Friday, August 8, 2025
Home Blog Page 3

AI, Tata Kelola Teknologi Informasi, dan Transformasi Epik Kampus: Dari Rutinitas Menuju Inovasi Tanpa Batas

0

Dr. Muhammad Rozahi Istambul, S.Kom.,M.T.,GRCE.

Dalam era teknologi yang terus berkembang, kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) telah menjadi kekuatan utama yang menawarkan banyak pilihan dan peluang signifikan merevolusi pendidikan tinggi. AI tidak hanya berfungsi sebagai alat teknologi informasi, namun juga telah berkembang menjadi elemen strategis yang dapat mendukung pembelajaran lebih personal, memperbaiki efisiensi operasional, dan membuat institusi lebih responsif terhadap tren teknologi terkini. Namun, untuk mencapai potensi besar ini diperlukan landasan tata kelola teknologi informasi yang terencana serta strategi pengukuran dampak yang komprehensif. Perguruan tinggi harus memastikan bahwa manfaat yang dihadirkan AI dapat dirasakan secara menyeluruh oleh mahasiswa, dosen, dan institusi pendidikan.

Tata kelola teknologi informasi berbasis AI menjadi langkah awal yang sangat penting untuk diperhatikan. Institusi pendidikan tinggi perlu merumuskan visi digitalisasi yang menjadikan AI sebagai inti dari strategi pengajaran, penelitian, dan pelayanan kampus. Visi ini tidak hanya mencakup penerapan teknologi, tetapi juga integrasi AI ke dalam kebijakan dan prosedur operasional kampus, sehingga membentuk ekosistem pendidikan yang responsif terhadap kebutuhan zaman.

Pengalaman penerapan teknologi sebelumnya, seperti e-learning, memberikan pelajaran berharga. Ketika e-learning pertama kali muncul, banyak institusi mulai menyadari potensinya, tetapi pandemi COVID-19 benar-benar menguji kesiapan teknologi tersebut. Perguruan tinggi yang telah lebih dahulu beradaptasi dengan platform e-learning menikmati manfaat besar, seperti pembelajaran yang tetap efektif dan efisien meskipun dalam kondisi darurat. Interaksi dan keterlibatan antara dosen dan mahasiswa, yang sebelumnya dianggap tantangan dalam ruang virtual, berhasil dipertahankan melalui adaptasi budaya digital yang kuat.

Keberhasilan ini menunjukkan bahwa peran tata kelola teknologi informasi tidak hanya berada pada tataran teknis, tetapi juga mencakup pengelolaan kebijakan strategis serta implementasi operasional. Perguruan tinggi perlu mengembangkan kebijakan yang mendukung penggunaan teknologi, melatih tenaga pendidik dan staf, serta memastikan bahwa prosedur operasional memenuhi kebutuhan institusi secara menyeluruh. Dalam pendekatan ini, AI dapat berperan lebih dari sekadar alat; ia menjadi katalisator perubahan yang mendorong institusi pendidikan menuju masa depan yang lebih adaptif dan inklusif.

Integrasi antara langkah awal tata kelola yang baik dengan pengalaman sebelumnya dalam penggunaan teknologi, seperti e-learning, membentuk narasi yang saling mendukung. AI yang merupakan bagian dari evolusi ini, memungkinkan perguruan tinggi tidak hanya untuk mempertahankan relevansi, tetapi juga memimpin inovasi dalam pendidikan tinggi global.

AI, Transformasi Pendidikan Tinggi Tingkatkan Efisiensi Operasional dan Pembelajaran yang Disesuaikan

AI tidak hanya memengaruhi dinamika di dalam kelas, tetapi juga memberikan keuntungan signifikan dalam efisiensi operasional kampus. Teknologi ini memungkinkan otomatisasi berbagai tugas administratif, seperti menjawab pertanyaan mahasiswa melalui chatbot, menyusun jadwal akademik, dan mendukung proses perwalian. Dengan berkurangnya beban administrasi, tenaga pendidik dan staf dapat mengalihkan perhatian mereka kepada pengembangan strategi pendidikan yang inovatif dan berorientasi pada kebutuhan mendatang.

AI memiliki kapasitas merevolusi metode pengajaran di perguruan tinggi. Salah satu keunggulannya yang paling mencolok adalah kemampuannya dalam personalisasi pembelajaran. Sistem tutor cerdas, misalnya, dapat menganalisis kebutuhan spesifik setiap mahasiswa, memberikan panduan yang relevan, dan menyesuaikan materi pembelajaran sesuai dengan gaya belajar masing-masing individu. Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan pemahaman terhadap materi, tetapi juga memperkuat hasil belajar mahasiswa secara keseluruhan.

Transformasi yang dihadirkan AI dalam dunia pendidikan tinggi tidak terbatas pada aspek pembelajaran saja. Teknologi ini juga memainkan peran krusial dalam manajemen institusi. Sistem berbasis AI mendukung personalisasi pembelajaran adaptif yang sesuai dengan kecepatan dan preferensi mahasiswa. Selain itu, pada bidang penelitian, AI mempercepat analisis big data, membuka peluang baru dalam berbagai disiplin ilmu, mulai dari bioteknologi hingga ekonomi. Oleh karena itu, AI menjadi katalisator inovasi yang memperluas ruang lingkup dan kedalaman eksplorasi akademik.

Integrasi AI dalam pendidikan tinggi menciptakan hubungan sinergis antara efisiensi operasional, personalisasi pembelajaran, dan pengembangan penelitian. Perguruan tinggi yang berhasil mengadopsi teknologi ini tidak hanya meningkatkan efektivitas pendidikan, tetapi juga mempersiapkan generasi mahasiswa yang lebih adaptif terhadap tantangan global. Dengan demikian, AI berperan sebagai pilar utama dalam mendorong pendidikan tinggi menuju masa depan yang lebih dinamis dan inklusif.

AI dalam Administrasi Kampus – Peluang dan Tantangan Menuju Transformasi Pendidikan

Kecerdasan Buatan (AI) memainkan peran krusial dalam meningkatkan efisiensi administrasi kampus, mulai dari pengotomasian proses pendaftaran hingga pengelolaan data mahasiswa. Teknologi ini juga mendukung sistem pendukung keputusan dalam alokasi sumber daya, membantu institusi pendidikan tinggi mengoptimalkan operasionalnya. Salah satu contoh yang menonjol adalah penggunaan chatbot berbasis AI, yang sering digunakan untuk memberikan informasi akademik dan administratif dengan cepat. Dengan kemampuan menjawab pertanyaan mahasiswa secara real-time, teknologi ini tidak hanya meningkatkan kualitas layanan tetapi juga mengurangi beban kerja staf administrasi.

Lebih lanjut, AI memungkinkan analisis prediktif yang mendalam, seperti memproyeksikan kelulusan mahasiswa dan mengidentifikasi individu yang berisiko gagal dalam studi. Data ini memberikan perguruan tinggi kemampuan merancang intervensi yang tepat waktu, baik dalam bentuk bimbingan akademik maupun dukungan mental, demi memastikan keberhasilan mahasiswa secara menyeluruh. Dengan demikian, AI menjadi alat strategis yang tidak hanya mempermudah proses administratif, tetapi juga membantu institusi pendidikan mencapai tujuan jangka panjang mereka.

Namun, di balik potensi besar ini, adopsi AI di perguruan tinggi menghadapi berbagai tantangan. Kesiapan infrastruktur teknologi merupakan salah satu kendala utama, terutama di negara-negara berkembang. Perguruan tinggi juga perlu meningkatkan kompetensi tenaga pendidik dan staf administrasi dalam memanfaatkan teknologi ini secara optimal. Selain itu, isu etika seperti privasi data mahasiswa menjadi perhatian serius yang memerlukan pengelolaan cermat sesuai dengan regulasi global seperti General Data Protection Regulation (GDPR) atau Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) milik dalam negeri. Tantangan-tantangan ini menggarisbawahi pentingnya strategi implementasi yang terencana untuk memastikan bahwa penggunaan AI tidak hanya efektif tetapi juga bertanggung jawab.

Meskipun terdapat kesenjangan implementasi antara perguruan tinggi di negara maju dan berkembang, pendekatan yang tepat dapat menjadikan AI sebagai pendorong transformasi pendidikan tinggi. Dengan fokus pada pengelolaan yang baik dan penyelesaian kendala yang ada, AI memiliki kapasitas menciptakan lingkungan belajar yang lebih inklusif, efisien, dan berorientasi masa depan. Integrasi AI yang sukses akan membuka jalan menuju ekosistem pendidikan yang mampu menghadapi tantangan global dan memaksimalkan potensi mahasiswa di seluruh dunia.

 

 

Mengukur Dampak AI – Langkah Krusial Transformasi Pendidikan Tinggi

Pengukuran dampak dari penerapan kecerdasan buatan (AI) di perguruan tinggi menjadi aspek yang sangat penting untuk memastikan bahwa teknologi ini benar-benar memberikan manfaat yang signifikan. Implementasi AI tidak hanya bertujuan mengadopsi teknologi terkini, tetapi juga menciptakan dampak positif yang luas bagi pendidikan, penelitian, dan pengelolaan institusi secara menyeluruh. Melalui evaluasi yang menyeluruh, perguruan tinggi dapat menentukan sejauh mana teknologi ini berhasil mencapai tujuan yang ditetapkan.

Salah satu indikator utama pengukuran dampak AI adalah tingkat personalisasi pembelajaran yang dapat dicapai. Teknologi AI memungkinkan mahasiswa mendapatkan pengalaman belajar yang disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Contohnya, sistem adaptif berbasis AI mampu menyesuaikan materi pelajaran sesuai dengan gaya belajar individu, seperti preferensi terhadap teks, visual, atau video. Pada pendekatan ini, AI tidak hanya meningkatkan pemahaman materi, tetapi juga mendorong keterlibatan lebih dalam proses pembelajaran.

Selain personalisasi pembelajaran, sangat penting bagi perguruan tinggi menganalisis dan menetapkan ukuran kualitas pembelajaran serta kurikulum dengan mengidentifikasi aspek-aspek yang relevan. Pengukuran dampak ini mencakup berbagai dimensi, seperti efektivitas metode pengajaran, efisiensi operasional, serta relevansi kurikulum terhadap kebutuhan pasar kerja dan perkembangan ilmu pengetahuan. Dengan fokus pada aspek-aspek ini, perguruan tinggi dapat terus memperbarui dan meningkatkan strategi implementasi AI mereka.

Pengukuran dampak juga memberikan wawasan penting untuk memastikan bahwa penerapan AI tidak hanya berorientasi pada hasil jangka pendek, tetapi juga mendukung keberlanjutan institusi pendidikan. Diperlukan analisis mendalam, perguruan tinggi dapat mengidentifikasi area yang memerlukan perhatian lebih, baik dalam hal peningkatan teknologi, pelatihan tenaga pengajar, maupun penyesuaian kebijakan. Dengan demikian, pengukuran dampak AI bukan hanya sebagai alat evaluasi, tetapi juga sebagai panduan strategis menciptakan ekosistem pendidikan yang adaptif dan berkelanjutan.

Dengan pendekatan yang sistematis dalam mengukur dampak, perguruan tinggi dapat memastikan bahwa AI bukan sekadar inovasi teknologi, tetapi juga sebagai katalisator transformasi pendidikan yang relevan dengan kebutuhan zaman. Hal ini memperkuat komitmen institusi menciptakan lingkungan pembelajaran yang lebih personal, efisien, dan inklusif.

Efektivitas dan Efisiensi Kecerdasan Buatan dalam Konteks Pendidikan Tinggi

AI bukan hanya berfungsi sebagai alat belajar, tetapi juga sebagai sistem yang mampu mengelola beragam tugas administratif di lingkungan kampus. Contohnya, chatbot berbasis AI dapat memberikan jawaban atas pertanyaan rutin mahasiswa mengenai jadwal kuliah, sementara algoritma canggih mampu menyusun jadwal dosen secara otomatis. Penerapan ini memungkinkan perguruan tinggi meningkatkan efisiensi operasional. Sebagai contoh, universitas di Inggris melaporkan penghematan waktu administratif hingga 35% setelah mengintegrasikan chatbot berbasis AI, sehingga waktu yang sebelumnya digunakan tugas rutin dapat dialihkan ke aktivitas strategis, seperti pengembangan layanan bimbingan akademik.

Namun, keberhasilan penerapan AI dalam pendidikan tidak hanya diukur dari efisiensi, tetapi juga dari efektivitasnya dalam mendukung pembelajaran. Perguruan tinggi harus memastikan bahwa AI dapat meningkatkan pemahaman konsep, keterampilan, dan daya serap mahasiswa terhadap materi. Selain itu, otomatisasi tugas seperti penilaian dan pengelolaan data mahasiswa dapat mengurangi beban administrasi secara signifikan, memungkinkan staf akademik untuk fokus pada tugas yang lebih kompleks dan strategis. Penelitian yang dilakukan oleh Chatterjee et al. (2020) mendukung hal ini, mencatat bahwa chatbot berbasis AI dapat menangani hingga 70% permintaan mahasiswa tanpa memerlukan intervensi manusia, sehingga mempercepat pelayanan akademik dan menciptakan pengalaman belajar yang lebih baik.

Integrasi AI yang dirancang dengan baik tidak hanya meningkatkan efisiensi operasional, tetapi juga memastikan bahwa hasil pembelajaran tetap menjadi prioritas utama. Dengan kata lain, AI berpotensi merevolusi pengelolaan perguruan tinggi sekaligus meningkatkan kualitas layanan pendidikan secara keseluruhan.

Mendukung Peningkatan Kualitas Pendidikan melalui Integrasi AI

Kekhawatiran bahwa kecerdasan buatan (AI) akan mengambil alih peran dosen dalam proses pembelajaran sering kali tidak berdasar dan perlu diluruskan. AI dirancang sebagai alat bantu, bukan pengganti, yang bertujuan mendukung dosen dalam menciptakan sistem pendidikan yang lebih adaptif, efisien, dan inklusif. Dalam praktiknya, dosen tetap memiliki kendali penuh atas proses pembelajaran, sementara AI menyediakan data analitik dan rekomendasi mendukung pengambilan keputusan. Sebagai contoh, sistem evaluasi berbasis AI dapat membantu mengidentifikasi mahasiswa yang memerlukan bimbingan tambahan, mempercepat analisis tanpa menggantikan peran dosen sebagai mentor utama. Kolaborasi ini menjadi kunci keberhasilan penerapan AI dalam pendidikan, sebagaimana diungkap oleh Renz et al. (2020), yang menemukan bahwa evaluasi berbasis AI mampu meningkatkan efektivitas pembelajaran hingga 15% setiap tahun.

