Faktual Gap Lulusan PT
Tujuh tahun lalu — 09 Februari 2012 – Corporate Manager PT. Bakric Metal Industries, Arifin Dimyati dalam acara Talkshow LP3I bertema “Tips and Tricks Mempersiapkan Remaja Mandiri yang Siap Menghadapi Dunia Usaha dan Industri” mengatakan apa yang telah diusahakan dunia pendidikan belumlah sesuai harapan dunia usaha ( www.republika.co.id). Arifin mengatakan ada semacam jarak antara dunia pendidikan dengan dunia usaha dan industri. Sebabnya, perlu pendekatan lebih jauh dunia pendidikan kepada dunia usaha dan industri. Pendekatan ini mendesak untuk dilakukan guna mengoptimalkan usaha mengurangi angka pengangguran di Indonesia. “Dunia usaha dan industri dihadapkan pada situasi sulit merekrut tenaga kerja.
Kita membutuhkan tenaga kerja, namun kita susah mencari tenaga kerja yang sesuai,” ungkapnya. Arifin menggambarkan sebuah riset kecil yang dilakukannya terhadap setiap lulusan perguruan tinggi, maka diperoleh tiga tingkatan kualitas lulusan. Lulusan pertanta, adalah mahasiswa yang mampu mendapatkan pekerjaan setelah lulus. Artinya, pada tingkatan ini ada kualitas yang dimiliki lulusan sehingga dicari pengusaha. “Mereka calon individu yang akan menempati posisi certin dalam perusahaan. Lulusan kedua, adalah mahasiswa yang membutuhkan motivasi dan tambahan keterampilan melalui pelatihan sehingga dapat menjadi lulusan yang dicari perusahaan. Mereka berkualitas hanya saja memerlukan penambahan kemampuan dan motivasi. Terakhir, lulusan tanpa kemampuan. Mereka yang lulus dalam kategori ini sangat rentan tidak dicari perusahaan.
Yang perlu dicermati dari riset ini adalah, jumlah kualitas lulusan tingkat pertama hanya 10 persen, kedua 20 persen dan terakhir 70 persen. Kalau dikaitkan dengan isu globalisasi, yang berarti berbicara kompetisi dan kompetensi maka apa yang dihasilkan dunia pendidikan masih jauh dari apa yangseharusnya dibutuhkan dunia usaha dan industri. Hasil studi Willis Towers Watson tentang Talent Management and Rewards sejak tahun 2014 mengungkap, delapan dari sepuluh perusahaan di Indonesia kesulitan mendapatkan lulusan perguruan tinggi yang siap pakai. Semestinya perusahaan tidak sulit mencari tenaga kerja, sebab angka pertumbuhan lulusan perguruan tinggi di Indonesia setiap tahun selalu bertambah. Sementara itu, angka permintaan perusahaan terhadap tenaga kerja selalu lebih rendah dari pada jumlah lulusannya. Padahal Indonesia menempati peringkat ketiga sebagai negara dengan pertumbuhan lulusan perguruan tinggi lebih dari 4 persen dan rata-rata surplus 1.5 persen per tahun. Tapi, perusahaan tetap kesulitan mendapatkan karyawan yang berpotensi tinggi,” ujar Consultant Director, Willis Tower Watson Indonesia, Lilis Halim dalam diskusi A Taste Of L’oreal.
Disebutkan Lilis Halim lulusan perguruan tinggi Indonesia susah terserap karcna tidak memiliki “skill ” yang dibutuhkan perusahaan dan tidak punya “critical skills”. ”Sklil”adalah langkah utama memasuki dunia kerja, setelah itu harus punya “critical jika ingin berkembang dan masuk jajaran manajemen perusahaan. Lebih jauh Lilis mengatakan bahwa di era digital saat ini lulusan perguruan tinggi harus punya “digital skills”, yaitu tahu dan menguasai dunia digital. “Agile thinking – mampu berpikir banyak skenario – serta “interpersonal and communication skills” – keahlian berkomunikasi sehingga berani adu pendapat. Terakhir, para lulusan juga harus punya “global skills”. “Skills? tersebut meliputi kemampuan bahasa asing, bisa padu dan menyatu dengan orang asing yang berbeda budaya, dan punya sensitivitas terhadap nilai budaya.
