Riset & Inovasi PT – Kinerja & Problema

0
657 views
Riset & Inovasi PT - Kinerja & Problema

Riset dan Inovasi Perguruan Tinggi/PT penting dan tidak sekedar riset untuk kebutuhan publikasi dan cum/point untuk akreditasi, namun yang lebih penting adalah menghilirisasikan riset2 itu sendiri. Bagaimana upaya dari hasil penelitian, kemudian dihilirisasikan. Kita paham bahwa tahap awal adalah prototype. Untuk itu harus menjalin kerjasama dengan dunia usaha/ industri, atau minimal hasil riset dan inovasi PT dapat diterapkan dalam skala laboratorium, walaupun belum dalam skala produksi, tapi sudah ada usaha untuk menginternalisasikan hasil penelitian tersebut, demikian disampaikan Ketua APTISI, Prof.Dr. Ir. H.?Eddy Jusuf, Sp, M.Si., M.Kom.

Bahkan kini riset dan inovasi PT, didalamnya tentu para dosen dan mahasiswa justru merupakan sebagian dari reputasi akademik PT. Penilaian QS World University Rangkings justru mengangkat reputasi akademik PT (dengan bobot 40% dari 100%) serta reputasi dosen dan mahasiswa (10% dari 100%), bahkan keterkaitannya dengan dunia usaha dan industri termasuk dalam salah satu indikator penilaiannya, demikian diungkapkan Rektor Universitas Indonesia/UI, Prof. Ari Kuncoro, S.E., M.A., Ph.D dalam Webinar Nasional Kampus Merdeka di Era dan Pasca Covid-19, 29 Mei 2020 lalu.

Tiga modal dasar pembangunan industri nasional, yakni SDA, SDM, serta Teknologi, Inovasi & Kreativitas. Ketiga modal ini perlu didukung pula oleh prasyarat infrastruktur, kebijakan & regulasi, serta pembiayaan.

Terlepas prasyarat dukungan di atas, Indonesia memiliki sumber daya alam darat & laut yang kaya, potensi SDM 265 Juta jiwa, dan dalam waktu dekat mendapat bonus demografi (SDM dalam usia muda bakal mengalami populasi puncak), namun SDM ini masih membutuhkan peningkatan kompetensi mereka agar mampu mengelola sumber daya alam tersebut, serta mengembangkan teknologi, inovasi dan kreativitas.

Pada kesempatan ini Komunita mengungkap Inovasi & kreativitas, khusus Riset dan Inovasi yang dilakukan salah satu kelembagaan riset atau aktor riset, yakni Perguruan Tinggi/PT. Secara umum kita pahami bahwa PT adalah salah satu rahim Iptek yang diharapkan sebagai Produsen Iptek Inovasi serta Pusat Keunggulan. Karena sejatinya PT adalah institusi pendidikan yang berbasis pada kegiatan pembelajaran melalui kegiatan riset. Melalui kegiatan riset, para dosen dan mahasiswa tentunya memiliki kesempatan menemukan masalah, mencari berbagai solusi secara ilmiah dan merumuskannya menjadi metode baku dan bisa direproduksi. Proses melihat masalah, berpikir, bertindak secara ilmiah dalam koridor etika ilmiah merupakan ajang pembelajaran dan penciptaan SDM muda dengan literasi Iptek yang tinggi.

Riset & Inovasi PT

Namun fakta sebagaimana diungkapkan Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti periode 2014 – 2019) Prof. Drs. H. Mohamad Nasir, Ak., M.Si., Ph.D menyatakan, pada 2016 jumlah peneliti dan publikasi jurnal penelitian di Indonesia masih sangat rendah. Terdata baru sekitar 4.500 hingga 5.500 karya yang berhasil dipublikasikan. Problem seperti itu tidak bisa terlepas karena masih minimnya jumlah peneliti Indonesia.?Hal yang sama juga disampaikan Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Iskandar, saat itu jumlah peneliti Indonesia hanya 90 orang per 1 juta penduduk. Sementara jumlah peneliti di Brasil mencapai 700 orang per 1 juta penduduk, dan Rusia 3000 peneliti per 1 juta penduduk.

Sementara itu dalam penilaian Kemenristek/BRIN (2019 ? sekarang), dari sekitar 4.670 PT yang meliputi: Universitas, Institut, Politeknik, Sekolah Tinggi, dan Akademi kontribusi pada riset dan Iptek masih memprihatinkan. Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (Ristek/BRIN) baru-baru ini mengumumkan hasil penilaian kinerja penelitian PT untuk periode 2016-2018 (data Simlitabmas), yakni : baru 47 PT masuk dalam kelompok Mandiri, 146 PT pada kelompok Utama, 479 PT pada kelompok Madya, dan sebanyak 1.305 PT pada kelompok? Binaan. Jumlah kontributor baru mencapai 1.977? PT atau baru 42 % dari total 4.670 PT yang ada di Indonesia, walaupun jumlah kontributor pada periode di atas menunjukkan peningkatan dari periode tahun 2013-2015 sebelumnya yang melibatkan 1.447 PT. (lihat Klasterisasi PT Indonesia & Penelitian)

