Friday, August 8, 2025
Home Blog Page 2

Cultivating an Academic Atmosphere on Campus: Challenges and Paradoxes

0

The academic atmosphere in higher education is not merely about creating a comfortable learning environment—it encompasses a wide range of elements that cultivate a high-quality academic ecosystem. More than a supporting factor, the academic atmosphere serves as a fundamental foundation in shaping graduates who are both intellectually competent and morally grounded.

As articulated by Ernest Boyer (1990), Cox (2004), and the Indonesian Law No. 12 of 2012 on Higher Education, a true academic atmosphere is one that fosters quality, ethical, and innovative learning processes. It includes key elements such as adequate physical infrastructure, the upholding of academic values, the development of an intellectual culture, the protection of academic freedom, and constructive interactions among faculty members, students, and administrative staff. These factors work together to create an ecosystem in which the academic community can thrive.

In the absence of a conducive academic environment, the learning process becomes purely mechanical and transactional, failing to produce individuals who are not only intellectually capable but also strong in character and equipped to contribute meaningfully to society.

A robust academic atmosphere supports the advancement of intellect, creativity, and innovation in higher education. It encourages teaching, research, and community engagement while embodying a culture of free thought, innovation, and dynamic interaction between students and lecturers (Clark, 1983). Thus, fostering such an environment means not only enhancing intellectual capacity but also building strong moral character.

Developing a solid academic atmosphere requires a holistic approach, involving all components of the academic ecosystem—faculty, students, administrative staff, and university leadership. Higher education institutions bear the responsibility of producing graduates who excel not only academically, but also uphold high moral standards, professional ethics, and social awareness.

To realize this ideal, institutions must create an enabling environment—an ecosystem that provides freedom and support for academic staff to carry out the Tri Dharma of Higher Education: teaching, research, and community service. This includes policies that safeguard freedom of thought and expression, adequate support facilities like libraries and laboratories, and fair compensation for academic staff to ensure they can fulfill their duties with full dedication.

However, efforts to build a healthy academic atmosphere often face a troubling paradox: the tension between academic ethics and the economic, social, and cultural rights of lecturers. This paradox becomes evident when the demands of professionalism and ethical conduct clash with the lived realities of academic staff.

Numerous incidents have compromised academic integrity. A recent scandal at Lambung Mangkurat University (ULM) involving manipulation of the requirements for professorship highlights systemic flaws in faculty promotion and the quality of higher education in Indonesia. Similarly, unethical practices in proposing professorial titles have been flagged by the University of Indonesia (UI) and the Islamic University of Indonesia (UII). At the start of 2025, a doctoral dissertation submitted at UI was suspected of plagiarism—an act that undermines academic integrity and the university’s reputation. Although UI reviewed the matter and opted for educational intervention rather than retraction, this decision sparked criticism from parts of the academic community, including UI alumni who called for the dissertation to be annulled.

The Coalition for Academic Freedom (KIKA) reported 27 violations of academic freedom in 2024 alone, including student repression and manipulation of academic credentials. These cases underscore the ongoing ethical challenges across Indonesia’s more than 3,115 public and private universities.

Collective efforts are therefore crucial in fostering a culture of integrity and dignity in academia. Yet, the harsh realities faced by lecturers often hinder these ideals. Administrative burdens, pressure to publish in high-impact journals, and limited incentives for teaching create a dilemma for lecturers who must choose between upholding academic ethics and safeguarding their socio-economic rights.

This paradox becomes stark when we consider that academic ethics demand adherence to scholarly integrity—avoiding plagiarism, data fabrication, or manipulation; performing the Tri Dharma with sincerity and independence; and responsibly mentoring students, even under heavy workloads. At the same time, lecturers are entitled to basic economic, social, and cultural rights. These include fair wages, research funding, legal protection, health benefits, work-life balance, and the freedom to think, express, and contribute to knowledge without repression.

The imbalance between academic demands and faculty welfare is a key factor in the erosion of academic integrity.

So, what should lecturers do, having chosen this profession? Their role in the higher education system is indispensable. Therefore, in addition to maintaining a positive mindset, lecturers must also take positive actions. These include: upholding academic ethics collectively; optimizing access to their rights—economic, social, and cultural—by leveraging grants and advocating for policy change; adapting to global shifts by expanding research capacity and developing academic entrepreneurship skills; and pushing for academic reform to establish a fairer, more sustainable higher education system through policies that proactively balance academic responsibilities and educator welfare.

Moreover, the role of institutions and government is pivotal in ensuring that existing regulations are meaningfully implemented. Higher education reform must address the well-being of faculty, protect academic freedom, and develop evaluation systems that prioritize not only the quantity of publications but also the holistic quality of academic contributions.

In doing so, we can begin to resolve the paradox and allow universities to truly become centers of academic excellence. Higher education must not only produce job-ready graduates, but also individuals ready to contribute and drive meaningful change in the world. Wallahualam.

Vivat Widyatama, Vivat Civitas Academica, Vivat Indonesia, and our beloved Nusantara. (lee-@i)

Redaction – Lili Irahali

Membangun Academic Atmosphere Pendidikan Tinggi: Tantangan dan Paradoks

0

Academic atmosphere di pendidikan tinggi bukan hanya sekadar suasana belajar yang nyaman, tetapi mencakup berbagai aspek yang menciptakan lingkungan akademik berkualitas tinggi. Academic atmosphere juga bukan sekadar elemen pendukung, tetapi fondasi utama dalam membentuk lulusan yang kompeten secara intelektual dan berintegritas.

Menurut Ernest Boyer (1990) dan Cox (2004), serta Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, academic atmosphere adalah lingkungan akademik yang mendukung terciptanya proses pembelajaran berkualitas, inovatif, dan beretika. Lingkungan ini mencakup beberapa aspek utama: infrastruktur fisik yang memadai, nilai-nilai akademik yang dijunjung tinggi, budaya intelektual yang berkembang, kebebasan akademik yang dilindungi, serta interaksi yang membangun hubungan positif antara dosen, mahasiswa, dan tenaga kependidikan. Faktor-faktor ini membentuk ekosistem yang memungkinkan sivitas akademika berkembang secara optimal.

Tanpa lingkungan akademik kondusif, proses pembelajaran hanya akan bersifat mekanis dan transaksional, sehingga gagal melahirkan individu yang tidak hanya cerdas secara akademik, juga memiliki karakter kuat dan mampu berkontribusi bagi masyarakat.

Academic atmosphere  memang merujuk pada lingkungan akademik yang kondusif bagi perkembangan intelektual, kreativitas, dan inovasi dalam dunia pendidikan tinggi, lingkungan akademik yang mendukung kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, serta  mencerminkan budaya akademik yang mengutamakan kebebasan berpikir, inovasi, serta interaksi antara mahasiswa dan dosen (Clark, 1983).

 Karena itu, academic atmosphere  yang berkualitas bukan hanya soal meningkatkan kompetensi intelektual, tetapi juga membentuk bangunan karakter yang kuat. Academic atmosphere perguruan tinggi yang kuat juga memerlukan pendekatan holistik yang melibatkan seluruh komponen ekosistem akademik mulai dari dosen, mahasiswa, tenaga kependidikan, serta manajemen perguruan tinggi.

Perguruan tinggi memiliki tanggung jawab melahirkan lulusan yang tidak hanya unggul secara akademik tetapi juga memiliki moralitas tinggi, etika profesional, dan kesadaran sosial. Mewujudkan lingkungan akademik yang kondusif memerlukan enabling environment, yaitu ekosistem yang memberikan kebebasan dan dukungan bagi sivitas akademika, terutama dosen, dalam menjalankan Tridharma Perguruan Tinggi secara optimal. Hal ini mencakup kebijakan akademik yang melindungi kebebasan berpikir dan berekspresi, fasilitas pendukung seperti perpustakaan dan laboratorium yang memadai, serta kesejahteraan yang layak bagi tenaga akademik agar mereka dapat menjalankan tugasnya dengan dedikasi tinggi.

Namun, di tengah upaya mewujudkan academic atmosphere yang kondusif, muncul paradoks antara etika akademik dan hak ekonomi, sosial, serta budaya dosen. Problematika paradoksial ini terjadi ketika tuntutan profesionalisme dan etika akademik berbenturan dengan kondisi nyata yang dihadapi dosen dalam aspek ekonomi, sosial, dan budaya.

Banyak kasus mencederai integritas akademik, seperti baru-baru ini skandal manipulasi syarat pengangkatan guru besar di ULM, kasus ini mencerminkan permasalahan sistemik dalam proses pengangkatan akademisi, serta kualitas pendidikan tinggi di Indonesia.  Lalu praktik tidak etis dalam pengusulan jabatan profesor yang disoroti Dewan Guru Besar UI dan UII, serta awal 2025 dugaan plagiarisme dalam disertasi doktoral seorang tokoh promovendus yang disusun pada studi di UI diduga mengandung unsur plagiarisme yang mencederai integritas akademik dan marwah kampus. UI telah melakukan evaluasi dan memutuskan memberikan pembinaan kepada yang bersangkutan agar meningkatkan kualitas disertasinya. Walaupun hal ini disesalkan sebagian masyarakat akademik, termasuk Alumni UI yang mendesak disertasi tersebut dibatalkan.

Bahkan, Koalisi untuk Kebebasan Akademik (KIKA) mencatat 27 kasus pelanggaran kebebasan akademik sepanjang 2024, termasuk represi terhadap mahasiswa dan manipulasi gelar akademik. Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa tantangan terhadap etika akademik masih menjadi masalah serius di lebih dari 3.115 perguruan tinggi di Indonesia, baik perguruan tinggi swasta maupun negeri.

