Sunday, August 3, 2025
Home Blog Page 8

Profesionalisme Dosen dan Dukungan Lembaga

Roeshartono, S.T., M.C.E.M., M.B.A. Ketua Yayasan Widyatama

PTS dalam menghadapi tantangan global dituntut menyiapkan sumber daya manusia pembelajar/mahasiswa yang berdaya saing. Salah satu yang perlu dipersiapkan adalah mengembangkan dan merawat profesionalisme dosen untuk menguatkan proses pendidikan bagi para pembelajarnya.

Profesionalisme dosen menunjuk pada komitmen dosen terhadap profesinya untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya, dan terus menerus mengembangkan strategi-strategi yang digunakannya dalam melakukan pekerjaan yang sesuai dengan profesinya (Haryati, 2013:4). Ini dapat diartikan bahwa seorang dosen harus selalu meningkatkan kompetensi profesionalnya baik melalui studi lanjut/kualifikasi akademik maupun melalui kegiatan lain sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dan profesinya yaitu melakukan Tridharma perguruan tinggi. Dosen profesional harus memiliki sejumlah kompetensi dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya.

Kompetensi adalah pengetahuan, keterampilan dan nilai–nilai dasar  yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak (Depdiknas dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi/KBK). Kompetensi juga merupakan seperangkat tindakan cerdas dan penuh tanggung jawab dalam melaksanakan tugas–tugas di bidang pekerjaan tertentu (Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 045/U/2002). Kebiasaan itu didasari oleh kompetensi kognitif, kompetensi psikomotorik, dan kompetensi afektif (nilai–nilai dasar). Karena itu, membangun kompetensi dosen membutuhkan sinergi para pihak yang terlibat. Dalam konteks tersebut Komunita bertemu dengan Ketua Yayasan Widyatama – badan penyelenggara Universitas Widyatama – yang berkepentingan terhadap kualitas pendidikan tinggi. Kami berbincang untuk memahami kebijakan Yayasan dalam mengembangkan profesionalisme dosen dalam perspektif Manajemen Strategik.

 

Komunita: Bagaimana Yayasan Widyatama mengkaitkan akreditasi Unggul Universitas Widyatama. dengan perspektif sumber daya dosen profesional?

Roeshartono, M.C.E.M., M.B.A: Menurut saya masih banyak dosen yang belum sepenuhnya menyadari bahwa pekerjaaan sebagai dosen adalah sebuah profesi. Sebagai sebuah profesi, seorang dosen mempunyai jenjang karir. Masih banyak juga yang beranggapan bahwa tugas seorang dosen hanya mengajar padahal lebih dari itu seorang dosen dituntut untuk secara berkesinambungan melakukan penelitian yang hasilnya memberikan manfaat bagi masyarakat. Keinginan untuk mengejar jejang karir dan terus melakukan penelitian inilah yang terus kami dorong.

Sebagai institusi unggul kami juga memastikan bahwa dosen-dosen kami juga unggul. Untuk dapat memberikan proses pendidikan dan pengajaran yang semakin berkualitas maka seorang dosen dituntut untuk mengejar strata pendidikan tertinggi. Mereka yang masih pada tingkat S2 didorong untuk melanjutkan ke jenjang S3. Sejauh ini kami secara konsisten men-support studi lanjut dengan resources yang ada menyesuaikan dengan kemampuan yang ada.

Demikian pula dengan jabatan fungsional kami terus mengupayakan langkah-langkah percepatan kenaikan jabatang fungsional dosen, seperti mengadakan workshop dan berkonsultasi dengan otoritas. Selain itu kami memastikan kerjasama yang lebih erat antara dosen dan unit terkait untuk mempercepat dan memonitor progress kenaikan jabatan fungsional.

Salah satu yang menjadi fokus adalah publikasi artikel pada jurnal nasional maupun internasional untuk mendukung kenaikan jabatan fungsional. Publikasi dalam jurnal yang internasional yang kredibel adalah sebuah tantangan. Perlu kemauan dan ketekunan untuk menghasilkan tulisan yang memenuhi kaidah-kaidah akademis sesuai bidang keilmuannya. Penulisan artikel jurnal dilakukan secara berjenjang sesuai dengan jabatan fungsionalnya, mulai dari jurnal terindeks sinta hingga jurnal terindeks scopus. Hal ini juga didukung dengan kebijakan membentuk cluster penelitian dan penulisan artikel jurnal secara periodik.

 

Komunita: Ada konsekuensi pendanaan dalam beberapa hal. Berapa persen dosen yang perlu didorong percepatan jabatan fungsionalnya. Sejauh mana lembaga melakukan all out-nya?

Roeshartono, M.C.E.M., M.B.A: Semua kami kembalikan berdasarkan kebutuhan. Yayasan senantiasa mendorong, mengayomi dan mengambil keputusan. Tentu semuanya melihat skala prioritas. Kegiatan atau program yang bermuara pada akreditasi dan bisa mendukung status unggul akan mendapat prioritas, termasuk usulan jabatan fungsional dan studi lanjut. Yayasan dapat mengatur dan menyesuaikan dengan anggaran dan sumberdaya lain.

Komunita: Dari sisi kebutuhan pendanaan, prinsipnya Yayasan memberi dukungan, bagaimana dengan upaya pendanaan eksternal/hibah?

Roeshartono, M.C.E.M., M.B.A: Yayasan mempunyai keterbatasan anggaran. Oleh karena itu kami mendorong para dosen untuk mendapatkan pendanaan dari eksternal, seperti hibah, beasiswa, atau skema lainnya.

Komunita: Sumber daya dosen menjadi prioritas Widyatama. Bagaimana menguatkan profesionalisme dosen menghadapi tantangan pendidikan yang mengarah pada pemenuhan kebutuhan dunia kerja dan dunia industri. Karena dosen dituntut tidak hanya menguasai bidang keilmuannya, dosen juga harus bersentuhan langsung dengan dunia industri. Apakah dosen diberi ruang  untuk bersentuhan dengan dunia kerja disamping mengajar?