Dari jumlah tersebut di atas, hanya 10 (sepuluh) PT dengan kinerja riset tertinggi. Kesepuluhnya adalah PTN. Dimanakah PTS ?? Bila dibandingkan dengan jumlah Badan usaha skala besar, menengah, kecil dan mikro yang berjumlah 56.539 560 (BPS, 2012), maka masih banyak peluang bagi para akademisi PT Indonesia yang jumlahnya masih relatih sedikit ? 89,5 per satu juta orang – dalam menyumbang riset dan inovasinya.

Data di atas menunjukkan bahwa aktifitas dan kegiatan riset Indonesia masih tertinggal jauh. Tentu saja ini bukan hanya masalah dosen di perguruan tinggi, namun juga lembaga-lembaga riset dan semua litbang di semua kementerian.

Padahal indikator evaluasi QS World University Rankings mencakup: Academic Reputation/40%, Employer Reputation/10%, Faculty/Student Ratio/20%, Citation per Faculty/20%, International Faculty Ratio/5%, International Student Ratio/5%. Terkait dengan riset dan inovasi tentunya merupakan aspek academic reputation dan employer reputation.

Salah satu akibat permasalahan riset selama ini dalam QS World University Rankings 2020 tidak ada satupun perguruan tinggi negeri ini masuk dalam daftar 100 besar universitas terbaik di dunia, padahal ada 4.670 PT. Sembilan perguruan tinggi Indonesia hanya masuk dalam daftar 1.000 universitas terbaik dunia, dan untuk QS Asian University Rankings, hanya 12? universitas termasuk dalam 500 universitas terbaik Asia. Hanya tiga di antaranya yang masuk dalam daftar 500 universitas terbaik dunia, dan 100 universitas terbaik Asia (lihat PT Indonesia QS Ranking University 2020). Untuk kedua ranking tersebut posisi tertinggi ditempati Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada dan Institut Teknologi Bandung.

Rendahnya peringkat perguruan tinggi Indonesia dan QS World University Rankings lantaran skor yang rendah. Dua indikator terendah adalah jumlah sitasi paper dalam lima tahun yang bersumber dari Scopus dan proporsi mahasiswa internasional, masing-masing dengan skor 2,4 dan 3,0. Skor ini berbanding terbalik dengan rata-rata skor 10 universitas terbaik dunia, yakni 88,3 dan 84,6. Indikator yang digunakan adalah reputasi akademik, reputasi alumni, rasio fakultas dan mahasiswa, kutipan jurnal ilmiah, fakultas internasional, dan mahasiswa internasional. Itu belum termasuk indicator reputasi akademik dan dosen dan alumni.

Kinerja Riset merupakan bagian dari persoalan Perguruan tinggi Indonesia. Pendidikan tinggi dalam arti kata Perguruan tinggi? bukan hanya tempat belajar-mengajar, juga tempat dikembangkannya ilmu pengetahuan melalui riset atau penelitian. Perguruan tinggi sebagai basis pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi, bukan sekedar menargetkan lulusan yang profesional dalam bidang teknik, kemampuan bersaing dengan pekerja asing, dan globalisasi pendidikan, melainkan kemampuan untuk menjadi hub penelitian, teknologi, jaringan cerdas, dan peradaban dunia.

 

Persoalan SDM

Dalam kaitan di atas, maka persoalan Sumber daya manusia (SDM) menjadi komponen mendasar yang harus ditingkatkan kualitasnya terutama pola piker, serta lompatan kemampuan untuk menyiapkan bahan ajar berbasis riset, berorientasi pasar dan melampaui zamannya, inovasi pembelajaran berbasis TIK terkini, hingga produktivitas penelitian dan pengabdian masyarakat dengan menghasilkan publikasi bereputasi tinggi, hak cipta, paten, dan penyebaran iptek memang patut menjadi pekerjaan rumah bersama. Hal ini menjadi penting terkait dengan kebijakan Kampus Merdeka dan Merdeka Belajar yang menuntut proses transformasi berkelanjutan.

Salah satunya adalah problem SDM (baca: Dosen) dalam menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi dan bebannya diperkirakan meningkat menjelang tahun 2050. Dosen dituntut melakukan transformasi diri dalam mensikapi perubahan di atas.

