Softskill Dalam Industri Parawisata

0
1,760 views

Komunita : Kembali lagi tentang SDM, persepsi Kang Yazi tentang SDM yang cocok untuk usaha ini seperti apa? Misalnya tentang softskill yang bisa mempengaruhi brand usahanya.

Kang Yazi : Kalau brand standar itu beda-beda. Prinsipnya kita memberikan apa yang bisa kita berikan pada tamu mulai dari awal sampai akhir. Proses engagement itu mulai dari awal baru masuk, saat check in. Kemudian breakfast. Yang diambil experience-nya saat-saat breakfast sama kamar. Intinya kita harus bicara basic, kalau bicara jasa, berarti jasa apa yang bisa kita berikan buat orang lain. lni hotel, jadi berpikir bagaimana caranya membuat tamu-tamu itu betah, tamu-tamu itu comfort, tamu-tamu loyal atau jadi provokator, service value added apa yang bisa diberikan.

Komunita : Pendapat Kang Yazi tentang fungsi institusi pendidikan dalam realita dunia usaha selama ini?

Kang Yazi : Sekolah seharusnya jangan berpikir hanya untuk membentuk pekerja, tapi entrepreneur. Kenapa ? ada yang tidak pernah sinkron pendidikannya? Misalnya mahasiswa lulus SMK pariwisata, di? inteview di hotel bintang 5 misalnya, tidak nyambung kan. Demikian pula di pemerintahan, pariwisata Bandung kalah oleh Banyuwangi, dan Malang. Kenapa bisa tidak nyambung, karena orang yang menjadi Kadis Pariwisata bukan orang pariwisata, atau orang yang mengerti pariwisata. Malah yang diambil dari Departemen Kehutanan. Ya gimana mau maju pariwisata Bandung? Seharusnya mengambil orang pariwisata, orang perhotelan, dari ENHAll atau dosen-dosen seniornya misal. Di kementerian juga demikian. Kalau ambil yang salah ya malah melempem. Dalam setahun kegiatan event di Bandung cuma berapa. Bandingkan, Banyuwangi ada parade, karnaval. Setiap bulan ada gitu loh, sampai 26 kali dalam setahun. Bandung hanya 7 atau 6 event setahun. Makanya, kalau kita bicara hal itu tidak pernah nyambung.

Komunita : Ada kesan pesan Kang Yazi, khususnya untuk para pembaca dan umumnya untuk masyarakat?

Kang Yazi : Kenapa bule-bule senang di Indonesia, sudah duit dia dolarnya besar (nilai tukarnya), datang ke Indonesia. Di sana dia bisa jadi hanya tukang sapu. Di Stockholm, di Swedia, gaji saya 10 misalnya, maka 5 nya terpotong buat pajak. Jadi saya terima 5 akhirnya. 50 persen tax-nya itu diambil. Nah, diambil untuk kesejahteraan rakyat. Rumah sakit gratis, kecuali (rumah sakit) gigi. Melahirkan gratis. Anak sekolah SD, misalnya kayak Bapak ini punya anak sekolah satu, anak itu dapat duit untuk sebulan. Terus kalau untuk dia SMA dapat lagi sebulannya berapa. Kuliah dapat lagi. Makanya nenek-nenek di sana sama kakek-kakek masih banyak yang kuliah. Banyak yang kuliah, banyak yang kerja. Kerja mereka bukan kerja kontrak, kerja yang pasti, terikat, jadi dia kerjanya part timer. Misalnya di sini dia sejam, di sini lagi pindah lagi sejam, ke sana pindah lagi sejam. Setelah setahun dia cuti dua bulan tiga bulan gitu lho. Ngabisin (uang-red.), orang-orang Swedia rata-rata begitu. Tidak mau dia, tidak kayak kita, kerja tetap. Pensiun. Ngapain pensiun? Tidak ada, karena di sana setiap gaji dari jam 8 pagi sampai jam 12 siang misalnya 10 perjam, nanti dari jam 12 sampai jam 6 sore, itu 12 perjam. Naik. Dari jam 6 sore sampai jam 11 malam, itu jadi 14 per jam. Nah yang masuk shift itu dobel, jadi kalau dia 14, berarti dia dapat 28. Gaji saya dengan gaji atasan saya yang harusnya di atas satu level, justru lebih besar saya. Karena saya lebih senang masuk sore, dibanding dengan dia. Mereka rata-rata senangnya masuk pagi.

Orang sana tidak senang masuk sore. Kenapa? Karena kalau dia sudah pulang, di sana kalau lagi summer itu lama. Di Swedia atau Finland seolah tidak ada malam. Jadi jam 11 malam itu kayak sore. Nanti jam 3 subuh baru ada matahari. Buat mereka lama, buat kita capek puasanya gitu kan, hahaha… Waktunya panjang. Mereka ramai dan senang. Jadi kalau sudah summer time mereka lebih senang masuk pagi. Pulang dia bisa jalan-jalan. Senang hura-hura mereka. Kamilah yang sering dipasang (dipekerjakan-red.) malam sama sore, one night, tapi gajian lebih besar kita begitu. Cuma sayang, tidak bawa keluarga. Yang panting kita sudah punya kartunya/KTP. Jadi, di sana kita hanya lapor ke bank, nah dari bank itu nanti dikeluarkan kayak kartu ATM begitu. Kartu ATM itu udah nge-link kemana-mana, ke rumah sakit, ke polisi. Jadi hanya ada satu nomor kode itu. Dia buka nomor kodenya muncul di situ. Kerjanya dimana, gajinya berapa, utangnya berapa, pernah kriminal apa tidak, pernah sakit apa aja. Kita ke toko juga kalau tidak bawa duit cash, itu bisa jadi kartu kredit, jadi langsung debet. “Nanti gua gajian bulan depan foe langsung debet aja udah.” Nanti pas gajian, “Oh sudah terpotong ini.” Dari tahun 1994 mereka sudah menerapkan. Sudah canggih lah. Kita baru sekarang, baru mau E-KTP, sudah dikorupsi, dan sudah dua tahun tidak jadi-jadi, dua tahun nunggu. Di Stockholm yang ukurannya hanya se-Jakarta, kecil. Tapi sudah gunakan sistem. Singapura juga canggih karena gunakan sistem. Malaysia lebih di atas kita. Vietnam juga sekarang sudah di atas kita karena sistem. Kita malah sistemnya amburadul. Presiden ganti, presiden baru sistemnya ganti lagi. Dari nol lagi, nol lagi. Kalau di sana tidak, karena mereka menerapkan yang bagus dijalanin, yang jelek di-update lagi begitu. Karakter bangsa kita yang turun temurun, harus diperbaiki. (by Keni & Lee)