Tuntutan terhadap Dosen, Guru, dan Mahasiswa Era Digital

0
609 views

  

Mengajar dan Belajar di Tengah Persimpangan

Tuntutan Mutu dengan Kendali Berujukan Jamak:                                                                   

Tuntutan terhadap Dosen, Guru, dan Mahasiswa Era Digital

Bachrudin Mustafa, Ph.D – Profesor Literasi, UPI Bandung

    Dosen dan guru yang direkrut ke Perguruan Tinggi dan Persekolahan, kemudian memasuki lingkungan kerja dua-tiga tahun belakangan ini saya bayangkan gamang dan “mati-langkah” karena bingung melayani tuntutan kendali mutu yang menggunakan parameter beraneka. Tuntutan yang banyak tidak-mengapa asalkan koheren. Akan tetapi, tuntutan yang ada belakangan ini membingungkan karena indikator-indikatornya berbenturan satu dengan yang lainnya. Kriteria semacam ini rentan terhadap multi-tafsir dan dapat mengundang perselisihan yang dapat menjadi kontra produktif.

    Komunita edisi kali ini menyajikan topik dan narasumber hebat, jika tidak dapat dikatakan “lebih hebat” dibanding nara-nara sumber edisi terdahulu. Kali ini kita diberi kesempatan untuk mengikuti dari dekat pikiran orang nomor satu di APTISI (Asosiasi Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia): Prof. Dr. Budi Djatmiko, M.Si, MEI. Dari paparan pikiran beliau, saya akan mengomentari enam hal, termasuk yang saya beri tajuk sebagai berikut.

 Manajemen Kisruh;
 Isu Tolok Ukur yang Multi-arah dan Berbenturan
 Mutu PT Unggul: Dari Tudingan “PT Menara Gading” ke Kesadaran Baru untuk Melayani Masyarakat yang Lebih Luas;
 Pergeseran Tata-nilai Masyarakat: dari Orientasi Gelar ke Orientasi Keterampilan Kerja;
 Perubahan Cara Kerja Pendidikan Tinggi dalam Merespon Gambaran Tuntutan Generasi Z dan Generasi Alfa.
 Bebenah Diri dalam Menyonsong Zaman yang Lebih Baik: Tuntutan terhadap Dosen, Guru, dan Mahasiswa Era Digital

Isu Manajemen Kisruh

  Tergantung kerapihan aturan main yang telah disepakati dan berbagai pihak utama yang “bermain” di lembaga terhormat yang disebut Perguruan Tinggi (PT) ini, pihak pimpinan dan pelaksana manajemen seyogianya tidak perlu gontok-gontokan, karena segala sesuatunya – dapat diatur dengan musyawarah dan mufakat. Bukankah prinsip musyawarah-mufakat masih relevan untuk urusan kepemimpinan Pendidikan Tinggi (PT) di negeri ini? Kata narasumber kita, “(P)ermasalahan dalam PT disebabkan oleh aturan main yang tidak jelas dan kadang-kadang satu sama lainnya tidak menaati aturan tersebut.” Kalau hal ini merupakan pernyataan faktual yang akurat, sangatlah disayangkan bahwa kaum terdidik di lembaga pendidikan tinggi kita masih ada yang belum mampu mengurus dirinya secara tertib, sehingga kinerja profesionalnya terganggu.

  Konon—dahulu kala ketika tolok-ukur mutu masih sederhana—kekisruhan manajemen dapat dengan mudah diselesaikan karena mungkin memang masalahnya jelas dan dapat dengan tegas dikenali baik-atau-buruknya atau dapat diurai benar-dan-salahnya. Pertanyaannya sekarang: mungkinkah kita kembali ke rumusan sederhana yang tegas – senyampang/sekiranya kita, dengan itu, kita menyepakati pengajaran dan prestasi hasil-belajar yang merupakan salah satu core business PT?

  Dari sisi dosen, guru (dosen dan guru sebagai orangtua murid) seyogianya isunya sederhana: pembelajar memiliki hak untuk memperoleh layanan pendidikan, pembelajaran, dan pembimbingan yang sebaik-baiknya. Bukankah hal ini merupakan isu yang jelas dan, oleh karena itu, ia harus diperioritaskan atas nama integritas kita sebagai insan aktivis PT?

.