Oleh karena itu, diperlukan upaya kolektif untuk memperkuat budaya akademik yang berintegritas dan bermartabat. Sayangnya, realitas yang dihadapi dosen sering kali tidak mendukung idealisme ini. Tekanan administratif, tuntutan publikasi di jurnal bereputasi, serta minimnya insentif untuk pengajaran membuat dosen berada dalam dilema antara menjunjung tinggi etika akademik dan memperjuangkan hak ekonomi, sosial, dan budaya mereka.

Paradoks ini terjadi, ketika tuntutan profesionalisme dan etika akademik berbenturan dengan kondisi nyata yang dihadapi dosen dalam aspek ekonomi, sosial, dan budaya. Etika akademik menuntut dosen menjunjung tinggi integritas ilmiah dengan menghindari plagiarisme, fabrikasi dan manipulasi data; menjalankan tridharma dengan idealisme tanpa terpengaruh kepentingan komersial atau eksternal; lalu membimbing mahasiswa dengan penuh tanggungjawab meskipun beban kerja meningkat.

Sementara  di sisi lain, dosen sebagai tenaga akademik memiliki hak-hak dasar (ekonomi, sosial, dan budaya) yang masih memerlukan advokasi. Hak ekonomi berupa gaji, tunjangan riset dan insentif sesuai dengan kontribusi akademik; Hak sosial berupa perlindungan hukum, jaminan kesehatan, keseimbangan hidup dan kerja; lalu Hak budaya berupa kebebasan berpikir, berekspresi, dan berkontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan tanpa represi. Ketidakseimbangan antara tuntutan akademik dan kesejahteraan dosen sering kali menjadi faktor utama yang menyebabkan degradasi integritas akademik.

Lalu apa yang harus dilakukan dosen yang sudah mengambil pilihan profesi mereka. Realitas kehadiran dan keterlibatan dosen dalam sistem pendidikan tinggi tidak bisa dihindari, karena itu selain dosen senantiasa berpikir positif, tentunya dosen perlu melakukan langkah-langkah positif pula.  Langkah-langkah meliputi: menegakkan etika akademik secara kolektif; mengoptimalkan hak ekonomi, sosial, dan budaya antara lain memanfaatkan hibah, juga advokasi kebijakan terkait kesejahteraan; beradaptasi terhadap perubahan global melalui jejaring global meningkatkan kapasitas riset, dan mengembangkan keterampilan kewirausahaan akademik; serta mendorong reformasi akademik guna menciptakan sistem pendidikan tinggi yang lebih adil dan berkelanjutan, dengan kebijakan yang lebih proaktif dalam menjaga keseimbangan antara tuntutan akademik dan kesejahteraan tenaga pendidik.

Selain itu, peran institusi dan pemerintah sangat penting dalam memastikan bahwa regulasi yang ada benar-benar diterapkan dengan baik. Reformasi kebijakan pendidikan tinggi harus mencakup peningkatan kesejahteraan dosen, perlindungan kebebasan akademik, serta sistem evaluasi yang tidak hanya berbasis kuantitas publikasi, tetapi juga kualitas kontribusi akademik secara holistik.

Dengan demikian, paradoks yang dihadapi dapat diminimalisir, dan universitas dapat menjadi pusat keunggulan akademik yang sesungguhnya. Perguruan Tinggi tidak sekadar menghasilkan lulusan yang siap bekerja, tetapi juga individu yang siap berkontribusi dan membawa perubahan positif bagi dunia. Wallahualam.

Vivat Widyatama, Vivat Civitas Academica, Vivat Indonesia dan Nusantara tercinta. (@lee)

 

Redaksi – Lili Irahali

Edisi Mei 2025

0

Perguruan Tinggi sebagai Penjaga Peradaban: Tantangan Moral di Era Pragmatisme Akademik

0

Oleh: Lili Irahali Staf Ahli Yayasan Widyatama   ARNOLD J. Toynbee, sejarawan besar Inggris dalam karya monumentalnya A Study of History (1934–1961) mene­kankan pentingnya dimensi moral dan religius dalam per­­kembangan peradaban. Peradaban tentunya bukan hanya akumulasi kemajuan teknis, tetapi refleksi dari nilai, krisis, dan harapan ma­nusia. Jika peradaban tidak dijaga secara etis dan bijak, ia bisa mengalami kemun­dur­an atau bahkan kehancuran. Mengambil contoh peradab­an Mesopotamia, Mesir Kuno, Yunani Kuno, Romawi Kuno, Cina Kuno (beberapa dinasti), India Kuno (peradaban Lembah Indus), Inca, dan Aztec surut disebabkan kombinasi faktor internal dan eksternal. Salah satu penyebab faktor internal adalah kemerosotan internal yang melingkupi: de­kadensi moral, korupsi, atau konflik politik. Oleh karena itu, “menjaga peradaban” berarti merawat keberlanjutan nilai-nilai lu­hur yang menopang hidup bersama, seperti keadilan, kebenaran, keindahan, dan solidaritas antarmanusia. Men­jaga peradaban juga adalah menjaga kemungkin­an masa depan.

Untuk itu, upaya menjaga peradaban me­nuntut keberanian me­lam­paui kenyamanan ma­sa kini, dengan visi jangka panjang yang mema­du­kan ilmu, iman, dan nilai-nilai kema­nusiaan. Sebagai­ma­na dicatat Yuval Noah Harari (2011, 2015) dalam Sapiens: A Brief History of Human­kind, dan Homo Deus: A Brief History of Tomorrow bahwa, kemajuan peradaban tidak akan ber­arti jika kehilangan arah moral dan kebijaksanaan eksistensial. Oleh karena itu, tugas sejarah kita  bukan hanya membangun, tetapi menjaga—agar pera­daban tetap manusiawi. Kemajuan peradaban tentunya diusung oleh masya­rakat itu sendiri. Tugas ini bukan sekadar tugas peme­rintah atau pemuka agama, melainkan tanggung jawab kolektif, terutama kalangan akademik, budayawan, dan kaum muda. Bahwa institusi-institusi dalam masya­rakat, termasuk lembaga pendidikan tinggi memiliki tanggung jawab dalam menghadapi tantangan mo­ral dan religius.​ Artinya bahwa institusi-institusi perguruan tinggi seharusnya tidak hanya fokus pada pengembangan intelektual semata, tetapi juga pada pembentukan nilai-nilai mo­ral dan spiritual dalam ma­syarakat.​Perguruan tinggi sebagai penjaga nurani bangsa me­miliki peran strategis dalam mendidik generasi-generasi untuk berpikir kritis sekaligus beretika agar tidak tercerabut dari akar sejarah dan tanggung jawab ke­ma­nusia­an.

Uraian di atas terasa se­ma­kin relevan di tengah si­tuasi perguruan tinggi saat ini, baik di Indonesia mau­pun secara global. Dalam perkembangan ter­kini, banyak perguruan tinggi terjebak dalam orientasi pragmatis: mengejar akreditasi, ranking, dan daya saing pasar tenaga kerja. Tanpa disadari, fokus perguruan tinggi sering bergeser dari misi mulianya: membentuk manusia kritis yang berintegritas, memiliki kesadaran moral, dan berjiwa melayani. Pemikiran Toynbee meng­i­ngatkan kita bahwa tan­tang­an yang dihadapi umat ma­nusia bukan sekadar tantangan teknis atau ekonomi, melainkan juga tantangan moral—tentang bagaimana manusia memperlakukan sesamanya, ling­kungan, dan nilai-nilai kebenaran itu sendiri. Demikian pula, John Henry Newman (1873) da­lam karyanya The Idea of a University menegaskan pen­­tingnya dimensi moral da­lam pendidikan tinggi yang menekankan bahwa perguruan tinggi ha­rus menjadi tempat “penanaman kebaik­an intelektual dan moral.” Juga Henry Ro­sovsky (1990) dalam The University: An Owner’s Manual berbicara tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara kebebasan akademik dan tanggung jawab sosial. Di Indonesia, fenomena “pembajakan akademik” me­lalui jual-beli gelar, pe­lang­garan etika penelitian, hingga budaya saling menutupi ke­salahan, menunjukkan bah­wa pendidikan tinggi kita sedang mengalami apa yang disebut Toynbee sebagai “loss of creative minority”—hilangnya kelompok kecil pemikir visioner yang mampu memandu perubahan so­sial dengan integritas moral. Mengacu pada pandangan dan fakta ini, sudah saatnya perguruan tinggi di Indonesia tidak hanya mengajarkan what to think (apa yang harus dipelajari), tetapi lebih penting lagi how to think (bagaimana berpikir secara kritis dan etis). Ini bukan semata-mata tentang melahir­kan lulusan kompeten, me­lain­kan membentuk manusia unggul—yang cerdas akal­nya, tajam nuraninya, dan kokoh prinsip moralnya.