Selain itu, AI memungkinkan implementasi pembelajaran yang lebih personal melalui pendekatan seperti model pembelajaran campuran (blended learning). Algoritma berbasis AI dapat menganalisis gaya belajar mahasiswa, termasuk preferensi terhadap teks, visual, atau video, sehingga dapat menyajikan materi yang relevan dengan kebutuhan individu. Personalisasi ini tidak hanya meningkatkan daya serap materi tetapi juga menciptakan pengalaman belajar yang lebih menarik. Penelitian yang ditunjukkan oleh Shi et al. (2023) bahwa sistem pembelajaran adaptif berbasis AI meningkatkan skor rata-rata mahasiswa hingga 20% dibandingkan metode tradisional, menekankan dampaknya terhadap peningkatan kualitas pendidikan.

Sedangkan AI dapat berkontribusi pada inovasi kurikulum dengan memastikan relevansi materi pembelajaran terhadap kebutuhan pasar. Dalam konteks pengukuran dampak yang terencana, perguruan tinggi dapat mengevaluasi efektivitas penerapan AI dalam memperbarui pendekatan pengajaran. Melalui sinergi antara manusia dan teknologi, pendidikan masa depan tidak hanya lebih inklusif dan efisien, tetapi juga lebih responsif terhadap kebutuhan individu dan dunia kerja.

AI sebagai Pendukung Penelitian dan Inovasi di Perguruan Tinggi

Integrasi kecerdasan buatan (AI) dalam perguruan tinggi telah membuka peluang yang signifikan dalam mendukung penelitian dan inovasi. AI berperan sebagai pendorong utama yang mempercepat proses penelitian dengan kemampuan analitiknya yang unggul, seperti memproses data dalam jumlah besar secara efisien dan mengidentifikasi pola yang mungkin terlewatkan oleh analisis konvensional. Lebih dari sekadar alat teknis, AI juga memperluas cakupan penelitian dengan memungkinkan eksplorasi bidang kajian baru, seperti pemodelan sistem lingkungan yang kompleks. Dalam konteks ini, pengukuran dampak menjadi penting untuk menilai sejauh mana AI berkontribusi terhadap peningkatan jumlah dan kualitas publikasi ilmiah serta inovasi teknologi yang dihasilkan.

Selain mendukung penelitian akademik, AI juga memfasilitasi kolaborasi strategis antara perguruan tinggi dan industri. Kolaborasi ini menjadi landasan penting dalam mendorong inovasi yang tidak hanya relevan secara akademis tetapi juga aplikatif dalam konteks dunia nyata. Dengan mengintegrasikan AI, perguruan tinggi dapat menciptakan kebijakan, seperti platform pembelajaran cerdas atau alat otomatisasi untuk pengolahan data ilmiah. Melalui pengukuran dampak yang sistematis, institusi pendidikan dapat mengevaluasi efektivitas kolaborasi ini, termasuk dampaknya pada pengembangan teknologi baru dan komersialisasi hasil penelitian.

Oleh karena itu, AI tidak hanya mempercepat proses inovasi, tetapi juga memperkuat peran perguruan tinggi sebagai pusat pengetahuan yang relevan secara global. Sinergi antara kemampuan AI, akademisi, dan industri memungkinkan pengembangan solusi yang lebih inovatif, efisien, dan berdampak luas, menjadikan AI sebagai pilar transformasi pendidikan dan penelitian di era digital.

“Di tengah arus revolusi digital, AI bukanlah ancaman bagi tradisi pendidikan, melainkan pijakan baru untuk melangkah lebih jauh. Dengan visi yang terarah, kolaborasi antara manusia dan teknologi dapat menjadikan perguruan tinggi tidak hanya sebagai pusat pembelajaran, tetapi sebagai mercusuar inovasi yang menerangi jalan menuju masa depan yang inklusif, adaptif, dan penuh harapan. Saatnya kita tidak hanya mengikuti perubahan, tetapi memimpinnya, demi menciptakan dunia pendidikan yang lebih baik untuk generasi mendatang”. Semoga.

Kebangkitan Sosial-Humaniora di Lingkungan Budaya Kita

0

Bachrudin Musthafa

Rubrik utama, esei pembuka, dalam Komunita kita kali ini telah membawa kita ke latarbelakang sejarah Artificial Intelligence (AI) dengan segala dinamika sosial-teknologis yang menyertai kebutuhan dan kelahirannya, termasuk yang dijadikan subheadings ini “akar dan awal perkembangan”, “inspirasi pemikiran filosofis”, “mesin mekanik dan revolusi industri”, “revolusi komputasi di abad ke-20”, “kelahiran kecerdasan buatan sebagai disiplin”, “periode kekecewaan (AI Winter)”, “Kebangkitan AI: Pembelajaran Mesin dan Data”, “Era Modern: AI yang Mengubah Dunia.” Dari daftar topik bahasan yang panjang ini, Redaksi telah menunjukkan hasil kerja kerasnya dan kepeduliannya tentang mutu Pendidikan Tinggi di Indonesia dan semangat untuk turut mendorong agar Pendidikan Tinggi di Indonesia mulai menyiasati secara strategis supaya mutu pendidikan tinggi di Indonesia tidak tertinggal di antara masyarakat dunia.

Menukik ke dalam isu yang lebih krusial, Komunita edisi ini juga menyajikan perbincangan dengan pakar Artificial Intelligence, Director of Center of Artificial Intelligence for Learning and Optimalization, Telkom University, yang karena fokus keahlian dan pengalaman pribadinya yang dapat kita pelajari bersama sebagai tokoh artificial intelligence (AI) di Indonesia. Untuk esei pendamping kali ini, saya mengangkat tajuk “Tujuh Siasat Kebangkitan Sosial-Humaniora di Lingkungan Budaya Indonesia. Penyajian gagasannya akan diurutkan sebagai berikut: 1) Sadari pentingnya konteks budaya; 2) Posisikan diri sebagai penentu pilihan; 3) Berdayakan diri dan budaya sekitar; 4) Perjuangkan untuk sukses bersama orang lain; 5) Bergabunglah bersama kelompok sepaham dan seminat; 6) Belajarlah dari dan bersama pakar yang tulus mencintai bidang Artificial Intelligence ini; 7) Kenalilah batasan dan keterbatasan Anda dan optimalkan apa yang dapat dilakukan untuk kemaslahatan bersama.

  1. Sadari pentingnya konteks budaya. Pernahkah Anda memikirkan sesuatu yang besar dan abstrak seperti konsep “kreativitas”? Belakangan ini saya berkesempatan menelisik konsep-konsep kreativitas dan cikal-bakal para pemenang hadiah Nobel. Menurut hasil studi para ilmuwan peneliti, ternyata bahan-baku pemikiran dan pengalaman yang kemudian mengondisikan—melalui diskusi dan deliberasi yang serius__lahirnya gagasan-gagasan dan sintesis baru itu adalah sesuatu yang bersarang pada pengalaman budaya. Pengalaman budaya inilah konon yang kemudian setelah dipikirkan berulang-kali dan dimodivikasi di sana-sini memercikkan gagasan-gagasan kretif.

Dengan demikian, janganlah kita terburu-buru mencari sesuatu yang berasal dari “tanah asing” yang kita tak dapat akrabi dengan baik dalam waktu dekat. Kita kenali saja dahulu dengan sedetil-detilnya kebiasaan budaya kita dengan tenang dan tanpa-tekanan sehingga proses-proses sosial-kultural dapat disintesiskan dengan cara yang baru. Kata-kunci penting di sini adalah pengalaman budaya sendiri yang perlu diakrabi lebih mendalam lagi sehingga memungkinkan lahirnya senyawa baru.

  1. Posisikan diri sebagai penentu pilihan. Dari pengalaman keseharian kita yang sepertinya menekan kita untuk “berpacu dengan waktu”, kita sering lupa bahwa proses dan langkah-langkah merencanakan dan kemudian memutuskan sesuatu memerlukan haknya sendiri untuk berproses dengan wajar. Berhentilah untuk memosisikan diri sebagai “korban” desakan pihak lain. Why rushing things? Berhenti dan pikirkan ini: siapa persisnya yang harus mengambil keputusan dan untuk kepentingan siapa? Dalam menentukan apa yang harus kita lakukan dan bagaimana melakukannya__ pada umunya__ posisi terbaiknya ada pada pengalaman kita sendiri sebagai mahluk budaya. Kitalah yang akan menentukan apa yang akan kita perlukan dan bagaimana mendapatkannya. Mari kita hayati prosesnya dan mari kita nikmati pelajaran yang diperolehnya. Yang penting di sini adalah prosesnya harus kita hayati dan hubungan timbalbalik dengan konsekuensi yang diakibatkannya. Inilah proses ‘mahal’ yang disebut berpikir reflektif.
  2. Berdayakan diri dan budaya sekitar. Dalam banyak hal dalam kehidupan sehari-hari yang kita lalui sebagai mahluk budaya yang belajar dari pengalaman yang dilalui, kita banyak memperoleh pengalaman dari bekerjasama dengan orang lain; dan kemudian kita juga menimbang-nimbang konsekuensi dari akibat yang diperoleh dari pengalaman kita. Pelajaran penting yang harus kita ambil di sini adalah bahwa proses berpikir dan kemudian mengambil keputusan tentang sesuatu itu seringkali mahal harganya. Untuk mendapatkan manfaat besar dari pengalaman pribadi kita dalam mengambil suatu keputusan adalah bila kita dapat “menularkan” keberuntungan kepada pihak lain yang sering bersama kita. Kita__dengan demikian__ dalam posisi dapat berbagi pengalaman dengan teman kita agar yang bersangkutan bisa memperoleh keberuntungan yang serupa—bila yang bersangkutan dalam posisi mengalami pengalaman serupa.

Dengan kata-kata yang lain, alih-alih kita bersaing dengan teman seiring, saya ingin menyarankan agar kita bekerjasama saling membantu. Hal ini dapat dilakukan dengan cara “bekerja sama” atau  dapat juga menyampaikan hasil belajar yang kita peroleh dan menawarkannya sebagai “undangan kebajikan” bagi teman seiring yang membersamai kita.

  1. Perjuangkan untuk sukses bersama orang lain. Life is struggle. Itu kata pepatah di negeri tetangga sana. Kita juga dapat menikmati sukses yang serupa itu dengan memperjuangkan sukses ikhtiar kita dan kemudian menawarkan hasilnya (atau hasil belajarnya) dengan teman kita. Is it too good to be true? Cobalah praktikkan menjadi orang seperti itu: berbagilah sukses bersama teman seiring. Rasakan laganya melihat teman seiring kita tampak bahagia bersama kita.
  2. Bergabunglah bersama kelompok sepaham dan seminat. Seperti pameo lama yang mengatakan bahwa burung-burung sejenis akan berkumpul di tempat yang sama; manusia dengan minat serupa dan/atau hobby yang bersesuaian akan tertarik berkumpul dan berinteraksi atar sesamanya. Poin pentingnya di sini adalah bahwa wajar saja kalau ada kecenderungan bahwa manusia akan tertarik untuk bergabung dengan teman-temannya yang memiliki kecenderungan yang sama dan minat serupa.

Dalam kaitannya dengan format komunikasi dan forum interaksi sosial juga kita dapat menggunakan rumusan kelompok dan pengelompokan peguyuban yang bernuansa serupa. Yang saya anggap penting dalam “wadah sosial” dan “forum pergaulan” ini adalah bahwa kita dipandu oleh rasa saling-menghargai dan rasa saling-membuka-diri. Relasi sosial yang cair dan saling-menerima semacam ini sangat sehat bagi praktik budaya dan pergaulan sosial pada masyarakat kita di Indonesia.

Kalau kita di Indonesia sekarang-sekarang ini dapat dengan mudah berbaur tanpa kekagokan pskologis dan sosial yang wajar, maka __ sebagai warga budaya nusantara__ kita masih “tunggal ika”. Kita masih sehat-afiat secara budaya.

  1. Belajarlah dari dan bersama pakar yang tulus mencintai bidang Artificial Intelligence ini. Sedari awal, banyak pakar komunikasi dan pakar teknologi bersepakat bahwa sesuai akses yang dimilikinya dan/atau keleluasaan fasilitas teknologi yang ada padanya, masyarakat berbagai lapisan usia dan tingkat pendidikan akan merasakan degree of comfort __tingkat kenyamanan__ yang berbeda-beda. Gap ini pasti ada dan ia merupakan keniscayaan. Kita terima ini sebagai kenyataan variasi kedirian kita masing-masing.

Menghadapi kenyataan yang bervariasi ini dan menyadari kebedaan tingkat keakraban individu dengan perangkat teknologi dan kemudahan memahami Artificial Intelligence ini, kita seyogyanya dapat saling membuka-diri dan belajar dari yang satu ke yang lainnya. Ahli Artificial Intelligence dan teknologi digital yang mencintai bidangnya saya bayangkan memiliki perasaan “terbuka” dan “memaklumi” tingkat kecanggihan yang bervariasi sebagai fungsi dari perbedaan usia dan akses terhadap perangkat teknologi komunikasi yang menganga dengan lebar. Gap ini merupakan kesempatan bagi ahli Artificial Intelligence dan teknologi komunikasi untuk menjembatani dan memuluskan komunikasi lintas generasi yang dihadapi dalam realitas kehidupan yang ada.

Sebagai ahli yang paham dan terampil lebih dahulu dibanding yang lain-lainnya, Anda dalam posisi diberi kemudahan untuk “merangkul” (reaching out) masyarakat yang melingkupinya. Semoga Anda memperoleh keberkahan dari ilmu dan keterampilan digital dan teknologis yang dimiliki. Semoga diberkatiNya.

  1. Kenalilah batasan dan keterbatasan Anda dan optimalkan apa yang dapat dilakukan untuk kemaslahatan bersama. Satu hal yang sangat penting untuk diingat dalam hal ini adalah kita harus mampu mengenali batasan dan keterbatasan kita dalam hubungannya dengan akses dan keleluasaan teknologi komunikasi yang dimiliki dan hendak dimanfaatkan. Kita bukan designer dan bukan juga pemilik teknologi: kita seyogianya memosisikan diri sebagai pengguna dan pengambil manfaat dari kemudahan teknologi. Dengan cara menyadari hal ini, kita seyogianya terbebas dari keharusan ini-dan-itu di luar batas yang telah kita tarik sebagai garis yang memisahkan satu individu dari yang lainnya sebagai pengguna potensial dan pengambil manfaat teknologis.

Demikianlah sumbangan pemikiran yang dapat ditulis untuk Komunita kali ini.

(Bachrudin Musthafa)

Implementasi Artificial Intelligence Di Perguruan Tinggi Menjawab Disrupsi Pendidikan Tinggi ?

0

Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan telah menjadi salah satu teknologi disruptif yang merevolusi berbagai sektor, termasuk pendidikan tinggi. Perguruan tinggi dunia mulai mengadopsi dan memanfaatkan AI.

