PENDIDIKAN TINGGI BERMUTU, AKREDITASI, DAN PROBLEMATIK

0
485 views

.

Wawancara

Prof. Dr. Ir. H.M. Budi Djatmiko, M.Si., MEI

Ketua APTISI (Asosisasi Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia)

.

PENDIDIKAN TINGGI BERMUTU, AKREDITASI,

DAN

PROBLEMATIK

  

  Komitmen kuat dan konsistensi melakukan transformasi pendidikan tinggi sebuah keniscayaan mensikapi Industri 4.0. Dalam kaitan itu membangun sumber daya manusia yang tangguh melalui peningkatan pengetahuan, keterampilan dan karakter sangat penting agar kompetensi mereka tetap relevan dan lincah (agile) dalam menghadapi tantangan era VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity dan Ambiguity). VUCA merupakan gambaran situasi global saat ini, yang dipicu pesatnya kemajuan teknologi informasi.

  Transformasi pendidikan tinggi tentunya harus mengikatkan diri dengan mutu pendidikan. Apalagi sistem pendidikan yang menekankan pada sistem persekolahan sebagaimana diamanatkan undang-undang. Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), pasal 1(1 dan 4) menegaskan bahwa “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlikan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.

  Karena itu mutu pendidikan menjadi prasyarat sistem persekolahan. Kita simak pengertian mutu adalah konsep yang absolut dan relatif. Mutu yang absolut ialah idealismenya tinggi dan harus dipenuhi, berstandar tinggi, dengan sifat produk bergengsi tinggi. Mutu yang relatif bukanlah sebuah akhir, namun sebagai sebuah alat yang telah ditetapkan atau jasa dinilai, yaitu apakah telah memenuhi standar yang telah ditetapkan Sallis (2003). Sedang pendidikan yang bermutu (Hari Sudrajad, 2005) adalah pendidikan yang mampu menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan atau kompetensi, baik kompetensi akademik maupun kompetensi kejuruan, yang dilandasi oleh kompetensi personal dan sosial, serta nilai-nilai akhlak mulia, yang keseluruhannya merupakan kecakapan hidup (life skill). Lebih lanjut Sudrajad mengemukakan pendidikan bermutu adalah pendidikan yang mampu menghasilkan manusia seutuhnya (manusia paripurna) atau manusia dengan pribadi yang integral (integrated personality) yaitu mereka yang mampu mengintegralkan iman, ilmu, dan amal.

  Dalam kaitan tersebut majalah Komunita menemui Ketua APTISI Pusat – Prof. Dr. Ir. H.M. Budi Djatmiko, M.Si., MEI untuk memahami pendidikan tinggi dan perguruan tinggi berkualitas, yang kini disimbolkan dalam istilah Unggul, Baik Sekali dan Baik. Di tengah kesibukan beliau kami menghubungi via WA dan langsung mendapat kepastian pertemuan via daring pada hari Selasa, 22 Februari 2022 sehari setelah kami berkomunikasi. Pertemuan melalui daring kami lakukan karena beliau sedang beraktivitas di Bali.

  Prof. Dr. Ir. H.M. Budi Djatmiko, M.Si., MEI adalah sosok yang telah berkecimpung selama 30 tahun di organisasi perguruan tinggi swasta (APTISI), sebagai Sekertaris Pusat, Wakil APTISI Pusat dan sekarang Ketua APTISI Pusat yang sangat memahami problematika pendidikan tinggi yang diselenggarakan perguruan tinggi swasta (PTS). Berikut perbincangan kami.

Komunita: Banyak Penyelenggara/Yayasan dan PTS menyelenggarakan pendidikan tinggi namun banyak yang justru bermasalah dalam pengelolaannya ?