Toynbee telah mengi­ngatkan kita hampir satu abad lalu, juga pemikir lainnya kemudian. Demikian pula diingatkan oleh Martha C. Nussbaum (1997) dalam Cultivating Humanity: A Classical Defense of Reform in Liberal Education, pendidikan tinggi harus membangun “warga dunia” (world citizens) yang mampu berpikir jernih tentang keadilan, menghormati mar­tabat semua manusia, dan menghidupkan tradisi kritisisme yang konstruktif. Kini, tantangan itu menjadi mendesak. Per­gu­ruan ting­gi harus kembali berani menjawabnya—de­ngan mem­perbarui kurikulum, membangun iklim dis­ku­si yang sehat, menumbuh­kan ke­­­teladanan moral,  meng­­­­hidupkan kembali mak­­­­­na­ sejati academic freedom yang bertanggung ja­wab. Kalau perguruan tinggi kehilangan dimensi kritis dan moral ini, maka bukan hanya ia gagal menjalankan misi­nya, tetapi juga ber­kontri­busi terhadap kemun­dur­an peradaban yang lebih luas. Oleh karena itu, seperti pesan para pemikir besar itu: perguruan tinggi tidak boleh hanya menjadi “pabrik ijazah,” tetapi harus menjadi “penjaga peradaban.” Wallahu a’lam.***

Sumber Artikel berjudul ” Perguruan Tinggi sebagai Penjaga Peradaban: Tantangan Moral di Era Pragmatisme Akademik “, selengkapnya dengan link: https://koran.pikiran-rakyat.com/opini/pr-3039313176/perguruan-tinggi-sebagai-penjaga-peradaban-tantangan-moral-di-era-pragmatisme-akademik?page=2

E-Magazine 41

0

 

GEN Z – Unlocking The New Era

0

Natasha Rusmin – Head of People Partner, PT. Dua Puluh Tiga

Generasi Z merupakan generasi digital yang hadir di tengah pesatnya perkembangan teknologi. Mereka tumbuh di era dimana internet dan perangkat digital telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Lahir antara tahun 1997 hingga 2012, generasi ini memiliki cara pandang dan karakteristik yang unik dalam menjalani kehidupan.

Sejak kecil, Generasi Z telah terpapar dengan berbagai perangkat digital – dari smartphone, tablet, hingga komputer. Mereka sangat mahir dalam mengoperasikan gadget dan bernavigasi di dunia digital. Media sosial bukanlah sesuatu yang asing, melainkan menjadi platform utama mereka dalam berinteraksi, mencari informasi, dan mengekspresikan diri. Instagram, TikTok, dan YouTube menjadi “teman dekat” dalam keseharian mereka.

Dalam hal pembelajaran, Generasi Z memiliki preferensi yang berbeda dari generasi sebelumnya. Mereka lebih nyaman dengan konten visual dan interaktif dibandingkan teks panjang. Video tutorial di YouTube atau infografis menarik di Instagram lebih mudah mereka cerna dibanding buku teks konvensional. Kemampuan multitasking mereka sangat tinggi – bisa belajar sambil mendengarkan musik, chatting dengan teman, dan mengerjakan tugas dalam waktu bersamaan.

Kesadaran sosial Generasi Z patut diacungi jempol. Mereka sangat peduli dengan isu-isu seperti perubahan iklim, kesetaraan gender, dan keadilan sosial. Melalui media sosial, mereka aktif menyuarakan pendapat dan mendukung gerakan-gerakan sosial yang sejalan dengan nilai-nilai mereka. Keberagaman bukan lagi sesuatu yang ditakuti, melainkan dilihat sebagai kekayaan yang patut dihargai.

Dalam konteks pekerjaan, Generasi Z memiliki pandangan yang berbeda tentang kesuksesan. Mereka tidak lagi terpaku pada karir konvensional atau bekerja di perusahaan besar. Banyak yang memilih menjadi content creator, membangun startup, atau mengejar passion mereka sebagai freelancer. Fleksibilitas waktu dan tempat kerja menjadi prioritas – mereka menginginkan kebebasan untuk mengatur jadwal sendiri sambil tetap produktif.

Di sisi lain, kehidupan yang sangat digital membawa tantangan tersendiri. Banyak dari Generasi Z yang mengalami kecemasan sosial dan kesulitan dalam komunikasi tatap muka. Mereka lebih nyaman berinteraksi melalui chat atau media sosial dibanding berbicara langsung. Ketergantungan pada teknologi juga menjadi isu yang perlu diperhatikan.Namun, di balik tantangan tersebut, Generasi Z memiliki potensi luar biasa. Kreativitas dan kemampuan berinovasi mereka sangat tinggi. Mereka tidak takut mencoba hal-hal baru dan berani mengambil risiko. Pemikiran entrepreneurial yang kuat membuat mereka mampu melihat peluang di tengah keterbatasan.

Dalam hal konsumsi, Generasi Z sangat selektif. Mereka tidak sekedar membeli produk, tapi juga mempertimbangkan nilai-nilai yang dibawa oleh brand tersebut. Isu sustainability dan ethical production menjadi pertimbangan penting. Mereka lebih memilih menghabiskan uang untuk pengalaman (traveling, konser, workshop) dibanding membeli barang-barang materi.

Yang menarik, meski hidup di era digital, Generasi Z mulai menunjukkan kerinduan akan authenticity dan koneksi yang nyata. Mereka mulai mencari keseimbangan antara kehidupan digital dan analog. Vinyl records kembali populer, buku fisik masih dicari, dan pertemuan tatap muka tetap dihargai – menunjukkan bahwa di tengah arus digitalisasi, sisi manusiawi tetap mereka jaga.

Generasi Z adalah generasi yang kompleks dan multidimensi. Mereka membawa perubahan besar dalam cara masyarakat berinteraksi, bekerja, dan memandang dunia. Meski kadang dianggap terlalu bergantung pada teknologi, sesungguhnya mereka sedang mencari cara untuk menggunakan teknologi secara bijak sambil tetap mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan. Mereka adalah generasi yang akan membentuk masa depan, dengan segala kelebihan dan tantangan yang mereka hadapi.

Sekitar 1 minggu yang lalu terdapat pada salah satu artikel dari situs ternama di Indonesia dengan judul “Ramai-ramai Perusahaan Pecat Gen Z, Ini Alasannya”. Dalam artikel tersebut dituliskan beberapa alasan sebagai berikut :

Kurangnya motivasi atau inisiatif – 50 persen

Kurangnya profesionalisme – 46 persen

Keterampilan berorganisasi yang buruk – 42 persen

Keterampilan komunikasi yang buruk – 39 persen

Kesulitan menerima feedback – 38 persen

Kurangnya pengalaman kerja yang relevan – 38 persen

Keterampilan pemecahan masalah yang buruk – 34 persen

Keterampilan teknis yang tidak memadai – 31 persen

Ketidakcocokan budaya – 31 persen

Kesulitan bekerja dalam tim – 30 persen

Sedih saya membacanya, dan terlintas apa yang dapat saya lakukan untuk membuka mata dan hati para generasi pendahulu dan menolong gen Z ini. Mengapa pikiran dan perasaan seperti itu muncul dalam diri saya?

Perusahaan kami, PT. Dua Puluh Tiga merupakan perusahaan dengan demografi karyawan hampir 80% adalah generasi Z, sekitar 17% generasi Y atau milenial, dan sisanya adalah generasi X. Dan rata-rata angka turn over sepanjang 2024 di perusahaan kami sebesar 0,6%, yang berarti dalam 2 atau 3 bulan belum tentu memiliki karyawan yang resign.

Bagaimana dengan angka employee satisfaction, employee engagement dan performance? Juni 2024, survey terakhir kami mencatat angka employee engagement pada 3.3 dari 4.0, employee satisfaction 3.04 dari 4.0, dan performance karyawan tercermin dari business growth perusahaan kami yang mencapai angka di atas 30% di tahun 2024.

  1. Dua Puluh Tiga merupakan perusahaan yang bergerak di bidang retail fashion yang mendistribusikan 2 (dua) brand legendaris yaitu Exsport Bags dan Bodypack. Exsport bags sendiri sudah ada sejak tahun 1979, dan merupakan “mother brand” dari seluruh brand yang ada di group kami. Untuk tetap menjaga eksistensi dan keberlangsungan brand, juga agar brand tetap relevan dengan market atau konsumen saat ini, tentunya kami perlu terus menyesuaikan diri dengan market kami di jaman sekarang. Oleh sebab itu kami perlu merekrut gen-Z untuk lebih mendalami dan memahami karakter konsumen kami.

Work hard, play hard. Apabila karyawan merasa senang dan terpenuhi aspirasinya pastinya mereka akan lebih loyal dan memberikan dampak positif kepada perusahaan. Dan salah satu penelitian mengungkapkan bahwa 56% gen-Z memutuskan akan meninggalkan pekerjaannya apabila tidak merasa happy. Apa yang kami lakukan? Kami membentuk dan menjalankan perusahaan kami dengan gaya corporate startup. Tentu saja masih ada unsur corporate karena kami perusahaan yang sudah berdiri sejak tahun 1979 dengan basic manufacture, tetapi pada bagian-bagian tertentu kami menjalankan dengan lebih kasual, berjalan dengan gaya startup.

Pola instruksi gabungan antara top-down dan bottom-up dengan menggunakan OKR (Objective Key Result) sebagai alat strategic planning kami, membuat teman-teman generasi Z ini dapat mengungkapkan aspirasi mereka terhadap sesuatu project. Kami memberikan ruang dan kepercayaan kepada mereka untuk mewujudkan ide-ide mereka, meskipun tetap dalam koridor yang sesuai dengan tujuan bisnis dan perusahaan.

Apa yang kami lakukan sebagai pimpinan? Kami mempersiapkan waktu dan diri kami menjadi mentor bagi mereka, bukan atasan. Sekali lagi, salah satu penelitian mengungkapkan 65% gen-Z membutuhkan feedback dari generasi pendahulunya. Oleh sebab itu kami menerapkan agar setiap pimpinan disiplin dengan budaya CFR (Conversation Feedback Recognition) yang dibangun dengan landasan culture perusahaan kami yaitu Trust Openess and Profesionalism, tentunya melengkapi setiap pimpinan juga dengan skill memberikan feedback yang positif.

