Friday, August 8, 2025
Home Blog Page 6

Saatnya, Revolusi Kepemimpinan Etis di Perguruan Tinggi

0

SABACIREBON — Dunia pendidikan tinggi dan perguruan tinggi kita telah menyuguhkan beberapa drama yang mengundang keprihatinan. Tersuguh berita mengenai  marwah kegurubesaran, plagiarisme, kualitas penelitian rendah, hingga joki publikasi mewarnai dunia pendidikan tinggi.   Tahun 2023 lalu, terungkap praktik perjokian dunia akademik (untuk meraih guru besar) di sejumlah perguruan  tinggi negeri maupun  swasta yang terjadi secara massif dan sistematis. Liputan investigasi koran Kompas tersebut sungguh menunjukkan perilaku mengabaikan nilai-nilai etika yang seharusnya dijunjung lembaga dan para individu yang terlibat dalam menjalankan fungsi dan peran mendidik di jenjang pendidikan tertinggi.

Penjaga marwah akademik dan keilmuan telah tergerus petualangan transaksional yang mencoreng hakikat pendidikan tinggi. Integritas akademik telah dicederai. Realita tersebut sangat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap perguruan tinggi. Itulah tantangan etis pendidikan tinggi dan perguruan tinggi dalam kepemimpinannya. Bagaimana tahun-tahun ke depan dunia pendidikan tinggi kembali pada nilai dan hakikatnya? Merujuk Undang-Undang Republik Indonesia  Nomor 12 Tahun 2012 menyebutkan pendidikan tinggi berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa (Pasal 4 a).

Sedang tujuannya antara lain mengembangkan potensi mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa (Pasal 5). Fungsi dan tujuan  utama  pendidikan  tinggi jelas mendidik sumberdaya manusia agar menguasai ilmu pengetahuan, memiliki kemampuan, serta dilandasi akhlak dan etika dalam  mengimplementasikan keilmuan dan kemampuannya di lingkungan masyarakat. Dalam  menjalankan  fungsi melekatnya tersebut, perguruan tinggi dituntut menerapkan azas-azas: kebenaran  ilmiah, penalaran, kejujuran, keadilan, manfaat, kebajikan, tanggung jawab, kebhinnekaan,  dan keterjangkauan.

Lalu dengan realita di atas, diperlukan kepemimpinan, namun dengan kejadian di atas ada apa dengan kepemimpinan di perguruan tinggi? Tampaknya diperlukan Revolusi Kepemimpinan Etis dalam institusi pendidikan tinggi (perguruan tinggi) dan kinerjanya sesuai hakikat dan fungsinya di atas. Revolusi  Kepemimpinan Etis di perguruan tinggi  sesuatu yang sangat mendesak dan penting. Karena memberikan dampak positif pada berbagai aspek kehidupan akademis dan masyarakat luas secara umum. Praktik kepemimpinan etis di perguruan tinggi memiliki implikasi bagi para pemimpin dan administrator di dalamnya untuk mengembangkan budaya kepemimpinan  etis dalam meningkatkan kinerja organisasi, lembaga perguruan tinggi yang etis. Kepemimpinan etis memiliki pengaruh yang baik terhadap peningkatan hasil  kinerja  dan perilaku etis.

Pemimpin yang etis memainkan  peran  penting dalam menciptakan  suasana bereputasi di lembaga akademik ini. Pemimpin yang memberikan arahan etis dan memberikan contoh yang baik bagi  timnya sangat penting dalam  menciptakan suasana yang  meningkatkan produktivitas dan mendorong dosen dan tenaga kependidikan  menjunjung tinggi prinsip moral yang tinggi. Pemimpin di perguruan tinggi harus menjadi contoh kepemimpinan etis. Integritas, tanggung jawab, dan transparansi dalam pengelolaan lembaga harus diterapkan  secara konsisten. Kepemimpinan  yang  etis menciptakan budaya organisasi yang positif dan membantu membangun kepercayaan dari semua pemangku kepentingan.

Di sisi lain, perguruan tinggi mempunyai kewajiban  khusus mengembangkan pemimpin masa depan dengan teladan moral, karena  posisi mereka  (pemimpin masa depan) sebagai penjaga informasi dunia. Kepemimpinan etis di perguruan tinggi akan membentuk karakter peserta didik dengan nilai-nilai etika, mengembangkan sikap integritas, kejujuran, tanggungjawab, serta rasa hormat terhadap sesama. ] Perguruan Tinggi dipandu  kepemimpinan etis berfungsi meningkatkan kehidupan  peserta didik mereka, memperkuat komunitas  lokal  mereka, dan meninggalkan  jejak yang baik bagi generasi mendatang.

Kepemimpinan Etis di perguruan tinggi tidak hanya berdampak pada kualitas internal perguruan tinggi itu sendiri, tetapi juga memberikan kontribusi positif pada masyarakat dan dunia secara luas. Etika kepemimpinan memainkan peran penting dalam membentuk karakter individu, menciptakan lingkungan akademis yang dinamis, dan mengarahkan kontribusi perguruan tinggi untuk pembangunan sosial dan ekonomi. Melalui Revolusi Kepemimpinan  Etis paling tidak, dapat berdampak terhadap:  peningkatan  kualitas  pendidikan, pemberdayaan dosen dan tenaga kependidikan, pengembangan  karakter mahasiswa, tanggungjawab  sosial  dan lingkungan, peningkatan reputasi perguruan tinggi  itu sendiri, serta lebih jauh pencegahan korupsi dan penyalahgunaan keuangan. Mari bersama-sama, kita menciptakan  masa depan kepemimpinan etis tumbuh  subur, sehingga lembaga pendidikan  tinggi dan perguruan tinggi senantiasa menjunjung  tinggi teladan, kejujuran dan prestasi.  Wallahualam.*** @Lili Irahali – 08 Januari 2024

Sumber Artikel berjudul “Saatnya, Revolusi Kepemimpinan Etis di Perguruan Tinggi”, selengkapnya dengan link: https://cirebon.pikiran-rakyat.com/pendidikan/pr-047597710/saatnya?page=all

“Inkubator Bisnis” – Model Pendampingan Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM)

0

Asuhan: Dr. Keni Kaniawati, S.E., M.Si.

Widyatama Business Incubator/WIBI

Keberadaan Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM) dalam perekonomian Indonesia mempunyai peran dalam membangun perekonomian nasional maupun sektoral. Di negeri ini, mereka merupakan pelaku bisnis yang bergerak pada berbagai usaha yang menyentuh kepentingan masyarakat, dan sebagai pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian sekaligus menciptakan peluang kerja yang cukup besar. Proyeksi di Jawa Barat tahun 2023 terdapat 7.055.660  UMKM (https://opendata.jabarprov.go.id/).

Akan tetapi masih ada banyak kendala dihadapi oleh para pelaku UMKM. Diantaranya: kualitas SDM mereka masih rendah, belum berbadan hukum, kurang inovasi produk, kendala dalam akses modal dan pendanaan, kurang tenaga pendampingan.

Memang banyak program pendampingan kepada para UMKM  dilakukan oleh pemerintah, namun pelaksanaan pendampingan tersebut berjalan dengan pola yang monoton. Maka diperlukan model pendampingan yang tepat, salah satunya lembaga yang berperan dalam pendampingan usaha adalah Inkubator Bisnis.

Inkubator bisnis merupakan alat yang digunakan oleh banyak negara berkembang termasuk Indonesia, sebagai sarana pengembangan usaha baru dan atau usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). A business incubator is a program that gives very early-stage companies access to mentorship, investors and other support to help them get established (https://www.bdc.ca/) Sebagai sebuah institusi, inkubator bisnis adalah lembaga yang menaungi sebuah inkubasi bisnis dalam proses pembinaan bagi usaha kecil dan atau pengembangan produk baru, serta penyediaan sarana dan prasarana usaha, pengembangan usaha, dan dukungan manajemen serta teknologi.

Inkubator bisnis merupakan tuntutan dari the new of technology global, yang terjadi karena adanya perubahan yang cepat dan signifikan di bidang teknologi, telekomunikasi, dan digitalisasi; adanya deregulasi dan globalisasi. Perubahan tersebut memaksa adanya perubahan pada setiap pelakunya mulai dari skala negara, perusahaan/ organisasi, dan individu. Mengingat peranan inkubator bisnis dalam menciptakan wirausaha baru yang tangguh dan mampu menjadi salah satu upaya dalam pengembangan UMKM, perlu adanya inovasi terbaru bagi Inkubator dalam era global saat ini. Keberadaan suatu inkubasi bisnis, diperlukan sinergi dan penguatan kelembagaan dalam mengoptimalkan peran inkubator bisnis untuk menciptakan wirausaha baru dan membantu pengembangan UMKM di Indonesia. Saat ini keberadaan inkubator bisnis secara legal telah didukung oleh Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2013 tentang Pengembangan Inkubator Wirausaha. Implementasi dari Perpres tersebut dapat didukung melalui sinergi pemerintah, pihak swasta, dan perguruan tinggi dalam mengoptimalkan peran inkubator.