Prof. Dr. Ir. H.M. Budi Djatmiko, M.Si., MEI: Ada 3 (tiga) masalah besar dalam penyelenggaraan dan pengelolaan PT yang biasanya terjadi, yaitu: pertama, hubungan antara Yayasan dengan Rektorat yang terkadang terjadi gesekan; kedua, Rektorat dengan Civitas Akademik; ketiga, Yayasan dengan Yayasan. Saya menangani berbagai perguruan tinggi (PT) di Indonesia dari tahun 2014 s.d 2015 ada 234 PT bermasalah. Permasalahannya antara yayasan dengan yayasan pola aturan main ada di Anggaran Dasar dan Rumah Tangga (ADRT) Yayasan. Kebanyakan pada saat mendirikan yayasan ADRT biasanya diserahkan saja kepada Notaris sehingga tidak ada detilisasi. Terutama di Anggaran Rumah Tangga ada Hak dan Kewajiban tidak detail, sehingga mereka di kemudian hari pada saat “uang berlimpah terjadi gesekan antara anggota satu dengan yang lainnya”. Permasalahan antar yayasan dengan rektorat (Rektor/Direktur) dimana saat pembuatan Statuta tidak duduk bareng. Di dalam Statuta menyatakan hubungan harmonisasi antara yayasan dengan rektorat, juga kaitannya dengan dosen dan karyawan.

  Tahun 2020 Kementerian melakukan perombakan pembuatan Statuta atas usulan APTISI, dan wajib di-upload agar para pihak, Kementerian, APTISI mengetahui aturan mainnya. Jadi intinya permasalahan dalam PT disebabkan oleh aturan main yang tidak jelas dan kadang-kadang satu sama lainnya tidak mentaati aturan tersebut. Dan ini tentunya menggangu pencapaian dan keajegan mutu perguruan tinggi.

.

Komunita: Hakekat menyelenggarakan pendidikan tinggi yang bermutu bagi Badan Penyelenggaran dan PT, seperti apa ?

Prof. Dr. Ir. H.M. Budi Djatmiko, M.Si., MEI: Di Indonesia pendidikan tinggi bermutu mengacu pada Kemendikbudristek dalam hal ini DIKTI. Penyelenggaraan pendidikan tinggi bermutu itu apabila memenuhi persyaratan standar Nasional PT. Kalau dalam hal ini persyaratan itu diawali dengan perencanaan, kita sebut PPEPP adalah dari penetapan, pelaksanaan, evaluasi, pengendalian dan peningkatan dari Standar Nasional. Di mana dalam standar nasional PT dimasukkan di dalam Sistem Penjaminan Mutu (SPM). Jadi PT wajib membuat SPM PT yang diukur atas dasar mutu-mutu yang digradasi sesuai dengan ukuran-ukuran BAN-PT. Ada SPMI yang dibuat secara internal oleh PT agar PT itu disebut bermutu. Kemudian secara nasional eksternal / masyarakat diwakili oleh BAN-PT dan Lembaga Akreditasi PT mereka memberi peringkat, dahulu dengan nilai A, B dan C, dan sekarang Baik, Baik Sekali dan Unggul.

  Perguruan Tinggi (PT) yang dimaksud BAN-PT adalah Bermutu, jika nilai Tridharma PT sudah sesuai dengan Standar Minimal yang ada di SNPT (Standar Nasional Pendidikan Tinggi), jika melebihi maka disebut Baik Sekali, jika Sangat Melebihi disebut Unggul. Itulah hakekat Penyelengaraan Pendidikan Bermutu versi DIKTI. Ada juga versi yang lain, misalnya Versi WEBOMETRICS adalah sejauh mana PT tenar di Website, ukurannya banyaknya PT dikunjungi dan direferensikan oleh masyarakat luas. Ada juga mutu yang diukur sekarang melalui Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) oleh DIKTI. Yakni mengukur mutu PT dari sejauh mana PT menerapkan kurikulum Kampus Merdeka Merdeka Belajar. Sejauh mana PT menerapkan MBKM, sejauh mana kurikulum digunakan, sejauh mana PT melakukan pertukaran pelajar antar PT di dalam dan luar negeri, sejauh mana dosen mampu memberikan kontribusi kepada dunia usaha dan bisnis. Nah itu semua diukur menurut DIKTI.