Tren ini dipercepat oleh peristiwa pandemi COVID-19 tahun 2020 lalu yang memaksa banyak perguruan tinggi mengadopsi teknologi digital. Pemanfaatannya untuk mendukung administrasi kampus, dan meningkatkan efisiensi tata kelola; memperkaya pengalaman dan meningkatkan kualitas pembelajaran; memperkuat dan mempercepat inovasi dalam penelitian serta pengabdian kepada masyarakat.

Merujuk riset digital majalah Komunita kecenderungan global implementasi Artificial Intelligence/AI  di perguruan tinggi antara lain meliputi aspek: Pembelajaran yang dipersonalisasi (Personalized Learning), Penilaian Otomatis (Automated Grading), Otomatisasi dan Peningkatan Administrasi Kampus, Sistem Bimbingan Akademik (AI-Powered Advising), Pengembangan Riset Berbasis AI. Identik dengan pernyataan: Artificial Intelligence (AI) has become a focal point in higher education, offering transformative potential in teaching, research, administration, and student support (Brown & Lippincott, 2017).

Tata Kelola dan Administrasi Kampus

Dalam meningkatkan efisiensi tata kelola dan administrasi di perguruan tinggi AI memainkan peran penting. Sistem berbasis AI membantu menyederhanakan proses administratif yang kompleks, seperti pendaftaran mahasiswa, manajemen keuangan, serta pengelolaan data akademik.

Sistem Pendaftaran Otomatis, proses pendaftaran mahasiswa baru menjadi lebih cepat dan akurat. Chatbot berbasis AI digunakan Arizona State University untuk memberikan informasi kepada calon mahasiswa, menjawab pertanyaan, serta membantu menyelesaikan proses pendaftaran secara otomatis.

Otomatisasi Tugas Administratif/Peningkatan Administrasi Kampus, yakni otomatisasi tugas penilaian, pengelolaan data mahasiswa, dan administrasi lainnya,  mengelola pendaftaran mahasiswa, pembayaran, dan komunikasi kampus dengan memanfaatkan chatbot cerdas seperti Nina atau Ivy.ai.  Otomatisasi tersebut memungkinkan staf fokus pada kegiatan yang lebih strategis.

Manajemen Data dan Prediksi menganalisis data besar (big data) untuk membuat keputusan strategis. University of Melbourne – Australia menggunakan AI untuk menganalisis data akademik mahasiswa, mengidentifikasi risiko mahasiswa drop-out, dan memberikan intervensi tepat waktu.

Personalisasi Pengalaman Mahasiswa, sistem berbasis AI dapat merekomendasikan program studi, mata kuliah, atau peluang magang berdasarkan minat dan profil mahasiswa. Nanyang Technological University (NTU) – Singapura telah mengimplementasikan AI untuk mempersonalisasi pengalaman mahasiswa tersebut.

 

Pendidikan dan Pengajaran

Dalam pendidikan dan pengajaran AI merevolusi cara dari pembelajaran adaptif hingga pembimbing virtual. AI membantu menciptakan lingkungan belajar yang lebih inklusif dan efektif, karena fungsi AI mendukung dosen, mendukung mahasiswa, serta memediasi interaksi.

Pembelajaran yang Dipersonalisasi (Personalized Learning). Dalam upaya meningkatkan efektivitas pembelajaran, AI digunakan untuk menyusun konten pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan belajar individu mahasiswa. AI digunakan untuk memahami kebutuhan belajar individu, merekomendasikan konten, dan mengembangkan modul pembelajaran, serta  menyesuaikan materi dan metode pengajaran sesuai dengan kebutuhan individu mahasiswa, serta memberi dukungan akademik secara real-time.  Contoh: sistem adaptive learning, seperti ALEKS dan Smart Sparrow.

Penilaian Otomatis (Automated Grading). Penggunaan sistem berbasis AI untuk menilai tugas-tugas esai dan ujian pilihan ganda secara cepat dan konsisten dapat mengurangi beban kerja dosen.

Pembelajaran Adaptif. AI memungkinkan pembelajaran adaptif, di mana konten pembelajaran disesuaikan dengan kebutuhan individu mahasiswa. Platform seperti Carnegie Learning – Amerika Serikat menggunakan AI untuk mempersonalisasi materi pembelajaran matematika, membantu mahasiswa belajar sesuai kecepatan mereka.

Pengajar Virtual. Pengajar virtual berbasis AI, seperti “Jill Watson” di Georgia Institute of Technology mampu menjawab pertanyaan mahasiswa secara real-time. Teknologi ini mengurangi beban pengajar dan meningkatkan keterlibatan mahasiswa.

Evaluasi dan Umpan Balik Otomatis. AI memungkinkan mengotomasi penilaian tugas dan ujian. Universitas di Finlandia menggunakan sistem AI untuk memberikan umpan balik mendalam pada esai mahasiswa, sehingga proses evaluasi menjadi lebih cepat dan konsisten.

Sistem Bimbingan Akademik (AI-Powered Advising). Menggunakan platform seperti IBM Watson dapat memberikan saran akademik berbasis data kepada mahasiswa tentang pilihan mata kuliah, jalur karier, dan studi lanjut.

Analisis Data Pendidikan. Menggunakan AI untuk menganalisis big data pendidikan guna mengidentifikasi tren, memprediksi kinerja mahasiswa, dan mendukung pengambilan keputusan strategis.

Penelitian dan Pengabdian Masyarakat

Dalam penelitian dan pengabdian kepada masyarakat bisa diinisiasi Pengembangan Riset Berbasis AI. AI dimanfaatkan dalam analisis data besar (big data analytics), analisis data yang kompleks untuk mempercepat proses penelitian, serta mendorong inovasi di berbagai disiplin ilmu,  pemodelan prediksi di berbagai bidang ilmu, dan penemuan obat.

Penelitian Multidisiplin. AI membuka peluang penelitian multidisiplin yang menggabungkan teknologi dengan bidang lain, seperti kesehatan, lingkungan, dan ilmu sosial. Contoh, University College London menggunakan AI untuk menganalisis data genetik dalam penelitian kanker.

Pengabdian kepada Masyarakat. University of Cape Town – Afrika menggunakan AI untuk mengembangkan solusi berbasis data dalam mengatasi masalah air bersih. Sistem AI membantu mengelola sumber daya air secara efisien dan memberikan peringatan dini terhadap kekeringan.

Menjawab Disrupsi Pendidikan Tinggi ?

            Perguruan tinggi dunia tengah menghadapi gelombang disrupsi yang disebabkan oleh globalisasi, digitalisasi, dan perubahan kebutuhan pasar tenaga kerja. Dalam konteks ini, Artificial Intelligence (AI) muncul sebagai solusi strategis untuk menjawab tantangan-tantangan tersebut. Implementasi AI di perguruan tinggi bukan hanya menjadi katalisator efisiensi, tetapi juga merevolusi cara pendidikan tinggi dikelola dan dikembangkan sebagaimana dalam tridharma di atas.

Disrupsi pendidikan tinggi ke depan melibatkan perubahan besar, termasuk tumbuhnya pembelajaran daring, meningkatnya kebutuhan akan pembelajaran sepanjang hayat (lifelong learning), dan tekanan untuk menghasilkan lulusan yang siap kerja. AI kiranya dapat membantu menjawab tantangan ini melalui: personalisasi pendidikan, efisiensi tata kelola, dan inovasi dalam pengajaran.

Melalui personalisasi pendidikan AI mampu menyesuaikan kurikulum berdasarkan kebutuhan individu mahasiswa, memastikan pembelajaran lebih relevan dan efektif. Contohnya adalah platform pembelajaran adaptif, seperti Coursera dan edX yang menggunakan algoritma AI untuk menyarankan materi yang sesuai.

Proses administratif yang sering memakan waktu, seperti pendaftaran mahasiswa dan evaluasi akademik, dapat diotomatisasi menggunakan chatbot atau sistem AI lainnya, memungkinkan fokus lebih pada pengembangan akademik. Ini sebagai  bentuk efisiensi tata kelola.

Teknologi AI memungkinkan pengajaran berbasis simulasi dan analitik, seperti penggunaan realitas virtual berbasis AI di kelas-kelas teknik dan kedokteran. Inilah bentuk inovasi dalam pengajaran:

AI mendukung penelitian multidisiplin yang mampu menyelesaikan masalah global, seperti perubahan iklim, kesehatan masyarakat, dan ketahanan pangan. Contohnya, Stanford University menggunakan AI dalam pengembangan algoritma kesehatan untuk mendiagnosa penyakit dengan akurasi tinggi. Selain itu, AI memfasilitasi kolaborasi global dengan analisis data yang cepat dan presisi. Inilah bentuk penelitian dan inovasi yang disruptif.

Kemampuan teknologi AI menciptakan model pendidikan yang lebih fleksibel, adaptif, dan berkelanjutan. Perguruan tinggi yang cepat beradaptasi dengan teknologi ini akan mampu mencetak lulusan yang relevan dengan pasar tenaga kerja global, sekaligus mempertahankan relevansinya di era disrupsi.  AI bukan lagi sekadar teknologi masa depan; ia telah menjadi kebutuhan saat ini agar perguruan tinggi tetap relevan dan kompetitif. Dengan adopsi AI yang strategis, perguruan tinggi dapat memanfaatkan disrupsi sebagai peluang untuk menciptakan model pendidikan yang inovatif dan inklusif. Itulah masa depan pendidikan tinggi. Namun demikian “The adoption of AI in higher education is a complex and multifaceted process that unfolds in distinct stages. By understanding and navigating these stages effectively, institutions can harness the transformative potential of AI to enhance teaching, learning, research, and administration.” (Firas Khairi Yhya Alhafidh, April 2024).

 

Artificial Intelligence: Tantangan dan Peluang bagi Mutu Pendidikan Tinggi Menjawab Disrupsi

0

Bincang bersama Prof. Dr. Suyanto, S.T., M.Sc, – Pakar Artificial Intelligence

Director of Center of Artificial Intelligence for Learning and Optimization, Telkom University

Elon Musk, CEO Tesla bergabung dengan pakar Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence/AI) lainnya mengklaim bahwa hanya tinggal sedikit data dunia nyata yang tersisa untuk melatih model Artificial Intelligence (AI). “Data puncak” yang dikuasai AI akan segera tercapai. Musk menjelaskan hampir semua pengetahuan manusia yang tersedia telah diproses dalam pelatihan AI. Dikatakannya “pada dasarnya, kami telah menghabiskan jumlah kumulatif pengetahuan manusia … dalam pelatihan AI,” siaran langsung di media sosial X, dilansir TRT World, dan CNN Indonesia, Sabtu, 11 Januari 2025.

Edisi #41 ini Tim majalah Komunita bersepakat mengangkat isu seksi Artificial Intelligence (AI)/Kecerdasan Buatan, khususnya di dunia pendidikan tinggi. Lalu kami meriset pakar Indonesia di bidang ini. Ketemulah sosok Prof. Dr. Suyanto, S.T., M.Sc. – Director of Center of Artificial Intelligence for Learning and Optimization, Telkom University. Kami hubungi beliau melalui WA, disusul surat resmi, selanjutnya kami keep contact by WA. Semuanya mengalir dan begitu lancar. Barakallah.    Senin, tanggal 6 Januari 2025 kami sepakat bertemu di kantor beliau, Universitas Telkom, Kabupaten Bandung.

Prof. Suyanto sungguh sosok yang sederhana dan akrab. Kami langsung cair dalam wawancara dan diskusi. Wawancara dan diskusi yang menarik, terbuka, hidup, dan mengalir sampai tidak terasa telah berlangsung sekitar 2,5 jam. Pukul 15.30 an saya pamit dan berterima kasih atas pencerahannya. Bahkan saya dihadiahi dua buku novel karya beliau dalam gelutannya dengan perjalanan hidup dan Artificial Intelligence (Roller Coasteran – Bareng Pacar, dan Maratonan Bareng Pacar – Cara Asyik Menikmati Disrupsi AI). Selama diskusi beliau lebih senang dengan panggilan akrab Prof. SUO yang sudah melekat sebagai panggilan akrab.

Kami urai wawancara dan diskusi dalam 7 (tujuh) segmen tulisan berurutan terkait pandangan dan pemikiran beliau tentang Artificial Intelligence ini. Berikut tujuh segmen pandangan dan pemikiran beliau.

Memahami AI: Teknologi, Potensi, dan Tantangannya

            AI adalah teknologi yang sangat potensial, tetapi penggunaannya membutuhkan pemahaman yang tepat, terutama dalam penyusunan data pelatihan dan cara bertanya (prompting). Melalui pendekatan yang benar, AI dapat menjadi alat yang revolusioner dalam berbagai bidang, terutama pendidikan dan penelitian. Namun, tantangan seperti validitas data dan bias tetap harus menjadi perhatian utama dalam pengembangannya.

Komunita: Apakah  AI dan bagaimana potensinya dalam  kehidupan kita?

Prof. SUO: Artificial Intelligence (AI) memiliki potensi luar biasa dalam  mempercepat pengolahan data dan pengetahuan. AI dapat mengkurasi miliaran buku dalam waktu singkat, hal yang mustahil dilakukan oleh manusia. Dalam enam bulan pelatihan saja, AI bisa memahami berbagai ilmu dari miliaran buku dalam berbagai bahasa di dunia.

Namun, pengembangan AI membutuhkan investasi besar, hingga ratusan triliun. Meski begitu, jika biaya ini dibagi dengan jumlah penduduk dunia—sekitar 8 miliar orang—biaya per orangnya menjadi relatif kecil, sekitar 12 juta rupiah.

Dalam dunia pendidikan, AI memungkinkan mahasiswa belajar dari ribuan “profesor virtual” yang menguasai berbagai bidang ilmu. Hal ini membuat proses pembelajaran jauh lebih efisien dan akurat. AI benar-benar membuka pintu bagi eksplorasi pengetahuan yang tak terbatas.

Komunita: Bagaimana memastikan data dan informasi yang diberikan AI valid dan mempersempit bias?

Prof. SUO: AI memiliki mekanisme otomatis untuk mem-filter data. Dengan menggunakan teknik stokastik—atau perhitungan peluang—AI cenderung mengidentifikasi informasi yang paling umum atau yang memiliki konsensus tinggi di antara data yang tersedia.

Contoh, jika 90% dari miliaran data menyatakan suatu hal benar, maka itulah yang akan dianggap valid oleh AI. Data yang tidak valid atau bias akan otomatis diabaikan, meskipun ada upaya untuk memasukkan informasi yang salah secara masif (bombing).

Namun demikian, tetap ada risiko bias, terutama jika data yang digunakan tidak mencakup semua sudut pandang atau jika data itu sendiri bermasalah. Oleh karena itu, validitas data menjadi kunci utama dalam pengembangan AI.

Komunita: Ada kasus AI memberikan informasi tidak akurat tentang sebuah institusi. Bagaima-na menjelaskan  hal  ini?