Sementara, masyarakat profesional human resources management arau Socieor for Human Resource Management (SHRM) yang mewakili 285.000 anggota di lebih 165 negara menyebutkan, salah satu isu besar ketenagakerjaan saat ini adalah meningkatkan “kompaisi talenta atau bakat”. (https://www.shrm.org). Kualitas layanan ekonomi dan pentingnya tim kerja dalam organisasi perusahaan menempatkan pandangan baru pada arti penting SDM berketerampilan dan berkemampuan membangun hubungan (puts a new pranium of people skills and relationship-building), kata Lori Kocon-scorang ahli sumber daya manusia pada The Smyth di County Industri Council. Disebutkan ketika bisnis dilakukan pada keceparan yang meningkat pesat, organisasi perusahan menginginkan SDM yang tangkas, mampu beradaptasi dan kreatif dalam memecahkan masalah. Lori Kocon, mengungkapkan bahwa SDM yang paling mungkin dipekerjakan untuk pekerjaan yang tersedia adalah mereka yang memiliki “softskill. Perusahaan menghargai “softskill karena penelitian menyarankan dan pengalaman menunjukkan bahwa “softskill” sama pentingnya dengan indikator kinerja yang disebut “hardskill. Setiap perusahaan mencari kombinasi yang berbeda antara keahlian, ketcrampilan dan pengalaman SDM tergantung pada bisnisnya. Namun hal itu tidaklah cukup, untuk melengkapi kompetensi inti yang unik. Setiap organisasi perusahaan memerlukan “softskill” tertentu dalam mencari SDM potensial. “Softskill+ ” sesungguhnya mcrujuk pada sekelompok kualitas pribadi, kebiasaan, sikap dan “social graces? yang membuat seseorang SDM baik dan kompatibel untuk bekerja.
Dalam pertemuan dengan Kopertis/LLDikti Wilayah III DKI Jakarta, 26 Juni 2018 Dirjen Belmawa – Kemenristekdikti, Prof Intan Ahmad menyebudcan ratusan ribu lulusan perguruan tinggi mengganggur setiap tahunnya. Bahkan Riset yang dilakukan di Eropa dan diikuti 25 negara dengan 8.000 kampus menyebutkan hanya kurang dari 50 persen lulusan perguruan tinggi yang siap bekerja. Gambaran di atas menjelaskan, ketiadaan jembatan kokoh antara dunia pendidikan dan dunia usaha dan industri menjadi persoalan klasik yang belum terselesaikan. Padahal, saat berbicara dunia bisnis malca mengacu pada kualitas sumbcr daya. Siapakah yang menjadi jembatan ? Tampaknya bagai telur dan ayam. Namun kita harus ingat perguruan tinggi sangat berperan untuk mendidik peserta didik menjadi sumber daya manusia berkualitas yang memiliki ilmu pengetahuan memadai dan keahlian yang siap terap, serta sikap kerja yang positif. Siap terap tentunya dapat melaksanakan implementasi dari teori dan pengetahuan yang didapat selama masa belajar dan umumnya hanya memerlukan penyiapan adaptif untuk dapat menerapkan ilmu tersebut di tempat mereka bekerja. Demikian pula dunia usaha dan industri tidak melulu mengurus bisnis dan pengembangan usaha secara finansial. Ia berkewajiban memberikan kontribusi nyata bagi kualitas lulusan perguruan tinggi.
Dialog PT dengan DUDI
Laporan McKinsey menjelaskan Indonesia kekurangan tenaga kerja menghadapi Era lndustri 4.0 sebanyak 9 (Sembilan) juta orang pada tahun 2015 – 2030, yakni tenaga kerja yang kompeten dalam industri digital. Ini Fakta ketersediaan tenaga kerja sesuai dengan persyaratan dunia usaha dan industri cenderung terbatas, selain aspek kuantitas, justru kualitas kompetensinya pun menjadi masalah. Problematik tersebut masih menjadi pekerjaan rumah bersama. Menurut Fasli Djalal, lndonesia perlu mendesain ulang konsep pendidikan tinggi agar lulusannya mudah diserap industri. Disinilah pendekaran Penta Helix sebagai jalan keluar sebagaimana diterapkan beberapa negara lain. Bagi perguruan tinggi, hal itu perlu menjadi catatan penting, yang artinya bagaimana perguruan tinggi mendisain kurikulum yang ter-up date dengan kebutuhan dunia usaha dan industri. Karena itu, perguruan tinggi dituntut tidak memberikan ilusi kepada calon mahasiswa, namun bersinergi dengan dunia usaha dan industri. Bagi pemerintah tentunya langkah-langkah kebijakan sangat diharapkan.
