Menjawab Revolusi Industri 4.0 Era Disruptif?

0
1,388 views
revolusi 4.0

Siapa yang tidak kenal Nokia dan Kodak dalam khasanah kehidupan kita, khususnya bagi generasi yang merasakan produk mereka. Perusahaan yang tinggal sejarah ini ada baiknya kita simak kisahnya.

Nokia Corporation adalah produsen peralatan telekomunikasi terbesar di dunia serta merupakan perusahaan terbesar di Finlandia. Nokia memproduksi handphone untuk seluruh pasar dan protokol utama, termasuk GSM, CDMA, and W-CDMA. Merasa percaya diri sebagai market leader, Nokia tidak mengadopsi sistem Android yang sedang berkembang saat itu. Ketika Nokia mencoba memodifikasi produknya, sudah terlambat. Nokia harus merelakan diri diakuisisi Microsoft pada April 2014. Sementara Samsung yang membeli dan memanfaatkan sistem operasi Android untuk diterapkan di semua lini produknya, menjadikan Samsung pemimpin pasar terbesar dalam teknologi aplikasi gadget di dunia.

Kodak lebih dari 100 tahun, berhasil memonopoli pasar penjualan kamera. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, kamera digital mulai menyingkirkan Kodak. Sayangnya, Kodak bersikukuh tidak memproduksi kamera digital, padahal penemu kamera digital pertama adalah Kodak sendiri. Akhirnya, Kodak menelan pil pahit kebangkrutan pada tahun 2012.

Panasonic Corporation merek besar asal Jepang adalah sebuah produsen elektronik yang berkibar di Indonesia. Panasonic bangkrut karena ekonomi dunia dan daya beli masyarakat melemah, hingga penjualan produk Panasonic menurun drastis, kalah bersaing dari produk-produk China. Akhirnya, pada 2015 perusahaan ini resmi menutup Panasonic di Indonesia.

Kisah keruntuhan perusahaan Nokia, Kodak, dan Panasonic adalah gambaran dramatis perusahaan besar yang tidak memandang disruptif sebagai sesuatu yang strategis dan disikapi serius. Di negeri ini muncul gencar ketika gonjang ganjing Gojek vs taxi tradisional, bukalapak dan blibli vs mall misalnya. Pasalnya jelas Revolusi Industri tidak bisa dibendung.

Kini Revolusi Industri 4.0 (Industri 4.0) sebagai akibat perkembangan luar biasa teknologi robotika, machine learning dan kecerdasan buatan (Artificial Intellegence), Internet of Things, serta 3D printing yang hadir dan menjadi sebuah realitas.

Pelajaran teramat penting kegagalan Nokia, Kodak dan Panasonic, sebagaimana dilansir www.philmckinney.com, yakni:

1) Sempit mendefinisikan usaha. Keengganan Nokia mengalihkan fokus dari bidang hardware ke bidang software membuat mereka kehilangan pasar. Kodak memilih asyik bermain teknologi kamera analog daripada berubah cepat ke teknologi digital, padahal merekalah yang pertama kali menemukan teknologi kamera digital.

2) Melupakan Customer. Mereka melupakan keinginan customer. Akibatnya, customer beralih ke kompetitor lain yang menawarkan teknologi terbaru (teknologi digital) yang memudahkan hidup mereka,

3) Bergerak lamban. Berinovasi memang sulit dilakukan bila perusahaan dalam kondisi aman, dan profitable. Salah satu kesalahan Nokia tidak segera merubah platform smartphone (OS) dari Symbian ke Operation System (OS) generasi berikut yaitu MeeGo. Langkah menjadikan Symbian sebagai OS yang bersifat Open Source untuk mengalahkan Android pada tahun 2008, terlambat. Demikian pula Kodak yang tidak memanfaatkan hasil penemuannya.

4) Tak mendengarkan masukan staff. Kodak, lebih dulu memprediksikan munculnya teknologi kamera digital. Mereka mengetahui teknologi tersebut, 20 tahun sebelum penjualan kamera digital mematikan kamera analog di tahun 2002. Tapi para manager Kodak tidak mendengarkan masukan departemen Market research bahwa perusahaan hanya punya waktu satu dekade untuk berubah ke teknologi digital.

5) Gagal mengembangkan budaya Inovasi. Awal sejarah Nokia berinovasi – dari sebuah pabrik kertas menjadi perusahaan elektronik dan menjadi produsen smartphone. Namun kemudian mereka menggantungkan usaha mereka di bidang Hardware. Mereka terlalu puas dengan kesuksesan yang telah mereka raih. Para pemimpin Kodak juga mengabaikan masukan karyawan mereka yang melihat teknologi digital sebagai sebuah peluang menjanjikan. Inovasi kadang bisa menjadi ancaman, namun kadang kita harus melepaskan sebuah produk atau layanan agar bisa bertransformasi ke layanan/ produk baru.