Roeshartono, M.C.E.M., M.B.A: Dosen harus memiliki wawasan yang luas, mengetahui trend yang sedang terjadi di industri, dan memahami apa yang dibutuhkan oleh industri. Oleh karena itu dosen harus terlibat langsung di industri. Kami mendukung dan memberikan kesempatan yang luas agar mereka dapat terlibat di industri, baik sebagai praktisi ataupun sebagai anggota asosiasi. Lebih jauh keterlibatan di langsung di industri dapat menjadi salah satu poin dalam KPI (Key Performance Indikator) dosen sehingga kinerja dosen selaras dengan rencana strategis lembaga.

 

Komunita: Terkait aktivitas dosen di luar kampus (al. magang di industri, juga sebagai praktisi, dll). Ada kesan belum didukung dalam pelaksanaannya di level pelaksana pendidikan (Faklutas, Prodi), ini dalam rangka dosen mengembangkan jejaring di luar.

Roeshartono, M.C.E.M., M.B.A: Tugas utama dosen adalah memenuhi tri darma tetapi dosen dapat mengatur sendiri waktunya untuk membangun jejaring di luar kampus. Saat ini dosen-dosen Widyatama ada yang terlibat di industri dengan menjadi praktisi atau konsultan. Artinya lembaga memberikan kesempatan bagi para dosen untuk melakukan aktivitas di luar kampus dalam rangka menambah wawasan dan meningkatkan profesionalismenya.

 

Komunita: Kehijakan proaktif yang mendorong dan himbauan Bapak sebagai Ketua Yayasan agar dosen memaknai fungsinya, menjalankan perannya sehingga menjadi dosen profesional.

Roeshartono, M.C.E.M., M.B.A: Menjadi dosen yang profesional tidak mudah tetapi rewarding. Harus ada kemauan untuk meningkatkan kualifikasi dan kompetensi. Dengan meningkatkan kualifikasi dan kompetensi, selain untuk memenuhi tujuan-tujuan lembaga, juga untuk kepentingan dosen yang bersangkutan. Kalau kompetensi dan kualifikasi meningkat yang menikmati juga yang bersangkutan sendiri. Kami di yayasan terus mendorong dan mengingatkan. Untuk menggugah kesadaran itu, Yayasan memiliki berbagai kebijakan. Bagi yang bergelar Doktor atau telah mencapai jabatan fungsional Guru Besar dapat memperoleh berbagai tunjangan. Selain itu bagi seorang Guru Besar tentu dengan sendirinya akan mendapatkan reward dari masyarakat. Tetapi diatas itu semua, memilih profesi sebagai dosen harus bangga karena dosen adalah profesi yang mulia, mencerdaskan kehidupan bangsa dan menjadikan manusia yang seutuhnya yang berguna di masyarakat, dan merupakan salah satu amalan yang akan terus mengalir.

 

Bandung, Mei 2023

Interview & Rewrite: Lili Irahali – Audio to transcript: Yanda Ramadana

E-Magazine 35

0

Gagas Paradigma Baru PT Menuju Relevansi dan Kualitas Pendidikan Tinggi

Momen 50 Tahun Yayasan Widyatama tentunya mengingatkan kita akan visi
lembaga ini mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebuah visi yang diletakkan pendiri
dan para perintis lembaga ini tidak boleh berhenti walau siapapun yang
melanjutkannya. Visi ini sudah jelas meletakkan dasar-dasar pentingnya kualitas dan
relevansi pendidikan tinggi. Bagaimana pendidikan tinggi harus memberikan kontribusi
bagi kemajuan masyarakat dan kehidupannya. Upaya Widyatama hanya setitik prestasi
sejarah, setitik harapan masa depan, yang selayaknya sarat makna bagi semua
pemangku kepentingan, antara lain mahasiswa serta dunia kerja dan usaha. Dalam
banyak hal Widyatama telah mewujud, namun dalam banyak hal Widyatama belumlah
rampung. Ia memang sebuah cita…..sebuah perjalanan……sebuah perjuangan yang
tentunya sesuatu yang tiada akhir. Namun cita kita ada di generasi-generasi tangguh
Widyatama, melalui kaderisasi dan regenerasi (lili irahali, Juni 2006).

Dalam konteks lebih luas sistem pendidikan tinggi, tantangan relevansi dan
kualitas pendidikan tinggi sampai saat ini belum sepenuhnya terjawab perguruan tinggi
(PT). Yayasan Widyatama sebagai penyelenggara pendidikan tinggi (red. Universitas
Widyatama) konsisten, baik secara internal maupun bersama unsur sistem pendidikan
tinggi lainnya senantiasa berkomitmen menjawab tantangan tersebut.

Penelitian McKinsey, UNESCO, dan ILO (2008) menemukan adanya
kesenjangan antara sistem pendidikan dengan dunia kerja di Indonesia, di mana
lulusan PT tidak sesuai dengan kebutuhan pengguna kerja. Besarnya pengangguran
pemuda berpendidikan, berkaitan dengan persoalan relevansi dan kualitas pendidikan
tinggi dengan dunia kerja. Studi Bank Dunia (2014) tentang sistem pendidikan tinggi
menunjukkan bahwa PT tidak dengan sendirinya merespon tuntutan akan tenaga
terampil dalam pasar tenaga kerja. Hal tersebut merupakan salah satu diskoneksi
utama yang lazim teridentifikasi di Indonesia, bahkan sebagian besar negara-negara
Asia.

Diperkuat prediksi McKinsey Global Institute (MGI) menunjukkan bahwa dalam
pasar kerja global, pada tahun 2030 Indonesia diperkirakan akan mengalami
kekurangan tenaga kerja terdidik dan terampil, tetapi kelebihan tenaga kerja non
terampil. Adanya kesenjangan antara permintaan dan ketersediaan tenaga kerja
berpendidikan juga didukung data ILO (2015) tentang tenaga kerja yang tidak
memenuhi kualifikasi pendidikan dan keterampilan yang proporsinya mencapai lebih
dari separuhnya.

