luar prodi.

Tugas akhir mahasiswa tidak melulu soal skripsi melainkan bisa melakukan riset, laporan kewirausahaan, membangun desa, membuat jurnal, menciptakan start up baru, dimana hasil karya mereka direcognisi menjadi tugas akhir. Dan ini sesuai dengan Kementerian Desa yang berorientasi membangun desa di tahun 2021 (dana sebesar 72 triliyun). Kerjasama Kemendikbud dan Kementerian Desa yaitu dengan menurunkan mahasiswa di desa-desa. Mungkin menciptakan strat up, membantu kewirausahaan desa, membangun bumdes, membuat industri kreatif desa dan sebagainya, dan itu akan dijadikan kurikulum baik untuk kesarjanaan, kurikulum untuk sertifikasi, dan kurikulum untuk tugas akhir.

Oleh karena itu, Widyatama mencanangkan tugas akhir mahasiswa bukan dimonopoli oleh tugas skripsi, tetapi bisa jadi laporan pembangunan desa, laporan kewirausahaan, laporan riset, laporan student achieve, laporan jumlah magang, laporan praktik mengajar. Itulah kemerdekaan yang diberikan kepada mahasiswa Widyatama. Sehingga nanti setelah 2 (dua) semester mereka mungkin bisa selesai dalam waktu 3.5 tahun (akan diakomodasikan), untuk melihat seberapa jauh kesuksesan kampus merdeka di Widyatama minimal 2.5 tahun dan maksimal selesai 3.5 tahun. Setelah itu kami yakin, kurikulum akan dievaluasi kembali kecocokannya. Dengan menerapkan kampus merdeka kita mengarahkan tidak hanya kemampuan teknis belaka, tetapi lebih komprehensif.

 

Komunita : Terkait dengan problematika kampus merdeka, apa yang menjadi kesulitan untuk menjalankan program tersebut ?

Prof. Obsatar Sinaga : Kesulitan utama terbelenggu oleh kultur teknis (budaya minta petunjuk, budaya instruksi), karena ruang kemerdekaan dan kreatifitas harus dibangun secara berkala supaya meng-internalisasi dalam diri manusia. Yang paling menjadi hambatan adalah budaya kultur teknis selalu minta petunjuk takut salah ini itu, dan tidak memiliki kemerdekaan yang bersifat orientasinya kemajuan. Misal RPS, CPL, materi kuliah, pertemuan per jam, per semester, selalu harus meminta petunjuk. Kenapa kita tidak melihat dunia yang lebih kaya. Setiap lembaga harus memiliki desain, tetapi desain itu bukan untuk membelenggu orang untuk kreatif inovatif. Hambatan yang paling utama dalam SDM kependidikan di Perguruan Tinggi yaitu terbelenggu kultur teknis tasi sehingga ruang inovasi, kreatifitas, dan ruang imajinasi masih dibelenggu, masih terkungkung budaya minta petunjuk, budaya top down bukan budaya bottom up.

Secara bertahap kami melakukan pengarahan kepada Dekan-prodi-dosen. Dari sekarang menciptakan ruang imajinasi yang sesuai koridor sifatnya normative – regulative yang diatur oleh Fakultas – Prodi – Universitas. Kita memberikan ruang merdeka bagi dekan, dosen dan SDM yang lain untuk berinovasi dan berkreatifitas. Misal dalam susasa pandemi seperti ini, pembelajaran tidak tatap muka. Dosen jangan hanya menunggu instruksi tetapi harus aktif dalam proses belajar mengajar mungkin bisa menggunakan youtube, twitter, facebook, PJJ, zoom, googlemeet, dll. Hal itu bukan larangan, justru kreatif dan inovatif memecahkan problematika agar tidak terjadi kemandegan dalam proses pembelajaran. Sekarang ini yang kami rasakan adalah dosen masih stagnan, masih terkungkung kultur teknis tadi.

Komunita : Bagaimana dengan “kebebasan akademik” di dalam MBKM ?