Hargyo Tri Nugroho Ignatius, S.Kom., M.Sc dosen UMN, menjelaskan Era Industri 4.0 menawarkan efisiensi waktu dan sumber daya, penghematan biaya, kenaikan pendapatan, kelincahan (agility), maupun inovasi bagi industri. Industri lama akan digantikan oleh industri gaya baru yang lebih efisien. Disrupsi ini harus diantisipasi dengan baik sehingga kita dapat melihat peluang-peluang baru di masa depan.

Sementara Suherman Soemardi – Business Development Blibli.com memandang bahwa kemunculan era disrupsi/Imdustri 4.0 menyebabkan semakin tingginya tingkat persaingan produk antar perusahaan, karena didorong oleh kecanggihan fasilitas dan pelayanannya. Contoh, semakin kesini, banyak toko-toko di pusat grosir Glodok gulung tikar akibat transisi konsep layanan secara modern dan digital, sementara mereka tidak mampu beradaptasi. Namun di saat yang sama, ternyata ditemukan segelintir toko yang masih bertahan. Ternyata pemilik toko tersebut telah merubah mindset berfikir ke arah penjualan produk dengan berbasiskan online.

Tingkat persaingan antar produk bagi kalangan industri sebenarnya suatu hal klasik, yakni mengenai harga, baik terjadi pada model sistem offline maupun online. Produk yang murah, efektif, efisien dan kecepatan dalam proses pengantarannya menjadi daya tarik konsumen. Sebagaimana telah diterapkan oleh Blibli.com, pertama kali mengusung istilah trust (kepercayaan). Ini menjadi modal dasar dalam membangun kepercayaan di antara pelanggan, yang membentuk jalinan kuat saling membutuhkan dan menguntungkan satu sama lain, tegas Suherman.

Dalam dunia perbankan ada hal yang spesifik. Menurut Ong Tek Tjan CEO Bank Sahabat Sampoerna : saya sebagai pelaku industri melihat isu desruptif sebagai suatu gejolak industri bukan sebagai suatu ancaman, justru ini adalah kesempatan. Artinya tepat bagi bank-bank melakukan suatu perubahan, apalagi perubahan itu didukung oleh environment yang justru sangat ditunggu pihak perbankan. Karena itu, harus terjadi proses transisi dari perbankan konvensional menuju ke perbankan digital. Banyak sekali yang berubah dan akan terus berkelanjutan. Saya melihat ada gerakan fintech di perbankan dan cukup ramai serta banyak yang berinvestasi di produk fintech tersebut. Hal itu tidak dapat dihindari dan perbankan harus terus bermetamorfosis menyesuaikan segala produk-produk yang ada untuk mampu beradaptasi.

Sikap Pendidikan dan Perguruan Tinggi?

Tujuan Pendidikan tinggi: Mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat berkemampuan akademik dan profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian; juga mengembangkan, menyebar luaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian serta mengoptimalkan penggunaannya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional. Sedang, Perguruan tinggi adalah kelembagaan untuk tujuan tersebut.

Dengan peran tersebut, perguruan tinggi yang merupakan terminal terakhir pendidikan formal tentu berkewajiban mensikapi Industri 4.0. Tantangan Industri 4.0 adalah ekonomi digital dan turunannya. Artinya teknologi digital niscaya menyebar di seluruh sektor ekonomi sebagaimana diuraikan di atas. Bahkan, majalah The Economist, menegaskan sebagian besar perusahaan menggunakan teknologi menjual produk mereka secara online. Sedang anjuran Parray (ILO, 2017), bahwa Indonesia perlu meningkatkan kualitas keterampilan tenaga kerja dengan teknologi digital.

Sementara problematik pendidikan tinggi kita antara lain : rata-rata APK pendidikan tinggi rendah (butuh akses yang luas), relevansi hasil pendidikan, dan mutu penyelenggaraan pendidikan tinggi dan pengelolaan perguruan tinggi untuk menghasilkan SDM yang berkualitas perlu mendapat perhatian. Disisi lain: biaya kuliah semakin mahal, jumlah dosen terbatas, sementara jumlah mahasiswa bertambah. Karena itu, penyelenggara pendidikan tinggi dan pimpinan perguruan tinggi wajib mendukung inovasi untuk menghadapi perubahan global dan memenuhi kebutuhan sumber daya manusia Indonesia yang kreatif, inovatif dan kompetitif Joko Widodo, 2017.