Hasil survey yang lain mengungkapkan bahwa generasi ini memprioritaskan happiness, workforce positive culture dan diversity. Mengerti, empati, dan take action menjadi tiga hal yang sangat penting. Para pemimpin yang sudah lebih senior seharusnya mencoba mengerti kebutuhan teman-teman generasi Z kita. Setiap generasi merupakan produk dari generasi sebelumnya dan juga peristiwa besar yang terjadi pada masanya kan? Jadi, sudah seharusnya kita yang mengaku sudah lebih dewasa belajar melihat kebutuhan, mau mendengar aspirasi mereka, dan berjalan juga melihat dari sepatu dan mata mereka, bukan hanya menyalahkan dan complain.

Kami memberlakukan system kerja WFA (work from anytime and anywhere) dan memberikan mereka kepercayaan penuh. Work life integration, dimana setiap manusia mempunyai aspek lain selain pekerjaan di dalam kehidupannya yang harus mereka penuhi, dan bebas mengatur waktu untuk itu dengan syarat tanggung jawab pekerjaan selesai pada deadline yang sudah disepakati. Kami bukan menganggap mereka bawahan, tetapi partner. Sebisa mungkin kami menciptakan kantor kami seperti arena bermain, laboratorium bereksperimen, rumah sebagai tempat mereka pulang dan berkeluh kesah saat membutuhkan.

Apa yang kami dapatkan di posisi perusahaan? Ide-ide kreatif dan inspiratif yang bahkan di level kami tidak terpikirkan, itu yang mendorong pertumbuhan bisnis kami lebih dari 30% tahun ini. Loyalitas, dimana banyak perusahaan berjuang mengendalikan turn over gen-Z, bahkan mereka tidak mau keluar dari tempat kami. Mereka tidak mau menerima feedback? Justru mereka yang mengejar feedback dari kami, bagi kami d PT. Dua Puluh Tiga “feeback is a gift”.

Jadi, mari kita sama-sama mau mengerti, empati dan take action, tidak gengsi untuk berubah karena sudah tidak masanya lagi terdapat Batasan yang sangat lebar antara atasan, bawahan maupun setiap generasi. (oleh Natasha Rusmin)

Olah Kreatif Gen-Z, Bersekutu

Indonesia dalam waktu dekat akan mengalami bonus demografi yang seharus menjadi peluang untuk menjadikan Indonesia lepas dari jebakan sebagai Negara berpendapatan rendah. Namun mencapai hal tersebut merupakan tantangan yang tidak ringan, banyak hal yang harus dilakukan. Dan lagi bonus demografi tersebut dalam waktu dekat akan diisi oleh  Gen-Z yang populasi semakin besar dan berperan penting dalam pasar kerja.

Lembaga riset Deloitte menggambarkan karakteristik dan persepsi terhadap Gen-Z  (Tempo edisi 23 – 29 Desember 2024) menyebutkan Gen-Z adalah generasi pragmatis, menghindari rsiko, dan tidak berjiwa wirausaha karena hanya termotivasi oleh keamanan kerja. Disisi lain, mereka juga menganggap penting gaji, juga priuoritas lain, seperti keseimbangan kehidupan dan kerja, jam kerja yang fleksibel, tunjangan, manfaat asuransi. Juga persepsi mereka memandang penting bahwa bekerja pada organisasi dengan nilai yang sejalan dengan sikap mereka. Mereka juga melihat perusahaan berdasarkan kualitas produkk, tapi juga pada etika dan dampak social. Sementara penelitian Universitas Paramadina dan lembaga Continuum menyebutkan Gen-z mementingkan pengaakuan atas harga diri mereka ketika mencari pekerjaan. Mereka cenderung akan keluar dari perusahaan yang nilai-nilaing tidak cocok dengan diri mereka. Semisal ketidakcocokan dengan atasan, rekan kerja, dan juga budaya perusahaan. Banyak hal yang mendasari karekteristik dan persepsi mereka, antara lain: mereka mengalami tekanan social, pasca pandemic Covid-19, ketidakpastian ekonomi global, serta tekanan ekonomi keluarga, sebagai generasi sandwich (harus membiaya orangtua dan adik).

Ditengah situasi tersebut, Semesta (Serikat Merdeka Sejahtera) dari Sleman, Yogyakarta yang diinisiasi Gen-Z berupaya menciptakan ekosistem kerja yang sesuai dengan karakter mereka. Semesta  menjadi warna baru di tengah banyaknya serikat pekerja. Pendirian Semesta menurut Faisal Makruf – Ketua Umum – merupakan refleksi bersama teman-temannya susai unjuk rasa menolak Undang-Undang Cipta Kerja 2020  lalu.  Semesta yang beranggotakan 500 orang menjadi semacam ekosistem warga Gen-Z untuk saling membantu. Saat ini telah menelorkan satu perjanjian keraj bersama. Selain mengadvokasi para pekerja yang mengalami sengketa perburuahan, menggelar pelatihan untuk meningkatkan kemampuan, juga menyiapkan strategi diantaranya menyalurkan anggota ke koperasi milik serikat atau mitra serikat.

Etika Pemanfaatan Generative AI: Pentingnya Tanggung Jawab dan Transparansi

0

Murnawan, S.T., M.T.

Generative AI (GenAI) adalah salah satu inovasi teknologi paling menarik dalam beberapa tahun terakhir. Kemampuannya untuk menghasilkan teks, gambar, hingga video menawarkan potensi luar biasa bagi berbagai bidang termasuk  pendidikan, bisnis, dan hiburan. Namun,  dengan segala potensi ini, muncul tanggung jawab etis yang tidak bisa diabaikan. Bagaimana kita bisa memastikan pemanfaatan GenAI secara etis dan bertanggung jawab?

 I.    Misinformasi dan Hallucinations

Generative AI memiliki kemampuan luar biasa menghasilkan konten yang tampak manusiawi. Namun, salah satu tantangan etis terbesar yang dihadapi teknologi ini adalah potensi terjadinya misinformasi dan hallucinations.

  1. Misinformasi merujuk pada informasi yang salah atau menyesatkan yang dapat dengan mudah dihasilkan oleh GenAI. GenAI dapat menghasilkan artikel berita yang tampak valid namun berisi informasi yang tidak akurat. Ini terjadi karena model AI tidak selalu memiliki pemahaman yang mendalam tentang kebenaran konteks atau fakta yang ada, melainkan hanya memproses dan mengkombinasikan data yang tersedia untuk menghasilkan output yang terlihat masuk akal.

Contoh dampak misinformasi dalam berbagai situasi meliputi:

  • Politik: AI dapat digunakan membuat klaim politik palsu yang dapat mempengaruhi opini publik dan hasil pemilu.
  • Medis: Dalam bidang medis, misinformasi yang dihasilkan oleh AI dapat menyebabkan salah diagnosa atau perawatan yang tidak tepat.
  1. Hallucinations dalam konteks GenAI adalah fenomena di mana AI menghasilkan informasi yang tampaknya benar namun sebenarnya salah atau tidak berdasar. Ini terjadi karena AI bekerja berdasarkan pola data yang dilatih tanpa memiliki pemahaman nyata tentang makna dari data tersebut. Akibatnya, AI bisa menghasilkan konten yang tampak valid namun sebenarnya tidak memiliki dasar kebenaran.

Beberapa contoh nyata dari hallucinations:

  • Kesalahan Fakta: AI bisa menghasilkan fakta atau angka yang tampak meyakinkan namun tidak memiliki dasar kebenaran.
  • Konten Fiktif dalam Konteks Serius: Ada kasus di mana pengacara menggunakan hasil pencarian AI yang ternyata fiktif sebagai bukti dalam pengadilan yang dapat berakibat pada kerusakan serius dalam proses hukum.

c.    Mitigasi Misinformasi dan Hallucinations

     Untuk mengatasi risiko misinformasi dan hallucinations, beberapa langkah penting perlu diambil:

  1. Verifikasi Fakta: Selalu verifikasi keluaran AI dengan sumber-sumber terpercaya sebelum digunakan untuk keputusan penting.
  2. Audit dan Monitoring: Lakukan audit secara rutin pada sistem AI untuk mendeteksi dan memperbaiki bias serta kesalahan informasi.
  3. Penggunaan dalam Konteks yang Tepat: Batasi penggunaan AI dalam konteks di mana akurasi dan keandalan informasi sangat penting.
  4. Pendidikan dan Kesadaran: Mendidik pengguna tentang potensi risiko dan cara memitigasinya sangat penting.

Dengan memahami dan mengatasi tantangan etis ini, kita dapat memanfaatkan potensi penuh dari Generative AI sambil menjaga integritas dan kepercayaan dalam penggunaannya.

II.    Bias dan Keadilan

Generative AI membawa potensi luar biasa dalam menciptakan konten dan menyelesaikan berbagai masalah kompleks. Namun, seperti teknologi lainnya, GenAI tidak lepas dari tantangan etis, salah satunya adalah bias dan keadilan. Memahami dan mengatasi bias dalam GenAI adalah langkah krusial untuk memastikan output yang adil dan tidak diskriminatif.

  1. Bias dalam GenAI biasanya berasal dari data yang digunakan untuk melatih model. Jika data pelatihan mengandung bias, maka model AI yang dihasilkan juga akan menunjukkan bias serupa.

Beberapa sumber bias meliputi:

  • Bias Data: Dataset yang tidak representatif atau mengandung stereotip tertentu bisa menyebabkan AI menghasilkan output yang tidak adil.
  • Bias Algoritma: Algoritma yang dirancang tanpa mempertimbangkan keberagaman bisa memperkuat bias yang ada.