Prof. Obsatar Sinaga : Terkait kebebasan akademik, sejauh orang itu di kampus menggelontorkan gagasan, pikiran dan perasaan sesuai koridor keilmuan, maka itu berhak disampaikan dan diekspresikan. Dalam pemikiran saya, dosen berhak memberikan gagasan, pemikiran, sepanjang memiliki pijakan ilmiah, rasionalitas ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan (rasionalitas ilmiahnya). Jika kedepan ada singgungan dengan pihak lain, ataupun lembaga, itu merupakan resiko atau konsekuensi dari kemerdekaan kebebasan akademik.

Pada Kampus merdeka sendiri sebetulnya ruang kebebasan akademik itu tidak dibelenggu, malah diberikan kebebasan dan keleluasaan. Persoalannya kebebasan itu diarahkan untuk betul-betul relevan dengan dunia sekarang dan dunia yang akan datang. Peradaban keilmuan ada sifatnya abstrak, konkrit, real. Kalau kita melihat filsuf Eropa, boleh lah mereka menciptakan teori-teori yang sifatnya abstrak karena peradabannya sudah lama dibangun, maka kebebasan untuk menciptakan hal yang teoritis itu diangkat menjadi sebuah abstraksi.

Kebutuhan di negara kita beda dengan Eropa, yang sudah lama peradabannya. Negara kita butuh yang sifatnya operasional. Kampus merdeka ini bukan berarti membelenggu, namun yang abstrak tadi agar diimplementasikan di operasional agar bermanfaat langsung di masyarakat. Masyarakat sekarang butuh pemecahan masalah yang segera diselesaikan, misal lapangan pekerjaan (banyak pengangguran, banyak mahasiswa tidak dapat bekerja, banyak masyarakat miskin yang tidak mendapat mata pencaharian atau lain-lain). Kalau kita berilmu yang abstrak lalu ini bagaimana ? Jadi, akademisi harus bisa menjadi solusi untuk mengatasi masalah yang mendesak adalah butuh hidup, butuh makan, butuh lapangan pekerjaan. Bukan berarti menghilangkan aspek ilmuwan yang sifatnya teoritis terminologisnya, namun agar bisa diimplementasikan, dioperasionalkan. Orientasi ilmuwan Eropa bersifat abstrak, sementara Indonesia melihat kebutuhan sangat mendasar yaitu memecahkan persoalan bangsa yaitu banyaknya kemiskinan, kebodohan, pengangguran, banyaknya pengangguran. Dan ilmu itu harus bisa diimplemantasikan.

Komunita : Statemen terkait program MBKM dan pesan untuk pihak terkait ?

Prof. Obsatar Sinaga : Komitmen Widyatama akan menerapkan program MBKM. Yayasan sangat mendukung penyelenggaraan, perombakan kurikulum sesuai kerangka orientasi kurikulum kampus merdeka. Reaksi dan sambutan stakeholder di Widyatama sangat apresiatif. Sambutan positif ini akan mengarahkan pada keberhasilan yang kita canangkan.

Dosen harus kreatif inovatif untuk 1) menciptakan metode pembelajaran yang lebih kaya; 2) memperkaya kompetensi baik utama maupun tambahan; 3) bergaul (dosen jangan kuper, agar bisa memberikan arahan kepada mahasiswa di kampus merdeka).

Untuk mahasiswa sebaiknya manfaatkan dosen, infrastruktur untuk pembentukan dan mendapatkan ilmu/sains, karakter untuk bekal hidup yang akan datang. Mahasiswa jangan hanya mengandalkan ilmu dari kampus. Belajarlah di tempat magang, tempat praktik, dan di rumah, dengan fasilitas digital. Untuk memperoleh ilmu yang sebanyak-banyaknya. Jangan semua informasi ditelan dengan mudah, tetapi saring dengan : 1) berfikir kritis; 2) fahami; 3) tafsirkan (maknai); 4) perkaya informasi sama dari sumber yang lain. Ada Pepatah mengatakan “mengetahui informasi merupakan level terendah dalam berfikir kritis” padahal mahasiswa itu harus menjadi insan yang memiliki karakter berfikir kritis.

