Mengapa Perguruan Tinggi Swasta Di Indonesia Harus Bereputasi

0
284 views

OPINI #34

Menurut Acep Edison

Reputasi atau citra didefinisikan sebagai a picture of mind, yaitu suatu gambaran yang ada di dalam benak seseorang. Citra dapat berubah menjadi buruk atau negatif, apabila
kemudian ternyata tidak didukung oleh kemampuan atau keadaan yang sebenarnya (Wiki-pedia.org). Makna yang mendalam reputasi bagi perguruan tinggi adalah apabila visi
dan misi yang disampaikan tidak didukung oleh kemampuanatau keadaan yang sebenarnya, maka citra menjadi negatifatau sering ungkapan umum menyatakan memble.

Terdapat perguruan tinggi yang membuat slogan atau motto pencitraan dengan
masif pada berbagai media, tetapi ada juga yang malu-malu melakukan pencitraan dan
ada yang diam tidak memperdulikan pencitraan. Perguruan tinggi banyak yang
melakukan pencitraan dengan pendekatan angka rangking perguruan tinggi yang di
publikasikan oleh berbagai lembaga dari mulai lembaga kredibel sampai lembaga abal-
abal. Timbul pertanyaan apa kriteria dan ukuran perguruan tinggi yang bereputasi.
Menjawab pertanyaan ini sangat sederhana yaitu perguruan tinggi mampu memenuhi
janji–janjinya pada masyarakat sesuai slogan pada buklet–buklet dan baligo-baligo
pada saat penerimaan mahasiswa baru. Tetapi pada nyatanya janji–janji sering kali
sangat sulit diwujudkan karena untuk merealisasikannya adalah pekerjaan yang sangat
berat.

Sepuluh Charta

Bagaimana kriteria standar minimal untuk menentukan perguruan tinggi
bereputasi. Pertama, mampu memenuhi dan menjalankan seluruh regulasi Pendidikan
tinggi dan Pemerintah Daerah. Kedua, mampu membuat kurikulum dan proses
pembelajaran yang sangat mendekati dengan dunia nyata dengan kedalaman teoritis
yang andal didukung oleh dosen yang berkompenten dan terlepas dari nepotisme. Ketiga, pengelola memiliki kemampuan dalam merealisasi rencana strategis. Keempat, dukungan sarana dan prasarana yang memadai dalam pencapaian visi dan misi. Kelima, mampu melaksanakan tanggungjawab sosial. Keenam, mampu mencapai akreditasi unggulan dan memberikan jaminan kualitas dalam mencapai kapabilitas lulusan mendapatkan pekerjaan. Ketujuh, mampu memberikan kesejahteraan pada seluruh karyawan dan apresiasi pada prestasi dosen dan mahasiswa. Kedelapan, mampu melakukan perbaikan secara terus menerus dan inovasi pengajaran serta menghasilkan karya nyata yang dapat dinikmati oleh masyarakat. Kesembilan, mampu menjadi pusat pengkajian ilmu pengetahuan dalam partisipasinya pada kemajuan bangsa dan negara dan internasional. Kesepuluh, mampu melakukan interaksi sesama perguruan tinggi sebagai wujud integrasi terhadap kemajuan perguruan tinggi dan ilmu pengetahuan.

Sepuluh kriteria tersebut merupakan charta, yakni gambar rangkaian pencapaian
reputasi perguruan tinggi, terutama perguruan tinggi swasta. Kemungkinan
charta–charta reputasi sangat sulit direalisasikan. Reputasi dapat dianggap sebagai
“sebuah sumber daya berharga dan tidak berwujud, yang dapat berkontribusi pada
pencapaian keunggulan bersaing berkelanjutan bagi organisasi” (Walsh, G., Beatty,
S.E. dan Shiu, E.M.K. , 2009, The customer-based corporate reputation scale:
replication and short form, Journal of Business Research, Vol. 62 No. 10, pp. 924- 30).
Hasil penelitian mengungkapkan bahwa variabel reputasi universitas positif
berpengaruh signifikan terhadap keputusan mahasiswa memilih studi. Temuan
menunjukkan bahwa reputasi, integritas dan kredibilitas perguruan tinggi yang baik
akan mendorong minat calon mahasiswa untuk memilih studi di suatu universitas.
(Dedy Ansari Harahap, dkk : Pengaruh Reputasi Universitas Terhadap Keputusan
Mahasiswa Memilih Studi Di Universitas Islam Sumatera Utara. Prosiding Seminar
Nasional & Konferensi Forum Manajemen Indonesia (FMI 9), Semarang ISBN : 978-
602-8557-31-3 Patra Semarang Hotel & Convention, 8-10 November 2017).