Menjembatani kesenjangan ini tentunya membutuhkan perubahan mindset dan
paradigma baru PT dalam pengelolaan pendidikan tinggi yang berkualitas, agar secara
bertahap mampu menjawab persoalan di atas. Masih sedikit PT menggagas sebuah
mindset dan paradigma baru mensikapi persoalan tersebut. Bahkan masih ada
pemikiran bahwa PT dibutuhkan masyarakat, dan dunia kerja. Padahal di era VUCA(volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity) menjelaskan gambaran situasi duniausaha masa kini yang terus berubah. Perubahan berjalan dalam hitungan menit bahkan detik. Hal yang urgent saat ini sejalan dengan visi pendidikan mencerdaskan kehidupan adalah memecahkan kemandegan kita dalam menyelesaikan problem relevansi dan kualitas pendidikan tinggi. VUCA harus dihadapi dengan mengkristalkan visi dibarengi
perilaku fleksibelitas, mengidentifikasi peluang dan kuatkan keunggulan kompetitif,
mrnghindari kebingungan dan membangun jejaring, mengembangkan kelincahan
(agility) secara efektif. Memang PT harus bersikap proaktif dan adaptif, bergerak ke
segala arah, dan membumi. Sikap yang tidak peduli VUCA, jelas telah
mengembangkan ketidakpercayaan pasar terhadap lulusan pendidikan tinggi.

Sesuatu yang layak dipikirkan dan ditindaklanjuti dunia pendidikan tinggi secara
bersama-sama. Tegasnya, kita harus berangkat bersama mengangkat PT sebagai
lembaga pemberi solusi yang layak dan mampu menghidupkan diri dan pemangku
kepentingannya, khususnya mahasiswa, serta dunia kerja dan industri. Ini artinya
mengangkat hakekat pendidikan tinggi yang mengemban amanah membangun
kecerdasan dan kebermanfaatan. PT bukan lagi lembaga yang menyandang predikat
menara gading. Inilah paradigma baru yang harus menerap dalam diri masing-masing
PT, dalam ekosistem pendidikan tinggi.

Paradigma baru memang membawa kita kembali ke titik nol kilometer, garis
awal. Yaitu awal bersaing dan mengalahkan pengaruh besar dari paradigma lama.
Paradigma lama yang membelenggu kita dengan ketergantungan pada figur-figur
lembaga bukan pada sistem. Padahal sistem akan membawa kita pada tataran yang
bisa diperbaharui dan disempurnakan terus menerus di kala figur-figur itu silih berganti
secara alamiah.

Paradigma baru ini tentu harus menihilkan siapapun yang hanya mendompleng
dan berpikir untuk kepentingan diri belaka. Siapapun mereka, dan di lini manapun.
Apakah dosen, pegawai biasa, apalagi pemegang fungsi pimpinan, baik setingkat
sekretaris prodi, prodi, dekan, direktur, bahkan wakil rektor atau rektor, ketua sekalipun.
Paradigma baru membutuhkan manusia-manusia yang mau dan berani meninggalkan
cara berpikir lama. Manusia-manusia yang berpikir untuk memperteguh kualitas
pendidikan tinggi dan masa depan PT yang telah dirintis melalui konsepsi dan
komitmen para pendahulunya.

Paradigma baru membutuhkan pemimpin-pemimpin yang mampu membawa
paradigma baru itu dalam proses perjuangan meningkatkan kualitas PT. Karena tanpa
pemimpin-pemimpin yang berkompetensi di setiap lini dan tingkatan, maka terjadi
ketidakberdayaan paradigma baru berkembang tidak sesuai dengan yang diinginkan.
Merujuk J. Arthur Barker dalam buku “Paradigm” menyebutkan pemimpin
adalah seseorang yang akan kita ikuti ke suatu tempat yang tidak akan kita kunjungi
sendirian. Pemimpin selayaknya mengatur di dalam paradigma. Dan Pemimpin
selayaknya pula memimpin di antara paradigma. Dengan demikian akan terjadi
peningkatan paradigma. Peningkatan paradigma akan menjadikan paradigma baru
berdayaguna dan menuju paradigma berikutnya.

Dalam konteks pendidikan tinggi, perubahan paradigma memang membutuhkan
keahlian lanjutan dalam hal peningkatan paradigma itu sendiri. Hal ini untuk
menghindarkan kita terjebak memperbaiki dan memperbaharui relevansi dan kualitas yang sudah ketinggalan jaman secara terus menerus. Karena relevansi dan kualitas adalah sesuatu yang dinamis dan multi-dimensi.

Dalam kaitan itu Arthur Barker menawarkan suatu pola pilihan yang terjadi selama perubahan paradigma : 1) mengubah paradigma, mempertahankan konsumen;
2) mengubah paradigma, mengubah konsumen.

PT sudah seharusnya, dan sudah saatnya bersikap adapatif, proaktif,
menggagas mindset dan paradigma baru dalam menjawab kebutuhan pemangku
kepentingan, yang juga pasar. Salah satunya kerjasama dan sinergi perguruan tinggi
dengan dunia usaha dan dunia industri, baik di tingkat regional, nasional maupun
internasional perlu dikembangkan menjadi sebuah eko sistem yang saling menguatkan.

Akankah upaya ini berjalan dan berhasil ? Tergantung, terutama pada pemimpin-
pemimpin PT tersebut. Di era VUCA seperti ini, hanya para pemimpin visioner yang
memandang penting arti mencerdaskan anak bangsa berkualitas yang bisa berhasil
membawa pendidikan tinggi pada proforma yang diharapkan pemangku kepentingan
dan pasar. Artinya bukan sekedar pemimpin formalitas ataupun pemimpin yang
oportunis. PT memang membutuhkan pemimpin-pemimpin di dalam lininya pada saat
PT menggagas pilihan paradigma baru ini. Siapakah, dan siapkah mereka ?
Wallahualam.

Vivat Widyatama, Vivat Civitas Academica, Vivat Indonesia dan Nusantara
tercinta. (@lee)

Memahami Relevansi dan Kualitas Pendidikan Tinggi

LLDikti IV Jawa Barat dan Banten adalah kepanjangan tangan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dalam memebri layanan dan mengusung kualitas pendidikan tinggi. Karena itukeberadaan lembaga ini tentunya sebagai katalisator yang  memberi ruang pendidikan tinggi (penyelenggara dan pengelola pendidikan tinggi) semakin terbuka dan berusaha meningkatkan kualitasnya. Ada titipan generasi mendatang yang harus diayomi bersama, yakni kehidupan ini adalah titipan anak dan cucu yang harus dipelihara, dipertahankan dan berkembang. Pendidikan tinggi adalah salah satu jembatannya.