Inkubator Bisnis Widyatama – Konsep Triple Helix

Keni Kaniawati sebagai Kepala Inkubator Bisnis Universitas Widyatama (WIBI) menyebutkan model  business incubator Widyatama menerapkan konsep Triple Helix yang dapat direalisasikan dengan lebih efektif melalui penerapan teknologi. Banyak model bisnis di era saat ini yang melakukan transformasi ke dunia digital. Hal ini sebagai bentuk penyesuaian diri di era revolusi industri 4.0 demi meningkatkan daya saing perusahaan. Revolusi industri terkini atau generasi keempat telah mendorong sistem otomatisasi di dalam semua proses aktivitas. Teknologi internet yang semakin masif tidak hanya menghubungkan jutaan manusia di seluruh dunia tetapi juga telah menjadi basis bagi transaksi perdagangan dan berbagai lini bisnis barang maupun jasa secara online.

Inkubator Bisnis yang dikembangkan merupakan komersialisasi riset dan penciptaan lapangan kerja baru, yang pada akhirnya tercipta lapangan kerja, dan bagi suatu proses usaha akan mempunyai nilai tambah serta mampu menciptakan lapangan kerja dan jalinan kerjasama antara industri, masyarakat dan pemerintah. Proses ini akan mampu mengubah serta menemukan model baru menjadi sebuah inovasi, sehingga terjadi proses penciptaan nilai (value creation) yang akan memberikan dampak positif pada munculnya komersialisasi teknologi yang mampu mendorong penciptaan dan peningkatan serta mengembangkan nilai kesejahteraan masyarakat (social wealth creation and social wealth improvement).

Keberadaan inkubator bisnis di Perguruan Tinggi, khususnya di Universitas Widyatama merupakan tuntutan dari the new economy global, yang terjadi karena adanya perubahan yang cepat dan signifikan di bidang teknologi, telekomunikasi, dan digitalisasi; adanya deregulasi dan globalisasi. Perubahan tersebut, memaksa adanya perubahan dari tiga program yang ada dalam inkubator bisnis yaitu: pra inkubasi, inkubasi dan pasca inkubasi. Kegiatan pra inkubasi meliputi seleksi tenant dan promosi. Kegiatan inkubasi dibagi menjadi tiga tahapan yaitu tahap awal, pengembangan, dan tahap lanjut.

Keseluruhan proses inkubasi dilakukan paling lama tiga tahun. Kegiatan inkubasi tahap awal meliputi pelatihan teknis dan manajemen, legalitas usaha, penyusunan rencana bisnis, uji coba produksi, dan uji coba pasar. Kegiatan inkubasi tahap pengembangan meliputi produksi awal, pemasaran produk, pengajuan HKI, standardisasi proses produksi, dan sertifikasi produk (legalitas produk). Kegiatan inkubasi tahap lanjut meliputi produksi komersial, perluasan pasar, peningkatan efisiensi produksi dan manajemen usaha, dan pengembangan jejaring. Kegiatan pasca inkubasi meliputi pengembangan jejaring usaha nasional (salah satunya Widyatama Agustus lalu menyelenggarakan kegiatan Business Matching) maupun internasional.

Indikator Keberhasilan Inkubator Bisnis, sangat diperlukan, agar dapat diketahui sejauhmana keberhasilan yang telah dicapai dalam menjalankan proses inkubasi dan pasca inkubasi. Pengelolaan inkubator perlu memiliki kemampuan untuk melakukan evaluasi terhadap aktivitas yang telah dilakukan. Inkubator bisnis merupakan wahana yang efektif untuk menumbuhkembangkan jiwa kewirausahaan, kemampuan, jejaring dan wawasan berusaha. Seperti inkubator bisnis yang lainnya,  Widyatama Business Incubator memiliki peran sebagai lembaga pendamping dan perantara yang akan membantu para pelaku UMKM (wirausaha baru/start-up) yang menjadi binaan agar resiko kegagalan bisnisnya dapat diminimalisir, memperoleh akses pasar, dan mendukung dalam hal inovasi produk yang lebih baik dan bisa berdaya saing secara global. Hayu ke Widyatama Business Incubator.

(keni kaniawati, 20 November 2023)

The World Without Us

0

Alan Weisman

Alan Weisman

Penulis yang diakui secara kritis dari buku terlaris New York Times, “The World Without Us”, Alan Weisman adalah seorang jurnalis pemenang penghargaan yang laporan-laporannya telah muncul di Harper’s, New York Times Magazine, Atlantic Monthly, Discover, dan Orion, antara lain, serta di National Public Radio. Sebagai mantan editor kontributor untuk Los Angeles Times Magazine, ia adalah seorang produser radio senior untuk Homelands Productions dan mengajar jurnalisme internasional di University of Arizona. Ia tinggal di Massachusetts bagian barat.

Penerbit ‏ : ‎ Virgin Books

Bahasa : ‎ Bahasa Inggris

Tanggal publikasi: 3 April 2008

Sampul tipis ‏ ​​: ‎ 336 halaman

ISBN-10 ‏ : ‎ 0753513579

ISBN-13 ‏ : ‎ 978-0753513576

Dimensi : ‎ 13,11 x 2,49 x 19,3 cm

Peringkat Terjual Terbaik: 168.097 Buku

Ulasan pelanggan: 4,3 4,3 dari 5 bintang 1,761 peringkat

 

Era kini, manusia menghadapi tantangan kompleks dan saling bertentangan. Meskipun terdapat kemajuan dalam banyak aspek kehidupan, namun ketidakberadaban terus berlanjut.

Malam itu ditengah kegundahanku mencermati tingkah laku sosok manusia di era yang disebut modern dan canggih, namun mencerminkan sosok yang semakin meninggalkan keberadabnya dalam berbagai aspek kehidupan. Konflik bersenjata dan perang masih terjadi di beberapa belahan dunia; politik kotor, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan terus terjadi, kesenjangan antara kaya dan miskin terus meningkat, praktek ekonomi rakus dan tidak adil yang mengakibatkan penderitaan banyak orang, dsb. Dalam konteks individu tercermin pula semisal kesombongan, ketidakpedulian, arogansi, tidak bertanggungjawab, culas, dsb.

Saya mulai berselancar di dunia maya menelusuri dunia buku yang jadi kegemaranku, yang sudah berapa lama tidak terpenuhi. Secara tak sengaja saya tertumbuk pada sebuah buku berjudul “The World Without Us”, Dunia Tanpa Manusia? Sungguh menarik.

“Buku “The World Without Us” adalah karya Alan Weisman yang memaparkan pandangan tentang bagaimana dunia akan berubah jika manusia tiba-tiba lenyap dari muka bumi. Weisman mengajukan pertanyaan menarik: Apa yang akan terjadi pada planet ini jika semua jejak keberadaan manusia menghilang?

Buku ini membawa pembaca dalam perjalanan yang mendalam dan seringkali mengejutkan melalui konsep “dunia tanpa manusia.” Weisman secara rinci menjelaskan bagaimana infrastruktur manusia seperti gedung pencakar langit, jembatan, dan jalan raya akan mengalami kerusakan dan keruntuhan seiring berjalannya waktu. Tanpa pemeliharaan manusia, alam akan mengambil alih, mulai dari tumbuhnya tanaman di dalam gedung-gedung hingga penghancuran lambat oleh elemen alam.

Selain itu, penulis juga mengeksplorasi dampak tanpa manusia pada lingkungan dan ekosistem. Bagaimana fauna dan flora akan berevolusi dan menyesuaikan diri dalam keadaan tanpa intervensi manusia? Weisman membahas proses alami yang akan menghilangkan jejak manusia dari permukaan bumi, mulai dari material buatan manusia yang membusuk hingga limbah radioaktif.

Keindahan buku ini terletak pada cara Weisman menggambarkan dunia tanpa kehadiran manusia sebagai pemandangan yang menakjubkan dan melankolis. Ia merinci bagaimana alam akan pulih dari jejak manusia, dan dalam beberapa kasus, bagaimana beberapa struktur manusia yang paling tahan lama akan menjadi fosil bagi masa depan.

