MERAWAT KUALITAS PENDIDIKAN TINGGI DITENGAH PANDEMI COVID-19

0
553 views

.

MERAWAT KUALITAS PENDIDIKAN TINGGI

DITENGAH PANDEMI COVID-19

.

  Pandemi Covid-19 telah mengakibatkan penutupan fisik sementara 4.586 kampus di seluruh Indonesia, sekitar 8,848,816 mahasiswa, dan 295,219 dosen telah terdampak pandemi Covid-19, pembuat kebijakan dan perguruan tinggi dihadapkan dengan tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Semisal bagaimana mengurangi kehilangan pembelajaran, cara menerapkan pembelajaran online, cara membuka kembali pendidikan dengan aman dan bagaimana memastikan mahasiswa yang kurang terwakili, rentan dan kurang beruntung tidak tertinggal.

  Perguruan tinggi (PT) dan kampus sejatinya juga tempat di mana mahasiswa tinggal dan belajar dekat satu sama lain. Kampus juga merupakan pusat budaya di mana mahasiswa berkumpul dari berbagai daerah Indonesia. Namun, kini fondasi ekosistem unik ini telah dipengaruhi secara signifikan oleh penyebaran cepat wabah virus corona (Covid-19), dan menciptakan ketidakpastian mengenai implikasinya bagi pendidikan tinggi.

  Selama hampir 1.5 tahun terakhir, PT terpaksa membatalkan kelas tatap muka dan menutup pintu kampus yang sulit diperkirakan kapan berakhir. Pembelajaran tatap muka di kampus dialihkan ke pembelajaran online, dan mahasiswa didorong pulang kampung atau di rumah untuk menyelesaikan studi mereka. Pandemi Covid-19 nyata telah mengakibatkan gangguan jangka panjang pada sistem pendidikan tinggi.

  Menyimak pidato Presiden Uganda, Kaguta Museveni bahwa: “Dunia saat ini sedang berperang. Perang tanpa senjata dan peluru. ….. Perang tanpa batas. …… Tentara dalam perang ini tanpa ampun. Tidak memiliki setitik pun rasa kemanusiaan. Tidak pandang bulu – tidak peduli apakah anak-anak, wanita, atau tempat ibadah yang diserangnya. ……. Ini adalah tentara yang tidak terlihat, cepat, dan sangat efektif. Agenda satu-satunya panen kematian. Hanya kenyang setelah mengubah dunia menjadi satu lahan kematian besar. Kapasitasnya untuk mencapai tujuannya tidak diragukan lagi. ….. Ia memiliki pangkalan di hampir setiap negara di dunia. Pergerakannya tidak diatur oleh konvensi atau protokol perang apa pun. Singkatnya, ia adalah hukumnya tersendiri. Ia adalah Coronavirus. Juga dikenal sebagai Covid-19.

  Syukurlah, pasukan ini memiliki kelemahan dan bisa dikalahkan. Hanya membutuhkan tindakan kolektif, disiplin dan kesabaran kita. Covid-19 tidak dapat bertahan dari jarak sosial dan fisik. Ia hanya berkembang ketika Anda menantangnya. …… Namun menyerah dalam menghadapi jarak sosial dan fisik kolektif. …. Tidak berdaya ketika Anda mengambil takdir Anda di tangan Anda sendiri dengan menjaganya tetap bersih sesering mungkin. Ini bukan waktunya untuk menangis tentang roti dan mentega…….. Kitab suci mengatakan kepada kita bahwa manusia tidak akan hidup dari roti saja (tetapi dari setiap Firman Allah). ….. Mari kita ratakan kurva Covid-19. Mari melatih kesabaran. Mari menjadi penjaga saudara kita. ……”

  Indonesia telah melakukan berbagai upaya dan kebijakan, diantaranya: pembentukan gugus tugas dan satuan tugas, penerapan protokol kesehatan, vaksinasi Covid-19, PSBB, PPKM Darurat, PPKM level 1 sampai dengan 4 yang masih diperpanjang sampai tulisan ini disusun. Semua kegiatan dibatasi, termasuk pendidikan yang merupakan sektor esensial dalam mendidik sumber daya manusia generasi muda Indonesia sebagai investasi masa depan. Itulah suasana yang kita hadapi. Kondisi yang tentunya mendorong pendidikan memiliki ketangguhan dan keseimbangan baru, karena tuntutan pendidikan harus tetap berjalan walaupun dengan pembatasan protokol kesehatan sekalipun.