Karakteristik Mutu Pendidikan

1.Kinerja (performance): aspek fungsional sekolah, meliputi: kinerja guru dalam mengajar, baik dalam memberikan penjelasan, meyakinkan, sehat dan rajin mengajar, serta menyiapkan bahan pelajaran lengkap, pelayanan administratif dan edukatif sekolah baik dengan kinerja yang baik setelah menjadi sekolah favorit.
2.Waktu ajar (timelines): sesuai waktu yang wajar meliputi memulai dan mengakhiri pelajaran tepat waktu.
3.Handal (reliability): usia pelayanan bertahan lama, meliputi pelayanan prima sekolah bertahan lama dari tahun ke tahun, mutu sekolah tetap bertahan dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
4.Data tahan (durability): tahan banting, misalnya meskipun krisis moneter, sekolah masih tetap bertahan.
5.Indah (aesteties): eksterior dan interior sekolah ditata menarik, guru membuat media-media pendidikan yang menarik.
6.Hubungan manusiawi (personal interface): menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan profesionalisme, misalnya warga sekolah saling menghormati, demokrasi, dan menghargai profesionalisme.
7.Mudah penggunaannya (easy of use): sarana dan prasarana yang dipakai, misalnya aturan-aturan sekolah mudah diterapkan, buku-buku perpustakaaan mudah dipinjam dan dikembalikan tepat waktu.
8.Bentuk khusus (feature): keunggulan tertentu misalnya sekolah unggulan dalam hal penguasaan teknologi informasi.
9.Standar tertentu (comformence to specification): memenuhi standar tertentu, misalnya sekolah telah memenuhi standar pelayanan minimal.
10.Konsistensi (concistensy): keajegan, konstan dan stabil, misalnya mutu sekolah tidak menurun dari dulu hingga sekarang, warga sekolah konsisten dengan perkataannya.
11.Seragam (unuformity); tanpa variasi, tidak tercampur.
12.Mampu melayani (serviceability): mampu memberikan pelayanan prima.
13.Ketepatan (acuracy): ketepatan dalam pelayanan.

Sumber: Usman, Husaini, dkk. 2004. Metodologi Penelitian Sosisal.Prenada Media, Jakarta.

.

  Ada juga menurut World Class University (WCU). Sejauh mana PT memiliki Kelas Internasional, seberapa besar lulusan PT bekerja di industri perusahaan multinasional yang masuk dalam 500 perusahaan terbaik dunia, berikutnya kecepatan PT meluluskan mahasiswanya dengan daya serap yang tinggi. Jadi penilaian mutu tergantung pada ukuran dimana kita (PT) berpijak. Ada lagi satu yang agak jarang diungkapkan yaitu menurut Agama. Hakekat PT yang bermutu itu tentu outputnya mahasiswa mampu menjalankan apa yang Diperintahkan Tuhan YME, mampu memiliki akhlak yang baik. Outcomenya adalah seorang yang ibadah tidak melakukan perbuatan keji dan munkar. Jadi dengan kata lain ada berbagai ukuran mutu tergantung mutu itu mau disandarkan ke dalam badan penyelenggara dan PT dalam ukuran yang mana.

.

Komunita: Bagaimana akreditasi Unggul mencerminkan PT bermutu terkait UU No. 12 dan UUD, karena problematik mutu PT belum selesai sampai sekarang ?

Prof. Dr. Ir. H.M. Budi Djatmiko, M.Si., MEI: Kalau kita mengacu pada UU No. 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi yang disebut bermutu tentu mengikuti SNPT karena di UU tersebut tidak bicara tentang Kampus Merdeka Merdeka Belajar, tidak mencerminkan tentang kita ada di WEBOMETRICS, bagaimana bekerja di Perusahaan Internasional, jadi yang disebut yang bermutu menurut UU 12 tahun 2012 yaitu mutu yang diukur dari SNPT yang berbasis BAN-PT, perbedaannya disitu. Karena ukuran kecerdasan UU No. 12 tahun 2012 yaitu mereka mahasiswa yang memiliki Kompetensi, jadi ukurannya Kompetensi. Tetapi kalau mengukur UUD 1945 yang disebut Cerdas itu tidak cukup Kompetensi, tetapi dia Ber-Ketuhanan dan Berakhlak. Jadi berbeda, padahal mestinya mengacu pada UUD 1945. Jikia mengacu pada UUD 1945 Akhlaknya juga diukur.