Isu tolok-ukur mutu yang multi-arah dan seringkali saling bertabrakan

  Ini seharusnya tidak boleh terjadi: kasus yang menarik untuk dikomentari pada ruang terbatas ini adalah multi-arah yang dibidikkan terhadap tingkah-laku “non-akademik” yang dilakukan berbagai pihak terhadap lembaga pendidikan tinggi (PT), tetapi dampak-ikutannya dijadikan tolok-ukur nilai yang disematkan kepada PT di Indonesia. “Tiket mutu” yang dimaksud, antara lain, adalah yang berikut:

 Sejauh mana sebuat PT mengalami kunjungan luas dalam website oleh masyarakat luas (silakan pelajari cara kerja WEBOMETRICS).
 Sejauh mana PT menerapkan kurikulum “Kampus Merdeka Merdeka Belajar” seperti diindikasikan parameter “pertukaran mahasiswa” di dalam dan luar negeri? Sejauh mana dosen dapat memberikan kontribusi kepada dunia usaha dan bisnis?
 Sejauh mana suatu PT mengupayakan pengadaan kelas internasional? Seberapa besar lulusan suatu PT bekerja di industri /atau perusahaan multi-nasional yang termasuk dalam kategori 500 perusahaan terbaik di dunia?

  Banyak kasus-kasus serupa yang digambarkan di atas dipakai untuk menilai PT. Ini tidak fair karena parameter yang digunakan tidak-jelas-keterkaitannya dengan kualitas pembelajaran, kualitas hasil belajar yang diperoleh mahasiswa.

  Kalau kita biarkan cara berpikir ini berkembang terus, saya kuatir kita (secara beramai-ramai) tengah terperosok dalam pusaran penilaian “pihak luar” yangngawur”. Oleh karena itu, demi ketertiban cara berpikir dan izzah kita sebagai komunitas terpelajar di PT, saya kira kita harus mulai sangat selektif dalam mengikuti “pemeringkatan-ini-dan-itu” dan ujung-ujungnya kita korbankan sumberdaya yang kita miliki atas nama label-label yang orang lain telah tetapkan untuk PT kita.

  Dengan sikap kehati-hatian yang kita bicarakan ini, kita dapat mulai dengan seksama dan serius “bebenah ke dalam”, dan mengurusi amal-ibadah keilmuan kita masing-masing. Bagi kita di PT, yang “wajib” dan yang “sunnah” sudah jelas dan tegas.

  Tegasnya, kita urusi saja masalah peningkatan layanan dan kualitas pembelajaran dulu, selain kita perbaiki masalah kualitas penelitian dan pengabdian kepada masyarakat (Tridharma PT). Dalam hal ini, yang saya usulkan adalah fokus pada bidang pokok dulu—mungkin dengan orientasi tata-nilai yang diperbaiki—sehingga PT kita berfungsi optimal bagi masyarakat luas yang dilayaninya.

.

Isu tuduhan “PT Menara Gading” dan Kesadaran Baru untuk Melayani Masyarakat yang Lebih Luas

  Melalui suara narasumber kita yang baik, saya merasa bangga ketika mengetahui niat baik yang telah diangkat ke permukaan (oleh Kumunita edisi sekarang ini) bahwa hubungan PT di Indonesia dengan lingkungan masyarakat yang membesarkannya kini berkembang membaik. Melalui berbagai jalur kerja-sama dan wahana “silih asih dan silih asuh” masyarakat pengelola PT dan masyarakat-umum menjalin berbagai kerjasama simbiose-mutualistis “saling-menitipkan” dan “saling membantu” dalam semangat membangun kesejahteraan bersama.

  Contoh konkret yang dapat disoroti adalah kerja-sama APTISI dengan PEMDA-PEMDA dan APTISI turut serta memikirkan secara aktif dan empatis mendata berbagai persoalan sosial-kemasyarakatan yang terjadi di lingkungan sekitar dan bagaimana upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasinya.

  Inisiatif merangkul masyarakat yang dibuat PT ini patut diacungi jempol karena PT kita—ternyata—masih memiliki jati-diri melayani dan merangkul masyarakat yang melingkupinya. Contoh konkretnya—antara lain—adalah upaya merangkul PEMDA untuk “membaca” kemungkinan dengan mengidentifikasi “daerah rawan.”