  Institusi pendidikan tinggi, yakni perguruan tinggi (PT) serta badan penyelenggara (Yayasan) memang sedang menghadapi masa-masa sulit, akibat pandemi belum bisa dikendalikan. Hampir 2 tahun situasi ini berlangsung, dan juga belum ada gambaran akan berakhir. Karena itu, bagaimanapun juga adaptasi dan ketahanan diri PT harus ditumbuh-kembangkan oleh masing-masing institusi pendidikan tinggi mensikapi pandemi Covid-19 ini.

  Pandangan dan penelitian Dr. Gleb Tsipursky bisa jadi penting sebagai penguat PT melaksanakan “transformasi diri” melaksanakan layanan pendidikan tinggi berkualitas di masa Pandemi ini. Sebagai gambaran realitas, kami menemui beberapa pimpinan penyelenggara dan pengelola pendidikan tinggi – yayasan dan perguruan tinggi. Tampak perspektif dan sikap mereka sebagai garda terdepan pendidikan tinggi dalam mendidik sumber daya manusia yang berkualitas di masa pandemi ini.

  Sangat menggembirakan, hadir optimisme, adaptabilitas, kreativitas dan inovasi tanpa henti dalam pemikiran dan langkah mereka menjaga kualitas pembelajaran dan pendidikan tinggi. Memang, di awal Pandemi sebagian besar institusi pendidikan tinggi mengalami guncangan di tengah peristiwa yang begitu tiba-tiba tersebut, namun berusaha bangkit.

  Mangadar Situmorang, Ph.D. – Rektor Unpar (Komunita, ed.27) mengatakan awal Pandemi Covid-19 “memaksa” PT melakukan percepatan teknologi digital (social meeting, video pembelajaran, presentasi digital). Namun, patut diperhatikan menjelaskan suatu konsep secara virtual, dari sisi perkuliahan masih banyak kekurangan dalam hal efektifitas penerimaan materi. Ada beberapa keterbatasan dosen, dalam penyampaian materi yang tidak lengkap, adanya beban psikologis dan relasi sosial antar dosen dan mahasiswa yang tidak nyaman. Beberapa faktor lain mengenai pendidikan karakter tidak dapat dilakukan. Bagaimana cara membuat assesment dalam pengembangan karakter tersebut. Ketika kita membuat evaluasi atau assesment melalui Ujian Tengah Semester (UTS), karena dilakukan secara virtual, dosen tidak mengawasi dan tidak memeriksa lagi.

  Semua diserahkan mandiri kepada mahasiswa sehingga ada terjadi hasil ujian yang sama pada beberapa mahasiswa (kecurangan karena mencontek satu sama lain). Mahasiswa tersebut diberikan nilai E (tidak lulus satu mata kuliah) dan gagal satu semester. Ini kaitan dengan pengembangan karakter. Tapi kemudian, layakkah memberikan hukuman tersebut kepada mahasiswa? Ketika pada prosesnya sendiri tidak ada pengawasan dari dosen, tidak ada instrumen pengawasan. Meskipun mereka harus jujur dan berintegritas dalam relasi sosial. Namun ketika relasi sosial tidak berlangsung, bukankah itu menjadi suatu kebodohan? Di satu sisi ingin mereka jujur dan berintegritas, namun di sisi lain kadang kita mempersilakan mereka untuk berkolaborasi dengan temannya jika ada hal-hal yang tidak dapat dimengerti.

  Instrumen-instrumen belum siap, yang bisa memastikan pendidikan karakter yang diinginkan bisa berjalan dengan baik. Bukan saja soal infrastruktur yang harus dipersiapkan, yang lebih penting adalah assesment baik dari sisi pengetahuan dan karakter, serta relasi sosial.

  Dari sisi sosial, teman-teman membuat riset yang bermuara pada penemuan meskipun bukan penemuan baru. Ini lebih menegaskan bahwa masyarakat punya potensi yang kita sebut capital culture untuk saling peduli satu sama lain di masa pandemi, karena banyak terjadi PHK, ekonomi berhenti. Masyarakat kita secara spontan, secara kultural mengumpulkan dana, bantuan dan sebagainya.

  Riset-riset itu dilakukan sebagai modal sosial kultural menjaga toleransi ekonomi membantu dari sisi pemasaran. Fakultas Ekonomi melakukan pendampingan meng-create sebuah aplikasi untuk mendukung usaha mereka. Soal kepatuhan hukum atau ketaatan hukum atau cedera hukum karena PHK atau karena kontrak-kontrak normal tadi, tiba-tiba pandemi (termasuk force majeur).