LLDikti IV Jawa Barat dan Banten adalah ujung tombak Kementerian
menghantarkan mereka mewujudkan visi, misi, tujuan dan targetnya, “kualitas
pendidikan tinggi”.Dalam hitungan hari, Komunita meminta waktu Ketua Lembaga, Dr. M. Samsuri,S.Pd., M.T berdialog untuk memahami makna Relevansi dan Kualitas Pendidikan
Tinggi dalam persepsi pemegang otoritas (Kementerian yang diwakili LLDikti IV Jawa
Barat Banten). Sangat terbuka sambutan beliau, berikut dialog tersebut.

Komunita: Relevansi dan kualitas pendidikan tinggi menurut pandangan pemerintah
selaku otoritas seperti apa?

Dr. M. Samsuri, S.Pd., MT.: Pertama-tama saya menghaturkan terima kasih kepada
Pak Lili Irahali atas concernnya dalam dunia pendidikan terutama dalam menyampaikan
informasi, baik itu dalam prespektif pemerintah maupun informasi dalam prespektif ahli
pendidikan kita. Masuk pada substansi, kalau kita berbicara terkait dengan strategi
Kementerian terutama strategi bangsa yang dilakukan oleh Kemendikbud-Ristek
mendorong relevansi dan kualitas pendidikan. Yang dimaksud relevansi artinya
pendidikan diharapkan relevan dengan kebutuhan dan dinamika perkembangan dunia,
jadi harus relevan dengan kebutuhan industri dan dunia kerja. Itulah kenapa Prodi-prodi
juga dibuka ruang supaya nomenklatur Prodi itu relevan dengan kebutuhan pasar. Itu
yang dimaksud relevansi.

Kedua, kualitas ini ada dua faktor, yaitu kualitas lulusan, dan tata kelola
penyelenggaraan perguruan tinggi. Kualitas lulusan iukur dengan seberapa besar
penyerapan lulusan di dunia kerja, baik itu yang meng-create activity atau create job, atau multi bekerja Kemudian kualitas yang kedua diukur kualitas penyelenggaraan dan
pelayanan pendidikan tinggi, jadi pelaksanaan pendidikannya tidak abal-abal,
berorientasinya pada mutu.

Komunita: Terkait dengan hal di atas, pendidikan tinggi ada 2 visi, satu akademik,
kedua disebut vokasi, sesungguhnya arah yang mau dikejar memenuhi kebutuhan
dunia kerja atau pengembangan keilmuan, teori?

Dr. M. Samsuri, S.Pd., MT. : Sebenarnya pengembangan keilmuan dan juga merespon
kebutuhan dunia kerja secara langsung itu dua-duanya adalah kualitas. Bukan berarti
seorang lulusan yang kuat secara akademik itu tidak butuh bekerja, dia butuh bekerja
tetapi tempat bekerjanya di tempat- tempat yang bukan dunia praktis, misalkan sebagai
peneliti, kemudian sebagai konsultan dan sebagainya. Sebetulnya kebutuhan dunia
kerja, tetapi bukan kebutuhan dunia kerja praktis. Jadi dua- duanya mengarah pada
kebutuhan dunia kerja, hanya jenis pekerjaanya yang mungkin bisa jadi orientasinya
berbeda. Tetapi tidak menutup kemungkinan seseorang lulusan dari prodi akademik
masuk dalam dunia kerja praktis, ataupun sebaliknya yang penting adalah kemampuan
baik itu knowledge atau skill nya memang harus mumpuni ketika menjadi seorang
lulusan.

Komunita: Relevansi dan kualitas bukan hal yang statis karena dunia kerja seterusnya
akan berkembang dan membutuhkan potensi, kemampuan, dll. Saran otoritas
pemerintah, bagaimana seharusnya perguruan tinggi menyikapinya?

Dr. M. Samsuri, S.Pd., MT.: Perguruan tinggi/PT menyikapi dinamika dari relevansi
yang tidak statis, dinamis karena memenuhi kebutuhan dunia kerja dan kebutuhan di
lapangan. Tentu yang pertama, PT, Prodi kemudian perangkat SDM bahkan perangkat
kurikulumnya juga harus adaptif dengan perkembangan dan dinamika zaman. Dinamika
kebutuhan kerja dan dunia usaha kebutuhan dunia industri, kalau PT cara berfikirnya
masih kuno, pasti tertinggal. Itulah kenapa kita terus mendorong PT bergaul, dan
arusnya lebih cepat untuk mengadaptasi dinamika zaman. Itulah kenapa kebijakan
Kampus Merdeka itu lahir, supaya PT dan unsur di bawahnya, prodi termasuk dosen-
dosennya cepat beradaptasi dengan perkembangan zaman. Jadi kebijakan MBKM
untuk menjawab relevansi dan mendorong kualitas agar menjadi lebih baik dengan
tuntutan semakin banyak.

Komunita: Realitas bahwa tidak semua PT mempunyai potensi dan sumberdaya yang
sama, mungkin disparitasnya begitu tinggi. Sebetulnya faktor apa yang menghambat
PT begitu sulit mewujudkan relevansi dan kualitas yang sudah didorong sekian lama?

Dr. M. Samsuri, S.Pd., MT.: Pertama, yang saya lihat mengapa PT mungkin tidak semua, agak lambat beradaptasi dengan perkembangan tantangan zaman – tidak semuanya – biasanya yang lambat beradaptasi atau sulit mengikuti permkembangan zaman ini karena mereka tidak mau merubah mindset. Jadi merasa dibutuhkan sebagai penghasil lulusan padahal seharusnya cara berfikirnya PT membutuhkan dunia industri dan dunia usaha sebagai partner untuk menyerap lulusannya. Untuk menjadi partner kira- kira orientasi
pendidikannya akan ada perubahan apa. Yang paling mendasar adalah lambatnya
perubahan mindset, kalau yang cepat melakukan perubahan mindset juga akan cepat
adaptasinya. Jadi PT itu sekarang harus betul-betul mendekat dengan dunia kerja dan
dunia industri.