Pesan moral kepada Dosen, dan mahasiswa agar kembali pada hakikat pendidikan yakni memanusiakan manusia dengan bekal keilmuan yang unggul, skills yang unggul, karakter yang unggul, untuk dapat dimanfaatkan di dunia kerja dan masa yang akan datang; hakikat kedua, bergaulah dalam duniamu sesuai potensi, minat, bakat yang dimiliki, dan target cita-cita. Perencanaan yang baik adalah menciptakan masa depan yang baik. Cara terbaik untuk menciptakan masa depan adalah ciptakan dan lakukanlah dari sekarang.(prfds)

Prof. Ir. Sri Widiyantoro, M.Sc., Ph.D., IPU – Rektor Universitas Kristen Maranatha

Komunita : Kebijakan “MBKM” meliputi 4 hal, relevansi kebijakan ini apakah memberikan keleluasaan atau kesulitan bagi Tri Dharma PT ?

Prof. Sri Widiyantoro : Harapan tentu sebaliknya. Supaya Tri Dharma PT dapat diimplementasikan dengan Fleksibel (tidak kaku). Sebelum ada program MBKM ini, sebenarnya kami sudah berjuang ke arah sana. Kami ingin otonomi, bisa mengatur diri sendiri. Dalam arti bukan tidak ingin diatur, namun ada level tertentu dimana Universitas lebih mengetahui persis kebutuhannya, lebih mengenal kondisi kampusnya sendiri. Pemerintah mengatur PTS secara umum, tapi lebih secara umum kan boleh. Yang tidak boleh adalah dibawah standar. Otonomi untuk mengatur diri sendiri baik dalam kurikulum, keuangan (Auditable). Jika dana dari pemerintah harus mengikuti aturan pemerintah. Namun selain dari APBN, kami juga memiliki dana masyarakat yang bisa dikumpulkan dan digunakan untuk pengembangan yang tidak hanya mengandalkan dana APBN saja. Sekarang ini diinstitusionalkan secara nasional untuk memiliki keleluasaan yang bertanggungjawab, dan semua ada ukurannya. Misal otonomi keuangan nantinya pasti ada audit, improvisasi mencapai tujuan.

Komunita : Semboyan Maranatha ICE: “Integrity, Care, Excellence” bagaimana ICE sendiri dimaknai dengan program MBKM ?

Prof. Sri Widiyantoro : Ada 2 (dua) macam ICE: “Integrity, Care, Excellence” itu semboyan Maranatha. Maranatha memiliki program Character Building – Excellence itu diartikan Ke-Prima-an. Program Rektor ICE : Initiative, Collaboration (kolaborasi-kerjasama), Excellence (unggul), program yang ingin dijalankan di Universitas Maranatha. Unggul maksudnya ada ciri khas/keunggulan di bidangnya, melengkapi yang lain tapi tidak follower orang lain.

Misal dalam bidang Kedokteran di Maranatha, ada beberapa riset yang dilakukan di Maranatha seperti pengembangan anti aging, terkait herbal, Plasma Konvalesen (yang dilakukan dr. Monika). Fakultas Ekonomi mau bertransformasi ke Fakultas Bisnis, sekarang ekonomi menjadi agak kuno. Tidak boleh dipungkiri bahwa perubahan itu pasti terjadi. Proses transformasi masih berjalan, proposal sudah disetujui, dan pengajuan renovasi bangunan juga sudah disetujui dan akan direalisasikan dalam waktu dekat, tujuannya agar transformasi menjadi Fakultas Bisnis ini dapat disupport oleh infrastruktur bangunan yang lebih representative.

Komunita : MBKM ditujukan bagi mahasiswa untuk dapat menguasai berbagai keilmuan, khususnya yang berguna ketika masuk di dunia kerja, artinya ?

Prof. Sri Widiyantoro : Tantangan ke depan sangat besar, terutama di industry 4.0 perubahan yang sangat cepat bahkan destruksi dan Menteri menyadari hal tersebut. Contohnya pada Teknik Sipil, Anak dididik untuk membuat jembatan yang kalau zaman dulu bentuknya konvensional, berbeda dengan sekarang yang model jembatan sudah macam-macam. Kurikulum sekarang harus lebih fleksibel untuk mengantisipasi perubahan yang sangat cepat. Di Maranatha mendorong Prodi yang sudah akreditasi A, untuk segera mengikuti akreditasi Internasional.