Prof. SUO: Kesalahan semacam itu bisa terjadi jika informasi yang diminta terlalu umum, atau AI belum dilatih pada bidang tertentu. Selain itu, pertanyaan yang tidak spesifik juga dapat menghasilkan jawaban yang tidak relevan.

Misal, jika kita bertanya tentang “evolusi” tanpa konteks yang jelas, AI mungkin akan memberikan jawaban yang salah arah. Kata “evolusi” bisa merujuk pada biologi, ilmu alam, algoritma, atau bahkan komputer sains. Oleh karena itu, teknik bertanya atau prompting sangat penting untuk memastikan jawaban AI relevan dan akurat.

Komunita: Bagaimana cara membuat pertanyaan yang efektif untuk AI?

Prof. SUO: AI bekerja dengan memahami konteks dari pertanyaan yang diberikan. Jika pertanyaan spesifik, dan sesuai dengan data pelatihannya, AI akan memberikan jawaban yang sangat akurat. Namun, jika pertanyaan terlalu umum atau tidak sesuai konteks, jawaban yang dihasilkan bisa menjadi campur aduk atau bahkan salah arah.

Sebagai pengguna, ketika menggunakan AI kita perlu: Menyusun pertanyaan yang spesifik. Sebutkan ruang lingkup topik yang diinginkan, misalnya biologi, tanpa mencampurkan topik lain seperti budaya. Lalu, Memposisikan peran AI dan pengguna. Misalnya, kita bisa meminta AI untuk “berperan sebagai ahli biologi” agar jawaban lebih terfokus.

Kesalahan dalam prompting ini dapat menyebabkan AI memberikan jawaban yang salah atau bahkan “halusinasi,” di mana satu kesalahan kecil memicu rangkaian kesalahan berikutnya dalam jawabannya.

 

Komunita: Mengapa banyak institusi, termasuk kampus dan Kementerian, masih ragu mengim-plementasikan AI?

Prof. SUO: Keraguan ini wajar, mengingat AI masih memiliki keterbatasan dan membutuhkan pemahaman mendalam untuk menggunakannya secara efektif. AI memang memiliki potensi besar namun banyak limitasi, karena itu perlu regulasi dan mitigasi sesuai porsi. Banyak yang belum memahami bagaimana AI bekerja dan bagaimana memaksimalkan penggunaannya.

Sebagai contoh, saat saya menjelaskan teknologi AI dalam sebuah forum yang diikuti 600 ribu peserta online, banyak yang baru memahami potensi AI setelah saya memaparkannya selama dua jam. Hal ini menunjukkan perlunya edukasi lebih lanjut tentang bagaimana AI dapat digunakan secara praktis dan aman. Sisi lain tantangan dalam implementasi AI di pendidikan tinggi adalah perlu pelatihan secara massif, edukasi tanpa henti, serta relokasi anggaran.

 

Pengaruh AI Terhadap Pendidikan, Bisnis, dan Politik

Perkembangan teknologi AI dapat mempengaruhi banyak aspek kehidupan, termasuk sektor pendidikan. AI berpotensi mendisrupsi sistem pendidikan tradisional, termasuk pendidikan tinggi, di mana sekolah berbasis AI bisa menggantikan yang tidak mengadopsi teknologi ini.

Kehadiran teknologi ini juga menunjukkan bahwa negara yang tidak beradaptasi dengan perkembangan AI akan tertinggal. Misalnya, Cina yang berhasil mengintegrasikan AI dengan cepat, mengembangkan Baidu sebagai pesaing Google dan mengendalikan informasi untuk keuntungan negaranya. Hal ini membuka diskusi lebih lanjut tentang bagaimana pemerintah dan lembaga pendidikan perlu memahami dampak jangka panjang AI terhadap masa depan pendidikan dan ekonomi.

Menghadapi perubahan ini, penting bagi Indonesia, terutama perguruan tinggi, untuk mulai mengintegrasikan teknologi AI dalam pendidikan. Seperti yang disebutkan, pendidikan tidak hanya perlu menyiapkan individu untuk menguasai keterampilan yang relevan dengan zaman, tetapi juga harus siap beradaptasi dengan perubahan global yang terjadi, termasuk pemanfaatan teknologi seperti AI.

“AI bisa mengendalikan informasi dengan mudah. Negara yang menguasai AI bisa mempengaruhi banyak hal. Kita perlu waspada agar tidak ketinggalan,” jelas Prof. SUO. Ini menunjukkan pentingnya pendidikan tinggi dalam mempersiapkan generasi mendatang menghadapi tantangan teknologi yang semakin berkembang. Lebih jauh lagi, peran kampus sebagai pusat penelitian dan inovasi harus didorong untuk mengejar perkembangan teknologi ini, dengan mengintegrasikan AI dalam proses belajar-mengajar. Pembelajaran berbasis AI akan menjadi faktor penting dalam mencetak mahasiswa yang siap menghadapi masa depan yang penuh disrupsi.

Dalam konteks pengembangan pusat keunggulan di perguruan tinggi – seperti yang sedang dijalankan beberapa universitas di Indonesia – penting untuk memastikan bahwa riset dan program-program akademis fokus pada penguasaan teknologi dan kreativitas.

Karena itu, pemahaman tentang peran teknologi – terutama AI – sangat penting dalam pembangunan ekonomi dan pendidikan global. Negara yang tidak memanfaatkan teknologi ini berisiko tertinggal, dan bagi Indonesia, ini adalah tantangan sekaligus peluang besar mengejar ketertinggalan dan memperkuat daya saing global.

Dilema Etika, Regulasi Teknologi AI dan Mobil Otonom

Saat ini teknologi Artificial Intelligence (AI) telah mengalami perkembangan pesat selama belasan tahun terakhir. Salah satu implementasinya adalah mobil otonom – mulai dioperasionalkan untuk kepentingan publik –  yang membawa banyak tantangan etika, regulasi, dan sosial. Kendaraan ini didesain untuk membuat keputusan secara mandiri dalam situasi kritis, seperti memilih arah ketika harus menghindari tabrakan.

Etika Mobil Otonom dan Dilema Regulasi

Contoh konkret dapat dilihat pada situasi ketika sebuah mobil otonom sedang melaju dan menghadapi rintangan besar, seperti tembok atau pohon. Sistem mobil harus memutuskan untuk berbelok ke kiri atau ke kanan. Namun, jika ke kiri ada seorang ibu; dan jika ke kanan ada anak kecil yang merupakan anak ibu tersebut.

Keputusan ini mencerminkan dilema etika yang berbeda antara budaya dan kebijakan suatu negara. Di Jerman, mobil cenderung memilih menyelamatkan anak kecil, karena tingkat kelahiran rendah dan anak dianggap memiliki masa depan yang panjang. Sementara, di Indonesia, ibu cenderung diselamatkan karena angka kelahiran tinggi dan diasumsikan bahwa ibu tersebut dapat memiliki anak lain. Perbedaan ini menunjukkan bahwa regulasi tidak dapat sepenuhnya diuniversalisasi karena dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya, sosial, dan kebijakan lokal.

Dari sisi Regulasi mobil otonom harus mempertimbangkan tanggung jawab berbagai pihak. Mereka adalah: Produsen Mobil, bertanggung jawab atas desain dan integrasi teknologi; Vendor Sensor, kesalahan sensor dapat memicu insiden; Pengguna, walaupun tidak memiliki kendali langsung, pengguna dapat terlibat dalam dampak hukum; Negara, sebagai otoritas pengatur harus menetapkan standar keselamatan dan tanggung jawab.

Namun, regulasi lintas negara sulit diterapkan karena perbedaan pandangan dan kebijakan. Misalnya, aturan di Jerman tidak dapat sepenuhnya diterapkan di Indonesia karena perbedaan sosial budaya.

AI dalam Pendidikan

Selain dalam transportasi, AI juga memiliki dampak besar pada pendidikan tinggi. Contoh kasus pada penggunaan teknologi AI, seperti ChatGPT. Penelitian di Harvard University menunjukkan bahwa AI seperti ChatGPT memiliki tingkat kesesuaian sekitar 90% dengan budaya negara-negara, seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Australia. Namun, di negara-negara seperti Indonesia, Tunisia, dan Pakistan tingkat kesesuaian hanya sekitar 60%, karena perbedaan budaya dan psikologi.

Hal ini menunjukkan bahwa meskipun AI bersifat universal, penerapannya harus disesuaikan dengan konteks lokal, terutama dalam pendidikan. Contoh: Pembelajaran Sastra: AI harus memahami nilai-nilai budaya setempat untuk memberikan konteks yang relevan; lalu Pengembangan Pengetahuan Lokal: AI dapat digunakan untuk mendukung penelitian tentang isu-isu lokal, semisal keberagaman kopi di Indonesia.

Peran Manusia dalam Teknologi AI

Teknologi AI bersifat bebas nilai, tetapi manusia yang menggunakannya harus memiliki nilai-nilai etika. Oleh karena itu, dalam menggunakan AI penting untuk melakukan beberapa upaya: Memfilter Informasi: artinya AI harus dirancang untuk menghindari memberikan jawaban yang berbahaya atau menyesatkan. Kustomisasi: artinya Informasi dari AI perlu disesuaikan dengan kebutuhan spesifik, seperti dalam seni atau pendidikan. Kolaborasi: artinya teknologi AI tidak dapat sepenuhnya menggantikan manusia. Dalam banyak kasus, seperti operasi medis atau kendaraan otonom, manusia tetap diperlukan sebagai pengendali.

Adalah benar bahwa teknologi AI, termasuk mobil otonom menawarkan potensi besar, tetapi juga membawa tantangan etika, regulasi, dan budaya. Regulasi yang bersifat universal sulit diterapkan, karena harus menjawab kebutuhan lokal dan global secara bersamaan. Oleh sebab itu, kolaborasi antara manusia dan teknologi menjadi kunci utama untuk memaksimalkan manfaat AI sambil meminimalkan risikonya.

Artificial Intelligence : Peluang dan Tantangan  

Artificial Intelligence (AI) telah menjadi teknologi revolusioner yang berdampak besar pada berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan tinggi. Dengan kemampuan mengolah data dalam skala besar dan memberikan prediksi akurat, AI menjadi solusi menjawab tantangan global, seperti efisiensi pendidikan,  pertanian modern, bahkan penemuan obat. Namun, implementasi AI juga menimbulkan tantangan yang membutuhkan kebijakan dan strategi adaptasi.

Peluang

AI Paling tidak menawarkan peluang dalam aspek sebagai berikut. Efisiensi dalam Penemuan Pengetahuan dan Teknologi. AI mampu menganalisis miliaran data dalam waktu singkat untuk menghasilkan temuan baru. Dalam bidang kesehatan, misalnya, AI mempercepat penemuan obat dengan mengeliminasi eksperimen yang tidak relevan.

Disrupsi Positif di Dunia Pendidikan Tinggi. AI memungkinkan dosen menciptakan metode pembelajaran lebih efektif, membuat mereka lebih hebat dalam membimbing mahasiswa. Sedang mahasiswa yang memanfaatkan AI menjadi lebih unggul karena memiliki kombinasi akurasi teknologi dan kemampuan berpikir kritis.

Kolaborasi Manusia – AI: sebagai Entitas Terbaik. Keunggulan AI adalah kurasi tinggi dan kapasitas besar dalam pengolahan data. Sementara Keunggulan Manusia adalah kreativitas dan kemanusiaan. Maka kolaborasi antara AI dan manusia memungkinkan terciptanya solusi terbaik yang memadukan efisiensi teknologi dan nilai kemanusiaan.

Optimalisasi Sumber Daya Pertanian. Dengan dukungan AI dan Internet of Things (IoT), pertanian modern dapat memastikan ketahanan pangan bagi populasi global yang diproyeksikan mencapai 9,6 miliar pada 2050.

Tantangan

Namun demikian beberapa tantangan perlu menjadi perhatian, setidaknya mencakup: kreativitas dan humanitas, disrupsi bagi profesi tradisional, kurangnya regulasi dan kebijakan.

Kreativitas dan Humanitas, bahwa AI dengan logika probabilitasnya sulit menghasilkan kreativitas yang melawan arus atau unik. Kreativitas tetap menjadi ranah manusia. Inilah kelebihan manusia yang memiliki sisi humanis.

Disrupsi Bagi Profesi Tradisional. Kehadiran AI mendisrupsi profesi tradisional. Contoh, seniman yang tidak berkolaborasi dengan AI berisiko terdisrupsi oleh seniman lain yang menggunakan AI untuk brainstorming atau membuat sketsa awal.

Kurangnya Regulasi dan Kebijakan. Hingga kini, belum ada regulasi nasional atau internasional yang mengatur penggunaan AI. Kebijakan sering kali diinisiasi di tingkat lokal, misalnya oleh fakultas atau program studi.

 

 

Tantangan Implementasi AI di Pendidikan Tinggi

Wawancara kami berlanjut mengenai implementasi teknologi Artificial Intelligence (AI) di dunia pendidikan, khususnya pendidikan tinggi. Fokus utama meliputi regulasi, literasi digital, serta tantangan teknis dan sosial dalam mengintegrasikan AI ke dalam proses pembelajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat. Paling tidak terdapat 6 (enam) aspek yang perlu diperhatikan terkait implementasi AI di pendidikan tinggi, serta strateginya.

Regulasi dan Panduan Penggunaan AI

Saat ini belum terdapat regulasi spesifik terkait penggunaan AI di pendidikan tinggi, tegas Prof. SUO. Hanya ada panduan umum yang belum memiliki kekuatan hukum mengikat (Panduan Penggunaan Generative Artificial Intelligence pada Pembelajaran di  Perguruan Tinggi, 2024 yang diinisiasi Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan). Akibatnya, implementasi AI sering kali diserahkan kepada masing-masing institusi, bahkan hingga ke level fakultas atau individu dosen. Contoh, di satu perguruan tinggi, antara Fakultas Industri Kreatif dengan Fakultas Informatika memiliki kebijakan yang berbeda. Kondisi ini menunjukkan kebutuhan mendesak akan edukasi dan panduan yang lebih terpadu di tingkat universitas.

Edukasi dan Literasi AI

Dalam kaitan itu Prof. SUO  menekankan pentingnya meningkatkan literasi AI bagi seluruh sivitas akademika, termasuk dosen, mahasiswa, dan tenaga pendidikan. Proses ini membutuhkan waktu, biaya, dan upaya besar, namun sangat penting agar perguruan tinggi tetap relevan di mata mahasiswa. Tanpa literasi AI yang memadai, perguruan tinggi berisiko kehilangan kepercayaan mahasiswa. Literasi ini mencakup pemahaman teknis, keamanan, mitigasi risiko, dan etika dalam penggunaan AI.