Sepuluh charta sangat sukar untuk direalisasikan dan perlu tenaga ekstra dalam
jangka panjang untuk melakukannya, terutama kejujuran perguruan tinggi swasta dalam
mempublikasikan kinerja yang telah dihasilkan pada masyarakat. Di masa lalu terjadi
dan mungkin masih berlangsung adanya rekayasa akreditasi yang nyata–nyata
dilakukan dan diketahui oleh dosen bahkan mahaiswa. Akreditasi BAN-PT difahami
oleh perguruan tinggi merupakan salah satu preferensi yang kuat untuk menarik minat
masyarakat kuliah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa reputasi perguruan tinggi yang
dikenal masyarakat adalah akreditasi dari BAN-PT. Untuk itu pengelola perguruan tinggi
harus mampu mencapai nilai akreditasi terbaik untuk program studi maupun institusi,
sedangkan pemeringkatan dari lembaga lain tidak banyak dikenal oleh masyarakat.
(Muji Gunarto, Vanessa Gaffar : Analisis Persepsi Dan Preferensi Masyarakat Terhadap
Reputasi Pemeringkat Perguruan Tinggi. Dosen Program Studi Manajemen FEB
Universitas Bina Darma).

Akreditasi merupakan substansial dari charta keenam yakni ; mampu mencapai
akreditasi unggulan dan memberikan jaminan kualitas dalam mencapai kapabilitas
lulusan mendapatkan pekerjaan. Kualitas mahasiswa merupakan aspek penentu yang
penting, kualitas pengajar pun tidak kalah menentukan dalam mewujudkan proses
pembelajaran yang bermutu. Tidak mungkin seorang pengajar mampu berbagi
pengetahuan seandainya tidak memiliki kemampuan pengetahuan yang memadai untuk
dibagikan kepada mahasiswa. Penting bagi pengajar untuk terus mengasah kemampuan intelektualnya dari waktu ke waktu. Perkembangan ilmu pengetahuan, terutama ilmu yang menjadi spesialisasi seorang pengajar harus selalu diikuti dan dicermati. Membaca berbagai literatur terkini dan melakukan kajian atau penelitian terhadap spesialisasi bidang keilmuan merupakan aktivitas yang melekat dalam profesi pengajar. Apakah membaca buku teks kuliah sudah mencukupi untuk bekal seorang dosen mengajar mata kuliah di kelas? Jika universitas ingin menciptakan proses pembelajaran bermutu tinggi (misalnya berstandar kualitas internasional), tentu pengetahuan pengajar tidak cukup memadai seandainya hanya mengandalkan diri dari membaca buku teks. Satu cara untuk meningkatkan kualitas keilmuan pengajar adalah melalui aktivitas penelitian sesuai dengan spesialisasi keilmuan yang diminati. Seorang pengajar seharusnya juga seorang peneliti. Penelitian dan pengajaran merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Universitas perlu memiliki kinerja riset (research performance) yang baik dan unggul jika ingin menjadi sebuah universitas yang memiliki reputasi hebat di tingkat global.

Kinerja riset dapat diukur berdasarkan beberapa aspek, seperti keunggulan riset, kemampuan riset ilmiah, produktivitas riset, aliansi strategis melalui riset kolaboratif,
kualitas riset, perilaku ilmiah yang bertanggung jawab, dan upah untuk produktivitas
ilmiah. Jika seluruh aspek dikelola dengan baik, maka mimpi untuk menjadi universitas
bereputasi global (reputable global university) akan terwujud. Seluruh sumber daya universitas sebaiknya diarahkan, dipusatkan, dan difokuskan pada upaya untuk
membangun dan meningkatkan kinerja riset universitas. Upah atas karya ilmiah sebagai
hasil sebuah riset ilmiah semestinya dimaknai secara mendalam sebagai sebuah
“proses panjang” dan dipandang dalam “perspektif jangka panjang” bagi
pengembangan institusi di masa-masa mendatang menuju world-class university.

Karya ilmiah seorang peneliti semestinya tidak hanya dilihat sebagai karya
individual peneliti semata, tetapi juga mesti dipandang sebagai karya institusional
universitas. Jadi, karya riset peneliti sangat terkait dan tidak terlepas dari (kepentingan)
institusi universitas. Prestasi riset seorang peneliti sebaiknya dipandang sebagai
prestasi riset institusi universitas. Karya tersebut semestinya dilihat sebagai hasil karya
institusi, juga karena mampu mengharumkan nama baik, citra, dan reputasi universitas
sebagai sebuah institusi, sehingga institusi patut berbangga dan memberikan apresiasi
atasnya. (Alexander Joseph Ibnu Wibowo Program Studi S1 Marketing – Prasetiya
Mulya School of Business and Economics, Jurnal Manajemen, Vol.13, No. 2, Mei 2014).
Ironinya apresiasi seringkali diabaikan oleh institusi dan ketidakcermatan institusi dalam
melakukan publikasi jurnal internasional yang tidak sustainable atau abal–abal dan
jurnal yang dipublikasikan adalah hasil modifikasi dan rekayasa skripsi, thesis
mahasiswa yang dibimbing sehingga tidak dapat memenuhi nilai kredit yang layak
sebagaimana regulasi yang berlaku.