  Inisiatif semacam ini merupakan perangkulan dan pengabdian yang dilatari motif luar-biasa. Ini—sekali lagi—merupakan inisiatif jempolan, dan bukan business as usual.

.

Isu Pergeseran Tata-nilai Masyarakat: dari Orientasi Gelar ke Orientasi Keterampilan Kerja

  Menyikapi kenyataan arah kependidikan yang membagi dua antara pendidikan akademik dan pendidikan vokasional, narasumber Komunita yang merupakan orang nomor satu di APTISI itu “membaca” pergeseran nilai telah terjadi di masyarakat terdidik di Indonesia. Yakni, pergeseran nyata dari orientasi gelar ke orientasi kerja.

  Ada data yang menggembirakan dari yang dipaparkan narasumber ini: bahwa inisiatif yang dikatakannya sebagai arah yang menggembirakan itu sebenarnya memang telah nyata-nyata terjadi: gagasan link-and-match (hubungkan dan jodohkan) yang pernah digagas beberapa dasawarsa yang lalu kini telah memperoleh momentumnya yang tepat dan produktif. Contohnya di Jawa Barat, yang dalam kata-kata narasumber kita diikatnya “kampus di dalam industri” sehingga keterterapan hasil belajar dapat dicek dan diperbaiki on the spot melalui cara kerja “hubungkan dan jodohkan” seperti yang dikatakan tadi.

  Dalam keadaan seperti ini, yang diperlukan adalah belajar—kita belajar melalui proses yang benar; kita perlu belajar memberi ruang dan waktu bagi prosesproses belajar yang wajar di antara para pembelajar dewasa yang memiliki latarbelakang wawasan dan pengalaman yang mungkin berbeda. Dalam keadaan seperti ini, kita perlu menekankan “ke-kita-an” kita dan kita tekan ke titik minimal “ke-kami-an” dan “kekamuan” yang dapat muncul kapan saja di antara komunitas yang majemuk ini.

  Tetaplah sabar dalam memfasilitasi mewujudnya gagasan cemerlang di belakang link-and-match ini sampai benar-benar kita dapat mengecap hasilnya. Kita yakin—dengan niat mengutamakan kemanfaatan bagi orang banyak—gagasan ini akan jadi pola yang menguntungkan bagi pendidikan dan pengembangan sumberdaya insani di negeri kita.

.

Perubahan Cara Kerja Pendidikan Tinggi dalam Merespon Gambaran Tuntutan Generasi Z dan Generasi Alfa

  Dengan berbagai caranya yang “simpang-siur” banyak spekulasi berseliweran yang kita baca dan wacanakan bahwa anak-anak kita, generasi yang kita labeli dengan “generasi Z” dan “generasi Alfa” merupakan mahluk asing yang memerlukan suatu “cara hidup” dan “kehidupan” yang asing pula. Sebagai dosen dan aktivis di PT kita seyogianya jangan terbius oleh yang hal-hal yang tampak beda. Sebaliknya, kita sebaiknya memandang generasi mendatang (baik Z maupun Alfa) sebagai mahluk sosial seperti kita juga. Cuma saja, konteks yang dihadapinya—dalam beberapa hal—berbeda.

  Meskipun demikian, keperluan belajar generasi Z dan genarasi Alfa akan sama saja seperti generasi sebelumnya: mereka perlu mengetahui konsep-konsep yang melekat pada kenyataan hidup yang dilakoninya, dan mereka memerlukan prosedur-prosedur yang akan memungkinkannya berkembang lebih terampil dan mereka harus memahami kasus-kasus yang terjadi dalam kehidupan yang mungkin dirasakan dan/atau disaksikannya.

  Dengan cara memosisikan situasi seperti ini, kita aktivis di PT tidak perlu panik tetapi, memang, kita perlu memutakhirkan pengetahuan kita khususnya yang bertalian dengan basis cara-pikir kita: membaca, menulis, dan berpikir kritis melalui berbagai modalitas pikiran kita.