Peran AI dalam Pendidikan

Teknologi AI menawarkan berbagai manfaat di pendidikan tinggi, seperti personalisasi pembelajaran, learning optimization, dan adaptive learning platforms, juga penelitian. Dengan menggunakan AI, profil mahasiswa dapat diidentifikasi melalui data yang tersedia, seperti aktivitas di media sosial atau sistem pembelajaran daring (Learning Management System/LMS). Hal ini memungkinkan dosen menyusun materi pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik masing-masing mahasiswa, atau menciptakan konsep “personalized learning” yang lebih optimal.

Dalam hal ini, AI dapat mengenali dan memetakan profil setiap mahasiswa: bakat, minat, serta gaya dan kecepatan belajarnya. Kemudian, AI bisa memberikan rekomendasi materi, kuis, diskusi, proyek, dan sebagainya secara personal sesuai profil masing-masing mahasiswa. Banyak negara maju sudah menerapkan AI untuk personalisasi pembelajaran sebab mereka sudah memasuki Industri 5.0, yang bertujuan untuk Mass Customization, bukan lagi Mass Production seperti dalam Industri 4.0.

Learning optimization yang didukung AI dapat meningkatkan hasil pembelajaran mahasiswa. Misalnya, mahasiswa yang mengalami masalah studi karena tidak sesuai bakat, minat, serta gaya dan kecepatan belajarnya, bisa ditangani dengan melakukan optimasi pembelajaran berbasis AI. Jika pembelajaran dilaksanakan luring, dosen bisa mendapatkan informasi dari AI dan menyesuaikan materi secara optimal. Jadi, optimasi pembelajaran dapat dilakukan untuk mencapai personalisasi pembelajaran sehingga meningkatkan hasil pembelajaran mahasiswa.

Demikian pula peran adaptive learning platforms dalam menciptakan pendidikan berbasis kebutuhan individu. Adaptive learning platforms digunakan untuk membangun ekosistem dalam mengelola sistem pendidikan berbasis kebutuhan individu berskala besar, nasional, hingga internasional.

AI juga mendukung proses penelitian di perguruan tinggi. Banyak teknologi AI yang digunakan untuk mendukung penelitian dari awal sampai final: mulai dari mencari ide-ide novelty, desain, implementasi, pengolahan data dan analisis, hingga publikasi. Dalam pengolahan data dan analisis, kita bisa mengunggah hasil-hasil eksperimen, dalam bentuk tabel atau grafik, serta tujuan pengolahan data dan analisis ke dalam mesin AI, dan memberikan hasil pengolahan data dan analisis secara presisi. Selain itu, AI dapat digunakan untuk penemuan ilmiah baru, seperti pengembangan obat-obatan dalam menghadapi pandemi. Lebih jauh Prof. SUO  menekankan bahwa penggunaan AI di pendidikan tinggi seharusnya difokuskan pada kreasi pengetahuan baru dan solusi inovatif untuk berbagai masalah global.

Tantangan Sosial dan Humaniora

Hal lain, integrasi AI di pendidikan tinggi tidak hanya membutuhkan penguatan aspek teknis, tetapi juga aspek sosial dan humaniora. Kreativitas dan humanitas menjadi elemen penting yang harus dikembangkan. Hal ini terutama berlaku pada pendidikan dasar dan menengah, di mana penekanan pada pembentukan karakter, keamanan, dan mitigasi risiko lebih diutamakan. Di perguruan tinggi, mahasiswa yang lebih dewasa dapat diarahkan untuk mengeksplorasi teknologi dengan tetap menjaga nilai-nilai etika dan tanggung jawab sosial.

Pergeseran ke Industri 5.0

Prof. SUO  juga menyoroti pergeseran saat ini dari industri 4.0 ke industri 5.0, yang menekankan personalisasi massal dengan pendekatan human-centric. Penggunaan AI memungkinkan personalisasi dalam skala besar, seperti pengelolaan materi kuliah untuk puluhan ribu mahasiswa dengan gaya belajar yang berbeda. Hal ini menjadi tantangan besar bagi perguruan tinggi untuk mengelola data secara efektif dan efisien.

Kebutuhan Infrastruktur dan Pendanaan

Integrasi AI membutuhkan investasi besar, baik untuk literasi, infrastruktur, maupun layanan pendukung seperti bimbingan konseling. Prof. SUO menekankan pentingnya pendanaan yang mencakup teknologi, pelatihan, dan penguatan aspek sosial. Sebagai contoh, beberapa kampus di Eropa memiliki divisi khusus yang menangani konseling psikologi dan sosial, baik untuk mahasiswa maupun dosen, guna menjaga keseimbangan antara penggunaan teknologi dan kebutuhan manusia.

Keenam aspek tersebut menunjukkan bahwa teknologi AI memiliki potensi besar untuk merevolusi pendidikan tinggi, tetapi penerapannya memerlukan pendekatan holistik yang mencakup aspek teknis, sosial, dan humaniora. Karena itu, perguruan tinggi harus menjadi pelopor dalam literasi AI, mengembangkan kebijakan yang komprehensif, dan memastikan AI digunakan secara etis untuk mendorong pembelajaran yang personal dan humanis. Dengan demikian, AI akan dapat menjadi alat untuk menciptakan pendidikan yang lebih inklusif, kreatif, dan relevan di masa depan.

Strategi

Dalam kaitan itu strategi yang perlu ditempuh pendidikan tinggi mencakup: kebiajakan institusional, integrasi AI dalam proses pembelajaran, serta peningkatan kolaborasi manusia dan AI. Kebijakan Institusional menuntut perguruan tinggi merancang kebijakan internal untuk memanfaatkan AI secara bertanggung jawab. Sementara dosen dan mahasiswa perlu dipersiapkan untuk memahami dan memanfaatkan AI secara optimal.

Integrasi AI dalam Proses Pembelajaran, dalam proses pembelajaran ini AI dapat digunakan untuk membuat sketsa awal atau ide brainstorming, sementara proses kreatif akhir tetap dilakukan manusia. Selanjutnya kampus perlu mengatur kapan dan bagaimana AI digunakan dalam tugas mahasiswa.

Peningkatan Kolaborasi Manusia – AI, tentunya perguruan tinggi perlu mendorong kolaborasi antara AI dan manusia dalam pengajaran, penelitian, dan pengembangan inovasi. Dengan memanfaatkan AI, dosen dan mahasiswa dapat mencapai produktivitas dan kualitas yang lebih tinggi. AI merupakan teknologi yang menghadirkan peluang besar sekaligus tantangan signifikan. Pendidikan tinggi perlu memanfaatkan potensi AI untuk menciptakan lulusan yang unggul di era disrupsi teknologi. Namun, integrasi AI harus dilakukan dengan bijaksana, menghormati nilai-nilai kemanusiaan, dan memastikan bahwa kolaborasi antara manusia dan AI menghasilkan manfaat maksimal bagi masyarakat.

Disrupsi Teknologi di  Pendidikan Tinggi dan Kolaborasi Antar Kampus

            Kehadiran AI serta kecenderungan perkembangannya mengguncang dunia pendidikan tinggi memerlukan strategi dan langkah mitigasi untuk menghindari disrupsi teknologi di pendidikan tinggi tersebut. Beberapa hal yang perlu menjadi perhatian (Prof. SUO, wawancara 6 Januari 2024).

Pertama, terkait strategi pengembangan Perguruan Tinggi (PT) mengingat prediksi para ahli di tahun 2030 – 2035 akan hadir tiga teknologi hebat yang semakin disruptif, yakni: 4G AI, 6G Wireless Network, dan Quantum Computing. Kehadiran tiga teknologi tersebut, menghadapkan kita berada di era teknologi AI yang sangat cerdas dengan akurasi dan kapasitas besar, jaringan-jaringan nirkabel super cepat (10.00 kali lebih cepat), dan komputer-komputer bisa mereduksi waktu komputasi yang semula berjuta tahun menjadi hanya satu detik saja.

Hal ini membuat banyak ahli khawatir apakah PT masih diperlukan atau tidak. Namun, saya optimis PT akan tetap diperlukan, bahkan wajib ada. Tentu saja dengan operasional yang berbeda. PT dituntut beradaptasi diri dengan cepat dalam memanfaatkan AI secara baik dan benar untuk efisiensi administasi dan pelaksanaan tridharma. Dalam buku motivasi pengembangan diri, saya menyampaikan satu pernyataan: “Sekolah yang mengadaptasi AI akan mendisrupsi sekolah yang tidak mengadaptasi AI. Universitas yang mengadopsi AI akan mendisrupsi universitas yang tidak mengadopsi AI. Perusahaan yang menerapkan AI akan mendisrupsi perusahaan yang tidak menerapkan AI. Negara yang berbasis AI akan mendisrupsi negara yang tidak berbasis AI” (Prof. SUO, Maratonan – Bareng ‘Pacar – Cara Asyik Menikmati Disrupsi AI – 2024).

Karena itu, perguruan tinggi perlu memahami tiga hal utama dalam pengembangan dirinya, yakni: potensi, limitasi, dan mitigasi (evaluasi diri). Untuk itu dibutuhkan kebijakan internal yang adil, adaptif, dan cepat untuk menanggapi perubahan lingkungan pendidikan di atas.

Kedua,  Tantangan Teknologi dan Ketertinggalan. Indonesia masih tertinggal dalam infrastruktur teknologi dibandingkan negara maju. Sebagai perbandingan, Swedia sudah menggunakan teknologi 4G pada 2004, sedangkan Indonesia baru mengadopsinya pada 2015. Lalu, Quantum computing akan menjadi ancaman besar bagi keamanan data, termasuk sistem blockchain dan keamanan nasional, jika tidak segera diantisipasi. Perguruan tinggi harus fokus pada pengembangan aplikasi dan penggunaannya, karena pengembangan teknologi inti membutuhkan anggaran yang sangat besar, jauh di luar kemampuan finansial negara atau perusahaan di Indonesia.

Ketiga, Pentingnya Kustomisasi dan Industri 5.0. Perguruan tinggi di Indonesia perlu mengadopsi konsep Industri 5.0, yang menekankan pada “mass customization” (kustomisasi massal). Teknologi AI memungkinkan penyampaian pendidikan yang lebih terpersonalisasi, bahkan untuk skala besar, yang sebelumnya sulit dilakukan secara manual. Memanfaatkan bantuan AI, kustomisasi dalam skala besar dapat dilakukan dengan cepat dan efisien. Misalnya: pembuatan materi pembelajaran yang personal untuk setiap mahasiswa, berdasarkan kemampuan dan karakteristik individu. Juga, pengembangan soal dan evaluasi pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan dan tingkat kemampuan mahasiswa.

Keempat, Kolaborasi Antar Kampus. Saat ini, kolaborasi antar perguruan tinggi belum terlalu dioptimalkan, termasuk dalam hal berbagi fasilitas. Contoh, kolaborasi terjadi pada konsolidasi beberapa kampus di bawah TelU (Telkom University) yang menggabungkan empat kampus. Kemungkinan untuk berbagi fasilitas antar kampus di lokasi berdekatan menjadi alternatif efisiensi, seperti di sekitar kawasan Kopertis IV, Ekuitas, USB, Widyatama, dan Itenas yang berdekatan. Pemerintah perlu mendorong kebijakan yang lebih tegas, tanpa mengurangi akses pendidikan, agar kolaborasi atau merger dapat terjadi dengan lebih efektif. Kebijakan pemerintah sebelumnya melarang pendirian kampus baru. Alternatif yang digunakan adalah akuisisi dan merger. Merger sebagai solusi untuk memperkuat kampus-kampus swasta yang tidak efisien.

Sehingga yang perlu diperhatikan perguruan tinggi adalah: harus mengadopsi teknologi terkini secara cepat untuk tetap relevan di era disrupsi teknologi; menyadari tentang peran industri 5.0 dan penerapan teknologi AI harus ditingkatkan dalam lingkungan akademik; fokus pada pengembangan program berbasis sosial dan humaniora yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat; serta peningkatan kapasitas: baik dalam jumlah mahasiswa maupun kualitas program studi, melalui optimalisasi sumber daya dan kolaborasi.

Adopsi teknologi mutakhir, fokus pada kustomisasi pendidikan, dan kolaborasi antar kampus adalah langkah penting bagi perguruan tinggi di Indonesia menghadapi tantangan global dan disrupsi teknologi di masa depan. Dukungan kebijakan yang tegas dan inovasi yang cepat akan menjadi kunci keberhasilan transformasi ini.

Pengalaman Pribadi, Disrupsi AI, dan Pendidikan Masa Depan

Diakhir diskusi kami berbincang pengalaman Prof. SUO dalam mendidik anak-anaknya, mengembangkan pemahaman tentang AI dan disrupsi, serta pengalamannya menulis buku AI dengan bahasa yang mudah dipahami.

Komunita: Prof.  SUO, bisa diceritakan pengalaman dalam mendidik anak-anak, terutama dalam menghadapi disrupsi AI?

Prof. SUO: Saya selalu mencoba untuk menyiapkan anak-anak agar bisa menikmati disrupsi teknologi seperti AI, bukan hanya menghadapinya dengan rasa takut. Misalnya, anak-anak saya yang kembar, Aisyah dan Fatimah, keduanya kini sedang menempuh S2 di bidang AI di UGM. Saya memang sengaja mengarahkan mereka ke bidang ini, karena saya tahu bahwa AI adalah masa depan yang akan mengubah banyak hal. Di sisi lain, anak saya yang ketiga, Taslim, lebih tertarik pada Antropologi. Itulah kenapa saya ingin menggabungkan dua disiplin ilmu ini—AI dan Antropologi—untuk menghadapinya dengan perspektif yang lebih manusiawi.

Komunita: Ternyata Bapak sudah jauh-jauh hari menyiapkan mereka. Lalu, bagaimana pandangan Bapak tentang pentingnya memadukan sains teknik dengan sosial-humaniora?

Prof. SUO: Betul sekali. Sains teknik memang penting, tetapi saya merasa lebih penting lagi untuk mempersiapkan generasi yang memiliki pemahaman tentang humanisme. Anak ketiga saya, Taslim, adalah contoh bagaimana dia bisa mempelajari manusia lebih dalam, sesuatu yang tidak bisa diajarkan hanya dengan teknologi. Dari sinilah saya berpikir, kita bisa menikmati disrupsi dengan cara yang lebih manusiawi. Antropologi memberi kita cara melihat dunia yang berbeda, dan itulah yang sangat saya hargai. Saya belajar banyak darinya.

Komunita: Lalu, bagaimana perjalanan Bapak dalam menciptakan teknologi atau invensi seperti yang Bapak sebutkan sebelumnya?

Prof. SUO: Ya, saya menemukan konsep yang saya sebut “Scalable Universal Optimizer/SUO” pada 2021. Konsep ini sebenarnya mirip dengan quantum computing, tetapi dengan pendekatan yang lebih sederhana. Quantum computing mencoba menghitung seluruh kemungkinan, sedangkan SUO hanya mengambil sampel dari kemungkinan tersebut, yang menghasilkan output hampir sama dengan hasil perhitungan penuh. Ini bisa menyelesaikan masalah dalam waktu jauh lebih cepat, bahkan dalam hitungan menit, meskipun itu masih dalam tahap pengembangan dan belum saya publikasikan secara luas.