Beberapa hal yang diduga menyebabkan rendahnya kinerja riset dunia pendidikan tinggi Indonesia (https://yusrintosepu.wixsite.com/…./DATA-DAN-FAKTA-KINERJA-RISET-PERGURUAN-TINGGI-DI-INDONESIA)

  1. Riset masih dilihat sebagai tugas tambahan seorang dosen, bukan terintegrasi dan disadari sebagai bagian dari tugas pokok. Paradigma di dunia pendidikan tinggi Indonesia masih melihat proses belajar-mengajar sebagai hal yang utama, bukan riset. Dosen masih melihat tugasnya sama dengan guru: mengajar. Bisa jadi karena Dosen diletakkan sejajar dengan Guru dalam satu undang-undang. Mestinya, berdasarkan perbedaan requirement, perbedaan instansi induk dan perbedaan tugas pokok, guru dan dosen harus dipisahkan.
  2. Persoalan infrastruktur dasar yang tidak memadai. Sarana prasarana kerja yang mendasar seperti meja kerja masih menjadi hal yang mewah bagi dosen? Hasil survey yang dilakukan Abdul Hamid dengan populasi dosen-dosen yang tergabung di Grup Dosen Indonesia. Hasilnya 39% dosen tak memiliki meja kerja, hanya ada ruang dosen yang dipakai bersama-sama. Sebanyak 35% memakai ruang dosen bersama, namun memiliki meja kerja, dan hanya 26% yang memiliki privasi: ada meja kerja dan satu ruangan dipakai maksimal dua orang dosen. (sumber:https://abdul-hamid.com/).?Berkaitan dengan point 1 (satu) diatas, bahwa tugas dosen hanyalah mengajar. Hal ini dianut oleh banyak pemimpin perguruan tinggi (negeri dan swasta) maupun banyak dosen itu sendiri. Pada umumnya pemimpin kampus tidak memfasilitasi dosen untuk memiliki ruang/meja kerja memadai, sementara banyak dosen yang memang ke kampus untuk mengajar saja, setelah itu mengerjakan kegiatan lain, mencari penghasilan tambahan. Mungkin hal ini dilihat bukan sebagai masalah, kecuali dalam instrumen akreditasi belaka. Ini baru soal ruang/meja untuk bekerja, belum bicara perpustakaan atau laboratorium berkualitas yang masih jadi hal langka di kampus-kampus di Indonesia.
  3. Sistem yang memberi disinsentif bagi dosen yang rajin melakukan publikasi ilmiah. Intinya batas sebuah aktivitas dosen dinilai dalam sistem promosi. Misalnya, paper ilmiah yang terbit di jurnal internasional hanya diakui satu paper dalam satu semester. Lebih dari satu tak dihitung sebagai pencapaian. Padahal tentu saja sebagai peneliti tak bisa memastikan atau mendikte editor atau publisher menerbitkan paper di waktu yang berbeda. Proses sebuah paper dari mulai dikirim sampai betul-betul terbit juga bervariasi bisa satu sampai dua tahun.
  4. Kesibukan administratif. Dosen disibukkan dengan berbagai kesibukan administratif. Contoh nyata adalah kesibukan mengisi BKD setiap semester hanya untuk sekedar mendapatkan tunjangan sertifikasi dosen. Contoh lain misalnya, ketika Dosen di seluruh Indonesia diwajibkan mengisi SIPKD dengan scan semua SK, ijazah dan sebagainya. Kewajiban tersebut disertai ancaman dan batas waktu. Akibatnya, dosen-dosen pontang-panting mencari berbagai SK dan surat-surat penting, men-scan, menyerbu situs SIPKD sehingga server ERROR.
  5. Kesibukan administratif juga berkaitan dengan aktivitas penelitian itu sendiri. Dosen harus berkompetisi untuk mendapatkan dana penelitian. Dan dosen yang mendapatkan grant penelitian biasanya disibukkan oleh aspek administratif dan bukan kualitas riset itu sendiri. Berurusan dengan kwitansi dan stempel, serta mencari dana talangan penelitian, sebelum dananya betul-betul turun. Belum lagi seringkali menghadapi potongan di sana-sini yang membuat kualitas riset berkurang.
  6. Rendahnya pendapatan dosen di Indonesia. Seberapa rendah? kan sudah ada sertifikasi dosen? Data Dikti sampai februari 2014 menunjukkan baru 39% dosen yang tersertifikasi. Sisanya, masing antri.

Hal ini tentu saja membuat sulit untuk menarik anak-anak muda bangsa terbaik untuk berkarir di dunia akademik. Untuk yang terlanjur menjadi dosen, kondisi semacam ini memaksa banyak dosen memiliki kesibukan ekstra menambah pendapatan. Apa akibatnya? seperti di point 1 dan 2 di atas: ke kampus hanya mengajar, mau singgah menulis atau membaca tak ada meja, akibatnya menyibukkan diri dengan aktivitas di luar kampus.

Lantas masih ada juga dosen-dosen yang menghasilkan publikasi ilmiah berkualitas. Tentun saja ada, di manapun pasti ada orang-orang hebat yang bertarung melawan keterbatasan. Jika keterbatasan itu kemudian tidak jadi hambatan, maka Indonesia akan menghasilkan lebih banyak dosen peneliti hebat dan lebih banyak publikasi ilmiah yang hebat pula. (lee)

Sumber : Berbagai sumber