Komunita: Ada sisi pandang dunia pendidikan, bahwa kewajiban PT mempersiapkan
lulusan sebagai “calon pekerja terampil” yang kemudian perlu dipoles kembali oleh
dunia kerja. Fungsi PT dan Dunia kerja berbeda walau bersinggungan.

Dr. M. Samsuri, S.Pd., MT. : Saya mengulangi sedikit bahwa orientasi pendidikan kita.
Orientasi yang pertama harus melahirkan, satu lulusan yang berkualitas, indikasinya
adalah dia cepat terserap di dunia kerja, baik meng-create pekerjaan sendiri atau
masuk menjadi pekerja. Yang kedua, orientasi pendidikan harus memberikan layanan
yang berkualitas, dalam arti pelaksanaannya harus baik. Maka produktifitas PT itu
diukur seberapa banyak publikasi dan lainnya. Yang ketiga, apabila sudah berkualitas
kita dorong sebanyak-banyaknya bisa dinikmati oleh masyarakat kita. Kemudian
mindset bahwa PT hanya sebatas menyiapkan SDM, meyiapkan lulusan tanpa berfikir,
lulusan tersebut terserap atau tidak ini yang harus betul-betul diajak berbalik 180
derajat. Oleh karena itu, program Kementrian selain program kampus merdeka, maka
magang itu didorong, supaya sedari mahasiswa akhir itu sudah kenal dengan industri.
Setelah itu magang dan proyek didorong untuk mahasiswa terlibat dalam projeknya
supaya mereka mempunyai kenalan dengan dunia usaha, dunia industri dan dunia riset
atau yang lainnya. Kalau mau melakukan pemagangan di non-government organitation
memungkinkan dan semua aspek memungkinkan, itu upaya yang dilakukan untuk
mendekatkan. Kemudian tentu bagi PT harus mengukur, maka sekarang indikator
kinejra PT itu diukur sejauh mana mahasiswanya terserap di dunia kerja, atau meng
create pekerjaan. Maka PT juga perlu mengukur itu. Itulah pentingnya setiap PT
mempunyai treasure study, ataupun pusat karir yang menjem-batani sampai lulusan ini
bisa cepat dapat pekerjaan atau meng create pekerjaan.

Komunita: Ada pandangan bahwa PT kurang merespon dunia kerja?

Dr. M. Samsuri, S.Pd., MT.: Masih ada pandangan dan itu harus dipaksa untuk
merespon dengan cara PT diwajibkan diukur indikator kinerjanya mengikuti program
MBKM supaya lebih bergaul. Karena sepanjang pengamatan kami mereka melihat satu
respon mahasiswa yang bertanya urusan akademik tata kelola, kemudian tentang
pemilik PT untuk PTS yaitu owner Yayasan. Dalam aspek-aspek yang lain, kadang-
kadang akhirnya lupa untuk mendorong lulusan. Kemudian kalau regulator tidak
memaksakan berorientasi pada outcome, berorientasi pada lulusan yang berkualitas
dengan cara membuat kebijakan dan program MBKM itu. Perlahan pemerintah membuat inisasi dengan diberi insentif dan lainnya sambil terus didorong PT melakukan
MBKM secara mandiri, jadi lama-lama menjadi culture/ kebiasaan, awalnya sulit harus
diberikan stimulus.

Komunita: Kekosongan tenaga berkualitas yang dibutuhkan dunia kerja di level
menengah, apakah seperti itu?

Dr. M. Samsuri, S.Pd., MT. : Terutama level-level yang menjadi KKNI nya, jadi
kompetensi dari lulusan tersebut, arahnya kesana.

Komunita: PT didorong agar lebih dekat dengan dunia kerja (dari unsur struktural yang
tertinggi Rektorat, ada Fakultas dan Prodi Prodi dengan bidang garapan sangat
beragam dan spesifikn. Sejauh mana PT harus mempersiapkan atau mendorong
struktur di bawahnya membuat pemetaan kebutuhan dunia kerja?

Dr. M. Samsuri, S.Pd., MT. : Memang ujung tombak sukses tidaknya PT untuk
membangun kolaborasi dengan dunia kerja dan industri itu pada level Program Studi.
Kalau Prodinya terbuka dan dosen-dosennya mulai terbuka, untuk kolaborasi dengan
dunia usaha dan industri, itu akan memegang peran kesuksesan. Jadi kalau mau
berhasil PT itu memang seharusnyya fakultas dan universitas jangan terlalu
mengekang program studi, diberi kebebasan untuk melakukan improvisasi dan
kolaborasi. Dan secara formal ditandatangani oleh fakultas atau universitas itu tidak ada
masalah. Tetapi dipastikan itu apabila inisiatif dari masing-masing prodi potensinya bisa
berjalan. Karena itu, SPM (Sistem Penjaminan Mutu) itu paling penting adalah di level
prodi.

Komunita: Tidak semua PT memberikan kewenangan desentralisai kepada program
studi. Prodi dalam menjalankan programnya perlu dukungan kebijakan, finansial, dll.
Apakah hanya terjadi di PTS, kalau PTN tidak?

Dr. M. Samsuri, S.Pd., MT. : Di PTN juga sama, tetap pelaporannya terpusat.
Sebenarnya banyak pilihan yang dapat dilakukan di PT. Kalau semuanya serba
desentralisasi, keuangan, dll dilakukan sendiri oleh Program Studi, kemudian mencari
partner sendiri, saya yakin nanti ujung-ujungnya akan berkutat pada mereka mengatur
manajemen. Pandangan saya, berdasar pengamatan saya tentang PT yang maju dan
langgeng adalah prodi yang dalam sistem keuangannya di-support tetapi mereka tidak
serta merta mencari sendiri dan digunakan sendiri. Kalau terjadi nanti tidak bisa saling
subsidi silang, jadi tetap harus terkontrol dan dikelola oleh PT. Itu pentingnya good
government university, tetapi program studi diberikan reward dan insentif jika berhasil
mencapai indikator-indikator yang ditetapkan. Kalau semua diserahkan, nanti prodi
akan menjadi pusat administratif, malah tidak akan masuk ke substansi fungsi prodi. Itu
yang saya perhatikan banyak PT yang menerapkan pola seperti itu. Jadi prodi yang
maju jumlah mahasiswanya sibuk memanfaatkan anggaran itu. Tetapi kalau dikelola
terpusat secara administratifnya akan bisa menghasilkan subsidi silang. Prodi ini belum terlalu kuat berati perlu ada investasi dosen baru misalnya. Kalau semua dilakukan oleh
prodi dan sudah menjadi zona nyaman, suatu saat akan diubah tidak akan concern.
Konteksnya kelembagaan secara keseluruhan, tetapi prodi tetap diberi ruang dengan diberi reward apabila mereka untuk mencapai target–target kinerja tertentu.