Komunita: Itu terdengar sangat luar biasa, Prof. Apakah ini terkait dengan pemahaman Bapak tentang AI dan disrupsi?

Prof. SUO: Semua ini berasal dari pengalaman pribadi saya, termasuk bagaimana anak-anak saya bermain atau berdebat. Dari situ saya menciptakan algoritma yang bisa menyelesaikan masalah besar, bahkan energi nasional, hanya dalam hitungan menit. Algoritma ini bisa menangani lebih dari 1.400 variabel. Ini benar-benar menunjukkan potensi luar biasa dari AI yang dapat mengubah banyak sektor dalam waktu yang sangat cepat.

Komunita: Sangat menarik, Prof. Jadi, AI bagi Bapak bukan hanya teknologi, tetapi juga sebuah pendekatan untuk memahami dan menyelesaikan masalah sosial?

Prof. SUO: Tepat sekali. AI memang sering dianggap hanya sebagai alat untuk mengoptimalkan proses teknis. Tetapi bagi saya, AI harus dikembangkan dengan memahami aspek sosial dan humanistiknya. Itu yang saya coba tanamkan kepada anak-anak saya. Saya ingin mereka memahami bahwa AI bisa digunakan untuk memperbaiki dunia, bukan hanya untuk kemajuan teknologi semata.

Komunita: Lalu, dalam perjalanan ini, bagaimana cara Bapak menulis buku dengan pendekatan yang lebih manusiawi, meskipun topiknya sangat teknis seperti AI?

Prof. SUO: Sebenarnya, menulis buku tentang AI dengan bahasa yang ringan memang tantangan tersendiri. Saya ditantang oleh seorang jurnalis membuat tulisan tentang AI yang bisa dipahami oleh orang awam, seolah-olah seperti novel. Pada awalnya saya terkejut, tapi kemudian saya teringat sejak muda saya memang suka membaca novel. Itu yang akhirnya menginspirasi saya menulis dengan cara yang berbeda. Buku saya yang pertama, yang berjudul Rollercoaster, saya selesaikan dalam waktu 60 jam tanpa bantuan AI. Saya ingin menyampaikan pengetahuan teknis dengan cara yang lebih emosional dan bisa dirasakan oleh pembaca, seperti rollercoaster yang penuh dengan perubahan suasana hati.

Komunita: Jadi, melalui buku yang saya terima ini, Bapak ingin menunjukkan bahwa teknologi dan humanisme bisa berjalan berdampingan?

Prof. SUO: Betul. Bahkan dalam penulisan buku ini, saya ingin pembaca merasakan emosi yang saya alami saat menulis. Ini bukan hanya tentang fakta dan data, tetapi juga tentang bagaimana kita menyelami dan meresapi perjalanan itu. Jadi, meskipun banyak orang yang berpikir AI adalah hal yang menakutkan, saya ingin menunjukkan bahwa dengan pendekatan yang tepat, kita bisa menikmati dan mengambil manfaat dari disrupsi ini.

Komunita: Luar biasa, Prof. Terima kasih atas wawancara dan diskusinya. Banyak insight yang sangat berguna bagi kita semua, terutama dalam menghadapai disrupsi di masa depan.

Itulah sekelumit diskusi dengan Prof. SUO melihat disrupsi teknologi, terutama AI, yang dipahami tidak hanya sebagai tantangan, tetapi juga peluang untuk menggabungkan ilmu pengetahuan dengan pemahaman humanistik. Dengan pengalaman mendalam di dunia akademik dan kehidupan keluarga, beliau menunjukkan bahwa cara kita menyikapi dan mengembangkan teknologi akan mempengaruhi masa depan yang lebih seimbang antara sains dan sosial.

Segmen terakhir ini dapat disimak lebih dalam pada dua buku novel yang bertema AI dan perjalanan hidup Prof. Suyanto atau SUO (SUO bermakna Scalable Universal Optimizer – yang merupakan inovasi kedua beliau di bidang AI). Inovasi pertama adalah Swarm Intelligence : Komodo Mlipir Algorithm (KMA). Buku novel pertama berjudul “Roller Coasteran (Bareng Pacar)”, novel kedua berjudul : “Maratonan (Bareng Pacar) – Cara Asyik Menikmati Disrupsi AI”.

(Interview & writing: lili irahali)

Artificial Intelligence: Akar dan Awal Perkembangan

0

Membicarakan Artificial Intelligence (AI)  atau Kecerdasan Buatan dengan merujuk buku Melanie Mitchell, Artificial Intelligence: A Guide to Intelligent Systems (2020) menggambarkan perjalanan panjang AI dari ide filosofis hingga teknologi praktis.

AI memiliki akar  pada  sejarah pemikiran manusia, dimulai dari pertanyaan mendasar tentang apa itu kecerdasan dan bagaimana pikiran bekerja.  AI telah berkembang melalui interaksi antara pemikiran manusia, kemajuan  teknologi, dan tantangan dunia nyata. Meski telah mencapai banyak hal, sejarah AI menunjukkan bahwa jalan ke depan penuh dengan tantangan baru, baik dari segi teknis maupun etis. Memahami akar  sejarah  ini, setidaknya kita dapat lebih menghargai bagaimana AI telah dan akan terus membentuk masa depan kita.

Buku  Melanie menyelami akar intelektual, filosofis, dan teknis dari bidang ini, yang telah membentuk dasar pengembangannya selama berabad-abad.

Inspirasi dari Pemikiran Filosofis

Sejarah AI tidak dapat dipisahkan dari upaya manusia memahami dirinya sendiri. Filsafat memainkan peran penting dalam  membentuk konsep awal  tentang kecerdasan dan pemrosesan informasi. Filsuf Yunani, Plato dan Aristoteles mencoba menjelaskan cara manusia berpikir dan mengambil keputusan melalui logika.

Aristoteles memperkenalkan gagasan logika formal, yaitu sistem aturan untuk menarik kesimpulan dari premis. Logika ini menjadi dasar untuk memahami proses inferensi, yang kemudian diterapkan dalam sistem komputer modern. René Descartes pada abad ke-17  memperkenalkan dualisme, yaitu pandangan bahwa pikiran dan tubuh adalah entitas yang terpisah. Ia juga berpendapat bahwa pikiran manusia dapat dianalisis secara mekanis, gagasan yang mengilhami pencarian untuk membangun mesin cerdas. Pada periode yang sama, filsuf Thomas Hobbes dan Gottfried Wilhelm Leibniz berpendapat bahwa proses berpikir manusia dapat direduksi menjadi operasi matematis (gagasan Mekanisme). Leibniz bahkan bermimpi menciptakan mesin yang dapat menyelesaikan semua masalah dengan logika.

Mesin Mekanik dan Revolusi Industri

Sepanjang  abad ke-17 hingga abad ke-19, perkembangan teknologi memacu imajinasi tentang kemungkinan menciptakan mesin yang dapat berpikir. Mesin-mesin mekanik mulai dirancang untuk meniru fungsi manusia.

Otomaton, mesin “Turk”(sejenis robot yang bisa bermain catur melawan manusia)  yang dirancang pada abad ke-18 merupakan contoh awal upaya meniru kecerdasan manusia. Meskipun Turk sebenarnya adalah tipuan (dikendalikan oleh manusia tersembunyi), itu menunjukkan minat besar terhadap ide mesin cerdas. Lalu, Charles Babbage merancang mesin analitik, prototipe komputer modern pertama. Sementara itu, Ada Lovelace memahami potensi mesin ini untuk melakukan lebih dari sekadar  perhitungan, menciptakan algoritma pertama yang  dirancang untuk dijalankan oleh mesin.

Revolusi Komputasi di Abad ke-20

Fondasi  modern AI mulai  terbentuk dengan  perkembangan  teori  komputasi di awal abad ke-20. Gagasan bahwa pikiran  manusia dapat disimulasikan melalui algoritma matematis menjadi inti dari bidang ini.

Pada tahun 1936, Alan Turing memperkenalkan konsep mesin Turing, perangkat teoretis yang dapat memproses algoritma untuk menyelesaikan masalah apa pun yang dapat didefinisikan secara matematis (Teori Komputasi). Turing juga mengemukakan pertanyaan tentang apakah mesin dapat berpikir dalam esainya “Computing Machinery and Intelligence” (1950), yang memperkenalkan Turing Test sebagai ukuran kecerdasan mesin.

Lalu, pada tahun 1940-an dan 1950-an, Norbert Wiener memperkenalkan bidang sibernetika, yang mempelajari sistem kendali dan komunikasi dalam mesin dan organisme hidup. Konsep ini menjadi dasar untuk pengembangan sistem adaptif dan belajar mandiri dalam AI.

Kelahiran Kecerdasan Buatan sebagai Disiplin

Istilah “Artificial Intelligence” pertama kali  diciptakan pada  konferensi Dartmouth di tahun 1956, yang dianggap sebagai  titik awal  resmi bidang  ini. Para peneliti terkemuka, yakni: John McCarthy, Marvin Minsky, Allen Newell, dan Herbert Simon berkumpul untuk mengeksplorasi cara membuat mesin yang dapat berpikir seperti manusia.

Pendekatan awal AI berfokus pada sistem berbasis aturan, di mana komputer diprogram untuk mengikuti sekumpulan instruksi logis yang ketat. Pendekatan ini digunakan untuk membangun program seperti Logic Theorist dan General Problem Solver, yang dapat menyelesaikan masalah matematika dan logika dasar.

Selama dekade 1950-an dan 1960-an, ada  optimisme  besar bahwa AI akan dengan cepat menghasilkan mesin yang mampu melakukan hampir semua tugas manusia. Namun, tantangan teknis segera muncul.

Periode Kekecewaan (AI Winter)

Optimisme awal segera memudar ketika para peneliti menyadari keterbatasan sistem berbasis aturan. Mesin sulit menangani masalah dunia nyata yang memerlukan intuisi, fleksibilitas, dan pemahaman  konteks.

Sistem AI awal mengalami kesulitan mengatasi kompleksitas masalah yang tumbuh secara eksponensial. Misalnya, permainan  catur atau pemrosesan bahasa alami membutuhkan  komputasi  jauh lebih  banyak daripada yang dapat ditangani oleh komputer pada waktu itu. Selain itu, teknologi komputasi belum cukup kuat, dan data  untuk melatih sistem AI masih sangat terbatas (kurangnya Data dan Komputasi). Akibat kekecewaan ini, pendanaan untuk AI menurun selama beberapa dekade, menciptakan periode yang dikenal sebagai “AI Winter.”

Kebangkitan AI: Pembelajaran Mesin dan Data

Pada akhir abad ke-20, AI mengalami kebangkitan dengan munculnya pendekatan baru, yaitu machine learning (pembelajaran mesin). Pendekatan ini memungkinkan  komputer  belajar dari data daripada bergantung sepenuhnya  pada aturan yang  ditentukan  manusia.

Konsep jaringan  saraf  buatan, yang pertama kali diperkenalkan  pada tahun 1940-an  oleh  Warren  McCulloch dan Walter Pitts dihidupkan kembali dengan pengembangan algoritma pelatihan seperti backpropagation. Jaringan saraf memungkinkan komputer  mengenali pola dalam data dan  membuat prediksi. Lalu, kemunculan internet dan revolusi digital menciptakan volume data yang sangat besar (Big Data), yang  menjadi  bahan  bakar  utama untuk melatih sistem pembelajaran mesin. Didukung peningkatan daya komputasi, terutama dengan pengenalan unit pemrosesan grafis (GPU), memungkinkan pelatihan  model AI yang  lebih besar dan lebih kompleks.

Era Modern: AI yang Mengubah Dunia

Saat ini, AI telah  menjadi  bagian  tak  terpisahkan dari  kehidupan  sehari-hari, digunakan dalam berbagai aplikasi  seperti  pengenalan  wajah,  asisten  virtual,  mobil  otonom, dan  banyak  lagi. Beberapa perkembangan penting dalam AI  modern  adalah: Deep Learning merupakan kemajuan  dalam  jaringan saraf mendalam (deep learning) memungkinkan komputer untuk melakukan tugas-tugas yang sebelumnya dianggap mustahil, seperti mengenali gambar dengan  akurasi  tinggi dan  menerjemahkan bahasa secara real-time. Lalu Natural Language Processing (NLP) merupakan kemajuan dalam pemrosesan bahasa alami telah memungkinkan  pengembangan  model seperti GPT (Generative Pre-trained Transformer), yang dapat memahami dan  menghasilkan teks dengan cara yang menyerupai manusia.

Dengan  kekuatan besar yang  dimiliki AI, muncul pertanyaan tentang dampak etis dan  sosialnya. Bagaimana AI dapat digunakan secara bertanggung jawab untuk manfaat umat manusia menjadi topik diskusi yang semakin penting.

 

Written by: lili irahali dari berbagai sumber

Artificial Intelligence in Higher Education: Balancing Optimism and Caution

0

In 1989, the Higher Education in Europe journal, Vol. XIV, No. 2, explored the theme “The Advent of Artificial Intelligence in Higher Education,” marking a pivotal moment in discussions about the role of Artificial Intelligence (AI) in higher education. This edition featured an article titled “The New Information Technologies and The Role of Artificial Intelligence in Their Development” by Germogen S. Pospelo, which highlighted the transformative potential of AI, envisioning computers capable of “reasoning” like humans, processing natural language, and performing complex tasks with minimal user expertise. Over three decades later, AI has evolved from theoretical promise into a powerful force shaping all aspects of life, including education.

Yet, alongside optimism about its potential, there is an equally urgent need to address its ethical and social implications.

AI has achieved remarkable advancements, from visual recognition and speech synthesis to knowledge representation, accumulation, and manipulation across various purposes. However, its development raises critical questions about alignment with human values and educational principles such as ethics, integrity, and responsibility.

From a technical standpoint, AI systems are vulnerable to biases. If AI is trained on datasets reflecting social inequalities, these systems risk perpetuating—or even exacerbating—those disparities. Cathy O’Neil, in her 2016 book Weapons of Math Destruction, warned that poorly designed algorithms could reinforce social injustices. Morally, the responsibility for AI technology lies with its developers, yet their neutrality often proves elusive. Without careful oversight, AI systems may prioritize efficiency over ethical considerations, posing risks to societal values. To mitigate these risks, collaboration among technologists, ethicists, legal experts, and civil society is vital. Governments and international organizations must also establish robust policies to ensure AI serves humanity positively and responsibly.

The potential and impact of AI in higher education are substantial. AI can transform learning processes, foster academic integrity, and reshape the skills required for future employment. UNESCO’s 2019 working paper, Artificial Intelligence in Education: Challenges and Opportunities for Sustainable Development, emphasized AI’s role in enhancing personalization, equity, and education management systems. Universities are adapting to these changes by integrating AI-powered tools, such as personalized learning platforms and data-driven systems for academic management. While AI holds the promise of more inclusive and effective education, it also necessitates critical reflection on its ethical implications.