Komunita : Sejauh mana Transformasi Dana untuk PT meningkatkan kualitas dan daya saing PT ditingkat global?

Prof. Sri Widiyantoro : Pada PTN, ada insentif khusus jika masuk 100 besar Ranking dunia. contoh saat ini per Prodi atau Departemen yang masuk Ranking 100 besar itu ada di ITB seperti Seni rupa, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan. Di Maranatha, ada pengembangan belajar Daring.

Komunita : Kesiapan Perguruan Tinggi menyikapi kebijakan MBKM dari segala bidang, untuk mendukung program-program pemerintah?

 

Prof. Sri Widiyantoro : Maranatha memiliki MORNING/Maranatha Online Learning System. Peran Yayasan sangat mendukung sehingga program belajar daring itu difasilitasi dengan meng-upgrade seluruh fasilitas online (bandwidth, dsb). Seperti Universitas lain juga, kedepannya Maranatha juga merasakan new normal (dan tidak akan kembali seperti dulu). Merasakan berkah di dalam kesulitan (sebelum Pandemic ada kegiatan Course online masih sulit dilaksanakan, setelah Pandemic mau tidak mau harus tetap dilaksanakan). Saat ini yang masih sulit dilakukan secara online adalah Praktikum Kedokteran terutama Kedokteran Gigi. Saat ini dilakukan offline, dengan Protokol Kesehatan yang sangat ketat.

Komunita : Problematika serta harapan Perguruan Tinggi dengan adanya kebijakan MBKM di masa Pandemi COVID-19 ini ?

Prof. Sri Widiyantoro : Beberapa waktu lalu ada Ghosting Kampus, maksudnya jika tatap muka terlihat siapa yang tidak aktif/tidak datang. Dengan pembelajaran Online ini, monitoringnya yang agak sulit. Ini merupakan salah satu tantangan juga, yang bisa diminimize dengan tetap terhubung dengan mahasiswa (contoh membuat WA Group kelas, memberikan tugas, memberikan quiz). Harapan kami, Pandemi ini segera berakhir dan pelaksanaan MBKM ini bisa dilakukan dengan penuh tanggungjawab, supaya tujuan utamanya dapat fleksibitas dalam proses pembelajaran ini dengan hasil yang optimal. Menghasilan lulusan Universitas yang berkualitas, selain bisa bekerja juga dapat membuka lapangan kerja.

Prof. Dr. rer. nat. Martha Fani Cahyandito, SE., M.Sc., CSP. – Ketua STIE EKUITAS

Komunita : Apakah MBKM dapat diterapkan sesuai harapan atau mendorong agreement antar perguruan tinggi?

Prof. Martha Fani Cahyandito : Mengenai soal agreement memang harus dibuat, sebagaimana saya melihat berbagai kampus luar negeri seperti di wilayah Skandinavia itu lebih terasa kerjasamanya, serta lebih islami dibandingkan di kita. Mereka memang saling membantu dan mendukung bagi kemajuan pendidikan. Bukan memikirkan benefit yang diambil secara personal bagi kepentingan dirinya sendiri. Suasana disana terasa sangat islami karena saling berbagi manfaat diantara elemen kampus. Semangat yang dapat ditularkan disana itu yakni dengan istilah “apa yang dapat kami bantu, apa yang dapat kami tawarkan dan lain sebagainya”.

Komunita : Kapan sebenarnya program MBKM ini dijalankan?