Komunita: Untuk percepatan peningkatan relevansi dan kualitas pendidikan tinggi
sinergi dan kerjasama antara PT dengan pemangku kepentingannya didorong
pemerintah dengan insentif melalui program MBKM, tetapi kelihatannya tidak terkoneksi
dengan tepat?

Dr. M. Samsuri, S.Pd., MT.: Memang koordinasi dan kolaborasi mudah diucapkan,
tetapi tidak mudah diimplementasikan. Salah satu cara yang terbaik antara prodi dan
dunia usaha dan industri/DUDI harus dekat. Misalnya bisa dimulai dengan mengundang
praktisi untuk mengajar. Jadi DUDI di-uwongke dengan mengajak partisipasi mengajar
saja dahulu, sesudah kenal dan dekat, dia akan membawa mahasiswa masuk ke dunia
kerja atau industrinya tersebut. Itu langkah yang paling efektif, untuk itu sangat
tergantung pada inovasi masing-masing PT. Karena itu, PT harus merubah mindset
jangan merasa yang paling penting, yang bagus merasa membutuhkan orang lain,
bukan merasa dibutuhkan. Semisal kami LLDIKTI apabila merasa dibutuhkan kita akan
memposisikan sebagi bos, tetapi kalau kita merasa membutuhkan kita jemput bola, apa
kebutuhannya, apa yang bisa dibantu. Demikian pula PT membutuhkan DUDI. Jadi PT
dari level pimpinan tertinggi sampai prodi harus bergaul dengan dunia kerja dan dunia
industriDUDI.

Ini akan menjadi pekerjaan yang besar karena banyak sekali prodinya, dan dari
sisi dosen juga sudah sangat banyak bergaul, maka praktisi mengajar (dari DUDI)
diundang pelan-pelan dengan didampingi dosennya supaya menciptakan kolaborasi
yang baik, kemudian ada linkage yang baik. Menurut saya hal-hal praktis seperti itu
dapat memberikan dampak, daripada hanya MoU dan ditumpuk selesai. Jadi level prodi
melakukan pendekatan-pendekatan dengan dunia kerja dan industri jauh lebih
bermanfaat.

Komunita: Mengapa aspek dokumen (MoU misalnya) sepertinya menjadi sangat
penting bagi syarat akreditasi?

Dr. M. Samsuri, S.Pd., MT. : Akreditasi pembuktiannya berbasis dokumen, karena itu
ujungnya harus ada perjanjian kerjasama sebagai syarat administratif dan syarat legal.
Kalau tidak dibuat nanti dosennya keasyikan bermain sendiri dan lama-lama tidak lapor.
Apalagi kalau mendatangkan income yang banyak akan diam saja. Itu yang tidak boleh.

Komunita: Saran Bapak selaku perwakilan otoritas untuk perguruan tinggi dan dunia
usaha dan industri dalam rangka mendorong relevansi dan kualitas pendidikan tinggi?

Dr. M. Samsuri, S.Pd., MT.: Ada tiga saran yang penting bagi PT. PT harus menjadi
perguruan tinggi yang sehat dalam segala hal, yakni sehat tata kelolanya, seoptimal
mungkin tidak ada konflik, kemudian sehat dalam konteks. Untuk itu, Pertama, PT memiliki SPMI (sistem penjaminan mutu internal) yang baik, ketika kurikulumnya didesain dengan kebutuhan dunia usaha dan industri. Kemudian PT harus membuka ruang banyak membangun kolaborasi dengan duniausaha dan industri untuk memastikan bahwa lulusannya bisa kenal dan terserap di dunia usaha dan industri, taat azaz, kemudian SPMI yang baik, dan banyak membuka ruang kerjasama.

Kedua, Agar PT semakin berkualitas, pada level prodi dan dosen harus
membuka mindset untuk membangun kolaborasi dengan dunia usaha dan dunia
industri ataupun masyarakat.

Ketiga, aspek mahasiswa. Mahasiswa sejak masuk sudah diberikan orientasi,
sebagai mahasiswa yang bertanggung jawab, meski diberi kebebasan ikut program
kampus merdeka tetapi harus tetap punya tanggungjawab serius. Mahasiswa tersebut
harus mulai berfikir mandiri, berarti berusaha sekeras-kerasnya.
Perguruan tinggi harus selalu berfikir sebagaimana undang-undang yayasan
harus merubah mindset-nya, serta tidak selalu mementingkan keuntungan. Harus
mencontoh PTS di bawah perserikatan jauh lebih langgeng, karena tidak terlalu kental
kepentingan pribadinya, namun lebih mementingkan kepentingan lembaganya.
Kepada dunia usaha dan industri, juga harus mulai ikut serta memikirkan
perkembangan pendidikan. Dimana-mana pendidikan maju apabila dunia usaha dan
industrinya mau ikut serta didalamnya. Setidaknya mereka membuka ruang dan
bekerjasama, apakah memberikan masukkan untuk penyesuaian kurikulumnya. (lee-
Des2022)

Interview & Rewrite: Lili Irahali – Audio to transcript: Yanda Ramadana

Widyatama Wujudkan Kualitas dan Relevansi PT Harus Proaktif, Dunia Kerja Harus Kritis Terhadap PT

Beragam tantangan global maupun nasional ditengah perubahan mendasar dunia kerja dan
usaha sehubungan dengan RI (Revolusi Industri) 4.0 yang tengah kita hadapi. Langsung maupun tidak terkait pula dengan bagaimana mengembangkan pendidikan tinggi berkualitas dalam menyiapkan SDM unggul, serta relevansi lulusan yang mampu bersaing secara global. Karena itu perguruan tinggi (PT) dituntut beradaptasi dengan cepat dalam menyiapkan skill dan kompetensi baru lulusan untuk menjawab beragam tantangan yang beragam.