Komunita: APTISI memiliki Visi meningkatkan pengelolaan PT yang berujung menghasilkan SDM yang menguasai bidang ilmunya, dalam rangka mencerdaskan Kehidupan Bangsa. Sejauh mana visi APTISI secara gradual dan terukur, kemudian terpantau dalam rangka mencapainya ?

Prof. Dr. Ir. H.M. Budi Djatmiko, M.Si., MEI:  APTISI adalah sebuah perkumpulan pimpinan PTS tentu kami berharap bersinergi dengan pemerintah, karena tujuan utamanya mendirikan Organisasi ini untuk mencapai tujuan tertentu, sesuai dengan visinya bagaimana meningkatkan pengelolaan, pembinaan dan pengembangan PTS khususnya di Indonesia yang orientasinya bagaimana kita membantu pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Maka APTISI memiliki pola kerja atau Strategi Pengelolaan PT yang dijabarkan menjadi Program Kerja 4 tahunan yang setiap tahun program kerja tersebut dievaluasi. Indikator utamanya sesuai dengan indikator pemerintah mau kearah mana. Program Kerja dan Indikator kinerja sesuai amant Munas APTISI. Pada saat Munas ada indikator kinerja yang diukur sesuai keinginan masyarakat PT, kemudian ada kinerja yang diukur karena pemerintah mau kearah yang mana. Itu yang kami lakukan sehingga menjadi program kerja tahunan, kemudian program kerja semesteran dan diturunkan di wilayah-wilayah yang nanti memberikan pendampingan pada PT sesuai dengan kemampuan masing-masing PT.

Komunita: Indonesia dihadapkan pada isu-isu global yang menjadi tantangan, yakni: perubahan iklim dan kesehatan, ketahanan energi, emisi CO2/karbon, kemiskinan perkotaan, Daya Saing Nasional. Sejauh mana APTISI mendorong PTS selaku pengelola pendidikan mensikapi hal tersebut ?

Prof. Dr. Ir. H.M. Budi Djatmiko, M.Si., MEI: APTISI memiliki beberapa Asosiasi di bawahnya yang menyangkut program sesuai dengan ke-khas-an PT. Jika PT membuka Prodi Kesehatan, maka kami mengelompokan ada Asosiasi PT bidang Kesehatan; kalau Teknik, maka ada asosiasi teknik dan seterusnya. Kami mengadakan koordinasi di mana setiap PT memiliki kemampuan ekstra internal dan eksternal yang mana setiap kegiatan dikaitkan dengan kebutuhan Masyarakat, kebutuhan PT dan ilmu pengetahuan. Maka di dalam Tri Dharma PT, kami sebut sebagai Pengabdian kepada Masyarakat. Itulah upaya kami menjawab tantangan-tantangan sesuai dengan kondisi kemampuan yang dimiliki Program studi. Misalnya Program Studi Kesehatan, kemarin kami mengadakan pelatihan dan penanganan secara kongkrit, yaitu turun ke lapangan mendeteksi desa, kecamatan yang memiliki permasalahan stunting (pertumbuhan lambat pada manusia/ kurang gizi) kemudian permasalahan itu diangkat secara Nasional. Kami bekerjasama dengan Kementrian Kesehatan dan memetakan daerah-daerah mana yang harus dibantu. Itulah salah satu dari Prodi Kesehatan.