Prof. Martha Fani Cahyandito : Saya rasa ini sudah berjalan sebagaimana canangan dari pemerintah. Melalui program ini, kita dapat mengirimkan mahasiswa untuk melakukan magang ke berbagai industri, kemudian melakukan pengabdian masyarakat ke desa-desa. Namun pada kenyataannya, prosedur di kita ini sangat administratif dan banyak aturan tersendiri. Oleh sebab itu, hal ini dikembalikan lagi kepada perguruan tinggi yang bersangkutan mengenai kemauan institusinya dalam hal mengirimkan sejumlah mahasiswa untuk melakukan KKN, namun ditambah dengan program lain seperti: melakukan pengajaran, mengembangkan koperasi di desa yang bisa disetarakan dengan jumlah 30 SKS disesuaikan bidang mata kuliah atas tema/topik tujuan dari program tersebut. Saya rasa, untuk petunjuk detail mengenai hal tersebut (dikonversi ke dalam aturan jumlah SKS) sepertinya belum dibuat dan disepakati secara umum. Mengenai standarisasi pola pengembangan kegiatan di kita sepertinya masih belum terlaksana semuanya sehingga masing-masing institusi berjalan dengan sendirinya.

Komunita : Apakah kebijakan MBKM, yakni: Re-akreditasi otomatis, hak belajar studi pada kampus lain, pembukaan prodi baru, serta kemudahan perubahan PTN menjadi PTN Badan Layanan Umum (BLU) dan satuan kerja (satker) bisa diimplementasikan semua perguruan tinggi ?

Prof. Martha Fani Cahyandito : Meskipun hal ini telah diputuskan oleh pemerintah, namun kelihatan masih wait and see dan trial and error. Nah, mengenai hak belajar mahasiswa selama 3 semester di luar prodi ini bisa saja diterapkan dengan melihat kapabilitas dan potensi dari mahasiswa tersebut, namun ada pula yang belum mampu ke arah sana. Sebenarnya hal ini dikembalikan lagi kepada kesiapan dari mahasiswa yang bersangkutan dan prodi kampus yang ditujunya.

Dari sisi kemudahan untuk membuka prodi baru, tergantung pada kualitas semua elemen didalamnya. Jangan sampai ketika baru dibuka suatu prodi, maka akan cepat pula tutupnya dikarenakan kurang persiapan, kontrol yang tidak optimal serta minat mahasiswa yang sedikit.

Sebenarnya ide dan gagasan dari pemerintah ini sangat bagus, akan tetapi dibutuhkan implementasi terhadap waktu dan proses yang lumayan agak panjang.

Komunita : MBKM bertujuan mendorong mahasiswa menguasai berbagai keilmuan untuk memasuki dunia kerja. Apakah ini ditafsirkan hanya penguasaan keterampilan teknis ?

Prof. Martha Fani Cahyandito : Kalau saya mencermati pernyataan ini, yang dikejar oleh pemerintah (melalui pak Nadiem) 60 % aspek non teknisnya dibandingkan dengan aspek teknis kualifikasi bidang keilmuannya yang hanya sebesar 40 %. Jadi lebih menitikberatkan pada hal-hal yang bersifat non teknis, seperti: Rasa percaya diri yang dikembangkan, communication skill yang bagus, dapat membaca situasi dan lainnya. Banyak juga problem dari lulusan perguruan tinggi bukan pada hard skill-nya namun lebih kepada unsur soft skill-nya. Jadi ide dari pemerintah ini sangat bagus sekali meskipun perlu proses untuk mencapai target ke arah sana. Pengembangan aspek soft skill ini yang dibutuhkan oleh dunia kerja menyangkut pada perilaku dan karakter pembawaan dalam diri mahasiswa yang membentuknya.

Komunita : Mampukah kebijakan MBKM tentang “Transformasi Dana Pemerintah untuk PT” memberi peluang PT meningkatkan kualitas, mendorong terwujudnya lulusan unggul, dan melahirkan talenta-talenta yang mampu bersaing di tingkat global?

Prof. Martha Fani Cahyandito : Saya telah tergabung dalam wadah L2Dikti melalui link grup untuk domain sekolah tinggi dan pimpinan universitas. Mengenai isu matching fund ini sebetulnya baru dan belum lama digaungkan. Proses implementasinya saya pun belum begitu tahu perkembangannya; apakah sudah jalan atau belum. Adapun program yang telah dirasakan yaitu mengenai insentif atas kinerja yang telah dilakukan oleh tiap perguruan tinggi, seperti hibah, beasiswa dan lainnya. Di Ekuitas sendiri untuk pengembangan mutu Dosen di P3M’nya alhamdulillah telah naik peringkat; yang semula dari level binaan ke tingkat madya, lalu sekarang menuju ke level utama.