Beberapa contoh bias dalam GenAI meliputi:

  • Bias Gender: AI yang dilatih dengan data yang mencerminkan stereotip gender mungkin menghasilkan output yang memperkuat stereotip tersebut.
  • Bias Rasial: AI yang dilatih dengan data yang tidak mencakup representasi rasial yang memadai dapat menghasilkan hasil yang diskriminatif terhadap kelompok ras tertentu.

b.    Mengatasi Bias dan Meningkatkan Keadilan

Untuk mengatasi bias dan memastikan keadilan dalam penggunaan GenAI, beberapa langkah penting perlu diambil:

  1. Keberagaman dalam Data Pelatihan:
    • Pengumpulan Data yang Representatif: Memastikan bahwa dataset yang digunakan mencakup berbagai kelompok dan tidak memihak pada satu kelompok tertentu.
    • Penggunaan Data yang Berlisensi dan Terverifikasi: Menggunakan data yang telah diverifikasi dan memiliki lisensi yang tepat untuk mengurangi risiko bias.
  2. Audit dan Monitoring Secara Berkala:
    • Audit Bias: Melakukan audit secara rutin pada model AI untuk mengidentifikasi dan memperbaiki bias yang mungkin ada.
    • Kerjasama dengan Organisasi Spesialis Bias: Bekerjasama dengan organisasi atau ahli yang mengkhususkan diri dalam mendeteksi dan mengatasi bias.
  3. Transparansi dan Akuntabilitas:
    • Dokumentasi dan Transparansi: Mendokumentasikan proses pelatihan dan sumber data yang digunakan dapat membantu meningkatkan transparansi.
    • Feedback dan Koreksi: Mengimplementasikan mekanisme umpan balik di mana pengguna dapat melaporkan output yang tidak adil atau bias.
  4. Pendidikan dan Kesadaran:
    • Pendidikan Pengguna: Mendidik pengguna tentang potensi bias dalam AI dan cara mengidentifikasinya sangat penting.
    • Kesadaran Pengembang: Pengembang harus dilatih untuk menyadari dan mengatasi bias dalam setiap tahap pengembangan AI.

Melalui langkah-langkah ini, kita bisa bekerja menuju pemanfaatan Generative AI yang lebih adil dan inklusif, memastikan teknologi ini memberikan manfaat maksimal bagi semua orang tanpa diskriminasi.

III.     Hak Kekayaan Intelektual

Generative AI menawarkan kemampuan luar biasa dalam menghasilkan konten, namun juga menimbulkan kekhawatiran signifikan terkait hak kekayaan intelektual (Intellectual Property Rights/IPR). Pemahaman dan penanganan yang tepat atas isu-isu IPR adalah penting untuk memastikan bahwa penggunaan GenAI tidak melanggar hak cipta dan menghindari potensi masalah hukum.

a.    Sumber dan Risiko Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual

Generative AI dilatih menggunakan data dalam jumlah besar yang diambil dari berbagai sumber, termasuk teks, gambar, dan audio yang mungkin dilindungi oleh hak cipta.

Beberapa risiko utama yang terkait dengan IPR dalam penggunaan GenAI meliputi:

  • Replikasi Konten Berlisensi: GenAI dapat menghasilkan konten yang sangat mirip dengan karya berlisensi yang digunakan selama pelatihan.
  • Kurangnya Dokumentasi Asal Konten: Jika proses pelatihan dan sumber data tidak didokumentasikan dengan baik, sulit untuk menelusuri asal-usul konten yang dihasilkan oleh AI.

Beberapa contoh Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual:

  • Kasus Musik dan Gambar: AI yang dilatih pada dataset besar yang mencakup musik berlisensi atau gambar dapat menghasilkan karya yang mirip dengan karya asli.
  • Teks dan Artikel: AI yang menghasilkan teks atau artikel dengan gaya penulisan yang sangat mirip dengan penulis terkenal dapat menimbulkan masalah jika konten tersebut dianggap sebagai plagiat.

b.    Mitigasi Risiko Hak Kekayaan Intelektual

    Untuk mengurangi risiko pelanggaran hak kekayaan intelektual, beberapa langkah penting dapat di-

    ambil:

  1. Penggunaan Data Berlisensi dan Transparan:
    • Memastikan Lisensi yang Tepat: Hanya gunakan dataset yang telah memperoleh lisensi yang jelas dan sah.
    • Dokumentasi Proses: Mendokumentasikan proses pelatihan dan sumber data yang digunakan sangat penting untuk transparansi.
  2. Implementasi Metadata dan Tagging:
    • Metadata Tagging: Mengimplementasikan tagging metadata dalam dataset pelatihan untuk melacak asal-usul setiap konten yang digunakan.
  3. Konsultasi dengan Ahli Hukum dan Pakar IPR:
    • Konsultasi Hukum: Berkonsultasi dengan ahli hukum yang mengkhususkan diri dalam hak kekayaan intelektual.
    • Kolaborasi dengan Pakar IPR: Bekerja sama dengan pakar IPR untuk mengembangkan kebijakan internal yang kuat.
  4. Pengembangan Kebijakan Etika dan Penggunaan AI:
    • Kebijakan Penggunaan AI: Mengembangkan dan menerapkan kebijakan yang jelas terkait penggunaan AI dalam organisasi.
    • Peninjauan Berkala: Melakukan peninjauan berkala terhadap kebijakan dan praktik penggunaan AI.

Dengan langkah-langkah ini, organisasi dapat menggunakan Generative AI dengan cara yang lebih bertanggung jawab dan menghormati hak kekayaan intelektual, mengurangi risiko pelanggaran hak cipta dan memastikan bahwa teknologi ini memberikan manfaat yang maksimal tanpa melanggar hukum.

IV.    Privasi dan Keamanan Data

Generative AI memiliki kemampuan mengolah data dalam jumlah besar untuk menghasilkan konten baru yang inovatif. Namun, penggunaan data pribadi dalam melatih model AI menimbulkan tantangan besar terkait privasi dan keamanan data. Memahami dan menangani risiko ini adalah krusial untuk memastikan penggunaan GenAI yang etis dan sesuai dengan regulasi.

1.      Risiko Privasi

Generative AI dapat mengakses dan menggunakan data pribadi yang sensitif selama proses pelatihan. Beberapa risiko utama terkait privasi meliputi:

  • Pembuatan Profil Sintetis: Model AI yang dilatih menggunakan data pribadi bisa menghasilkan profil sintetis yang sangat mirip dengan individu nyata.
  • Pengungkapan Informasi Pribadi: Tanpa perlindungan yang memadai, data pribadi yang digunakan untuk melatih AI bisa bocor atau diakses oleh pihak yang tidak berwenang.

2.      Risiko Keamanan Data

Selain masalah privasi, keamanan data juga menjadi perhatian utama dalam penggunaan GenAI. Beberapa risiko keamanan data yang perlu diperhatikan meliputi:

  • Pencurian Data: Data yang tidak dilindungi dengan baik dapat dicuri oleh peretas yang kemudian bisa menyalahgunakannya.
  • Manipulasi Data: Model AI yang dilatih dengan data yang telah dimanipulasi bisa menghasilkan output yang salah atau menyesatkan.

3.      Mitigasi Risiko Privasi dan Keamanan Data

Untuk mengatasi risiko privasi dan keamanan data dalam penggunaan GenAI, beberapa langkah penting dapat diambil:

  1. Anonymisasi Data:
    • Penghapusan Identifikasi Pribadi: Sebelum menggunakan data untuk melatih model AI, pastikan semua informasi identifikasi pribadi telah dihapus atau dianonimkan.
    • Teknik Anonymisasi yang Kuat: Menggunakan teknik anonymisasi yang kuat seperti generalisasi, pertukaran data, atau pengacakan.
  2. Keamanan Data yang Kuat:
    • Enkripsi Data: Menggunakan enkripsi yang kuat untuk melindungi data selama penyimpanan dan transmisi.
    • Akses Terbatas: Menerapkan kontrol akses yang ketat untuk membatasi siapa saja yang dapat mengakses data pribadi.
  3. Kepatuhan terhadap Regulasi:
    • Mematuhi Regulasi Privasi: Memastikan bahwa penggunaan data pribadi untuk melatih model AI mematuhi regulasi privasi yang berlaku.
    • Penilaian Dampak Privasi: Melakukan penilaian dampak privasi secara berkala.
  4. Transparansi dan Dokumentasi:
    • Transparansi Proses: Mendokumentasikan proses pengumpulan dan penggunaan data untuk melatih model AI.
    • Komunikasi kepada Pengguna: Mengkomunikasikan kepada pengguna bagaimana data mereka akan digunakan dan dilindungi.

Dengan langkah-langkah ini, organisasi dapat memastikan bahwa penggunaan Generative AI dilakukan secara etis, menghormati privasi individu, dan melindungi data pribadi dari risiko keamanan yang potensial.

 V.      Displacement Pekerjaan

Generative AI tidak hanya mengubah cara kerja kita tetapi juga mempengaruhi dinamika pekerjaan di berbagai industri. Salah satu tantangan utama yang dihadapi adalah displacement pekerjaan, yaitu ketika teknologi AI menggantikan peran yang sebelumnya dilakukan oleh manusia. Memahami dampak ini dan mengambil langkah-langkah mitigasi adalah penting untuk memastikan transisi yang mulus dan adil bagi semua pihak.

1.      Risiko Displacement Pekerjaan

Adopsi teknologi GenAI dapat menyebabkan sejumlah pekerjaan menjadi usang, terutama pekerjaan yang bersifat rutin dan berulang. Beberapa sektor yang rentan terhadap displacement pekerjaan meliputi:

  • Layanan Pelanggan: Chatbots dan asisten virtual yang didukung oleh GenAI dapat menggantikan peran agen layanan pelanggan manusia.
  • Produksi Konten: Alat GenAI yang mampu menghasilkan artikel, laporan, dan konten kreatif lainnya dapat mengurangi kebutuhan akan penulis dan jurnalis manusia.
  • Analisis Data: Algoritma AI yang canggih dapat melakukan analisis data dengan cepat dan akurat, mengurangi kebutuhan akan analis data manusia.