Penuis berbicara tentang bagian tergelap dari imajinasi kolektif kita dan juga beberapa hal yang paling aneh. Meskipun membahas potensi kerusakan dan dampak buruk aktivitas manusia terhadap planet ini, buku ini juga membuka ruang untuk refleksi dan kesadaran tentang tanggung jawab kita terhadap lingkungan. Sebagai pembaca, kita akan dihadapkan pada realitas bahwa manusia memiliki peran penting dalam menjaga keberlanjutan dan keseimbangan alam.

“The World Without Us” bukan hanya sekadar kajian ilmiah, tetapi juga merupakan karya seni dalam membayangkan dunia tanpa kehadiran manusia. Buku ini mengajak pembaca untuk merenung tentang dampak aktivitas manusia pada planet ini dan memberikan inspirasi untuk bertindak demi keberlanjutan bumi.

Karena itu, masyarakat perlu terus bekerja sama untuk memperkuat nilai-nilai keberadaban dan mengatasi ketidakberadaban untuk mencapai dunia yang lebih baik. Wallahualam.

 

(Lili Irahali & AI)

 

Ade Bubun Susanto, Mahasiswa UTama Sukses Berbisnis Property

0

Asuhan : Dr. Meriza Hendri, SIP, M.M.

Bubun, demikianlah panggilan akrab yang disematkan oleh teman-teman mahasiswa di kelas Magister Manajemen Universitas Widyatama. Bahkan teman-teman pengusaha mudapun juga memanggil Bubun, padahal nama lengkap anak muda kelahiran Bandung ini adalah Ade Bubun Susanto. Menarik ketika diskusi dengan Bubun karena dengan statusnya sebagai mahasiswa MM Widyatama dan kebetulan juga alumni prodi Manajemen S1 Widyatama sudah bisa mengembangkan bisnis.

Bubun memulai usahanya tahun 2008 dan ini adalah hasil dari pendidikan secara tidak langsung dari orang tuanya dengan berjualan bahan bangunan di toko milik orang tuanya sambil kuliah. “Saya mendapatkan kesempatan yang luar biasa waktu kuliah karena bisa belajar sambil praktek ilmunya di toko khususnya ilmu bisnis, manajemen dan paling utama adalah berdagang” kata Bubun sembari membayangkan bagaimana memulai bisnis di awal.

Bubun merasa sangat bersyukur juga karena tahun 2012, bisa menyelesaikan kuliah S1 dan keputusan bulat untuk full mengelola toko bangunan. “Saya berani memutuskan untuk full di toko bangunan setelah kuliah dan berniat untuk terus mengembangkan toko bangunan yang waktu itu sudah memiliki dua cabang” tambah Bubun. Bahkan Bubun fokus mengembangkan sistem manajemen di toko bangunan, hasil dari pembelajaran yang didapatkannya di kelas.

“Salah satu inovasi yang saya lakukan tahun 2012 adalah dengan mengembangkan divisi baru yaitu bisnis angkutan bahan material alam dari quary ke konsumen dengan modal satu truk dan berkembang menjadi tujuh truk di tahun 2015” tambah Bubun. Ini adalah pengembangan bisnis yang dilakukan oleh Bubun dengan melihat peluang karena ilmu inilah yang didapat dari kampus dan digunakan untuk pengembangan bisnis.

Tidak berhenti di bisnis trucking saja, “Bubun juga mengembangkan bisnis yang berhubungan dengan toko material yaitu divisi kontraktor rumah” kata Bubun dan menjelaskan keyakinan untuk bisnis ini dengan dasar pengetahuan dan pengalamannya di toko material yang pastinya sangat berhubungan dengan divisi baru ini yang terus berubah menjadi developer perumahan yang dikembangkan oleh Bubun.

Ada hal lain lagi yang menarik dari Bubun sebagai sumber untuk best practice dimana tahun 2017, Bubun mengembangkan usaha dengan merambah bisnis sewa menyewa alat berat dan jual beli alat berat. “Bisnis ini saya kembangkan karena tingginya permintaan akan alat berat untuk proyek saya sendiri termasuk proyek proyek rekan dan pemerintah” tambah Bubun. Terlihat bagaimana Bubun berbisnis dengan dasar peluang yang memang diajarkan di Kampus Widyatama.

Yang terakhir adalah tahun 2019 Bubun membuka perusahaan khusus untuk jasa wisata tour and travel domestic dan luar negeri, beserta event organizer and mice dan terahir pada tahun 2022 mulai merambah ke dunia kuliner yaitu dengan membuka coffe shop n resto. “Inilah pengembangan usaha yang saya lakukan sejak tahun 2008” tambah Bubun.

Menarik melihat perkembangan bisnis yang dijalankan Bubun dan menurutnya, hal ini diawali dengan passion berjualan dan bisnis serta bermanfaat bagi orang lain dengan membuka lapangan pekerjaan bagi banyak orang. Bubun juga berprinsip bisnis yang sesuai dengan potensi diri ini bisa menjadi nilai ibadah.

Beberapa project yang sudah dikembangkan adalah perumahan Bumi Arum Regency Rancaekek Bandung Timur. “Saya fokus pada kualitas yaitu dibangun oleh kontraktor internal maka desain layout-nya bisa custom dan kualitasnya bisa dipastikan baik, serta kualitas bahan bangunannya bisa dilontrol karena disuplai dari toko yang kita miliki” kata Bubun. Perumahan yang dikembangkan Bubun adalah Bandung Raya dan sekitarnya dengan target pasar kalangan menengah, yang baru ingin memiliki rumah, serta target menengah ke atas buat investasi property, karena eskalasi harga tanah dan rumah di Bandung Timur cukup tinggi

Dengan dukugan 200 orang karyawan, Bubun terus berusaha untuk mengembangkan usaha dengan memanfaatkan ilmu dan pengetahuan yang sudah didapatkan dari kuliah S1, dan sedang di Magister Manajemen Universitas Widyatama.

Kedepannya, Bubun ingin meraih visinya yaitu mengembangkan Kawasan Perumahan yang one stop living, dimana semua kebutuhan dari primer sekunder sandang pangan papan semua ada dalam satu Kawasan Perumahan, bisa di bilang konsep kota mandiri.

Bagi sahabat yang ingin mendapatkan sharing best practice dari Bubun, bisa ke poin sosial medianya yaitu Ig @adebubun, Fb adebubun dan tiktok bubun@tmr atau bisa lihat Web perusahaan PT. ARUM JAYA PROPERTI. Bisa juga kontak di 081321810858 karena Bubun berdomisili di Kecamatan Rancaekek Kabupaten Bandung.

 

Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 Pijakan PTS Bersikap menuju Transformasi Pendidikan Tinggi? Bersama ABP PTSI

0

Berbagai peristiwa dunia pendidikan tinggi kita, menampakkan berbagai faktor yang berkontribusi menghambat upaya proses meningkatkan kualitas pendidikan tinggi. Beberapa faktor yang berkontribusi pada situasi tersebut, diantaranya: keterbatasan sumber daya, kekurangan sumber daya manusia berkualitas, kebijakan pendidikan yang tidak konsisten, standar dan akreditasi, kultur organisasi perguruan tinggi, serta keterlibatan pihak-pihak terkait. Kompleksitas persoalan tersebut di atas utamanya dihadapi oleh perguruan tinggi swasta (PTS) yang justru mengusung jumlah mahasiswa terbesar dibanding PTN. Data menunjukkan saat ini PTS mendidik sebanyak 72 % mahasiswa, sehingga perhatian pada kualitas perlu ditingkatkan. Keperwiraan ini sesungguhnya dalam upaya PTS membantu penyelenggaraan pendidikan tinggi yang seharusnya menjadi tanggungjawab pemerintah.

Namun satu sisi pembinaan atau bantuan pemerintah yang diperuntukkan bagi PTS kurang lebih 6% dari total anggaran. Sementara PTN menerima kurang lebih 94% dari total anggaran. Padahal seharusnya tidak boleh terjadi, mengingat PTN dan PTS memiliki tanggungjawab yang sama dalam meningkatkan partisipasi pendidikan tinggi.

Baru-baru ini pemerintah telah mengafirmasi upaya transformasi pendidikan tinggi dengan menyederhanakan beberapa peraturan sebelumnya, juga berisi pengembangan. Yakni dengan terbitnya Permendibudristek Nomor  53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi yang diharapkan mendororng perguruan tinggi dan program studi lebih inovatif dan adaptif menghadapi dinamika perubahan.