Artinya kita dapat diberi keleluasaan dan wewenang untuk mereview dan mengelola sendiri atas semua insentif hibah dari pemerintah. Pada bagian kerjasama internasional di Ekuitas Insya Allah terus bagus dan dapat hibah juga dari Kementerian. Sementara untuk program kompetisi kampus merdeka dalam sisi pendanaan, Ekuitas belum menjalankan sepenuhnya. Sementara untuk mengikuti berbagai kegiatan yang bersifat kompetisi, kami pun terus mengikutinya. Alhamdulillah prestasi dari dosen dan mahasiswanya terus naik dan telah berhasil memperoleh reward yang lumayan dari berbagai event perlombaan.

Komunita : Problematik dan harapan dalam hal penerapan kebijakan MBKM, bertepatan dengan pandemi Covid-19?

Prof. Martha Fani Cahyandito : Kita pun juga meniru apa yang telah Widyatama lakukan dalam hal penerapan program E-Learning berkaitan proses belajar mengajar secara daring. Jauh hari sebelum adanya pandemi covid-19, Ekuitas juga telah menerapkan konsep belajar E-Learning pada beberapa mata kuliah. Sehingga saat tiba pandemi, semua bidang keilmuan telah disiapkan untuk dapat diterapkan dan diimplementasikan metode E-Learning oleh semua dosen. Paling tidak untuk satu mata kuliah yang diajarkan – harus ada metode E-Learningnya.

Komunita : Metode E-Learning, Apakah wajib bagi dosen dan mahasiswa dalam satu semester untuk melakukan perkuliahan virtual (online) dengan teknis serta kendala terhadap sinyal/jaringan?

Prof. Martha Fani Cahyandito : Sama seperti lainnya bahwa di Ekuitas juga mengenai problem sinyal/jaringan memang menjadi sesuatu yang umum, namun dalam pelaksanaan teknis – kami memberikan toleransi atas waktu proses pembelajarannya. Mulai dari upload materi, kemudian interaksi virtual (conversation) dan semuanya harus terhubung melalui sistem E-Learning tersebut sehingga dapat dilakukan pemantauan dan dapat direkam secara otomatis.

Komunita : Apakah Ekuitas sudah memperoleh informasi terkait akan diselenggarakan proses belajar mengajar secara offline pada bulan Juli mendatang sehubungan dengan memasuki tahun ajaran baru?

Prof. Martha Fani Cahyandito : Yang saya dengar, mulai bulan Juli itu memang diutamakan untuk anak sekolah. Sementara bagi tingkat perguruan tinggi – belum dimulai untuk proses belajar secara luring. Berdasarkan info dari pemerintah provinsi Jawa Barat, untuk jenjang SMA dan SMK yakni bagi guru dan siswa akan diprioritaskan mendapatkan vaksin terlebih dahulu sehingga proses belajar pada bulan Juli mendatang dapat dilakukan secara tatap muka.

Sedangkan untuk jenjang perguruan tinggi akan diberikan vaksin secara bertahap, sehingga masih dimungkinkan proses belajar mengajarnya secara daring (online) pada semester yang akan datang. Kalaupun nanti dimungkinkan bagi kami untuk menyelenggarakan proses pembelajaran secara offline, paling akan diterapkan model hybrid learning dengan bobot mekanisme belajarnya 50% online dan sisanya yang 50% lagi bisa menerapkan secara offline (tatap muka). Adapun dari prediksi yang dapat saya amati mengenai proses belajar mengajar untuk perkuliahan semester mendatang yakni sekitar 60-70% masih akan dilakukan secara online (daring).

Rewrite : Lili Irahali Pewawancara : Lili Irahali, Keni Kaniawati, Nugi Muhammad Nugraha;

Audio to Transcript: Yanda Ramadana, Intan Liswandini.