2.      Dampak Psikologis dan Sosial

Displacement pekerjaan tidak hanya berdampak pada kehilangan pekerjaan tetapi juga pada kesejahteraan psikologis dan sosial pekerja. Beberapa dampaknya meliputi:

  • Ketidakpastian Ekonomi: Kehilangan pekerjaan dapat menyebabkan ketidakpastian ekonomi bagi pekerja dan keluarga mereka.
  • Penurunan Moral dan Motivasi: Pekerja yang merasa pekerjaan mereka terancam oleh AI mungkin mengalami penurunan moral dan motivasi.

3.      Langkah-langkah Mitigasi

Untuk mengurangi dampak negatif displacement pekerjaan akibat adopsi GenAI, beberapa langkah mitigasi dapat diambil:

  • Reskilling dan Upskilling:
    • Pelatihan Keterampilan Baru: Perusahaan dapat menyediakan program pelatihan untuk membantu pekerja mengembangkan keterampilan baru yang relevan.
    • Upskilling: Selain reskilling, upskilling yang fokus pada peningkatan keterampilan yang ada juga penting.
  • Transisi ke Peran Baru:
    • Dukungan Karir: Memberikan bimbingan karir dan dukungan transisi untuk membantu pekerja menemukan peran baru.
    • Program Magang dan Mentoring: Membangun program magang dan mentoring untuk membantu pekerja beralih ke peran baru.
  • Kebijakan Pekerjaan yang Fleksibel:
    • Kerja Fleksibel: Menerapkan kebijakan kerja yang fleksibel dapat membantu pekerja menyesuaikan diri dengan perubahan.
    • Pengaturan Pekerjaan Baru: Mengidentifikasi dan menciptakan peran baru yang muncul sebagai hasil dari adopsi teknologi AI.
  • Komunikasi dan Transparansi:
    • Komunikasi Terbuka: Perusahaan harus secara terbuka mengkomunikasikan perubahan yang akan terjadi akibat adopsi AI.
    • Inklusi Pekerja dalam Keputusan: Melibatkan pekerja dalam proses pengambilan keputusan terkait adopsi AI dan restrukturisasi organisasi.

Dengan langkah-langkah ini, dampak negatif displacement pekerjaan dapat diminimalkan dan transisi ke era AI dapat dikelola dengan lebih baik. Penting bagi perusahaan dan pembuat kebijakan untuk bekerja sama dalam menciptakan lingkungan kerja yang mendukung adaptasi teknologi sambil menjaga kesejahteraan pekerja.

VI.       Transparansi dan Akuntabilitas

Transparansi dan akuntabilitas adalah dua pilar utama yang harus dipertimbangkan dalam penggunaan Generative AI. Tanpa keduanya, kepercayaan pengguna terhadap teknologi ini bisa menurun dan risiko kesalahan atau penyalahgunaan meningkat.

1.      Pentingnya Transparansi

Transparansi dalam penggunaan GenAI berarti membuat proses dan hasil AI dapat dipahami dan diawasi oleh pengguna serta pihak yang berkepentingan. Ini melibatkan beberapa aspek utama:

  • Proses Pelatihan: Menginformasikan bagaimana model AI dilatih termasuk dataset yang digunakan, metode yang dipakai, dan algoritma yang diterapkan.
  • Keputusan Algoritma: Memastikan bahwa keputusan yang dibuat oleh AI dapat dijelaskan dan diuraikan.
  • Keterbukaan Sumber Data: Mengungkapkan sumber data yang digunakan untuk melatih model AI.

2.      Pentingnya Akuntabilitas

Akuntabilitas mengacu pada kemampuan untuk menanggung tanggung jawab atas tindakan atau hasil yang dihasilkan oleh AI. Ini mencakup beberapa aspek:

  • Penetapan Tanggung Jawab: Menentukan siapa yang bertanggung jawab jika terjadi kesalahan atau pelanggaran yang dihasilkan oleh AI.
  • Kebijakan dan Prosedur: Mengembangkan kebijakan yang jelas tentang bagaimana AI harus digunakan.
  • Pengawasan dan Audit: Melakukan audit rutin dan pengawasan terhadap sistem AI.

3.      Langkah-langkah untuk Mencapai Transparansi dan Akuntabilitas

  • Dokumentasi dan Pelaporan:
    1. Dokumentasi Proses: Mendokumentasikan semua tahapan dalam pengembangan dan penggunaan AI.
    2. Pelaporan Hasil: Menyediakan laporan yang jelas dan rinci tentang kinerja dan hasil AI kepada pengguna.
  • Implementasi Kebijakan AI:
    1. Kebijakan Penggunaan AI: Mengembangkan dan menerapkan kebijakan internal yang mengatur penggunaan AI dalam organisasi.
    2. Kepatuhan terhadap Regulasi: Memastikan bahwa penggunaan AI sesuai dengan peraturan dan standar yang berlaku.
  • Pelibatan Pengguna dan Pihak Ketiga:
    1. Umpan Balik Pengguna: Mengimplementasikan mekanisme untuk menerima dan menanggapi umpan balik dari pengguna.
    2. Kerjasama dengan Pakar Etika: Bekerjasama dengan pakar etika AI untuk memastikan bahwa AI digunakan dengan cara yang bertanggung jawab.
  • Pendidikan dan Kesadaran:
    1. Pelatihan untuk Pengguna: Menyediakan pelatihan bagi pengguna AI tentang bagaimana memahami dan menilai hasil AI.
    2. Kesadaran Publik: Meningkatkan kesadaran publik tentang bagaimana AI bekerja.

Dengan langkah-langkah ini, transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan Generative AI dapat ditingkatkan, memastikan bahwa teknologi ini digunakan dengan cara yang etis dan bertanggung jawab serta memberikan manfaat maksimal bagi semua pihak yang terlibat.

VII.      Penutup

Generative AI (GenAI) memiliki potensi yang luar biasa untuk merevolusi berbagai aspek kehidupan kita, dari cara kita bekerja hingga cara kita berinteraksi dengan teknologi. Namun, dengan potensi ini juga datang tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa penggunaan AI dilakukan secara etis dan bertanggung jawab.

Melalui pemahaman dan mitigasi risiko seperti misinformasi, bias, pelanggaran hak kekayaan intelektual, privasi, keamanan data, dan displacement pekerjaan, kita dapat memaksimalkan manfaat dari teknologi ini sambil meminimalkan dampak negatifnya. Penting untuk terus memantau dan mengembangkan kebijakan yang mendukung transparansi dan akuntabilitas, serta menyediakan pelatihan dan edukasi untuk semua pihak yang terlibat dalam penggunaan AI.

Dengan pendekatan yang hati-hati dan bertanggung jawab, kita dapat memastikan bahwa Generative AI menjadi alat yang tidak hanya kuat tetapi juga etis, membantu kita menciptakan masa depan yang lebih baik dan lebih adil untuk semua. Mari kita bersama-sama mengarahkan inovasi ini ke arah yang positif, memastikan bahwa teknologi yang kita ciptakan mencerminkan nilai-nilai dan etika yang kita pegang teguh.

Sumber

 

Mengenal Stella Christie: Ilmuwan & Guru Besar yang Wamendikti

0

osok muda Stella Christie tengah menjadi sorotan publik setelah resmi terpilih sebagai Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi dalam Kabinet Merah Putih periode 2024-2029. Pengumuman ini disampaikan langsung Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan. Prof. Stella Christie dengan latar belakang pendidikan dan karier yang mengesankan dinilai membawa harapan baru bagi dunia pendidikan dan sains di Indonesia.

Latar Belakang dan Karier Cemerlang

Prof. Stella Christie, A.B., Ph.D. adalah ilmuwan kognitif asal Medan, Sumatera Utara. Ia memulai perjalanan akademiknya di SD, SMP, dan SMA Santa Ursula, Jakarta. Setelah itu, ia menerima beasiswa bergengsi ASEAN dari Pemerintah Singapura dan melanjutkan pendidikan di Red Cross Nordic United World College di Norwegia. Pada tahun 1999, ia mendapatkan beasiswa penuh dari Harvard University, dan ia lulus dengan predikat magna cum laude dan Highest Honors pada 2004.

Setelah menyelesaikan gelar sarjana, Stella melanjutkan studi doktoralnya di Northwestern University, AS, dan meraih gelar Ph.D. dalam psikologi kognitif pada 2010. Ia kemudian menjalani program postdoctoral di University of British Columbia, Kanada. Karier akademiknya melesat ketika ia menjabat sebagai Assistant Professor di Swarthmore College, AS, sebelum menjadi Tenured Associate Professor pada 2018. Pada 2020, Stella menerima tawaran sebagai Guru Besar  (Professor) di Tsinghua University, Tiongkok, di mana ia menjabat sebagai Research Chair di Tsinghua Laboratory of Brain and Intelligence serta Direktur Child Cognition Center. Keaktifan Stella di berbagai organisasi ilmiah, seperti Cognitive Science Society, menunjukkan dedikasinya terhadap penelitian kognitif di kancah internasional.

Sebagai pakar Cognitive Science dan Learning Science, penelitian Prof. Stella fokus pada bagaimana manusia belajar dan berpikir. Ia menggunakan pendekatan interdisipliner menggabungkan studi manusia, hewan, dan kecerdasan buatan (AI) untuk menjawab pertanyaan mendasar “Mengapa Kita Pintar?”. Karya-karyanya telah dipublikasikan di berbagai jurnal ilmiah terkemuka, Current Biology, Cognitive Science, dan Scientific Reports. Tahun 2010, ia menerima penghargaan untuk publikasi paling berpengaruh di bidang Cognitive Development (perkembangan kognisi). Tahun 2016, ia masuk nominasi untuk James McDonnell Understanding Human Cognition Award, salah satu penghargaan paling bergengsi dalam bidang Cognitive Science. Temuan penelitiannya telah diimplementasikan dalam sistem pendidikan di Indonesia, Amerika Serikat, dan Tiongkok, baik di lingkungan sekolah—misalnya, pengajaran matematika melalui metode analogi dan perbandingan—maupun di luar sekolah, seperti program Child Friendly City yang bertujuan membangun kota yang mendukung perkembangan otak anak.