Apakah Permen ini mampu menjadikan pijakan perguruan tinggi untuk menerobos percepatan meningkatkan kualitas pendidikan tinggi – khususnya PTS? Kami mencoba berbincang dengan Ketua Umum Asosiasi BP PTSI Pusat – Asosiasi Badan Penyelenggara PTS untuk memahami problematik PTS, serta mengapa Permendikbudristek tersebut diterbitkan.

Berikut secara tertulis bincang-bincang Tim majalah Komunita, Drs. Lili Irahali, M.M., B.A, ODCP menemui Prof. Dr. Thomas Suyatno, Ketua Umum ABP PTSI Pusat di tengah kesibukan beliau.

Komunita:

Perspektif Profesor tentang problematik pendidikan tinggi kita ? Bagaimana idealnya.

 

Prof. Thomas:

Dalam perjalanan waktu dan dinamikanya, bahwa dunia pendidikan Indonesia menghadapi  era-era baru: era VUCA (Volatile,  Uncertain,  Complex, Ambiguos),  era MOOC (Massive Open Online Curses), dan era makin cepatnya perkembangan teknologi. Lalu bersamaan dengan tantangan di era tersebut di atas, dunia pendidikan tinggi kita menghadapi  berbagai bukit masalah dan tantangan yang kompleks dan beragam.

Beberapa diantaranya adalah aspek: a) Sosialisasi  dan    implementasi     berbagai    peraturan  perundang-undangan    belum dilaksanakan secara optimal.  Bahkan terlalu sering terjadi perubahan dalam waktu yang relatif pendek; b) Efektivitas PDDikti (Pusat Data Dikti); c) Otonomi  PT dan proses transformasi  Dikti; d) Budaya, sistem, dan mekanisme bekerja birokrasi; e) Meningkatnya persaingan antar-PT/PTS:  nasional, regional, dan global; f) Conflict of interest pada setiap  level:  antar organ  di  dalam yayasan, pengurus yayasan dan pimpinan PTS, antara  pimpinan PTS dan senat PTS, dan lain-lain; g) Zona kenyamanan (comfort zone) hingga enggan masuk ke new zone; h) Kualitas pendidikan dan tenaga kependidikan yang rendah; i) Rasio dosen : mahasiswa yang pincang; j) Angka partisipasi  kasar (APK) yang rendah; k) banyaknya PTS yang sakit atau  kurang sehat  (diperkirakan sekitar  60% dari  total  PTS saat ini:  2.984 buah); dan lain-lain.

Lalu bagaimana lembaga pendidikan tinggi bersikap? Tentunya, berbagai tindakan dan/atau  kebijakan sebaiknya perlu dilakukan oleh lembaga pendidikan tinggi.  Semisal antara  lain: a) Kolaborasi antar semua unsur atau eksponen PT. b) Peningkatan daya kreativitas dan daya inovasi di segala bidang. c) Bagi yayasan dan pimpinan PTS, merupakan kesempatan untuk segera melakukan transformasi   dan   reformasi,   serta   meningkatkan   mutu   manajemen   dan   mutu akademik masing-masing. d)  Meningkatkan daya saing dan daya tawar. e) Bermitra   dengan   PT   asing   untuk   bidang-bidang   ilmu   yang   pengembangannya memerlukan modal besar dan teknologi tinggi. f) Pengembangan  kepemimpinan  yang  lebih  kuat  dan  giat (viable),  sehingga  memungkinkan berlakunya  manajemen  pendidikan tinggi yang lebih efektif dan lebih efisien. g)   Mengembangkan pola pikir global dan keterampilan  manajemen global. h) Mengelola  budaya dan organisasi global. i) Responsif  terhadap  kebutuhan  akan perubahan dan pembaruan  kelembagaan sesuai visi, misi, sasaran, tujuan,  dan sumber daya yang dimiliki. j) Peningkatan dan/atau penyempurnaan organisasi, manajemen, dan tata pamong yang menunjang kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat (Tridharma PT), serta perwujudan akademik yang kondusif.

 

Komunita:

Apa yang melatarbelakangi terbitnya Permendikbudristek  No. 53/2023

Prof. Thomas:

Penerbitan Permendikbudristek dimaksud bila dicermati dimaksudkan untuk  melakukan transformasi terhadap  SN Dikti  dan sistem akreditasi,    mendorong    peningkatan    mutu    pendidikan   tinggi,    serta   melakukan sinkronisasi dan harmonisasi pengaturan mengenai penjaminan mutu  pendidikan tinggi.

Hal tersebut dilandasi oleh realita bahwa: a) Standar  Nasional  Pendidikan  Tinggi  (SN Dikti)  mengatur terlalu  kaku dan terlalu  rinci, sehingga perlu disesuaikan agar memberikan PT ruang lebih  luas untuk berinovasi. Selain  itu,  b) sistem  akreditasi  masih  dirasakan    membebani  PT  secara administrasi  maupun finansial.

Komunita:

Bagaimana peran ABP PTSI terkait terbitnya Permendikbudristek tersebut?  

Prof. Thomas:

Sejalan dengan fungsi dan  tujuan Asosiasi, maka Pengurus Asosiasi  BP  PTS  Indonesia (ABP PTSI) sangat aktif dalam menanggapi setiap rancangan Permendikbudristek dan berbagai peraturan perundangan-undangan lainnya, baik di bidang pendidikan,   perrpajakan,   pertanahan,   dan   masalah-masalah   aktual   terkait   dengan pendidikan tinggi.

Khusus mengenai  proses diterbitkannya  Permendibudristek  No. 53   Tahun  2023 tentang Penjaminan  Mutu  Pendidikan  Tinggi,  ABP  PTSI  selalu dilibatkan  dalam setiap  substansi yang akan dimuat di dalam Permendikbudreistek tersebut.  Lamanya penerbitan  Permendikbudristek  tersebut antara lain  belum adanya titik temu antara ABP  PTSI dan Kemdikbudristek. Diantaranya mengenai: transformasi standar nasional; capaian pembelajaran lulusan; penyelenggaraan proses pembelajaran, penerimaan mahasiswa baru oleh PTN; bentuk tugas akhir, asesmen, dan berbagai standar lainnya.

 

Komunita:

Lalu apa konsekuensi Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 bagi PTS.

Prof. Thomas:

Konsekuensinya   bagi  PTS jelas yakni melaksanakan berbagai kaidah, norma, dan peraturan sesuai dengan Permen tersebut. Jika di dalam pelaksanaan menghadapi berbagai kendala dan/atau masalah, PTS dan/atau anggota  ABP  PTSI  diberi ruang menyampaikan  masalahnya kepada ABP  PTSI  Pusat  untuk kemudian  dibahas  di  dalam  monthly  meeting  dengan  Dirjen  Diktiristek  yang  selalu diadakan pada awal bulan.

Di dalam pertemuan tersebut dibahas secara tuntas masalah-masalah yang dihadapi PTS. Dirjen   Diktiristek   selalu   terbuka   untuk   semua  kritik   dan/atau   keluhan   masyarakat, utamanya  PTS dalam koordinasi ABP PTSI.

 

Komunita:

Saran Ketua ABP PTSI terhadap anggota dan PTS?

 

Prof. Thomas:

ABP   PTSI   merupakan   organisasi   tempat   mengadu,   mengaduh,   dan  menangis  bagi anggotanya. Oleh karena itu,  Pengurus ABP PTSI selalu terbuka dan senang mendengarkan keluhan dan kesulitan anggotanya, di antaranya:

  1. pada satu sisi, ABP PTSI dapat mengingatkan  pemerintah terkait pengawasan terhadap outcome PTN/UT, terutama dengan melonjaknya mahasiswa di PTN/UT;
  2. pada sisi   lain,   perkembangan  MOOC (termasuk   PTN   dan  UT)   makin  cepat   dan dipercepat  dengan adanya PT berbasis IT yang merupakan ‘keniscayaan’;
  3. ABP PTSI  sejauh  mungkin  memfasilitasi  kemungkinan/peluang  kerjasama anggotanya dengan MOOC  menuju ‘win-win’ bagi anggotanya;
  4. terus menggalang   semangat   kolaborasi   antar sesama   institusi   dan/atau   lembaga pendidikan dan pemangku kepentingan

 

(Editor: lili irahali)

Antara Transformasi Perguruan Tinggi, Otonomi Akademik, serta Akuntabilitas dan Transparansi

0

Mencermati tantangan-tantangan global yang sangat bervariasi di berbagai konteks. Sebagaimana Peter Fisk (2022) – seorang Business Catalyst dan Keynote speaker dalam “Megatrends 2020-2030 Keynote and Workshop” menyebutkan ….. konflik-konflik baru dengan konsekuensi secara ekonomi, politik dan logistik, kemudian kenaikan inflasi, harga minyak, dan pertumbuhan yang stagnan semakin menantang norma-norma yang sedang berlaku. Demikian pula, pertumbuhan sedang mengalami pergeseran, inovasi tiada henti, disrupsi semakin cepat, ekspektasi tinggi, dan ketegangan sosial meningkat.