  Kami bersama bidang Komputer memetakan permasalahan perkotaan di Indonesia yang belum menggunakan sistem teknologi digitalisasi di perkotaan, kita pendekatan dengan smart city. Maka PT bidang Komputer yang berada di bawah APTISI membantu masyarakat oleh mahasiswa dan dosen di bidang IT untuk membuat software yang dibutuhkan secara kongkrit. Kami juga bekerja sama dengan Pemda-Pemda, dan juga dengan PT bidang Ilmu Sosial memetakan permasalahan sosial masyarakat yang ada di perkotaan dan pedesaan dan diagregatkan sesuai dengan bidangnya, karena APTISI menurut bahasanya Bapak Menteri merupakan Asosiasi paling besar. Yakni kumpulan pimpinan PT dan Yayasan, semisal ABP-PTSI, APERTI kami rangkul, juga Asosiasi Vokasi dan Asosiasi PT Kesehatan dan juga Asosiasi PT Komputer. Karena itu sub ordinat yang mendukung dan kami perlukan masukan-masukan mereka. Misalnya beberapa waktu lalu saya diundang oleh Menteri Keuangan bersama APERTI dan ABP-PTSI membicarakan tentang pajak. Bagaimana pajak harus disikapi oleh PT. Jadi secara kongkrit kami bisa memberikan isu-isu dan tentu karena kita tidak memiliki budget, maka masukan-masukanlah yang harus kami berikan.

Komunita: Bagaimana menggalang secara konsisten kolaborasi antara PT, disamping kolaborasi Holistic, dengan sektor-sektor lain. Sektor usaha dan industri masih banyak mengeluhkan kualitas lulusan PT ?

Prof. Dr. Ir. H.M. Budi Djatmiko, M.Si., MEI: Itu paling Krusial dan berat, tapi dari sisi lain kami sudah bekerja keras melakukan itu, tetapi pemerintah masih lambat. Dulu pada tahun 1995 ada yang disebut Borang BAN-PT, salah satu delaynya adalah jika PT 95% mengikuti kurikulum nasional maka nilainya bagus sekali, jika 5% kurikulumnya meramu itu bagus sekali. Sekarang terbalik, semakin mengikuti kurikulum nasional semakin menurun. Yakni 40% kurikulumnya secara nasional harus sama, dan 60% harus meramu kurikulum terkait bagaimana PT dan program studi mengelola sendiri sesuai dengan ramuan / tujuan mereka meluluskan, serta sesuai dengan outcome yang diinginkan, sehingga diharapkan terjadi link and match.

  Jika lulusan ITB ditiru oleh semua PT di Indonesia ya salah karena tidak sesuai dengan ramuan PT lainnya, raw materialnya beda sekali. Tetapi yang terjadi kita mengekor. Sehingga kami mendesak pemerintah agar PT jangan banyak diatur tapi sedikit saja aturannya dan diberi kebebasan agar PT dapat meramu kurikulum, sehingga bisa kerjasama antar PT, Institusi, dan Industri. Akhirnya lahir kebijakan Kampus Merdeka – Merdek Belajar, mereka sesuai dengan Kampus Merdeka – Merdeka belajar. Kalau saya mengalami di Jawa Barat yaitu kami membuat kampus di dalam Industri sehingga bisa langsung link and match dan langsung dapat bekerja dan praktik di lapangan.

Komunita: Di Indonesia ada kurang lebih 4.000 an PT, Jawa barat 482 PT, sekitar 80% kondisinya perlu dorongan. Khususnya kendala yang berhubungan dengan dunia industri, dimana industri sangat beragam dan tuntutannya lebih agar lulusan PT harus siap pakai. Bagaimana mengantarai ini?

Prof. Dr. Ir. H.M. Budi Djatmiko, M.Si., MEI: Permasalahannya adalah budaya masyarakat Indonesia senang disebut gelar mereka, sangat terobsesi gelarnya. Sedangkan di negara maju sudah tidak menjadi ukuran, dan ada perbedaan pendidikan yang mendasar. Pendidikan dibagi menjadi dua yaitu: akademik dan vokasional atau sering disebut pendidikan vokasi dan politeknik. Pada umumnya pendidikan di luar negeri dibagi dua dan masyarakatnya cenderung kuliah langsung bekerja (pendidikan vokasi). Sedang pendidikan akademik adalah PT yang mengembangkan ilmu pengetahuan. Di luar negeri terbalik dengan di Indonesia, misalnya di Jerman 30% adalah pendidikan akademik, sedangkan 70% pendidikannya Vokasi jadi lulus langsung bekerja. Yang 30% tadi pendidikan akademik yang kita sebut sebagai S1, mereka mengembangkan ke S2 dan S3 untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan tidak siap langsung bekerja.