Bebenah Diri Menyonsong Zaman yang Lebih Baik: Tuntutan terhadap Dosen, Guru, dan Mahasiswa Era Digital

  Dari cara esei ini digelar dan gagasan utamanya disajikan, mungkin telah jelas bagi khalayak pembaca Komunita bahwa semangat yang menonjol melatari tulisan ini adalah rasa-tanggungjawab kita sebagai kaum terdidik terhadap generasi muda yang lahir dan berkembang jauh berada di belakang. Dalam rangka melanjutkan dan mendukung tumbuh-kembang generasi penerus yang strategis dan optimal, kita diminta mengaji diri, mempelajari apa kekurangan dan kelebihan kita sebagai mahluk budaya, dan kita diminta membayangkan peran baru yang mungkin dituntut keadaan masa datang agar kita sebagai kelompok memiliki peran bermakna di masa depan.

  Mengikuti pemikiran nara-sumber Komunita edisi kali ini, saya menawarkan elaborasi model pembelajaran berbasis “pelatihan” (coaching) seperti dipaparkan dalam bagian akhir artikel pemikiran ini.

  Beringsut dari model dosen/model guru tahun 1980-an yang diposisikan sebagai sumber ilmu pengetahuan yang memberikan arahan dan buku-buku rujukan yang ditulisnya sendiri, para dosen dan guru dasawarsa 2000-an ke atas diharapkan beralih fungsi. Untuk dapat melayani dan mendampingi generasi Z yang lahir dasawarsa 2010 dan sesudahnya, perangkat peran baru yang diindikasikan adalah posisi dosen/guru sebagai pelatih (coach).

  Sebagai pelatih, tentu saja dosen harus menunjukkan kinerja yang mumpuni sebagai coach. Kemampuan ini dicirikan dengan tiga jenis basis pengetahuan: pengetahuan teoretis yang relevan dengan segala komponen konseptual yang mendukungnya; pengetahuan prosedural yang merupakan buah dari ketelatenan latihan yang mendarah-daging; dan pengetahuan kasus-kasus yang relevan (yang diperoleh dosen dan guru melalui membaca riset dalam bidangnya).

  Mungkin dalam waktu dekat ini, para dosen dan guru perlu segera diberi dukungan dalam bentuk “pengayaan dan latihan”, yang akan memungkinkannya dapat memerankan peran barunya dengan baik sebagai coach.

  Berikut ini disampaikan dalam garis besar apa-apa saja yang perlu dilatihkan kepada para pelatih (coach):

 membaca dan menulis yang baik;
 membaca kritis;
 menulis akurat dan kritis;
 membaca dan menulis untuk menciptakan pengetahuan baru (syntopical reading & synthesis writing)

  Selain kemampuan membaca dan menulis yang harus dikembangkan sampai pada tingkat mahir-dan-fungsional, para guru yang ada dalam sistem perlu dimutahirkan pengetahuan dan keterampilannya sehingga memungkinkan baginya untuk mengajarkan secara eksplisit materi-materi pilihan yang memungkinkan munculnya para pembelajar era-digital yang terampil berpikir dan terampil mengoperasikan perangkat pembelajaran yang ada dalam jangkauannya.

  Secara lebih terinci, dalam pembelajaran eksplisit pola yang telah teruji sangat berhasil dalam riset adalah pola-tiga-bagian berikut: “demonstration, modeling, explanation; guided practice with feedback; dan independent practice.”

  Dengan cara yang lain, kita dapat menjalankan pengajaran konsep dan keterampilan ini dalam tiga-tahapan:

 I DO ITGuru memberikan model dan menjelaskan kepada siswa pembelajar. Watch me do it first.
 WE DO ITGuru dan murid sama-sama melakukan apa yang tadi didemonstrasikan oleh guru, dengan feedback dari guru. “Let’s do it together, and I will help you.”
 YOU DO ITMurid melakukan latihan sendirian. Now you do it on your own.” Tahap ini merupakan latihan mandiri yang ketuntasannya harus dipastikan sampai mahir. Sampai pada level otomatis.

  Model pengembangan konsep dan kemampuan prosedural tiga tahap ini, bila dilakukan secara akurat dan dengan keseriusan, akan dapat mengentaskan mahasiswa dari ketakmanpuannya berpikir dan bertindak strategis. Hal inilah, persisnya, yang selama ini menguatirkan kita sebagai warga PT.

  Insya Allah, kita dapat melakukannya dengan baik asalkan kita disiplin dan fokus pada garapan utama kita sebagai dosen dan guru. Insya Allah demikian adanya.

.