Memahami dan memanfaatkan kekuatan perubahan yang dramatis ini akan membantu membuat pilihan strategis yang lebih baik, membentuk pasar yang menguntungkan, dan menciptakan masa depan yang lebih cerah, jelasnya. Bagaimana hal tersebut akan mempengaruhi masa depan – baik sebagai tantangan maupun peluang – dalam strategi dan inovasi merangkul kekuatan perubahan yang paling signifikan? Apakah teknologi membentuk segalanya?, tapi yang penting adalah dampaknya. Artinya, Tren akan memandu pilihan untuk masa depan, termasuk bagi perguruan tinggi (PT).

 

 Megatren, Problematika Kualitas PTS vs Permendikbudristek No. 53/2023

Analisis McKinsey baru-baru ini menunjukkan bahwa gelombang perubahan yang cepat, yang diciptakan oleh tren industri dan geografis adalah kontributor paling penting. William Gibson, penulis fiksi ilmiah memperingatkan, “Masa depan sudah ada di sini, hanya saja belum merata”. Oleh karena itu, pertanyaan sebenarnya adalah bagaimana menggunakan “megatren” untuk membantu memahami kemungkinan-kemungkinan yang ada, dan kemudian bagaimana dapat membentuk masa depan, sesuai dengan keinginan?

Bila demikian, apa yang dimaksud “megatren”? Megatren adalah perubahan besar dalam bidang sosial, ekonomi, politik, lingkungan hidup, atau teknologi yang terjadi secara perlahan, namun jika terjadi dapat mempengaruhi berbagai aktivitas, proses, dan persepsi, mungkin selama beberapa dekade. Hal-hal tersebut merupakan kekuatan mendasar yang mendorong perubahan di pasar global dan kehidupan kita sehari-hari. Megatren juga merupakan penanda yang berharga, berwawasan luas, dan penting bagi masa depan.

Megatren tentunya memiliki dampak pula pada cara perguruan tinggi beroperasi dan berkontribusi pada pembangunan masyarakat, baik secara lokal, nasional, maupun global. Perguruan tinggi yang responsif dan fleksibel dalam mengatasi tantangan ini memiliki potensi menjadi pemimpin dalam menghadapi perubahan-perubahan ini. Disinilah transformasi pendidikan tinggi sangat diperlukan.

Di tengah tantangan global di atas yang dikenal “megatrend”, kita dihadapkan pada realita sebagian besar perguruan tinggi swasta (PTS) kita masih bergulat dalam meningkatkan mutu dan menjadi institusi yang sehat. Terdapat lebih dari 2.984 PTS, dengan 8,2 juta mahasiswa,  tetapi 50-60 persennya kurang sehat dan harus segera disehatkan, jelas  Prof. Dr. Thomas Suyatno, Ketua Umum ABP PTSI. Sedang, Ketua Umum Asosiasi PTS Indonesia (APTISI), Prof. Dr. Budi Djatmiko mengatakan, penjaminan mutu PT harus menjadi komitmen pimpinan dan penyelenggara PT. Kondisi saat ini diperkirakan ada 1.500 PTS belum terakreditasi institusi dengan berbagai permasalahan.

Rektor Universitas YARSI Jakarta, Prof. Dr. Fasli Jalal menjelaskan ”kita menyepakati mutu dengan menyepakati aturan main sehingga perlakuan pemerintah harus sama antara PTS dan PTN. Biaya operasional untuk mahasiswa bisa menjamin mutu dasar, yang sebenarnya bisa dilaksanakan PTS juga”. Sementara Ketua Konsorsium PTS Indonesia Maskuri menyoroti pembiayaan LAM menjadi beban PTS. Padahal, akreditasi selama ini dibiayai pemerintah sebagai wujud komitmen pada penjaminan mutu.

Nampak, sebagian PTS kesulitan untuk meningkatkan mutu pendidikan dan kesehatan lembaga. Para pengelola PTS merasa kurang mendapat dukungan kebijakan dan anggaran dari pemerintah. Padahal, keberadaan institusi pendidikan tinggi swasta turut menentukan daya saing sumber daya manusia Indonesia. Karena itu, dukungan pemerintah sangat dinantikan.

Baru-baru ini pemerintah menerbitkan Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 yang mengafirmasi percepatan transformasi pendidikan tinggi. Permendikbudristek ini merupakan angin segar yang diharapkan memberikan energi baru dalam meningkatkan mutu dan kesehatan institusi pendidikan tinggi. Permendikbudristek tersebut didalamnya mengandung aspek otonomi akademik, serta akuntabilitas dan transparansi bagi perguruan tinggi, yang tampaknya merupakan kebijakan yang diharapkan untuk menjawab tantangan tersebut di atas. Walau tentunya dibutuhkan kecerdasan perguruan tinggi sejalan dengan visi, misi, dan tujuan yang mereka usung dalam menjalankan Tridharma (pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat) sebagai pengejawantahan fungsi perguruan tinggi.

 

Mengapa Otonomi Akademik ?

Otonomi akademik perguruan tinggi merupakan prinsip dasar dalam dunia pendidikan tinggi yang memberikan perguruan tinggi kebebasan untuk mengelola dan mengatur aktivitas akademiknya tanpa campur tangan yang berlebihan dari pihak pemerintah atau eksternal. Dalam mengimplementasikan otonomi akademik, tentu saja pendidikan tinggi memiliki potensi untuk memberikan dampak paling signifikan dalam membangun SDM unggul. Oleh karena itu, perlu adanya upaya percepatan adaptasi pendidikan tinggi di Indonesia agar dapat bersaing secara global.

Otonomi akademik perlu dan penting bagi perguruan tinggi? Sangat benar, mengingat beberapa hal yang menjadikan alasan.

  • Mendorong Inovasi dan Penelitian. Otonomi akademik memungkinkan perguruan tinggi mengembangkan kurikulum, program, dan kebijakan mereka sendiri. Ini memungkinkan mereka merespons dengan cepat perkembangan ilmiah dan teknologi terbaru, serta mengeksplorasi berbagai pendekatan baru dalam pengajaran dan penelitian.
  • Peningkatan Kualitas Pendidikan. Otonomi akademik memungkinkan staf pengajar dan pengelola perguruan tinggi membuat keputusan yang berkaitan dengan kualitas pendidikan. Mereka dapat mengatur standar akademik, merancang kurikulum yang relevan, dan menilai kualitas program pendidikan mereka tanpa campur tangan eksternal yang berlebihan.
  • Kebebasan Berpendapat. Otonomi akademik memberikan dosen dan peneliti kebebasan menyampaikan pandangan dan penelitian mereka tanpa takut tekanan atau hambatan eksternal. Ini penting dalam mendukung pengembangan pengetahuan dan pemikiran kritis.
  • Pembangunan Karakter dan Nilai. Perguruan tinggi juga memiliki tanggung jawab membentuk karakter dan nilai-nilai etika mahasiswa. Otonomi akademik memungkinkan perguruan tinggi merancang program pendidikan yang mencerminkan nilai-nilai etika dan kultural yang mereka anut.
  • Menyediakan Layanan yang Lebih Relevan. Otonomi akademik memungkinkan perguruan tinggi merespons kebutuhan masyarakat dan pasar tenaga kerja setempat. Mereka dapat merancang program pendidikan yang lebih relevan dan responsif terhadap permintaan dan tantangan yang ada.
  • Kebebasan Akademik. Otonomi akademik melindungi kebebasan akademik, yang mencakup hak dosen mengajar dan melakukan penelitian tanpa takut represi atau intervensi. Ini merupakan aspek penting dalam mempromosikan perkembangan ilmu pengetahuan dan kebebasan berpikir.

Permendikbud Ristek Nomor 53 Tahun 2023 memberikan fleksibilitas kepada perguruan tinggi untuk menyesuaikan sistem penjaminan mutu mereka sesuai dengan kebutuhan masing-masing perguruan tinggi, tanpa diatur detail dan kaku oleh pemerintah.

 

Mengapa Akuntabilitas dan Transparansi?