  Ir. A. Harits Nu’man, M.T., Ph.D., IPM.Wakil Rektor I Unisba (Komunita, ed.27) memandang Pandemi Covid-19 dan ke depan memerlukan model transformasi digital (pembelajaran daring) yang memadai dari sisi metode maupun kualitas pembelajaran. Dalam hal pembelajaran daring, sesungguhnya PT dan juga dosen dituntut untuk melakukan inovasi pembelajaran, mengubah metode pembelajaran yang lebih berpusat pada mahasiswa. Dosen sebagai motivator dan menyiapkan bahan ajar yang inovatif untuk mudah dipahami mahasiswa. Sedang PT menyiapkan sumberdaya untuk mendukung proses pembelajaran tersebut. Melalui transformasi ini, maka dosen melakukan pembelajaran syncronous (tatap muka di dunia maya/virtual) dan juga a-syncronous dimana mahasiswa dapat belajar kapan saja dan dimana saja dalam kurun waktu yang telah ditetapkan dengan memenuhi unsur modul, forum, kuis dan tugas sesuai dengan Rencana Pembelajaran yang telah ditetapkan agar memenuhi standard Capaian Pembelajaran Lulusan.

  Memang tahun 2020 sebelum Covid-19 kami sudah menyiapkan sistem daring. Unit Sistem Informasi dan Management/SIM ketika itu memanfaatkan Hibah DIKTI mengembangkan. Pengajaran daring mulai tahun 2017, sosialisasi daring tahun 2018, lalu diperkuat SK Yayasan dan Rektorat sebagai regulasinya. Sedang Yayasan mendukung penuh menguatkan infrastruktur dan sumber daya manusia. Namun hal tersebut memerlukan proses, dan ada retensi tinggi, karena banyak dosen masih lebih senang tatap muka daripada tatap maya. Karena Pandemi Covid-19 adalah force majore, maka kami memberikan kompensasi kepada mahasiswa dan dosen-dosen pengajar. Kami mengkompensasi dengan biaya pulsa, biaya listrik dan lainnya.

  Dari aspek konten dan kesiapan dosen. Kami petakan dosen dalam 3 cluster, yaitu: Cluster Milenial, Cluster Semi, dan Cluster Usia lanjut. Kendalanya, beban pada tenaga pendidik usia lanjut. Karena itu kami membuat pencangkokan didampingi dosen muda dalam mempersiapkan materi agar dapat diimplementasi ke sistem. Human Capability ini terus kami persiapkan dengan modul, Forum, Quiz, dan Tugas. Empat komponen tersebut merujuk pada RPS dan tugas-tugas yang harus dipenuhi adalah kewajiban dalam menyempurnakan RPS. Nah, yang di middle ini menjadi daya ungkit, dan terbentuklah team teaching dengan berbagi materi dan kebersamaan dengan baik.

  Memang dengan penerapan pembelajaran daring banyak dinamika yang terjadi. Dari sisi dosen ada ketidaksiapan, serta kekhawatiran dosen tergantikan oleh teknologi. Merubah pola pikir ini sangat sulit dan memerlukan pendekatan persuasif, juga harus terus menerus dan perlahan-lahan.

  Juga ada beberapa kondisi pengajaran yang memang sulit dengan pengajaran daring. Semisal program studi Kedokteran, paling sulit dan membutuhkan feeling and touch yang tidak bisa digantikan dari cadever dengan patung. Ketika kuliah tatap muka membutuhkan penerapan protokol kesehatan, swab dsb yang berimplikasi pada biaya. Kami mengkombinasikan antara daring dan juga offline, dan juga kami menyarankan swab pada dosen dan karyawan secara gratis.

  Hikmah pandemi Covid-19, kami dipaksa untuk senantiasa melek, selain itu sistem informasi kami teruji dengan pengajaran daring blended dengan tatap muka. Kesimpulannya perkembangan teknologi dari hasil budaya, dipercepat dengan pandemi ini, seharusnya kita sebagai pendidik senantiasa mensikapi secara dewasa, serta menghadapinya dengan langkah-langkah positif dan mengajarkannya kepada peserta didik.

  Prof. Ir. Meilinda Nurbanasari, M.T., Ph. D Rektor ITENAS (Komunita, ed.27) menyatakan terlepas dari pandemi, Transformasi Digital adalah tuntutan. Bukan hanya trend yang terjadi karena pandemi. PT harus mengakomodir menjadi 100% menerapkan seperti ini. Kami baru menjalankan 60% karena adanya perbaikan dan perubahan. Dari segi infrastruktur kami membeli server baru dengan harga lumayan mahal, karena pada saat jam premium dosen (jam tertinggi aktifitas mahasiswa) harus serentak dapat di-log in sejumlah 2.000 mahasiswa dalam waktu yang bersamaan tanpa kendala server. Kami terus memperbaiki sistem server kapasitas yang besar. Sedang dalam implementasinya, dosen dan tenaga pengajar sangat dituntut berempati terhadap mahasiswa, juga sebaliknya karena keterbatasan quota ataupun kendala lainnya model Online Learning. Memang kampus harus meningkatkan kualitas online dan lebih interaktif antara dosen dengan mahasiswa.