Kontribusi untuk Pengembangan Pendidikan

Sebagai ilmuwan dan akademisi internasional, Stella memiliki visi besar untuk pendidikan Indonesia. Ia aktif dalam pengembangan kurikulum pendidikan tinggi, termasuk dalam menerapkan metode pembelajaran yang lebih inovatif dan berbasis riset. Sebagai seorang akademisi, ia juga berperan dalam mengembangkan berbagai program penelitian yang berfokus pada peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia, baik dari sisi kurikulum, teknologi pembelajaran, maupun pengembangan kapasitas sumber daya manusia.

Kontribusi dan langkah strategis dalam memajukan pendidikan tersebut ia memperhatikan hal-hal berikut:

Inovasi dalam Sistem Pendidikan, Stella menekankan pentingnya modernisasi sistem pendidikan melalui teknologi. Ia percaya bahwa pembelajaran berbasis digital adalah kunci untuk menjangkau daerah terpencil dan meningkatkan kualitas pendidikan secara keseluruhan. Ia juga mendorong integrasi riset dalam proses belajar mengajar agar siswa dapat berpikir kritis dan inovatif.

Pemerataan Pendidikan, sebagai Wakil Menteri, Stella menargetkan pemerataan pendidikan di seluruh Indonesia. Ia bekerja keras untuk mengurangi kesenjangan kualitas pendidikan antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Fasilitas sekolah yang layak dan akses terhadap bahan ajar berkualitas menjadi fokus utamanya.

Pengembangan Pendidikan Vokasi, Stella melihat pendidikan vokasi sebagai solusi untuk mencetak tenaga kerja terampil yang sesuai dengan kebutuhan industri. Ia berupaya menciptakan kebijakan yang mendukung pendidikan berbasis keterampilan, sehingga lulusan dapat berkontribusi langsung pada pembangunan ekonomi.

Peningkatan Kualitas Guru, bagi Stella, guru adalah elemen kunci dalam keberhasilan pendidikan. Ia merancang program pelatihan intensif untuk meningkatkan kompetensi dan kesejahteraan guru. Dengan demikian, kualitas pengajaran dapat terus ditingkatkan.

Kolaborasi Internasional, sebagai ilmuwan yang aktif di kancah global, Stella memanfaatkan jaringan internasionalnya untuk memperluas kolaborasi. Ia menginisiasi program pertukaran pelajar, kemitraan riset, dan aliansi strategis dengan universitas ternama dunia.

Komitmen terhadap Pendidikan

          Stella memiliki komitmen bahwa pendekatan pendidikan semestinya berorientasi pada siswa; perlunya fokus pada teknologi dan digitalisasi; pendidikan dimaksudkan untuk kemandirian ekonomi; serta perlunya pendidikan inklusif dan keberkelanjutan.

Sejak awal karirnya sebagai pengajar di perguruan tinggi, Stella telah menunjukkan komitmen kuat terhadap peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Ia aktif dalam pengembangan kurikulum pendidikan tinggi, termasuk dalam menerapkan metode pembelajaran yang lebih inovatif dan berbasis riset. Sebagai seorang akademisi, ia juga berperan dalam mengembangkan berbagai program penelitian yang berfokus pada peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia, baik dari sisi kurikulum, teknologi pembelajaran, maupun pengembangan kapasitas sumber daya manusia.

Stella memprioritaskan pendekatan humanis dalam pendidikan. Ia berpendapat bahwa setiap siswa memiliki potensi unik yang harus dikembangkan melalui pendidikan inklusif. Selain itu, pendidikan karakter menjadi perhatian utamanya. Stella percaya bahwa moral dan etika harus diajarkan sejajar dengan ilmu pengetahuan agar siswa dapat tumbuh menjadi individu yang cerdas sekaligus berbudi pekerti luhur.

Dalam era digital, Stella memahami peran teknologi sebagai katalisator pendidikan. Ia mempelopori adopsi perangkat lunak pendidikan dan platform digital untuk menciptakan pengalaman belajar yang lebih menarik. Selain itu, ia mendorong para guru untuk menguasai teknologi agar dapat menyampaikan materi secara efektif.

Salah satu visi besar Stella adalah menciptakan sistem pendidikan yang mendorong kemandirian ekonomi. Melalui program kewirausahaan, ia berharap lulusan dapat menciptakan peluang kerja, bukan hanya mencari pekerjaan. Hal ini sejalan dengan upaya mengurangi angka pengangguran dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Stella juga menekankan pentingnya pendidikan inklusif yang dapat diakses oleh semua kalangan, termasuk anak-anak dengan kebutuhan khusus. Ia juga berkomitmen untuk memastikan keberlanjutan program pendidikan melalui kebijakan jangka panjang yang terukur.

Tantangan dan Harapan ke Depan

Sebagai Wakil Menteri, Stella menghadapi tantangan besar, mulai dari peningkatan literasi hingga pengintegrasian kurikulum berbasis teknologi. Namun, dengan latar belakang akademik dan visinya yang jelas, banyak pihak optimis bahwa ia mampu membawa perubahan signifikan. Stella percaya bahwa pendidikan adalah kunci untuk menciptakan generasi masa depan yang kompeten, berdaya saing global, dan berkarakter kuat.

Prof. Stella Christie merupakan sosok yang tidak hanya menginspirasi melalui pencapaian akademiknya, tetapi juga melalui kontribusi dan komitmennya untuk memajukan pendidikan Indonesia. Sebagai Wakil Menteri, ia bertekad menciptakan sistem pendidikan yang inklusif, modern, dan adaptif terhadap tantangan zaman. Dengan visi dan langkah-langkah strategisnya, Stella diharapkan dapat membawa perubahan positif yang akan dirasakan oleh generasi mendatang. Semoga.

Deden Novan Setiawan Nugraha (dari berbagai sumber) 

MEMBACA BUKU “AYAH, INI ARAHNYA KE MANA, YA ?: Anak Kecil Ini Kehilangan Jalan Pulangnya” dan ulasan

0

Penulis                                : Khoirul Trian

Penerbit                              : Gradien Mediatama

Tahun Penerbitan                : Oktober 2024

Bahasa                                : Indonesia

Halaman                             : 164  halaman

Dimensi                               : 13 x 19 cm

ISBN                                    : 978-602-208-379-5

Penggalan kata pengantar buku “AYAH,  INI ARAHNYA KE MANA, YA ?: Anak Kecil Ini Kehilangan Jalan Pulangnya” sungguh membuat hati saya tergores kembali masa lalu di usia senjaku. Buku ditulis dari sudut pandang seorang anak yang merasa kehilangan arah setelah kepergian ayahnya. Buku ini menggambarkan perasaan kesepian dan kebingungan yang mendalam. Tanpa bimbingan dan arahan dari sang ayah, tokoh utama berjuang untuk menemukan makna dan tujuan hidupnya sendiri.

Coba pembaca simak: “Ayah, aku tahu kau tidak sungguh-sungguh melepaskan tanganmu ketika pertama kali kau ajarkanku bagaimana caranya berjalan. Aku tahu kau tidak sungguh-sungguh pergi setiap kali aku berteriak minta tolong. Aku tahu kau juga tidak sungguh-sungguh tega membiarkanku sendirian di tengah jalan, tapi Ayah, kau harus tahu sekarang jalanku sudah sangat jauh, terikan minta tolongku sudah sangat keras, hingga kini akau sendirian di tengah jalan. Kau masih ada di sini kan,Yah? Kau tetap di sampingku, kan? Tapi sayangnya, aku justru merasa kita lebih dekat di saat kau sudah tidak ada.  Ayah, terima kasih sudah menyumbangkan tubuh yang kini bisa kuajak berlari kencang seperti anak panah yang lari dari busurnya. ……….Darimu semuanya berjalan begitu cepat hingga aku tidak pernah menyangka kakiku sudah sejauh ini membawaku pergi melewati semuanya satu persatu, yang dulu kukira aku akan kalah dilawan keadaan. Kalau Ayah lihat aku hari ini, sungguh kau harus tahu anak kecilmu kini sudah lebih tinggi, sudah keras sekali bertahannya. Dan dari itu semua, akun ucapkan terima kasih kepada Ayah.”

Lalu buku ini mengurai enam Chapter yang menyentuh: Ayah, Kau di Mana?; Ayah, Tolong Aku!; Ayah, Jangan Pergi, ya; Ayah, Kita Dekat, Aku Percaya Itu; Ayah, Aku Ikhlas; Kua-kuat, ya, Nak! Enam chapter yang dirancang penulis membawa pembaca melalui perjalanan emosional, mulai dari kebingungan dan kerinduan hingga penerimaan dan keikhlasan atas ketiadaan figur ayah. Chapter tersebut sangat menguras perasaan hatiku. Sungguh tak terasa kesedihan merayapi segenap sendiku. Saya membayangkan anak-anak generasi kini dan ke depan mengalami hari-hari berat mereka dengan tantangan yang begitu gencar, apakah dengan keberadaan ayah yang tidak dekat secara psikologis sosial, apalagi ketiadaan sosok ayah.