Otonomi akademik adalah prinsip penting dalam sistem pendidikan tinggi karena memberikan kesempatan bagi perguruan tinggi berkembang dan berinovasi, sesuai dengan misi dan visi mereka. Otonomi akademik yang seimbang membantu menciptakan lingkungan di mana perguruan tinggi dapat berkembang, berinovasi, dan memainkan peran penting dalam pembangunan masyarakat dan ekonomi.

Meskipun otonomi akademik penting, namun harus diimbangi dengan akuntabilitas dan transparansi. Perguruan tinggi perlu memenuhi standar kualitas tertentu dan melaporkan kinerja mereka kepada pihak berwenang dan masyarakat. Akuntabilitas menciptakan kerangka kerja untuk memantau dan mengevaluasi kinerja perguruan tinggi, serta memastikan bahwa sumber daya dihabiskan dengan efisien dan efektif. Hal ini melibatkan pengembangan standar, penilaian, dan pengukuran kinerja yang jelas, baik untuk program akademik maupun manajemen keuangan. Akuntabilitas membantu memastikan bahwa perguruan tinggi memenuhi tanggung jawab mereka terhadap mahasiswa, masyarakat, dan pemerintah yang mungkin mendanainya.

Sedangkan, Transparansi adalah kunci dalam membangun kepercayaan. Perguruan tinggi yang transparan dalam pengambilan keputusan, pengelolaan dana, dan pelaporan kinerja memberikan pemangku kepentingan (seperti mahasiswa, staf, orang tua, dan masyarakat) informasi yang mereka butuhkan untuk membuat keputusan. Transparansi juga dapat mengidentifikasi masalah atau ketidakpatuhan yang perlu diperbaiki.

Dalam rangka menjalankan otonomi akademik dengan baik, perguruan tinggi perlu mencapai keseimbangan antara kreativitas akademik dan tanggung jawab sosial. Akuntabilitas dan transparansi adalah alat penting untuk mencapai keseimbangan tersebut dan memastikan bahwa perguruan tinggi berfungsi secara efektif dan memberikan manfaat kepada semua pemangku kepentingan.

Menjalankan akuntabilitas dan transparansi, maka perguruan tinggi memiliki aspek- aspek penting berikut.

1) Memastikan Kualitas Pendidikan. Akuntabilitas dan transparansi membantu memastikan bahwa perguruan tinggi tetap memberikan pendidikan berkualitas. Dengan menerapkan standar dan proses evaluasi yang transparan, baik pihak internal maupun eksternal dapat memantau dan memastikan bahwa program akademik dan kegiatan riset berada pada tingkat yang memadai.

2) Pemenuhan Harapan Publik. Perguruan tinggi adalah lembaga yang dibiayai oleh masyarakat dan pemerintah. Oleh karena itu, ada harapan bahwa perguruan tinggi akan menggunakan dana publik dengan efisien dan memberikan manfaat yang jelas bagi masyarakat. Akuntabilitas dan transparansi membantu memastikan bahwa perguruan tinggi memenuhi kewajiban mereka untuk memberikan manfaat publik.

3) Keberlanjutan Keuangan. Perguruan tinggi perlu menjalankan praktik akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan keuangannya. Ini mencakup penggunaan dana, alokasi sumber daya, dan pelaporan yang jelas tentang keuangan mereka. Dengan demikian, perguruan tinggi dapat menjaga keberlanjutan keuangan mereka dan menghindari masalah keuangan yang dapat merugikan mahasiswa, orang tua, dan staf( dosen dan pegawai).

4) Pemberian Informasi yang Jelas. Transparansi dalam informasi mengenai program akademik, biaya, dan kebijakan perguruan tinggi membantu mahasiswa, calon mahasiswa, dan orang tua dalam membuat keputusan yang tepat mengenai pendidikan mereka. Informasi yang jelas dan mudah diakses membantu menjaga kepercayaan dalam sistem pendidikan tinggi.

5) Pertanggungjawaban Internal. Akuntabilitas dan transparansi juga diperlukan untuk pertanggungjawaban internal. Hal ini membantu perguruan tinggi mengevaluasi dan meningkatkan kinerja mereka, memastikan bahwa tujuan dan nilai mereka diwujudkan, serta mengatasi masalah dan kekurangan yang mungkin timbul.

6) Keberlanjutan Reputasi. Reputasi perguruan tinggi sangat penting dalam menarik mahasiswa, dosen, dan sumber daya eksternal. Akuntabilitas dan transparansi membantu menjaga reputasi yang baik dengan memastikan bahwa perguruan tinggi menjalankan praktik yang etis dan berkelanjutan.

Keseimbangan antara ketiga elemen di atas diharapkan membantu menciptakan lingkungan pendidikan tinggi yang dinamis, efektif, dan dapat dipercaya. Semoga.

Refleksi “Penjaminan Mutu” dalam konteks hasil belajar-mengajar yang dilakukan dosen di kelas

0

Rubrik utama Komunita Nomor 37 edisi bulan November 2023 ini mengangkat Permendikbudristek No.53 Tahun 2023 dan mengaitkannya dengan arah Menuju Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Berkeunggulan. Dihadirkan dalam forum komentar ahli dalam Rubrik Utama Komunita kali ini pejabat pemikir garda depan yang sudah sangat terkenal di Republik ini, termasuk—dan tak terbatas hanya pada—Prof. Dr. Thomas Suyatno (Ketua Umum Asosiasi BP PTSI Pusat); Prof. Dr. Fasli Jalan, PhD. (Rektor Universitas YARSI Jakarta; dan Prof. Dr. Budi Djatmiko Ketua Umum Asosiasi PTS Indonesia (APTISI) .

Sesuai dengan posisi formal dan tanggungjawab profesionalnya masing-masing, ketiga narasumber amat terdidik ini mengomentari banyak isu penting yang memang tak pelak lagi merupakan tanggungjawab bersama dalam mengikhtiarkan kemajuan bagi Pendidikan Tinggi (PT) di Indonesia yang jumlahnya sudah mencapai tiga juta lebih. Prof Thomas Suyatno mengidentifikasi 10 (sepuluh) masalah yang dipandangnya penting untuk segera dibenahi, termsuk inadekuasi sosialisasi dan implementasi peraturan dan perundangan penting; isu otonomi PT dan proses transformasi DIKTI; budaya sistem dan mekanisme kerja birokrasi; peningkatan persaingan di lingkungan PT nasional, regional, dan global; benturan kepentingan antar-jenjang dan gesekan baik di dalam Yayasan maupun pengurus Yayasan dan pimpinan PT; kualitas Pendidikan dan kualifikasi tenaga kependidikan yang rendah; rasio dosen dan mahasiswa yang pincang; banyaknya PTS yang  “sakit”; dan angka partisipasi kasar (APK) yang rendah. Mengibaratkan organisasi yang dipimpinnya sebagai tempat “mengadu”, “mengaduh” dan “menangis”, Prof. Thomas dengan bangga menyatakan bahwa organisasi yang dipimpinnya dengan senang hati mendengarkan keluhan dan kesulitan anggotanya. Tak sekadar menampung keluhan, kantor Prof. Thomas juga —  dengan prinsip win-win solution — dapat membantu pengembangan networking antar sesama institusi dan lembaga pendidikan lainnya.

Tokoh lainnya, dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum Asosiasi PTS Indonesia (APTISI), Prof. Dr. Budi Djatmiko mengingatkan bahwa penjaminan mutu PT harus dijadikan komitmen pimpinan dan penyelengggara PT mengingat kondisi saat ini diperkirakan ada 1.500 PTS belum terakreditasi institusi dengan berbagai permasalahan yang dihadapinya. Sedangkan, tokoh penting lainnya, Prof. Dr. Fasli Jalal, Ph.D., Rektor YARSI Jakarta menjelaskan bahwa “Kita menyepakati mutu dengan menyepakati aturan main sehingga perlakuan pemerintah harus sama antara PTS dan PTN. Biaya operasional untuk mahasiswa bisa menjamin mutu dasar, yang sebenarnya bisa dilaksanakan PTS juga.”

Mengingat kompleksitas masalah yang dihadapi, dan mempertimbangkan ruang yang terbatas ini, artikel ini selanjutnya akan menyumbangkan pemikiran terbatas pada kontrol kualitas pembelajaran — sebagai salah satu bentuk “penjaminan mutu” — yang secara riel berada di tangan dosen di kelas dan mahasiswa yang belajar dengannya. Untuk dapat membahas “penjaminan mutu” dalam konteks hasil belajar-mengajar yang dilakukan dosen di kelas, artikel ini akan membahas secara terbatas lima hal berikut: (A) Perlengkapan Fasilitas Pembelajaran; (B) Pengalaman Belajar; (C) Hasil Akhir Proses Pembelajaran; (D) Evaluasi Hasil Belajar sebagai Indikator Mutu; dan (E) Siapa Mampu Menjamin Mutu Hasil Belajar di PT?