  Selain proses pembelajaran, memang tidak mudah mengedukasi mahasiswa. Kita lihat pembelajaran daring adalah 247, 24 jam sehari 7 jam satu minggu. Artinya dosen kapanpun dapat mengakses atau memberikan tugas, dan mahasiswa dapat mengakses dan bertanya kapanpun. Namun nyatanya belum terbiasa seperti itu. Tatap maya lebih untuk mengajukan pertanyaan (asynchronous), tapi yang terjadi adalah synchronous, jadwal offline tapi sekarang online. Sementara, kami menerapkan sistem seperti itu, metodanya online tapi dalam cara berfikirnya masih seperti offline, mengajar hanya di depan laptop dengan wajah-wajah “maya”.

  Memang mengedukasi dosen dan juga mahasiswa perlu bertahap, sekaligus memperbaiki kendala-kendalanya. Semenjak pandemi Covid-19 kami melakukan pelayanan online, seperti pemesanan buku via online, dan dikirimkan ke alamat tempat tinggal mahasiswa. Semua dosen harus meng-upload materi di aplikasi Moodle. Apabila ada link via youtube, aplikasi lain harus disertakan. Upaya ini dengan harapan mahasiswa membaca materi dari dosen terlebih dahulu. Jadi ketika pembelajaran online (tatap maya) mahasiswa mempunyai gambaran awal tentang materi kuliahnya.

  Akhirnya semua sistem pelayanan mahasiswa dibuat Sistem Informasi Manajemen, dan untuk memudahkan mahasiswa tingkat akhir yang sedang skripsi dengan mempermudah akses pembelajaran, juga sidang di online kan. Dengan perubahan yang mendadak awalnya kami mengunakan sistem yang ada. Dengan proses ini mahasiswa harus self attendance secara manual. Ketika sistem online terintegrasi dengan PT semua lebih lancar dan lebih siap.

1,5 tahun Masa Pandemi

  Pandemi Covid-19 telah berjalan hampir 1.5 tahun dan telah menguras energi, menggerus dan mendegradasi apa yang telah dicapai perguruan tinggi, serta mengubah kebiasaan sosial karena social distancing dan lockdown. Sehingga digital menjadi ruang publik yang mengaitkan kita dengan masyarakat. Dalam rentang waktu berjalan tersebut perspektif dan perilaku pengelola pendidikan tinggi makin berkembang mensikapi Pandemi ini. Pandemi yang belum jelas berakhirnya menjadi pemicu dan pemacu “resileince” dan “equilibrium” PT. Kualitas respon dan adaptabilitas terhadap Pandemi Covid-19 seharusnya dapat meningkat, terutama sebagai profesional yang berkualitas. Institusi pendidikan tinggi selayaknya bisa beradaptasi serta merencanakan lebih baik. Sebagaimana yang didorong Dr. Gleb Tsipursky dalam bukunya sebagaimana disebutkan.

  Mensikapi hal tersebut Dr. Cahyat Rohyana, S.E., M.MKetua Yayasan Pendidikan Bhakti Pos Indonesia/YPBPI menegaskan kata kuncinya adalah “shifting behavior”. Pandemi bukan pembatas, namun “opportunity” dan momentum menumbuhkan inisiatif-inisiatif yang mampu memecahkan berbagai masalah di masa krisis ini. Sehingga tentunya mendorong lembaga pendidikan tinggi bersikap inovatif dalam proses pembelajaran kreatif, luwes dan ulet, dengan memanfaatkan pengetahuan dan teknologi sebagai “enabler” dan “transformer”, tanpa mengurangi kualitas pembelajaran dan mutu lulusan yang kita usung bersama. Karena ujung akhir pendidikan tetap harus menghasilkan sumber daya manusia/lulusan pembelajar yang mampu terus berkembang sejalan dengan dinamika dunia usaha dan industri menghadapi Industri 4.0.

  Walaupun ada kelemahan sana-sini akan menjadi model pembelajaran baru ke depan. Di masa pandemi mungkin proses digitalisasi baru seperti ini? Namun ternyata hal-hal positif yang bisa dikembangkan dalam rangka menciptakan model pembelajaran yang tentu bisanya menjawab abad mendatang yang dikuatkan dengan teknologi digital dan teknologi teknologi yang lain. Artinya kita di perguruan tinggi negeri dan swasta harus bisa menunjukkan penyelenggaraan dan kualitas yang baik.

