THE BASIC, ESSENTIAL REQUIREMENTS FOR PRODUCTIVE PRACTICE
Pengajaran bahasa asing termasuk bahasa Inggris dan Jepang di lingkungan persekolahan dinilai gagal karena capaian penguasaan materi kurikulernya hanya 45-50% (dari keharusan total 100%) (Musthafa, 2011). Oleh karena itu, asosiasi pengajar bahasa asing (seperti TEFLIN untuk Bahasa Inggris dan ASPBJI untuk Bahasa Jepang) ditantang untuk secara terus-menerus mencari model pengajaran alternatif untuk ditelaah, digali, diteliti, diuji, dan dieksperimentasikan ke dalam konteks kelas di Indonesia.
Tujuannya adalah memastikan bahwa model pembelajaran yang digunakan efektif dengan dua indikator utama: efektif untuk mencapai tujuan pengajaran bahasa asing di Indonesia, dan memberdayakan bagi peserta didik. Student-Centered Teaching/Learning (SCT/L) merupakan salah satu pendekatan pembelajaran yang potensial dapat dijadikan kandidat model pembelajaran alternatif untuk meningkatkan hasil belajar bahasa asing di sekolah dan kampus di Indonesia. Sementara keperluan akan adanya alternatif tersebut merupakan sesuatu yang mutlak, pemahaman guru dan dosen tentang SCT/L ini masih menyisakan tanda-tanya.
Artikel ini akan mengoperasionalkan pendekatan SCT/L ini sehingga gagasan dan semangatnya menjadi jelas dan dapat dilaksanakan di kelas-kelas bahasa asing di Indonesia, dengan menjawab beberapa pertanyaan mendasar sebagai berikut: apa itu SCT/L? Apa peran guru dalam SCT/L Apakah SCT/L sesuai dengan konteks Indonesia? Apa potensi keuntungan SCT/L? Apa yang terjadi di kelas yang mengadopsi prinsip-prinsip SCT/L? ?
Student-Centered Teaching/Learning (SCT/L) sebagai Pedagogi Alternatif
Sebagai pedagogi SCT/L dipengaruhi oleh teori belajar konstruktivisme sosial (Vygotsky, 1978), yang beranggapan bahwa pengetahuan-latarbelakang (prior knowledge) merupakan fondasi penting yang memungkinkan terjadinya belajar, dan interaksi sosial merupakan lokus bagi terjadinya aktivitas belajar.
Selain itu, SCT/L memberi kesempatan yang luas untuk terjadinya kolaborasi sinergis antara guru dengan murid-muridnya. Peserta-didik dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan perihal apa yang akan dipelajari dan bagaimana mempelajarinya (Brooks & Brooks, 1999). Pedagogi alternatif ini memiliki dua tujuan utama yang saling berkaitan. Yakni, memusatkan diri pada kepentingan belajar dan perkembangan (maha)siswa sebagai peserta-didik, dan mengutamakan ketercapaian tujuan belajar optimal. ?
Peran Utama Guru dalam Pegagogi SCT/L
Filosofi konstruktivisme sosial menekankan peran-aktif peserta-didik dalam mengontruksi pemahaman tentang dan keterampilan dalam menggunakan apa yang dipelajarinya.
Demikian aktifnya para peserta didik dalam pedagogi SCL ini sehingga peran guru juga menjadi bergeser? yakni, dalam SCT/L para guru diposisikan sebagai perancang dan pengembang kurikulum untuk mata ajar yang diampunya; dan guru ini juga selanjutnya bertugas memfasilitasi? perkembangan peserta didik dengan menggunakan minat dan keperluan belajar mereka sebagai pemandu bagi mengembangan pengajaran yang bermakna. Kelas yang mengadopsi SCT/L pada umumnya berpusat pada tujuan (goal-based), yang dapat berbasis kontrak individual, dan capaian hasil belajar peserta-didik dinilai dengan tolok-ukur apakah pembelajar ini dapat mencapai sasaran sasaran yang telah ditentukan sebelumnya.
Sesuai paham filosofinya yang berbasis pada konstructivisimes sosial itu, peran guru dalam SCT/L lebih diwarnai upaya pemberdayaan peserta didik, termasuk mendesain tugas-tugas pembelajaran yang menantang pembelajar untuk secara aktif menelaah masalah yang dipelajarinya untuk kemudian membangun pemahaman dan merumuskan sendiri simpulan-simpulan hasil belajarnya (Duffy & Jonassen, 1992), memfasilitasi peserta didik dalam aktivitas kognitif belajarnya dengan cara memberi pembelajar berbagai bentuk bantuan terstruktur (scaffolds), termasuk secara langsung memberi model (atau teladan) untuk ditelaah dan dipelajari siswa, memberi struktur kegiatan pembelajaran dan kesempatan bagi pembelajar untuk mencerna hal-ihwal yang tengah dipelajarinya, dan memberikan dorongan dan dukungan sinambung untuk memastikan terjadinya pembelajar optimal bagi peserta-didik (Hogan & Pressley, 1977).
Kesesuaian Pedagogi SCT/L dengan Konteks Pendidikan di Indonesia
Dalam praktik pembelajaran di kelas di Indonesia, peserta-didik secara umum diposisikan sebagai penerima pengetahuan–yang bersumber dari penjelasan guru dan/atau dari buku teks dan materi ajar lainnya. Cara belajar seperti ini?betapapun membuat pembelajar sibuk?dipandang pasif karena peserta-didik hanya mencerna informasi yang sudah jadi. Dari perspektif pedagogi SCT/L, cara belajar seperti ini dipandang merugikan peserta-didik karena kesempatan mereka membangun pengetahuan sendiri menjadi hilang lantaran ditalangi guru atau penulis buku teks. Barangkali oleh karena itulah berbagai dokumen resmi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan seperti Sistem Pendidikan Nasional (2003), Undang-undang Guru No. 13 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta Peraturan Menteri Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru telah menyerukan pentingnya guru dan dosen untuk melibatkan peserta didik ke dalam kegiatan aktif dalam membangun pemahaman dan pengetahuannya sendiri.