  Pendidikan tinggi di Indonesia tahun 2017 sekitar 5,6 % Vokasi dan sisanya 94,4% Akademik. Namun sekarang Vokasi sudah meningkat diangka 7%, dan akademiknya 93%. Padahal dunia usaha dan industri membutuhkan vokasi kurang lebih 60%. Mencetak lulusan akademik dengan pemikiran saat terjun di dunia kerja langsung memegang Top Manajerial sebagai pemikir. Tetapi lulusan D3 dan D4 saat bekerja langsung praktik. Itulah masalah kita di Indonesia.

  Caranya pemerintah dalam hal ini DIKTI sedang mengupayakan pendidikan Vokasi lebih banyak. Contoh SMA di Indonesia 73%, SMK-nya adalah 17%, namun sekarang terbalik karena kita membutuhkan mereka untuk langsung bekerja tidak harus kuliah, atau melanjutkan kuliah di vokasi. SMA sudah bergeser di tingkat Vokasi, tetapi di PT masih 7% vokasi dan 93% akademik. Jadi wajar lulusan untuk langsung bekerja tidak bisa, tetapi dipersiapkan untuk siap latih tidak untuk siap kerja.

Komunita: Dalam usia Indonesia ke 100 (2045), arah untuk mendorong mencerdaskan kehidupan bangsa dan kesejahteraa melalui pendidikan bagaimana?

Prof. Dr. Ir. H.M. Budi Djatmiko, M.Si., MEI: Kita akan menyongsong 100 tahun Indonesia di 2045. Tetapi permasalahan pokok kita adalah kampus 100 tahun lalu dengan kampus yang sekarang cara dan polanya sama. Padahal era revolusi industri 4.0 ini kita dihadapkan dengan generasi milenial dan generasi Z yang lahir di tahun 95 s.d sekarang. Generasi Z di era 2000 an dan yang lahir 2010 adalah generasi Alfa, mereka disebut dengan digital native. Namun kampus-kampus lambat memperbaiki itu semua dimana kurikulum kampus harus berubah menjadi digital. Maka kalau kita ingin mencerdaskan kehidupan bangsa ke depan, dimana bangsa ini dipenuhi generasi milenial sekitar lebih dari 60%, dan kemudian bergeser Generasi Z dan sebentar lagi ke Generasi Alfa. Generasi-generasi ini memiliki kecanggihan berbeda. Anak generasi Z dan Alfa bekerja tidak seperti generasi pendahulunya, generasi Baby Boomer. Generasi mereka adalah generasi yang memiliki tingkat kecerdasan dan pengetahuan lebih tinggi, karena cara mereka bekerja dan cara mereka mengambil ilmu berbeda dengan kita. Mereka sudah mengambil dengan cepat melalui Google Search Engine. Karena itu peran dosen hanya menjadi coach. Beda di era tahun 80 dosen adalah sumber ilmu pengetahuan yang memberikan arahan dan buku-buku yang mereka tulis. Nah untuk generasi sekarang sangat canggih dan SDM diukur oleh kemampuan mengelola SDM yang efektif melalui digitalisasi baik di kampus atau di masyarakat.

  Pesan saya adalah kita sudah masuk ke Zaman Digital dan sudah bergeser menjadi Blockchain. Semalam saya mengisi seminar dengan peserta 1.200 seluruh Indonesia dan bercerita tentang Bagaimana kemampuan dunia industri ke depannya”. Saya menceritakan bahwa tidak lama lagi Indonesia akan masuk yang namanya Blockchain. Keuangan Bank akan hilang dengan cepat karena ada Bitcoin, Crypto Currency, dll. Perguruan tinggi (PT) yang tidak mempelajari digitalisasi akan lenyap, dan akan ada PT berbasis Cloud. (lili_irahali – 7 Maret 2022)

.

(Rewrite & Interview: Lili Irahali – Audio to transcript: Yanda Ramadana)