Memang, kualitas dan relevansi pendidikan tinggi bukan hal yang sederhana,
bahkan sesuatu yang dinamis dan multi-dimensi. Karena itu kualitas dan relevansi
pendidikan tinggi harus menjadi perhatian PT. Menghadapi tantangan-tantangan baru
tersebut, sistem pendidikan tinggi secara makro dan mikro harus merobek dirinya
sendiri dari balutan aturan dan regulasi yang telah dibuatnya sendiri, dan
merestrukturisasi dirinya sendiri untuk berkembang ke segala arah yang relevan.
Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) mengidentifikasi
bahwa sebuah sukses pendorong keberhasilan transisi dari pendidikan ke pekerjaan
meliputi unsur-unsur kunci sebagai berikut: 1) ekonomi yang sehat dan pasar tenaga
kerja; 2) jalur yang terorganisir dengan baik dari pendidikan ke pekerjaan dan studi
lebih lanjut; 3) peluang untuk menggabungkan pengalaman belajar dan tempat kerja; 4)
jaring pengaman bagi mereka yang berisiko; 5) sistem informasi dan panduan yang
efektif; serta 6) proses kebijakan yang melibatkan pemangku kepentingan pemerintah
(OECD 2000).

Di dalam konteks tersebut majalah Komunita berdialog dengan Prof. Dr. H.Dadang Suganda, M.Hum., Rektor Universitas Widyatama – salah satu universitas
berpredikat unggul di Jawa Barat. Dengan sikap terbuka beliau, kami berbincang
bagaimana pemikiran beliau dalam menghantar Widyatama menuju peningkatan
kualitas dan relevansi lulusan pendidikan tinggi.

Komunita: Perubahan mendasar dalam dunia kerja dan usaha terjadi terkait RI 4.0
sebuah keniscayaan. Bagaimana Widyatama mensikapi arti Relevansi dan Kualitas
Pendidikan Tinggi berkait dengan kebijakan MBKM?

Prof. Dr. H. Dadang Suganda, M.Hum: Ada dua visi perguruan tinggi (PT), bisa
menerapkan visi ilmu atau teori, dan mungkin ada perubahan signifikan dari Menteri Pendidikan berkaitan dengan tugas PT dalam konteks menerapkan ilmu. Idiom yang
sudah lama digaungkan di Indonesia bahwa PT jangan menjadi menara gading. Hanya
enak dipandang tetapi, tidak membumi dalam kehidupan. Program Menteri Pendidikan
justru ingin membumikan PT supaya relevan dengan kehidupan.

Salah satu yang dikembangkan Universitas Widyatama, pertama kami melihat
bagaimana pasar, baik dalam bentuk dunia usaha dan dunia kerja, maupun dalam
bentuk yang sifatnya di ruang publik. Bagaimana perkembangan pasar di ruang publik,
membutuhkan kompetensi apa, membutuhkan skill apa, dan membutuhkan
keterampilan apa? Kemudian kondisi faktual di ruang publik berkaitan dengan
kebutuhan pasar dijadikan bahan untuk merestrukturisasi kurikulum, restrukturisasi
kompetensi dosen, dan restrukturisasi proses pembelajaran. Sehingga apa yang
diberikan di kampus, baik dalam bentuk ilmu maupun dalam bentuk keterampilan tidak
tercerabut dari kebutuhan pasar. Itu yang menjadi rujukan Universitas Widyatama
merubah iklim akademik. Iklim akademik tersebut sudah lama kami pikirkan. Karena
pertama banyak alumni PT yang tidak punya keterampilan sesuai dengan kebutuhan
pasar, kedua banyak alumni PT yang tidak diserap pasar, dan ketiga banyak alumni PT
yang tidak bisa menciptakan lapangan pekerjaan. Dengan adanya testinomi pasar,
treasure study semacam gambaran pasar itu berkembang, dinamis progresif dan
dijadikan sebagai support untuk mengembangkan kurikulum. Maka kurikulum, model
pembelajaran, dan kompetensi PT relevan dengan kebutuhan pasar sekarang dan yang
akan datang. Itu konsep APTISI dan sudah diturunkan menjadi program kerja.

Komunita: Di lingkungan Widyatama, sejauh mana program kerja tersebut ditindak
lanjuti oleh Fakultas dan Prodi, serta dijalankan secara berkelanjutan?

Prof. Dr. H. Dadang Suganda, M.Hum: Pertama-tama tentu ujung tombaknya program
studi (prodi) dan dosen. Karena prodi-lah yang mengetahui dapurnya ilmu dan
dapurnya kebutuhan pasar. Oleh karena itu kami mendelegasikan program kerja ini
kepada prodi dan dosen sebagai ujung tombaknya. Kerja pertama prodi adalah
mengevaluasi kurikulum, apakah kurikulum yang berjalan sesuai dengan kebutuhan
pasar atau sudah kadaluarsa? Kalau sudah kadaluarsa harus ditinjau ulang. Perubahan
kurikulum jangan dipatok harus tahunan atau harus semesteran. Kalau ada perubahan
yang signifikan dan kurukulim berjalan tidak lagi relevan dengan pasar, secara otomatis
harus diubah dan disesuaikan. Apa yang ada di dalam kurikulum tentu bagaimana
capaian pembelajaran mata kuliah, sampaian pembelajaran semester, serta sampaian
pembelajaran prodi.

Yang pertama harus didesain kurikulum, yang kedua tentu dosen. Dosen tidak
bisa stagnan, karena ilmu tidak selamanya permanen, ilmu ada kadaluarsa dan
dinamikanya. Kalau dosen stagnan hanya menerima dan mendapatkan ilmu, dan tidak
pernah sadar ilmu berkembang, lalu mencari sendiri dengan pengalaman apapun,
maka mungkin ilmu yang didapatkan sejak lama itu sudah kadaluarsa. Oleh karena itu,
kami menekankan dosen bbersikap agresif mengembangkan diri, mengembangkan
kompetensi, kepakaran dan juga keterampilan. Dosen kami wajibkan mengembangkan
diri dalam konteks kompetensi dan kepakaran.