Jelas bahwa dunia usaha dan industri membutuhkan kombinasi keahlian yang berbeda dari sebelumnya. Faktanya, dunia usaha dan industri membutuhkan lulusan yang berbeda dengan yang dihasilkan perguruan tinggi. Dunia usaha dan industri tidak hanya membutuhkan calon pekerja yang cerdas namun juga memiliki keahlian lain. Kampus perlu duduk bersama dengan dunia usaha dan industri. Dengan demikian sinergitas antara perguruan tinggi dengan dunia usaha dan industri menjadi keharusan. Siapakah yang memulai, untuk kemuliaan ini ? Empat tahun lalu, 21 Januari 2015 lalu di Jakarta Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Mohamad Nasir dan Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi B. Sukamdani telah melakukan langkah dengan menandatangani nota kesepahaman tentang Pengembangan Sumber Daya Manusia, Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat di Lingkungan Perguruan Tinggi. Penandatanganan nota kesepahaman disaksikan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Kepala BKPM Franky Sibarani, Ketua Forum Rektor Indonesia Ravik Karsidi dan kalangan pengusaha yang tergabung dalam Apindo maupun rektor perguruan tinggi yang tergabung dalam Forum Rektor Indonesia.
Pada kesempatan tersebut ditandatangani perjanjian kerja sama antara Forum Rektor Indonesia dengan Apindo sebagai implementasi dari nota kesepahaman yang akan segera ditindaklanjuti dengan kerja sama teknis antara Apindo provinsi dengan perguruan tinggi di wilayahnya. Ruang lingkup kerja sama antara Kemeristekdikti dengan Apindo antara lain pemagangan kerja bagi mahasiswa dan lulusan perguruan tinggi untuk bidang-bidang keilmuan yang relevan, penelitian dan pemanfaatan hasil penelitian, pelatihan dan jasa konsultasi, pengabdian pada masyarakat, dan pertukaran informasi tentang ketersediaan dan kebutuhan SDM pada dunia usaha dan industri (https://www.ristekdikti.go.id/). Di tataran pendidikan tinggi swasta, tentu tidak bisa dilepaskan keberadaan asosiasi badan penyelenggara (ABP PTSI), serta asosiasi badan pengelola (APTISI). Bagaimana peran ABP PTSI dan APTISI sebagai asosiasi badan penyelenggara, dan badan pengelola pendidikan tinggi swasta. ABP PTSI sebagai asosiasi penyelenggara yang bertanggungjawab dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi swasta tentu sebagai fasilitator yang menjalankan peran strategis beraliansi dengan pemerintah serta asosiasi dunia usaha dan industri dalam mengembangkan lulusan yang memenuhi tuntutan dinamika dunia usaha dan industri. Sementara APTISI sebagai badan pengelola pendidikan swasta tentu sebagai fasilitator yang menjalankan peran taktis dalam pelaksanaan aliansi dimaksud, sehingga perguruan-perguruan tinggi dapat bersinergi dengan dunia usaha dan industri.
Jawa Barat sudah melangkah, dimana ABP PTSI – Jawa Barat, APTISI – Jawa Barat, Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi IV, serta KADIN Jawa Barat telah menggagas Memorandum Of Understanding (MOU) untuk mengembangkan kesinergian dalam meningkatkan kualitas SDM lulusan pendidikan tin w i. MOU ini memang memerlukan tindak lanjut di tataran operasional agar dapat terwujud untuk kepentingan semua pihak. Maksud MOU di atas melaksanakan kerjasama secara terpadu, sinergis, dan berkesinambungan di bidang Pendidikan Jangka Panjang, Jangka Pendek dan atau Pelatihan dalam mewujudkan Jawa Barat menuju Visi 2030. Tujuannya meningkatkan peran yang sinergis antara : KADIN Jawa Barat berserta organisasi perusahaan dan organisasi pengusaha, Penyelenggara dan Pengelola Perguruan Tinggi Swasta (Asosiasi BP PTSI Jawa Barat), Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi IV Wilayah Jawa Barat & Banten, Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta IV A Jawa Barat (APTISI IV A Jawa Barat) pemerintah, serta masyarakat dalam mewujudkan Jawa Barat menuju Visi 2030.
Ruang lingkup yang akan digarap, meliputi : a) peningkatan kerjasama di bidang Pendidikan Jangka Panjang, Jangka Pendek dan atau Pelatihan; b) pengembangan kegiatan penelitian di berbagai bidang yang dikembangkan oleh Para Pihak; c) mempersiapkan peta jalan (Road Map) tentang langkah-langkah taktis mulai tahun 2020 sampai dengan 2030 sebagai rujukan pengembangan sumber daya Jawa Barat sesuai standar kompetensi, kualifikasi nasional dan global. Dialog yang sudah dimulai ini membutuhkan implementasi nyata yang bisa dirasakan semua pihak. Dalam bulan Oktober 2019 ABP PTSI Jawa Barat mulai dialog lanjut dengan KADIN Jawa Barat. (Rewrite by : Iili irahali – dari berbagai sumber)