  1. Perlengkapan Fasilitas Pembelajaran

Di dalam borang-borang isian untuk persyaratan akreditasi dan pemeringkatan “kualitas” pembelajaran seringkali ada kesalahpahaman yang bisa saja terjadi di antara pihak yang mengisi dan pihak yang menafsirkan. Sebenarnya kelengkapan fasilitas pembelajaran tidak menentukan secara mutlak “kualitas” hasil pembelajaran. Memang, tergantung bidang ilmu yang diajarkan (dan/atau komponen ilmu yang sedang ditekankan dalam pembelajaran), pembelajaran dapat dirinci ke dalam minimalnya tiga jenis fokus pembelajaran: teori dengan segala komponen konseptualnya; prosedur mengerjakan sesuatu dengan segala detil langkah dan prosesnya; dan kasus-kasus khusus yang bertalian dengan teori dan prosedur kerja tadi beserta detil penjelasan kondisionalnya.

Dengan gambaran seperti ini, tidak otomatis bahwa kualitas hasil pendidikan dan pengajaran memerlukan peralatan mewah dan teknologi tinggi. Khususnya hal ini benar untuk bidang-bidang sosial dan humaniora.  Di tangan dosen yang menguasai bidangnya, perlengkapan visualisasi seperti komputer, OHP, dan PPT dapat menyelamatkan program Pendidikan dan pengajaran. Selebihnya yang akan menentukan kualitas hasil pembelajaran adalah desain tugas yang diberikan kepada mahasiswanya untuk mengerjakan tugas-tugas (mandiri dan terbimbing) untuk memastikan bertumbuhkembangnya keterampilan baru yang teorinya telah dijelaskan dosen tadi. Setelah mahasiswa memiliki kesempatan untuk mencoba sendiri melakukan apa yang demonstrasikan dosennya, mahasiswa tersebut telah berlatih mengendapkan pemahamannya lewat praktik mandiri dan/atau terbimbing. Ketika menyangkut penumbuhkembangan keterampilan sesuatu — yang perlu dicamkan dalam hati adalah — dipraktikkan dan dilakukan secara berulang dan dihayati sampai lancar. Kelancaran inilah yang merupakan bukti sah bahwa mahasiswa tersebut telah mengendapatkan keterampilan yang dipelajarinya melalui latihan.

Dengan demikian, tergantung bidang ilmu yang dibicarakan dan dilatihkan, perlengkapan pembelajaran dapat mengambil bentuk sangat sederhana: white board (dan PPT sebagai perlengkapan visualisasi), penjelasan eksplisit dan detil tentang teori dan prosedur utama yang dianggap penting. Untuk mengendapkan pemahaman pada diri mahasiswa, selanjutnya pembelajar ini memerlukan “pengalaman mencoba sendiri” apa-apa yang dijelaskan dosen kepadanya. Pengalaman mencoba sendiri inilah yang seringkali dilewatkan dosen dalam pengajaran. Dan hal inilah — sebenarnya — yang membedakan antara pembelajaran yang berkualitas dengan pembelajaran yang asal-asalan. Inilah bedanya antara mahasiswa yang beruntung karena memperoleh penjelasan konseptual plus pengalaman praktik yang dapat membawanya ke tahap terampil dan fasih.

  1. Pengalaman Belajar

Akan halnya dengan perlengkapan pembelajaran yang tidak harus berarti mahal (khususnya untuk bidang-bidang sosial dan humaniora) pengalaman belajar mahasiswa dapat diartikulasikan “apa, mengapa, bagaimana”-nya. Dalam realitas kehidupan sehari-hari, kita juga tahu mahasiswa yang pintar dapat dicek pemahamannya tentang konsep-prosedur-dan kasus-kasus yang dipelajarinya dengan diminta menceritakan apa yang dipelajari, bagaimana mempelajarinya, dan bagaimana dia menilai pemahamannya. Di tangan dosen yang baik, mahasiswa memperoleh banyak hal dari apa yang dialaminya di kelas: pengetahuan teoretis, keterampilan prosedural, dan pemahaman berbagai kasus yang dapat dipikirkan dan dipelajarinya lebih jauh secara mandiri (case-based knowledge).

Pengalaman belajar yang baik — khususnya dari dosen yang baik — membekalkan rasa kepenasaran yang melekat dan dapat memandu eksplorasi mandiri bagi mahasiswa pembelajar dewasa. Dengan bekal rasa-penasaran (curiocity) yang kuat yang dibekalkan dosen yang baik, mahasiswa dapat menjelajahi minatnya sendiri, yang dapat membuat yang bersangkutan menjadi “pembelajar mandiri” — self-initiated learners, yang diimpikan para pemikir pendidikan di negara maju.

 

  1. Hasil Akhir Proses Pembelajaran

Kalau ditanya “apa hasil akhir proses pembelajaran”? Mungkin sebagian besar mahasiswa dan dosennya menjawab “nilai A”; “nilai B”, dst. Ini jenis jawaban gampangan yang serampangan. Dosen yang baik dapat menjelaskan signifikansi teori dan konsep serta serngkaian prosedur pemberdayaan yang diajarkannya.

Hasil akhir proses pembelajaran yang kita ajarkan dapat mengambil bentuk yang jamak: bisa pemahaman konsep dan teori baru; dapat juga berupa pengetahuan prosedural baru untuk mencari dan menemukan hal baru, dan dapat juga berupa minat dan arah pengembangan diri yang baru.

  1. Evaluasi Hasil Belajar Sebagai Indikator Mutu

Syahdan, di suatu kampus besar di republik ini, ada studi yang melaporkan hasil belajar mahasiswa masa pandemik yang lalu — ketika mahasiswa dan dosen bingung karena harus tinggal di rumah berkepanjangan — hasil akhir grade (nilai UAS mahasiswa) yang didominasi nilai A (dan A-) dan tercatatlah menurut penelitian tadi bahwa kinerja intelektual mahasiswa membaik ketika masa pandemi. Dapatkah kita menerima “bukti” ini sebagai bukti valid tentang mutu hasil belajar mahasiswa?

Para dosen, saya kira, perlu di-training lagi tentang “assessment literacy”-nya supaya tidak mudah terkecoh oleh tampilan (atau indikator) kemajuan yang tidak jelas ujung-pangkalnya.

  1. Siapa Mampu Menjamin Mutu Hasil Belajar Di Perguruan Tinggi (PT)?

Dalam ikhtiar menyepakati dan merumuskan tentang fasilitas belajar atau  fasilitas pendukung pembelajaran di universitas (PT) saya pernah dilibatkan di dalam suatu kelompok kerja yang ditugasi merinci apa saja yang harus ada dan apa saja yang sebaiknya tersedia agar para mahasiswa dapat belajar dengan nyaman dan berhasil dengan optimal. Dari penugasan dalam “pokja akademik” itu, lahirlah daftar panjang tentang fasilitas apa yang harus disediakan dan berapa banyak agar mahasiswa dapat belajar dengan hasil gilang-gemilang.

Sebagai dosen yang telah berpengalaman gonta-ganti tempat belajar di luar negeri (di USA untuk program S2 dan S3 di dua kampus yang berbeda), saya merasakan bahwa mempersoalkan fasilitas belajar untuk “membujuk” agar mahasiswa belajar dengan baik merupakan proposisi yang mengada-ada atau bahkan sia-sia. Meskipun demikian, untuk kepentingan ikhtiar kependidikan yang mungkin penting untuk Ditjen DIKTI, mungkin ada baiknya saya eksplisitkan di sini apa yang dapat ditulis atas nama fasilitas pembelajaran yang dimaksud.

Untuk menuntaskan tugas esei ini saya akan formulasikan dalam “standar fasilitas input”, “standar proses”, dan “standar produk”. Untuk menghindari kesan mekanistis, saya ingin mengusulkan agar kata “standar” itu dimaknai sebagai “ekspektasi” sehingga — apabila kata itu tidak dipenuhi — tidak ada yang dapat dipersalahkan.

Tujuan akhir pembelajaran adalah membuat individu pembelajar berkembang ke arah yang lebih baik, lebih santun, dan lebih cerdas. Untuk mendukung mahasiswa kita agar berkembang ke “arah sana”, mahasiswa sebaiknya dibuat nyaman dalam arti dihindarkan dari ruang yang hingar-bingar, dihidarkan dari suhu udara yang terlalu panas, dan juga tidak juga didedah dengan udara yang kelewat dingin. Jadi udaranya adem-adem saja; dan suasananya tenang-tenang saja.