2017Prof. Intan Ahmad Dirjen Belmawa, Kemenristekdikti menegaskan pemerintah mempunyai kebijakan; 1) menyelaraskan paradigma Tridharma Perguruan Tinggi dengan Era Industri 4.0. Penyelarasan paling tidak melalui, yakni: 2) mendorong Science and Technology Index menjadi Pemeringkat Global; 3) meningkatkan kegiatan riset dan publikasi yang relevan dengan tema Industri 4.0; 4) perguruan tinggi wajib melaksanakan proses inovasi produk melalui inkubasi dan pembelajaran berbasis industri; dan 5) Reorientasi Kurikulum melalui pengembangan & pembelajaran model literasi baru (coding, big data, teknologi, humanities/general education), dikembangkan dan diajarkan kegiatan ekstra kurikuler. untuk pengembangan kepemimpinan dan bekerja dalam tim, serta jiwa wirausahawan dan intership, serta kemandirian yang matang. Kemudian 6) menerapkan format baru sistem pengajaran pendidikan jarak jauh (PJJ) berbasis Hybrid/ Blended Learning/Online.

Sisi lain yang penting disiapkan adalah kompetensi inti yang dimiliki setiap dosen sebagai ujung tombak dalam melahirkan generasi masa depan bangsa, yaitu para alumnus perguruan tinggi yang bermental kuat serta siap bekerja secara profesional, mandiri, kreatif dan berdaya saing. Optimalisasi Kompetensi Dosen 4.0 (SDID, 2018), meliputi aspek: 1. Kompetensi Pendidikan, 2. Kompetensi Riset (fundamental dan terapan), 3. Kompetensi komersialisasi hasil penelitian dan inovasi (hilirisasi), 4. Kompetensi dalam era global, yakni mampu berinteraksi dan berkontribusi secara global, 5. Kompetensi dalam memprediksi strategi masa depan, 6. Kompetensi dalam entrepreneurship.

Dosen harus Berubah

Sedang menurut Hargyo Tri Nugroho Ignatius, S.Kom., M.Sc., hal mendasar adalah paradigma berfikir dan bertindak seorang dosen harus berubah. Karena peran perguruan tinggi adalah sebagai pencetak sumber daya manusia terampil. Sementara ragam keterampilan yang dibutuhkan Industri 4.0 tak lagi sama dengan sebelumnya. Pada era canggih ini manusia dan mesin pintar akan berdampingan di tempat kerja. Implikasinya bukan hanya pada bisnis, namun pada masyarakat pada skala yang lebih luas. Maka seorang dosen perlu kembali menilik perannya sebagai pendidik, bukan hanya sebagai pengajar. Sebagai pendidik, dosen perlu mengupayakan agar pendidikan softskill yang membuat manusia berbeda dengan mesin – tercermin pada kegiatan pembelajaran yang mereka lakukan.

Dalam kaitan itu, maka pengembangan literasi kekinian yang bersinggungan dengan dosen, serta mahasiswa itu sendiri sangat diperlukan. Pengembangn literasi kekinian, mencakup : 1) Kemampuan membaca, menganalisis serta menggunakan informasi (big data) pada era dunia digital_machine learning : watch, buy and love; 2) Memahami cara kerja mesin dan aplikasi penerapan teknologi (Coding, Artificial Intelligence, Engineering Principles & Cyber Security); 3) Memahami aspek humanities, komunikasi, desain, entrepreneurship dan kreatifitas

Lebih jauh Prof. Intan berpendapat perguruan tinggi harus mampu mencari metode khusus guna peningkatan kapasitas kognitif para mahasiswa melalui cara berfikir kritis dan sistemik dan pengembangan keterampilan yang bersifat mental spiritual. Disinilah peran dosen mengembangkan gagasan pengembangan model literasi manusia, khususnya bagi mahasiswa paling tidak mencakup:

  • Keterampilan, melalui teknik kepemimpinan (leadership) dan siap bekerja dalam tim (team work).
  • Kelincahan dan kematangan kebudayaan (cultural agility), memahami bahwa semua mahasiswa beragam dengan berbagai latar belakang mampu bekerja dalam lingkungan yang berbeda (di dalam atau di luar negeri).
  • Wirausahawan, termasuk di dalamnya adalah jiwa sosial wirausaha (social entrepreneurship); merupakan kapasitas dasar yang sebaiknya dimiliki oleh semua mahasiswa.

Itulah hal-hal yang perlu dikembangkan dan diterapkan menghadapi era Industri 4.0 dengan terus memberikan arahan dan keyakinan kepada penyelenggara, pengelola, dosen dan mahasiswa, khususnya literasi baru yang akan membuat mereka mampu berkompetitif pada sistem perekonomian kontemporer dengan berdasarkan pada teknologi kekinian.

Menguatkan uraian ini, kami sajikan pendapat mereka dalam wawancara berikut. (by: lili irahali)