  Dengan nada sama, Dr. H. Asep Effendi, SE., M.Si., PIA., CFrA., CRBCRektor Universitas Sangga Buana (USB) menyebutkan dua hal utama menyikapi kondisi Pandemi Covid-19.

  Pertama, normatif pendidikan harusnya sudah mulai merancang ulang bagaimana sistem penilaian dan penilaian keberhasilan. Kalau sistem pembelajaran saya pikir kita sudah masuk di 2 (dua) tahun atau tahun kedua. Awalnya sama dengan PT lain, mengalami shock berat, ketika dosen mengubah pembelajaran dari konvensional harus beralih ke IT System atau menjadi kuliah online. Tidak mudah mengedukasi hal baru, terutama karena faktor usia relatif sepuh (dosen kita yang dibutuhkan keilmuannya, dan pengalamannya). Itu menjadi pekerjaan rumah tersendiri. Namun kita yakin, pembelajaran di masa pandemi Covid-19 dan konvensional memang beda metode, tetapi ruhnya sama, yaitu mendidik peserta didik sesuai dengan kompetensi dan mencerdaskan mereka. Jika ruhnya sudah sama, mau lari kemana pun tujuan awal itu akan tercapai.

  Kedua, tentang tata kelola. Tata kelola perguruan tinggi di era pandemi mencakup 6 point perubahan yang luar biasa. Karena itu, Manajemen dan kepemimpinan itu sangat penting. Kita harus punya tools untuk mengontrol. Kondisi pandemi ini mahasiswa juga kesulitan, jika ingin mengeluh kepada siapa? Itulah yang setiap minggu kita olah, dengan memotivasi spiritual kepada dosen dan mahasiswa. Keseriusan pimpinan adalah menjaga target kualitas SDM di masa yang akan datang, karena itu pemerintah pun memiliki andil dalam kebijakan, lebih banyak kebijakan yang memberikan kebebasan. Nah, disitulah kebebasan yang bisa dimanfaatkan perguruan tinggi untuk menjadi kompetitif dan advantif, termasuk visi entrepreneur. Itulah pola pikir yang harus dikembangkan di situasi seperti sekarang ini.

  Sementara, Dr. H. Sugiyanto, M.Sc.Wakil Rektor Akademik, Kemahasiswaan dan Alumni IKOPIN (Institut Manajemen Koperasi Indonesia) – Jatinangor menyatakan diawal Pandemi menjadikan pendidikan tinggi dan perguruan tinggi pontang panting dalam menjaga proses belajar mengajar yang memaksa pembelajaran secara daring. Padahal sebagian besar pembelajaran masih berbasis tatap muka. Namun dengan semangat tegak lurus dengan tujuan utama pendidikan tinggi, yakni mencerdaskan peserta didik, dan generasi mendatang ia tetap optimis bahwa gelombang Pandemi harus diatasi dengan sikap positif, serta melakukan penyesuaian dan perubahan melalui kreatifitas, inovasi dan kerjasama.

  Kami bersikap bahwa tantangan Pandemi adalah pemicu, dan pemacu yang menyadarkan kita untuk berubah. Kata kunci adalah kreatif dan proaktif menghadapi perubahan yang diungkit oleh Pandemi Covid-19. Salah satunya memanfaatkan teknologi, serta menetapkan keseimbangan baru dalam dalam proses belajar mengajar agar tetap menjaga kualitas proses, output dan outcome, dalam hal ini proses belajar mengajar dan lulusan pendidikan tinggi.

  Dalam kaitan itu dibutuhkan kerjasama semua pemangku kepentingan, tidak saja lembaga pendidikan dan (penyelenggara dan pengelola), dosen, mahasiswa, bahkan orang tua. Antar lembaga pendidikan tinggi apa yang sudah diinisiasi oleh LLDikti IV Jabar Banten selayaknya dikembangkan. Lebih-lebih pemerintah harus memberi ruang yang sama kepada semua lembaga pendidikan tinggi, baik negeri maupun swasta.

  Itulah perspektif, sikap, serta kebijakan sebagian mereka sebagai garda terdepan pendidikan tinggi dalam upaya mendidik sumber daya manusia yang berkualitas di masa pandemi ini. Sebagai bentuk optimisme para pendidik dan intitusi pendidikan sebagai upaya membangun “resilience” dan “new equilibrium” perguruan tinggi dalam menjalankan peran strategisnya. Semoga.

Writer: lili irahali6 Agustus 2021