Thus, integrating AI into higher education brings significant challenges, including: Public Policy: Developing comprehensive policies to align AI with sustainable development goals. Inclusivity: Ensuring equitable access to AI-powered education for all. Educator Readiness: Training educators to effectively use AI while ensuring AI systems understand educational contexts. Data Quality: Establishing inclusive, high-quality data systems. Research: Conducting extensive research on AI’s implications for education. Ethics and Transparency: Upholding ethical standards in data collection, usage, and dissemination.

Despite these challenges, AI offers opportunities to automate administrative tasks, personalize learning, and enhance accessibility for students, including those with disabilities. It also supports multidisciplinary research by processing vast datasets, driving innovation across various fields.

AI in education is a double-edged sword. While it provides innovative solutions to improve efficiency and academic outcomes, it also demands vigilance to safeguard core values such as academic freedom, integrity, and privacy. Universities must establish clear guidelines, ensure rigorous training, and foster an ethical culture in AI utilization. With a balanced approach, AI can elevate global education quality while upholding its fundamental values.

As we navigate this transformative era, higher education institutions must lead by example. AI should complement, not replace, the core values of education—creativity, integrity, and responsibility. By embracing adaptive measures and promoting ethical practices, universities can pioneer sustainable AI applications that benefit society at large.

This is the challenge and opportunity awaiting higher education: to expand access, enhance quality, and ensure the sustainability of education for future generations.

Vivat Widyatama, Vivat Civitas Academica, Vivat Indonesia, and our beloved Nusantara. (lee-@i)

Redaksi – Lili Irahali

Artificial Intelligence di Pendidikan Tinggi: Keseimbangan antara Optimisme dan Kehati-hatian?

0

Tahun 1989 Jurnal Higher Education in Europe, Vol. XIV, No. 2 mengangkat tema “The Advent of Artificial Intelligence in Higher Education” menandai momen penting dalam diskusi tentang peran Kecerdasan Buatan (AI) dalam pendidikan tinggi. Jurnal Pendidikan Tinggi di Eropa ini menampilkan sebuah artikel “The New Information Technologies and The Role of Artificial Intelligence in Their Development” (Germogen S. Pospelo) yang menyoroti potensi transformatif AI, membayangkan komputer yang dapat “bernalar” seperti manusia, memproses bahasa alami, dan menangani tugas-tugas kompleks dengan keahlian pengguna yang minimal. Lebih dari tiga dekade kemudian, AI telah berevolusi dari janji teoritis menjadi kekuatan dahsyat yang membentuk semua aspek kehidupan, termasuk pendidikan.

Namun, di samping optimisme tentang potensinya, ada kebutuhan yang sama mendesaknya untuk mengatasi masalah etika dan implikasi sosial.

AI telah membawa kemajuan luar biasa, dari pengenalan visual dan sintesis ucapan hingga representasi pengetahuan, akumulasi jenis pengetahuan, dan manipulasi segala jenis pengetahuan dengan berbagai cara dan untuk berbagai tujuan. Namun, pengembangannya menimbulkan pertanyaan tentang keselarasan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan pendidikan seperti etika, integritas, dan tanggung jawab.

Dari perspektif teknis, sistem AI rentan terhadap bias. Bila AI dilatih pada kumpulan data yang mencerminkan ketidaksetaraan sosial, sistem ini berisiko melanggengkan atau bahkan memperburuk kesenjangan tersebut. Cathy O’Neil, dalam bukunya “Weapons of Math Destruction” yang terbit pada tahun 2016 memperingatkan bahwa algoritma yang dirancang dengan buruk dapat memperkuat ketidakadilan sosial. Secara moral, tanggung jawab teknologi AI terletak pada pengembang AI, tetapi netralitas mereka sering kali sulit dipahami. Tanpa pengawasan yang cermat, sistem AI mungkin memprioritaskan efisiensi daripada pertimbangan etika, yang menimbulkan risiko terhadap nilai-nilai sosial. Untuk mengurangi hal ini, kolaborasi antara teknolog, ahli etika, pakar hukum, dan masyarakat sipil sangat penting. Juga pemerintah dan organisasi internasional harus menetapkan kebijakan yang kuat untuk memastikan AI melayani kemanusiaan secara positif dan bertanggung jawab.

Potensi dan dampak AI dalam pendidikan tinggi sangat besar. AI dapat mengubah proses pembelajaran, menumbuhkan integritas akademis, dan membentuk kembali keterampilan yang dibutuhkan oleh pekerjaan masa depan. Makalah kerja UNESCO tahun 2019, “Artificial Intelligence in Education: Challenges and Opportunities for Sustainable Development” menekankan peran AI dalam meningkatkan personalisasi, kesetaraan, dan sistem manajemen pendidikan. Perguruan tinggi beradaptasi dengan perubahan ini dengan mengintegrasikan perangkat bertenaga AI seperti platform pembelajaran yang dipersonalisasi dan sistem berbasis data untuk mengelola proses akademis. Teknologi AI menjanjikan pendidikan yang lebih inklusif dan efektif, tetapi juga menyerukan refleksi kritis tentang implikasi etisnya.

Karena itu, integrasi AI ke dalam pendidikan tinggi disertai beberapa tantangan yang signifikan, menyangkut aspek:  Kebijakan Publik, yakni mengembangkan kebijakan yang komprehensif untuk menyelaraskan AI dengan tujuan pembangunan berkelanjutan;  Inklusivitas, yakni memastikan akses yang adil ke pendidikan bertenaga AI untuk semua;  Kesiapan Pendidik, yakni melatih pendidik untuk menggunakan AI secara efektif dan memastikan sistem AI memahami konteks pendidikan;  Kualitas Data, yakni menetapkan sistem data yang inklusif dan berkualitas tinggi;  Penelitian, yakni melakukan penelitian ekstensif tentang implikasi AI untuk pendidikan;  Etika dan Transparansi, yakni mempertahankan standar etika dalam pengumpulan, penggunaan, dan penyebaran data.

Meskipun ada tantangan tersebut, AI menawarkan peluang mengotomatiskan tugas administratif, mempersonalisasi pembelajaran, dan meningkatkan aksesibilitas bagi mahasiswa secara inklusif (penyandang disabilitas). AI juga mendukung penelitian multidisiplin dengan memproses kumpulan data yang sangat banyak, mendorong inovasi di berbagai bidang.

AI bagai pedang bermata dua dalam pendidikan. Meskipun menawarkan solusi inovatif untuk meningkatkan efisiensi dan hasil akademis, AI juga menuntut kewaspadaan untuk menjaga nilai-nilai inti seperti kebebasan akademis, integritas, dan privasi. Perguruan tinggi harus menerapkan pedoman yang jelas, memastikan pelatihan yang ketat, dan menumbuhkan budaya etis dalam pemanfaatan AI. Dengan pendekatan yang seimbang, AI dapat meningkatkan kualitas pendidikan global sambil menegakkan nilai-nilai fundamentalnya.

Saat kita mengarungi era transformatif ini, perguruan tinggi harus memimpin dengan memberi contoh. AI harus mampu melengkapi bukan menggantikan nilai-nilai inti pendidikan yaitu kreativitas, integritas, dan tanggung jawab. Dengan merangkul langkah-langkah adaptif dan mendorong praktik etis, perguruan tinggi dapat memelopori pemanfaatan AI yang berkelanjutan, yang memberi manfaat bagi masyarakat luas.

Inilah tantangan dan peluang yang menanti perguruan tinggi: untuk memperluas akses, meningkatkan kualitas, dan memastikan keberlanjutan pendidikan tinggi bagi generasi mendatang. Wallahualam.

            Vivat Widyatama, Vivat Civitas Academica, Vivat Indonesia dan Nusantara tercinta. (@lee)

 

Redaksi – Lili Irahali

Artificial Intelligence: Roots and Early Development

Discussing Artificial Intelligence (AI) by referring to Melanie Mitchell’s book, Artificial Intelligence: A Guide to Intelligent Systems (2020) describes AI’s long journey from philosophical idea to practical technology.  AI has its roots in the history of human thought, starting with fundamental questions about what intelligence is and how the mind works.  AI has evolved through the interaction of human thought, technological advances, and real-world challenges. Despite much that has been achieved, the history of AI shows that the road ahead is full of new challenges, both from a technical and ethical perspective. Understanding these historical roots, we can at least better appreciate how AI has and will continue to shape our future.

Melanie’s book delves into the intellectual, philosophical and technical roots of this field, which have formed the basis of its development over the centuries.

Inspiration from Philosophical Thought

The history of AI cannot be separated from humans’ efforts to understand themselves. Philosophy played an important role in forming early concepts of intelligence and information processing. Greek philosophers, Plato and Aristotle tried to explain how humans think and make decisions through logic.

Aristotle introduced the idea of ​​formal logic, which is a system of rules for drawing conclusions from premises. This logic is the basis for understanding the inference process, which is then applied in modern computer systems. René Descartes in the 17th century introduced dualism, namely the view that the mind and body are separate entities. He also argued that the human mind could be analyzed mechanically, an idea that inspired the quest to build intelligent machines. In the same period, philosophers Thomas Hobbes and Gottfried Wilhelm Leibniz argued that human thought processes could be reduced to mathematical operations (the idea of ​​Mechanism). Leibniz even dreamed of creating a machine that could solve all problems with logic.

Mechanical Machines and the Industrial Revolution

Throughout the 17th century to the 19th century, technological developments spurred imagination about the possibility of creating machines that could think. Mechanical machines began to be designed to imitate human functions.

The automaton, a “Turk” machine (a type of robot that could play chess against a human) designed in the 18th century, is an early example of an attempt to imitate human intelligence. Even though Turk is actually a hoax (controlled by hidden humans), it shows great interest in the idea of ​​intelligent machines. Then, Charles Babbage designed the analytical engine, the prototype of the first modern computer. Meanwhile, Ada Lovelace understood the potential of these machines to do more than just calculations, creating the first algorithm designed to be executed by a machine.

The Computing Revolution in the 20th Century

The modern foundations of AI began to take shape with the development of computational theory in the early 20th century. The idea that the human mind can be simulated through mathematical algorithms is at the heart of the field. In 1936, Alan Turing introduced the concept of a Turing machine, a theoretical device that can process algorithms to solve any problem that can be defined mathematically (Theory of Computation). Turing also raised the question of whether machines can think in his essay “Computing Machinery and Intelligence” (1950), which introduced the Turing Test as a measure of machine intelligence.

Then, in the 1940s and 1950s, Norbert Wiener introduced the field of cybernetics, which studies control and communication systems in machines and living organisms. This concept is the basis for the development of adaptive and self-learning systems in AI.

The Birth of Artificial Intelligence as a Discipline

The term “artificial intelligence” was first coined at the Dartmouth conference in 1956, which is considered the official starting point of the field. Leading researchers, namely John McCarthy, Marvin Minsky, Allen Newell, and Herbert Simon, gathered to explore how to create machines that could think like humans. Early approaches to AI focused on rule-based systems, where computers were programmed to follow a strict set of logical instructions. This approach is used to build programs such as Logic Theorist and General Problem Solver, which can solve basic mathematical and logical problems.

During the 1950s and 1960s, there was great optimism that AI would quickly produce machines capable of performing almost all human tasks. However, technical challenges soon emerged.

Period of Disappointment (AI Winter)

Initial optimism soon faded as researchers realized the limitations of rule-based systems. Machines have a hard time dealing with real-world problems that require intuition, flexibility, and understanding of context.

Early AI systems had difficulty coping with the exponentially growing complexity of problems. For example, chess games or natural language processing required far more computing than computers could handle at that time. In addition, computing technology is not yet powerful enough, and data for training AI systems is still very limited (lack of data and computation). As a result of this disappointment, funding for AI declined for decades, creating a period known as “AI Winter.”

The Rise of AI: Machine Learning and Data

At the end of the 20th century, AI experienced a revival with the emergence of a new approach, namely machine learning. This approach allows computers to learn from data rather than relying entirely on human-defined rules.

The concept of artificial neural networks, first introduced in the 1940s by Warren McCulloch and Walter Pitts, was revived with the development of training algorithms such as backpropagation. Neural networks allow computers to recognize patterns in data and make predictions. Then, the emergence of the internet and the digital revolution created very large volumes of data (big data), which became the main fuel for training machine learning systems. Increased computing power, especially with the introduction of graphics processing units (GPUs), enables the training of larger and more complex AI models.

The Modern Era: AI That Changed the World

Today, AI has become an integral part of everyday life, used in various applications such as facial recognition, virtual assistants, autonomous cars, and many more. Some important developments in modern AI are: Deep learning is an advancement in deep neural networks (deep learning) enabling computers to perform tasks previously thought impossible, such as recognizing images with high accuracy and translating languages ​​in real-time. Then Natural Language Processing (NLP) is an advance in natural language processing that has enabled the development of models such as GPT (Generative Pre-trained Transformer), which can understand and generate text in a human-like way.

With the immense power that AI has, questions arise about its ethical and social impact. How AI can be used responsibly for the benefit of humanity is an increasingly important topic of discussion.

 

Written by: lili irahali from various sources

Edisi November 2024

0

 

Perubahan Iklim, Wajah Indonesia & Upaya Mitigasi Demi Keberlanjutan

0

Perubahan iklim merupakan sebuah fenomena kompleks yang telah terjadi dalam jangka waktu ratusan tahun. Fenomena ini memberikan pengaruh signifikan pada perubahan suhu dan pola cuaca. Perubahan iklim disebabkan faktor alami, seperti perubahan variasi siklus matahari. Namun, pada abad ke-18, mulai terjadi percepatan perubahan iklim oleh aktivitas manusia.

Perubahan iklim sebagai akibat kegiatan dan perilaku manusia tersebut sudah menjadi tantangan yang sangat mendesak untuk ditangani solusinya saat ini. Kemajuan pembangunan di seantero planet bumi mau tidak mau didorong oleh temuan-temuan manusia yang ditandai melalui Revolusi Industri. Akumulasi akibat berbagai kegiatan manusia sejak Revolusi Industri 1.0, 2.0, 3.0, dan 4.0 telah   menimbulkan dampak seperti: emisi karbon; eksplorasi sumber daya alam (tambang, deforestasi hutan dan rusaknya keanekaragaman hayati hutan, kerusakan tanah dan polusi udara;  eksploitasi laut dan polusi plastik yang telah merusak keanekaragaman hayati laut); perkembangan teknologi yang berperan besar dalam peningkatan emisi karbon; serta  era digital dan jejak karbon yang membutuhkan energi besar, serta limbah digital.