Jika reputasi perguruan tinggi dikaitkan dengan preferensi mahasiswa dalam
memilih perguruan tinggi, maka salah satu pendekatan yang perlu dikaji berdasarkan
Analisis Persepsi dan Preferensi Masyarakat Terhadap Reputasi Pemeringkat
Perguruan Tinggi, berdasarkan temuan penelitian Muji Gunarto, Vanessa Gaffar. (Dosen Program Studi Manajemen FEB Universitas Bina Darma Jurnal IlmuManajemen Vol. 5 No. 2 Juni 2016), bahwa Persepsi terhadap kualitas guru/dosen yang berkualitas, tenaga administrasi adalah yang dapat memberikan pelayanan dan terbuka terhadap keluhan. Artinya bahwa persepsi masyarakat terhadap lembaga pemeringkat tidak begitu berdampak dan terlihat dari pernyataan konsumen bahwa dalam pemilihan suatu perguruan tinggi masih relatif sedikit yang menggunakan peringkat perguruan tinggi sebagai referensinya. Aspek-aspek yang dinilai penting oleh masyarakat terkait dengan berbagai atribut dalam pemilihan perguruan tinggi, antara lain terkait dengan aspek harga (biaya), reputasi, lokasi, manajemen, dosen, suasana kuliah, penelitian, alumni, gengsi, mudah lulus, sarana prasarana, dan kesesuaian dengan minat.

Reputasi dan Preferensi Masyarakat

Hasil penelitian menyangkut penilaian preferensi masyarakat terhadap atribut pemilihan perguruan tinggi; mengungkapkan bahwa urutan pertama kepentingan dalam pemilihan perguruan tinggi adalah reputasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam pemilihan perguruan tinggi, variabel reputasi atau nama baik merupakan unsur utama yang diinginkan responden seperti; banyak mahasiswanya berprestasi, banyaknya alumni yang terserap di dunia kerja, banyak prestasi baik dalam maupun luar negeri yang ditorehkan oleh mahasiswanya maupun dosen-dosennya.

Urutan kepentingan kedua yang dinilai responden adalah aspek sesuai minat.
Responden menginginkan bahwa perguruan tinggi yang dipilih karena program studinya
sesuai dengan minatnya, tidak memilih perguruan tinggi semata, namun lebih pada
program studi yang sesuai dengan minatnya. Kemampuan dan kualitas dosen berada pada urutan ketiga dan sangat berkaitan dengan reputasi dari perguruan tinggi. Menurut responden, biaya hasil penelitian berada pada urutan kepentingan kesebelas, artinya bahwa preferensi masyarakat terhadap perguruan tinggi bukan karena jumlah atau kualitas penelitian perguruan tinggi. Aspek gengsi, hanya sedikit masyarakat yang memilih perguruan tinggi karena gengsi.

Preferensi tertinggi dalam memilih perguruan tinggi adalah reputasi perguruan tinggi dan kesesuaian program studi yang dipilih dengan minatnya. Mencapai dan memiliki reputasi positif serta unggul perguruan tinggi swasta adalah suatu perjalanan yang sangat panjang dan sukar untuk direalisasikan dan mempertahankanya merupakan detik demi detik yang sangat berat. Faktor kejujuran terhadap mahasiswa sebagai bagian integral dari masyarakat merupakan faktor yang terpenting pada bagian terdepan, sehingga kemampuan perguruan tinggi sesuai dengan slogan–slogan yang dipublikasikan, bukan slogan bodong yang hanya digunakan saat penerimaan mahasiswa baru.

Diskusi mengapa perguruan tinggi swasta harus bereputasi adalah diskusi yang
sangat panjang dan mungkin tidak pernah berujung dan charta sebagaimana yang
dikemukakan perlu penjabaran yang sangat luas dan mendalam. Makna yang terpenting bahwa perguruan tinggi swasta harus bereputasi adalah berkaitan dengan kelangsungan hidup. Sekali masyarakat mencap perguruan tinggi bereputasi negatif seperti lulusan jarang yang mampu meraih pekerjaan dalam masa tunggu satu tahun setelah lulus dan banyaknya pengangguran, serta kekecewaan para alumni, biaya SKS yang lebih tinggi dibandingkan perguruan tinggi lain, dan tidak sesuai dengan pelayanan serta sarana dan prasarana yang diterima mahasiswa, apresiasi yang tidak ada atas prestasi mahasiswa dan dosen, terdapat dosen–dosen yang kompentensinya tidak sesuai dengan program studi, banyaknya dosen yang berkompenten dan berkualitas mengundurkan diri, PHK, pensiun.