Buku ini mengisahkan hubungan antara seorang anak dan ayahnya, menggambarkan peran ayah yang sering kali tidak diungkapkan secara verbal namun ditunjukkan melalui tindakan kecil yang bermakna. Pengarang menyoroti pentingnya memahami perbedaan generasi antara orang tua dan anak, serta bagaimana perbedaan tersebut memengaruhi dinamika hubungan keluarga. Melalui narasi yang menyentuh, penulis mengajak pembaca untuk merenungkan kembali makna kehadiran ayah dalam kehidupan mereka.

Figur ayah memainkan peran penting dalam berbagai aspek perkembangan anak, baik secara emosional, sosial maupun kognitif. Ayah seringkali menjadi sumber rasa aman bagi anak. Kehadirannya memberikan dukungan emosional yang membantu anak mengembangkan self-esteem (harga diri), dan emotion regulation (pengendalian emosi). Ayah juga menjadi model peran dalam membangun hubungan sosial yang sehat. Studi menunjukkan bahwa keterlibatan ayah dalam pendidikan anak meningkatkan pencapaian akademik. Dalam pendidikan, peran ayah seringkali dianggap sebagai figur disiplin yang memberikan arahan tegas namun penuh kasih. Semisal mendorong eksplorasi intelektual, membantu anak menetapkan tujuan yang realistis dan bertanggungjawab, mengajarkan nilai-nilai kehidupan melalui pengalaman dan contoh nyata. Ketiadaan sosok ayah dapat memberikan tantangan tertentu bagi perkembangan anak.

Buku karya Khoirul Trian mengisahkan perjalanan emosional seorang anak yang kehilangan sosok ayah, yang selama ini menjadi nahkoda hidupnya, dan menjadi panutan hidupnya. Setelah kepergian sang ayah, anak tersebut merasa bingung dan kehilangan arah, seperti pelaut yang kehilangan kompas di tengah lautan. Buku ini juga menggambarkan upaya sang anak untuk menemukan kembali makna dan tujuan hidupnya tanpa bimbingan langsung dari ayahnya. Melalui enam chapter yang ditulis dengan cermat, pembaca diajak merasakan perasaan kesepian, kebingungan, hingga akhirnya mencapai penerimaan dan keikhlasan atas ketiadaan sosok ayah.

Sebuah buku novel yang menyentuh hati dan relevan bagi mereka yang pernah merasakan kehilangan atau kebingungan dalam hidup. Dengan gaya penulisan yang puitis namun lugas, Khoirul Trian berhasil menyampaikan pesan tentang pentingnya menerima kenyataan dan menemukan kekuatan untuk melanjutkan hidup meskipun tanpa kehadiran sosok yang dicintai.

Semoga bermanfaat. (l. irahali)

Veny Brose Shoes: Usaha Handmade Menuju Industri Mikro Modern Berstandar SNI Berkat Kedaireka

0

Asuhan: Dr. Keni Kaniawati, S.E., M.Si.

Inkopa – Widyatama

Veny Brose Shoes adalah sebuah perusahaan sepatu handmade yang didirikan oleh Veny Fitriani, seorang mahasiswa Magister Manajemen Universitas Widyatama. Selama bertahun-tahun, Veny Brose Shoes mengandalkan metode produksi manual untuk menghasilkan sepatu berkualitas. Perusahaan produsen sepatu Veny Brose merupakan produsen produk sepatu lokal yang berada di kawasan sentral sepatu Cibaduyut. Dengan semangat meningkatkan perekonomian lokal, Veny Brose berusaha mengangkat kembali eksistensi produk lokal alas kaki, baik sepatu atau sandal dewasa dengan berbagai model yang sedang trend.

Perusahaan produsen sepatu Veny Brose – bermula dari peluang berdasarkan domilisi tempat tinggal yang ada Cibaduyut – didirikan pada November tahun 2013. Diawali hanya dua orang pegawai, dan kegiatan produksi dikerjakan di rumah. Saat ini mampu memiliki kurang lebih 15 pegawai serta memiliki tempat produksi sendiri.

Pegawai tersebut terdiri dari: bagian operasional, dan bagian administrasi. Bagian operasional merupakan para pengrajin dari Cibaduyut yang telah berpengalaman selama lebih 20 tahun, sehingga para karyawan tersebut sudah terlatih dan terampil dalam proses pembuatan sepatu. Bagian administrasi juga berasal dari daerah sekitar tempat produksi karena perusahaan ini mengutamakan menyerap tenaga di lingkungan sekitar.

Perusahaan sepatu Veny Brose mengembangkan usahanya secara kreatif dan inovatif. Veny Brose tidak hanya memanfaatkan teknologi, tetapi berupaya berkembang terus-menurus dengan menciptakan model-model sepatu dan sandal yang menarik pelanggan,  karena model sepatu dan sandal yang dibuat mengikuti tren pada saat ini. Perusahaan sepatu Veny Brose masih menggunakan cara manual atau handmade dengan mempekerjakan tenaga yang ahli dibidangnya, serta menggunakan material yang berkualitas. Kini produknya sudah dipasarkan skala nasional, hingga internasional dalam skala kecil melalui ekspor ke Malaysia, Singapura dan Korea.Visi Veny Brose Shoes menjadi industri sepatu handmade terkemuka di Jawa Barat. Pada tahun 2028, menjadi brand sepatu lokal yang berkualitas dengan sasaran pasar masyarakat menengah, dengan bahan premium dan harga yang terjangkau, serta menggabungkan desain unik, kenyamanan, dan selalu mengikuti trend fashion.

Visi Veny Brose Shoes menjadi industri sepatu handmade terkemuka di Jawa Barat. Pada tahun 2028, menjadi brand sepatu lokal yang berkualitas dengan sasaran pasar masyarakat menengah, dengan bahan premium dan harga yang terjangkau, serta menggabungkan desain unik, kenyamanan, dan selalu mengikuti trend fashion.

Misinya:  meningkatkan profit penjualan, menaikan popularitas brand dilihat dari naiknya pengikut di berbagai media sosial, menjangkau konsumen baik dalam Negeri maupun luar Negeri, mensejahterakan karyawan di sekitar tempat produksi, serta mengurangi angka pengangguran.

Tujuan Veny mendirikan usaha sepatu, yaitu: Profit: meningkatkan penjualan dan menaikan keuntungan; People: meningkatkan kesejahteraan karyawan di lingkungan sekitar tempat produksi; Planet: mendaur ulang limbah produksi menjadi bahan baku produk lain; Sustain: memastikan operasi bisnis dapat berlanjut dalam jangka panjang; Growth: mengembangkan bisnis dengan skala yang lebih besar dan membangun pabrik dalam rencana jangka panjang.

Pada bulan Nopember tahun 2024, Veny Brose Shoes berhasil mendapatkan dukungan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi melalui hibah Kedaireka, yang diraih dosen-dosen Universitas Widyatama dengan Ketua Keni Kaniawati, anggota: Andhi Sukma, Deden Maulana, Ucu Nugraha, Murnawan. Melalui bantuan tim hibah Universitas Widyatama berfokus pada pembinaan industri rumah tangga usaha mikro berbasis kemitraan.

            Hibah Kedaireka melalui dosen Universitas Widyatama dalam program ini, membuat Veny Brose Shoes menerima berbagai bentuk bantuan yang mendukung perkembangan bisnisnya, meliputi: bantuan Mesin Otomatis (mesin potong otomatis (pond), Mesin Oven, dan Mesin Press. Selain itu juga mendapatkan: Pelatihan Digital Marketing, Pembuatan Website, Dukungan Legalitas Usaha, serta Pengujian Hasil Produksi Sesuai Standar SNI dll.

 

Veny Brose Shoes memetik Manfaat

Dengan adanya mesin potong otomatis, mesin oven, dan mesin press, proses produksi yang sebelumnya dilakukan secara manual, kini menjadi lebih efisien dan presisi (terjadi efisiensi dan peningkatan kualitas produksi dengan mesin otomatis). Hal ini membawa beberapa keuntungan:

  • Peningkatan Kecepatan Produksi: Mesin otomatis mempercepat proses produksi sehingga Veny Brose mampu memenuhi permintaan pasar yang lebih besar.
  • Konsistensi Kualitas: Mesin membantu menciptakan produk yang seragam dan berkualitas tinggi, meningkatkan kepercayaan pelanggan.
  • Efisiensi Biaya: Dengan proses yang lebih cepat, perusahaan dapat mengurangi biaya produksi dalam jangka panjang.

Melalui pelatihan digital marketing dan pembuatan website (terjadi penguasaan digital marketing, dan akses pasar lebih luas) Veny Brose Shoes kini mampu memanfaatkan teknologi digital untuk memperluas jangkauan pasar.

  • Strategi Pemasaran Modern: perusahaan dapat memanfaatkan media sosial, SEO, dan iklan digital untuk meningkatkan penjualan.
  • Akses ke Pasar Global: dengan adanya website, Veny Brose Shoes dapat menjangkau pelanggan tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga internasional.

Bantuan dalam mendapatkan legalitas usaha membuat Veny Brose Shoes memiliki kredibilitas yang lebih tinggi di mata konsumen dan mitra bisnis. Legalitas juga membuka peluang untuk bekerja sama dengan mitra besar dan mendapatkan pendanaan dari lembaga keuangan (legalitas usaha yang meningkatkan kepercayaan konsumen).

            Pengujian hasil produksi sesuai dengan standar SNI memastikan bahwa sepatu yang dihasilkan telah memenuhi kriteria kualitas nasional (pengujian hasil produksi). Manfaat yang diperoleh adalah: a) meningkatkan kepercayaan pelanggan: produk berstandar SNI lebih dipercaya karena kualitasnya telah terjamin; b) keunggulan kompetitif: produk SNI memiliki nilai tambah di pasar, baik lokal maupun internasional. (Keni Kaniawati)