Perubahan Iklim

            Perubahan iklim mengacu pada perubahan jangka panjang dalam pola cuaca dan suhu global. Hal ini dipicu oleh peningkatan suhu rata-rata bumi akibat efek rumah kaca yang diperburuk oleh emisi karbon yang berlebihan. Perubahan iklim sering dikaitkan juga dengan pemanasan global, yang merujuk pada kenaikan suhu rata-rata permukaan bumi. Pemanasan global merupakan konsekuensi langsung dari efek rumah kaca yang diperburuk oleh emisi karbon. Kondisi perubahan iklim kini dan prediksi mendatang menggambarkan kecenderungan yang semakin meningkat.

Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), suhu rata-rata global telah meningkat sebesar 1,1 derajat C sejak era pra-industri (1850-1900). Data ini menunjukkan percepatan peningkatan suhu yang lebih tinggi daripada yang diperkirakan beberapa dekade lalu. Dampak saat ini, yakni: fenomena seperti gelombang panas, cuaca ekstrem, dan mencairnya es kutub menjadi lebih sering terjadi. Data tahun 2020 tercatat sebagai salah satu tahun terpanas, dengan suhu global 1,2 derajat C di atas rata-rata pra-industri.

Sementara, World Meteorological Organization (WMO) menunjukkan bahwa frekuensi dan intensitas cuaca ekstrem telah meningkat. Badai, banjir, dan kekeringan lebih sering terjadi dan menyebabkan kerusakan signifikan. Badai tropis pada tahun 2020 yang menghantam Vietnam menyebabkan kerugian ekonomi senilai $1,7 miliar, sementara banjir di India tahun 2021 menewaskan lebih dari 1.200 orang. Konsentrasi CO2 di atmosfer (Konsentrasi Gas Rumah Kaca) telah mencapai level tertinggi dalam sejarah manusia modern. Pada 2021, konsentrasi CO2 mencapai 419 ppm (parts per million), meningkat dari 280 ppm pada era pra-industri. Gas rumah kaca lainnya, seperti metana dan nitrogen dioksida, juga meningkat signifikan, dengan metana tumbuh pada laju tahunan terbesar sejak pengukuran dimulai.

IPCC menemukan terdapat lebih dari 50% kemungkinan bahwa kenaikan suhu global akan mencapai atau melampaui 1,5 derajat C (2,7 derajat F) antara tahun 2021 dan 2040 di seluruh skenario yang diteliti, dan pada jalur emisi tinggi, khususnya, dunia mungkin akan terkena dampaknya. Ambang batas ini bahkan lebih cepat lagi — antara tahun 2018 dan 2037. Kenaikan suhu global dalam skenario intensif karbon juga dapat meningkat menjadi 3,3 derajat C hingga 5,7 derajat C (5,9 derajat F hingga 10,3 derajat F) pada tahun 2100. Perkiraan jumlah pemanasan ini sebagai gambaran, terakhir kali suhu global melampaui 2,5 derajat C (4,5 derajat F) di atas suhu pra-industri adalah lebih dari 3 juta tahun yang lalu. Mengubah arah untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat C (2,7 derajat F) – tanpa atau melampaui batas tertentu – akan memerlukan pengurangan emisi GRK (Gas Rumah Kaca) yang besar dalam jangka pendek. (https://wri-indonesia.org/id/wawasan/10-temuan-besar-dari-laporan-ipcc-2023-terkait-perubahan-iklim)

Menurut IPCC pula peningkatan frekuensi dan intensitas bencana alam, serta ekstremitas cuaca akan terus meningkat. Cuaca ekstrem seperti badai, banjir, kekeringan, dan kebakaran hutan akan menjadi lebih sering dan lebih intens dalam beberapa dekade mendatang. Diprediksi dengan peningkatan suhu yang lebih tinggi dari 1,5°C, sekitar 20-30% spesies terancam punah (kehilangan keanekaragaman hayati). Terumbu karang yang saat ini sudah mengalami pemutihan besar-besaran akan hampir seluruhnya hilang pada tahun 2050. Bahkan, Global Climate Risk Index 2021, menyebutkan Indonesia adalah salah satu negara yang sangat rentan terhadap risiko cuaca ekstrem.

National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) melaporkan permukaan laut global telah naik sekitar 21–24 cm sejak tahun 1880, dengan kenaikan yang lebih cepat dalam dua dekade terakhir. Dampak kenaikan permukaan laut telah menyebabkan erosi pantai, banjir pesisir, dan pencemaran air tanah di banyak wilayah pesisir. Jakarta, merupakan salah satu kota dengan penurunan permukaan tanah tercepat, sebagian wilayah kota Jakarta diprediksi tenggelam pada tahun 2050 jika tidak ada upaya mitigasi yang signifikan. Menurut NOAA pada tahun 2100, kenaikan permukaan laut diprediksi akan mencapai 0,61-1,10 meter, tergantung pada skenario emisi global. Kenaikan ini tidak hanya mengancam komunitas pesisir, tetapi juga akan mempercepat hilangnya habitat di dataran rendah, menyebabkan lebih banyak pengungsi iklim. Dampaknya diprediksi negara-negara kepulauan seperti Maladewa akan kehilangan sebagian besar wilayah daratannya pada akhir abad ini jika tren ini berlanjut.

Perubahan iklim lebih jauh akan berdampak pada sistem produksi pangan global. Menurut Food and Agriculture Organization (FAO), peningkatan suhu, perubahan pola curah hujan, dan kejadian cuaca ekstrem akan menyebabkan penurunan hasil pertanian hingga 25% di beberapa wilayah tropis pada pertengahan abad ini, termasuk di Indonesia.

Dampak Terhadap Kehidupan Manusia

Kondisi perubahan iklim tersebut  memberikan dampak pada kehidupan manusia dan ekosistem sehingga menciptakan berbagai tantangan sosial ekonomi, yakni: kesehatan manusia karena bencana alam, keanekaragaman hayati yang terancam karena perubahan habitat, serta ketahanan pangan yang menurun serius karena perubahan pola hujan, suhu bumi yang meningkat. The World Bank memprediksi bahwa perubahan iklim bisa memaksa lebih dari 216 juta orang menjadi pengungsi iklim pada tahun 2050. Negara-negara kepulauan dan daerah pesisir, seperti Indonesia, sangat rentan terhadap risiko ini.

Penurunan hasil pertanian dan perubahan pola curah hujan akan menyebabkan krisis pangan di banyak negara, termasuk negara-negara berkembang seperti Indonesia. Di daerah dengan kelangkaan air, terutama Asia Selatan dan Timur Tengah diperkirakan akan terjadi persaingan antar-komunitas untuk sumber daya air. Peningkatan penyakit tropis, seperti malaria dan demam berdarah akan terjadi akibat pemanasan global. Laporan The Lancet menunjukkan bahwa panas ekstrem akan meningkatkan angka kesehatan dan kematian global, terutama di daerah perkotaan.

Beberapa krisis belakangan ini menunjukkan kepada kita gambaran dampak perubahan iklim.

  1. Di Dunia:
  • Gelombang Panas di Eropa (2023), banyak negara di Eropa mengalami gelombang panas ekstrem, dengan suhu mencapai lebih dari 40 derajat C. Peristiwa ini menyebabkan ribuan kematian, kebakaran hutan besar, serta mengganggu infrastruktur, khususnya sektor transportasi dan energi. Fenomena seperti ini semakin sering terjadi akibat pemanasan global yang menyebabkan peningkatan suhu rata-rata bumi.
  • Banjir Besar di Pakistan (2022), yang disebabkan oleh curah hujan ekstrem membanjiri sepertiga wilayah Pakistan, menewaskan lebih dari 1.700 orang, dan menyebabkan jutaan orang kehilangan tempat tinggal. Fenomena ini diperkirakan diperparah oleh perubahan pola hujan akibat pemanasan global.
  1. Di Indonesia:
  • Jakarta dan Daerah sekitarnya rutin mengalami banjir besar hampir setiap tahun. Perubahan pola curah hujan akibat pemanasan global, diperparah oleh urbanisasi dan penurunan permukaan tanah, membuat banjir semakin sering dan parah. Pada 2020, banjir besar terjadi pada awal tahun, yang menewaskan puluhan orang dan merusak ribuan rumah.
  • Nusa Tenggara Timur (NTT), salah satu daerah paling kering di Indonesia, semakin rentan terhadap kekeringan panjang yang diperparah oleh perubahan iklim. Pada 2020, kekeringan ekstrem melanda daerah ini, mengganggu sektor pertanian dan memperburuk kemiskinan.
  1. Di Jawa Barat:
  • Jawa Barat, khususnya kawasan Bandung Utara menghadapi krisis lingkungan akibat deforestasi untuk pembangunan perumahan dan pertanian. Hilangnya hutan telah mengurangi kapasitas penyerapan air tanah, meningkatkan risiko banjir di musim hujan, dan memperparah kekeringan di musim kemarau. Selain itu, perusakan ekosistem hutan menyebabkan tanah menjadi rentan terhadap erosi dan longsor.
  • Longsor besar di Sumedang pada awal 2021, menewaskan puluhan orang dan menyebabkan kerusakan besar. Peristiwa ini merupakan akibat dari curah hujan ekstrem yang diperparah oleh penggundulan hutan. Perubahan iklim telah meningkatkan intensitas curah hujan, sementara deforestasi di daerah perbukitan meningkatkan risiko longsor.

Perubahan Iklim Jawa Barat dan Bandung Terkini

Merujuk data perubahan iklim di Jawa Barat dan Kota Bandung terkini menunjukkan situasi yang mengkhawatirkan.

Paparan Kepala Pusat Perubahan Iklim ITB Djoko Santoso Abi Suroso dalam acara Bencana Akibat

Perubahan Iklim disiarkan secara daring di Jakarta, Kamis (19/10/2023). (ANTARA/Muzdaffar Fauzan)

  1. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan suhu rata-rata di Bandung telah mengalami kenaikan. Pada 2020 rata-rata suhu udara di Bandung mencapai 23-24 detrajat C, meningkat sekitar 0,5 derajat C dibandingkan dengan dekade sebelumnya. Kenaikan ini merupakan dampak dari urbanisasi, deforestasi, dan perubahan iklim global. Dampak lokal peningkatan suhu menyebabkan fenomena urban heat island (UHI), yaitu kondisi di mana kota menjadi lebih panas dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Hal ini memperburuk kualitas udara dan meningkatkan risiko penyakit yang terkait dengan suhu panas.
  2. Data IQAir  tahun 2023 menyebutkan Bandung memiliki tingkat polusi udara PM2.5 yang mencapai rata-rata 35-45 µg/m³ melebihi ambang batas aman dari WHO yaitu 10 µg/m³.  Kualitas udara yang buruk berdampak negatif pada kesehatan penduduk, terutama anak-anak dan lansia yang rentan terhadap penyakit pernapasan seperti asma dan bronkitis.
  3. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) mencatat pada tahun 2021, Bandung dan sekitarnya mengalami lebih dari 70 kejadian tanah longsor dan banjir. Banjir bandang yang sering terjadi di kawasan hilir Citarum dan longsor di daerah dataran tinggi menjadi ancaman serius bagi infrastruktur dan keselamatan penduduk, terutama di wilayah utara Bandung yang  mengalami alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian dan perumahan.
  4. Deforestasi dan Alih Fungsi Lahan Wilayah Bandung Utara yang dahulu merupakan kawasan konservasi hutan kini telah banyak beralih fungsi menjadi lahan perumahan dan pertanian. Laporan Dinas Kehutanan Jawa Barat menunjukkan bahwa dalam 10 tahun terakhir, lebih dari 30% hutan di kawasan Bandung Utara hilang, yang mengurangi kemampuan tanah menyerap air dan meningkatkan risiko banjir serta longsor. Hilangnya area hutan mengganggu keseimbangan ekosistem lokal, mempengaruhi keanekaragaman hayati, dan meningkatkan risiko erosi serta degradasi tanah, yang pada akhirnya mempengaruhi siklus hidrologi.
  5. Badan Pusat Statistik (BPS) dan Dinas Sumber Daya Air Jawa Barat menyebutkan pasokan air tanah di Bandung mengalami penurunan signifikan. Debit air di Sungai Citarum, yang menjadi sumber air utama untuk Jawa Barat terus menurun akibat deforestasi, pencemaran, dan perubahan iklim. Kota Bandung kini menghadapi ancaman krisis air bersih, terutama di musim kemarau panjang. Penurunan kualitas air juga terjadi akibat pencemaran limbah industri yang tidak dikelola dengan baik.

Dampak Jangka Panjang dan Upaya Mitigasi

Gambaran di atas menunjukkan bahwa perubahan iklim bukan lagi ancaman yang jauh di masa depan, melainkan masalah mendesak yang sudah berdampak pada kehidupan manusia dan ekosistem global. Jika tren peningkatan suhu global dan kenaikan permukaan laut terus berlanjut, keberlanjutan planet dan kehidupan manusia akan sangat terganggu. Oleh karena itu, aksi segera dan komprehensif untuk mitigasi dan adaptasi sangat diperlukan untuk melindungi bumi bagi generasi mendatang.

Fenomena perubahan iklim yang ekstrem ini memperburuk kualitas hidup, menurunkan hasil pertanian, meningkatkan kerawanan pangan, serta menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat besar. Di Jawa Barat dan Indonesia secara umum, upaya mitigasi, seperti reboisasi, pengelolaan air yang lebih baik, dan penerapan kebijakan lingkungan yang ketat, menjadi semakin mendesak untuk mengurangi dampak perubahan iklim yang semakin parah.

Uraian di atas menunjukkan perubahan iklim tidak hanya menjadi masalah lingkungan, tetapi juga krisis kemanusiaan yang membutuhkan perhatian global dan lokal. Upaya untuk mitigasi dan adaptasi diantaranya dengan melibatkan perguruan tinggi. Paling tidak aspek mitigasi dan adaptasi berikut perlu menjadi perhatian.

  1. Pengurangan Emisi Karbon, untuk menahan laju kenaikan suhu, pengurangan emisi karbon secara signifikan harus segera dilakukan. Menurut IPCC, untuk menjaga kenaikan suhu di bawah 1,5 derajat C, emisi global harus mencapai net-zero pada tahun 2050.
  2. Adaptasi Terhadap Kenaikan Permukaan Laut, negara-negara pesisir, termasuk Indonesia, harus mulai mempersiapkan diri dengan infrastruktur adaptif untuk menghadapi banjir, seperti membangun tanggul dan mengelola tata ruang untuk menghindari pembangunan di kawasan rentan.
  3. Peningkatan Pendidikan dan Kesadaran Global melalui Green Curriculum di perguruan tinggi diharapkan dapat memainkan peran penting dalam menyiapkan generasi masa depan yang lebih sadar terhadap keberlanjutan planet dan tantangan perubahan iklim dengan cara inovatif dan berkelanjutan. Tentunya hal tersebut adalah langkah yang mendesak dan penting.

Written by: lili irahali dari berbagai sumber