Ketika sedang belajar dengan dosen dalam rangka kuliah, dosen yang baik seyogianya mengupayakan agar pengajarannya dibagi ke dalam tiga bagian. Yakni, bagian pertama,  mendemonstrasikan dengan penjelasan dan paparan yang disajikannya hal-hal yang dipandang penting (secara teoretis) tentang isu yang tengah dibahas. Bagian ke dua, memberikan kepada mahasiswa kesempatan agar mahasiswa “terlibat” (atau dilibatkan) pada isu yang telah dijelaskan tadi. Kesempatan ini dapat dipandang sebagai kesempatan mendalami materi secara mandiri setelah diberi penjelasan detil. Setelah menikmati penjelajahan mandiri ini, mahasiswa diberi kesempatan untuk menunjukkan pemahamannya — dapat melalui presentasi di depan teman-teman sekelas — untuk diberi feedback oleh dosen. Sesi input-giving ini harus dilakukan dengan santai dan jangan diburu-buru. Targetnya: sampai mahasiswa benar-benar paham dan terbebas dari salah paham.

Setelah pemberian feedback ini, mahasiswa diberi kesempatan kedua untuk memperbaiki dan menampilkannya kembali ke dalam presentasi tahap akhir.

Setelah presentasi yang kedua ini, mahasiswa diminta menuliskan reflective journal tentang apa yang telah dipelajarinya dan melakukan ekspansi terhadap kemungkinan menerapkannya ke konteks lain yang mungkin berbeda.

Demikian sekedar contoh untuk memberikan pembelajaran yang berdampak bagi pembelajaran di perguruan tinggi (PT). Allahu a’lam bish-shawab.

 

Bachrudin Musthafa.

FPS UPI Bandung

Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 – Menuju Kualitas SDM Berkeunggulan?

0

Ronald Barnett (1990) dalam bukunya “The Idea of Higher Education” menjelaskan arti,  tujuan, dan praktik pendidikan tinggi. Ronald menyebutkan empat konsep utama pendidikan tinggi. Pertama, Pengembangan Sumber Daya Manusia Berkualitas. Pendidikan tinggi dipandang sebagai sebuah proses di mana mahasiswa dianggap sebagai “produk” yang diserap pasar tenaga kerja.  Kedua, Pelatihan dan Penelitian. Pendidikan tinggi sebagai persiapan ilmuwan dan peneliti berkualitas mengembangkan ilmu pengetahuan yang akan terus mengembangkan batas-batas ilmu pengetahuan. Ketiga,  Administrasi Pendidikan. Pendidikan tinggi sebagai manajemen penyediaan pengajaran yang efisien. Yakni pendidikan tinggi fokus pada pengelolaan belajar-mengajar yang efisien dengan meningkatkan kualitas pengajaran. Keempat, Partisipasi dalam proses pembangunan. Pendidikan tinggi sebagai peluang untuk berpartisipasi dalam proses pengembangan individu melalui modus pendidikan berkelanjutan yang fleksibel. Artinya pendidikan tinggi sebagai upaya memperluas kesempatan hidup. Nah, bila kita cermati keempat konsep Ronald tersebut sesungguhnya dalam perjalanan waktu telah menjadi nafas pendidikan tinggi kita.

Namun, tantangan kemasyarakatan senantiasa berubah. Karena sejatinya perkembangan kemasyarakatan memunculkan persoalan-persoalan baru yang justru seharusnya dijawab melalui ilmu pengetahuan dan teknologi yang mumpuni dengan berlandas nilai-nilai kemanusiaan. Dimana hal itu terjadi? Tentunya di dunia pendidikan tinggi. Di era kini, pendidikan tinggi harus senantiasa mengembangkan kapasitas dirinya, tidak hanya untuk menganalisis dan memecahkan masalah ilmiah (teknis), namun juga harus menekankan interkoneksi lintas disiplin ilmu dan lintas sektor untuk menjawab problematika masyarakat yang semakin kompleks.

Tuntutan kompleksitas lingkungan atau ekosistem perguruan tinggi, serta pergeseran paradigma yang signifikan mendorong kita selayaknya semakin memaknai keempat konsep pendidikan tinggi tersebut di atas. Saat ini bertepatan dengan telah terbitnya Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.

Kita sepakat pendidikan tinggi memiliki potensi dampak tercepat dalam membangun SDM Unggul. Karena itu, pendidikan tinggi di Indonesia perlu beradaptasi lebih cepat agar Indonesia mampu bersaing di tingkat dunia. Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 merupakan upaya mempercepat proses transformasi pendidikan tinggi, dimana perguruan tinggi diberi keleluasaan dalam merancang proses dan bentuk pembelajaran dalam pendidikan tinggi. Sehingga ada keleluasaan beradaptasi untuk mendefinisikan kegiatan Tridharma serta penyederhanaan standar kompetensi lulusan dan melakukan berbagai inovasi. Ini mendorong perguruan tinggi fokus dalam menyiapkan SDM unggul, antara lain berupa keahlian mendatang yang kompatibel dengan tuntutan masa depan.

Permemdikbudristek ini mengandung pokok kebijakan transformasi dalam aspek: 1) Standar Nasional Pendidikan Tinggi, dan 2) Sistem Akreditasi Pendidikan Tinggi yang dilatar belakangi perlunya mendorong peningkatan mutu pendidikan tinggi, serta sinkronisasi dan harmonisasi pengaturan mengenai penjaminan mutu pendidikan tinggi, dengan mengintegrasikan pengaturan mengenai sistem penjaminan mutu, standar nasional, dan penyelenggaraan akreditasi dalam satu Peraturan Menteri.

Aspek Standar Nasional Pendidikan Tinggi (1) bertransformasi menjadi lebih sederhana, yakni berfungsi sebagai kerangka (framework) mutu penyelenggaraan pendidikan tinggi (tidak mengatur secara rinci). Penyederhanaan pada: 1) Lingkup standar, 2) Standar kompetensi lulusan, 3) Standar proses pembelajaran dan penilaian. Dampak positif adalah: memberikan ruang lebih luas PT mendefinisi kegiatan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat; mengurangi beban pelaporan dalam proses akreditasi; prodi dapat menentukan bentuk tugas akhir mahasiswa; mendorong pelaksanaan Kampus Merdeka dan inovasi pelaksanaan Tridharma; distribusi sks terbaik sesuai karakter mata kuliah, tidak terbatas belajar dalam kelas; serta penilaian indeks prestasi tidak kaku.

Aspek Sistem Akreditasi Pendidikan Tinggi (2) bertransformasi dengan meringankan beban administrasi dan finansial akreditasi, yakni: 1) Status akreditasi disederhanakan, 2) Pemerintah menanggung biaya akreditasi wajib, 3) Akreditasi dapat dilakukan pada tingkat unit pengelola program studi. Dampak positif adalah: basis akreditasi lebih jelas dan sederhana; mengurangi beban administrasi; biaya asesmen wajib dibantu oleh pemerintah; prodi yang belum merasa perlu tidak perlu mengajukan asesmen akreditasi unggul; akreditasi lebih sederhana dan mengurangi beban administrasi.

Melalui transformasi standar dan akreditasi pendidikan tinggi tersebut, maka perguruan tinggi memiliki ruang gerak lebih luas, beban administrasi dan finansial berkurang, perguruan tinggi bisa lebih adaptasi dan fokus pada peningkatan mutu Tridharma  perguruan tinggi. Semoga afirmasi kebijakan pendidikan tinggi ini sebagai titik pijak pendidikan tinggi kita bertransformasi dan melompat lebih baik ke depan, serta berharap peraturan tidak berubah sejalan berubahnya kepemimpinan nasional ke depan hasil pemilihan umum.

Permendikbudristek (kebijakan) ini kita pandang sebuah afirmasi, yakni penetapan atau penegasan positif dari pemerintah yang seharusnya mendorong para penyelenggara dan pengelola pendidikan tinggi melakukan perubahan dan transformasi (pola pikir, perilaku dan kebiasaan) sesuai dengan kebijakan tersebut. Namun transformasi pendidikan tinggi sesungguhnya terletak itikad PTS masing-masing. Wallahualam. Semoga.

Vivat Widyatama, Vivat Civitas Academica, Vivat Indonesia dan Nusantara tercinta. (@lee)

Redaksi – Lili Irahali

E-Magazine 37

0

 

E-Magazine 36

0