Berikutnya, proses belajar mengajar metodologinya. Untuk metodologi yang
terdahulu mungkin sudah kadaluarsa. Misal dosen hanya memberikan ceramah, hanya
memberikan diktat, hanya menguji. Sekarang dengan adanya “Guru Penggerak”- saya
mengutip indikator Guru Penggerak – kalau diterapkan dalam PT menjadi dosen
penggerak sangat relevan. Dosen harus menginspirasi, dosen kreatif, menjadi endorse,
menjadi role model dan lainnya. Proses belajar mengajar agar relevan dengan dunia
kerja, pasar harus memberikan kebebasan kepada mahasiswa untuk merdeka. Dalam
pengertian, bisa jadi mahasiswa lebih dinamis, progresif, serta memberikan
kesempatan mereka untuk kreatif. Tugas dosen di sini membimbing, mengarahkan,
dengan metodologi dan cara mengajar lainnya, dari ceramah diubah menjadi best
practice praktek. Dengan adanya hal ini, mahasiswa mendapatkan pengalaman baru,
yang mungkin juga tidak dimiliki dosen. Sehingga pengalaman baru yang dilakukan
mahasiswa tersebut menjadi ilmunya sendiri secara diam-diam. Oleh karena itu
perkembangan, kemajuan, kecerdasan, keterampilan mahasiswa bisa jadi lebih dinamis
dibandingan dengan dosen. Maka, dosen harus menambah kompetensi, serta
mengembangkan proses belajar mengajar dan infrastruktur. Insfrastruktur adalah dunia
digital, karena kita tidak bisa melepaskan itu semua, dan tidak ada panduan kita
menyambut perubahan dengan digital. Salah satunya cara adaptasi, meskipun ada
pameo yang mengatakan gaptek. Secara bertahap saya mengajak dosen beradaptasi
dengan kondisi insfrastruktur yang berkembang yaitu berbasis digital. Inilah yang
menjadi tugas dosen.

Prodi sebagai lembaga yang mengakomodir aspirasi dosen, kebutuhan
mahasiswa, mengubah kurikulum, mempersiapkan paradigma, skema-skema kegiatan,
insfrastruktur dan lainnya. Tugas Prodi adalah melaksanakan belajar mengajar,
bagaimana kepakaran dosen harus dikembangkan, kurikulum sesuai dengan pasar,
mahasiswa diberi kemerdekaan untuk mendapatkan ilmu dari dosen atau dari luar,
prodi bisa mendesain kurikulum sesuai dengan pasar. Itu tugas prodi.

Komunita: Sejauhmana intensitas prodi mendapat ruang cukup untuk bersinergi, dan
dosen didorong mengenal dan berkelindan dengan dunia usaha dan industri?

Prof. Dr. H. Dadang Suganda, M.Hum.: Bagaimanapun prodi harus responsif dan
peka terhadap perkembangan. Prodi jangan diam di tempat, juga jangan mengandalkan
informasi saja. Tetapi proaktif menjadi ujung tombak, yang sifatnya proaktif dan harus
menjalin kerjasama dengan mitra. Apakah industri, masyarakat, komunitas, atau BUMN
itu bagus. Yang penting bagi kami bahwa mitra kerjasama bisa memberikan kontribusi
bagi prodi. Kontribusi penguatan proses belajar mengajar. Apakah menggunakan
kesempatan mengundang praktisi, menitipkan mahasiswa untuk belajar di issue yang
lain. Itu hal yang sifatnya teknis, dimana prodi paling tahu relevansi antara prodi dan
mitra apa yang sesuai. Namun tentu ada kaitannya dengan bagaimana CPL/ OBE
(Outcome Base Education). Prodi akan menciptakan mahasiswa dengan kompetensi
apa pada prodi itu, lalu OBE-nya dirujuk, kemudian di-setting untuk bisa kerjasama
dengan mitra OBE-nya.

Dosen di zaman yang sangat canggih ini, bukan hanya memiliki ilmu dari bacaan
dan text tetapi justru yang paling diharapkan sekarang sebagai dosen penggerak
adalah menerapkan ilmu yang dimiliki, mengembangkan ilmu, lalu mentransfer ilmu.
Kalau sudah dimiliki tentu dosen tidak bisa diam di tempat. Bahkan pemerintah
memberikan alokasi kegiatan yang dapat memberikan dan menciptakan ilmu, lalu
direkognisi oleh masyarakat. Yang direkognisi adalah hasil karya dosen yang relevan
dan bermanfaat bagi masyarakat banyak. Artinya dosen tidak bisa diam di tempat,
dosen harus bergerak. Bahwa nanti pada kesempatan bergerak, ilmu yang didapatkan
masih relavan itu baik. Tetapi kalau sudah kadaluarsa, artinya kita punya input bahwa
ilmu yang kita dapatkan dahulu mungkin sudah tidak update. Dan sekarang kita harus
mencari ilmu baru, darimana? Tentu dari usaha sendiri, dari pengalaman, kreatifitas,
inovasi dan lainnya.

Nah, Widyatama memberi ruang untuk itu. Bahkan setelah Widyatama membuat
rencana strategis, peta jalan, dan ada program-program kerja. Ini dengan tujuan dan
kebijakan yang diarahkan agar dosen mempunyai kemandirian, dalam konteks dosen
bisa menciptakan sebuah karya dan menerapkan sebuah ilmu, dan harus ada
pengakuan dari masyarakat bahwa ilmu itu relevan dan bermanfaat bagi masyarakat
sebagai pengguna. Hal itu sudah kita buat program kerjanya. Widyatama sudah
mengakomodasikan dalam rencana pengembangan tahunan. Kami tidak Top-Down
tetapi lebih ke Bottom-Up. Tugas Universitas mengontrol dan memberi kebijakan.
Apakah yang dilakukan prodi, dosen, juga fakultas sebagai organisasi rumpun keilmuan
sudah sesuai dengan visi dan misi Universitas. Itulah tugas Universitas sebagai
pengontrol, pengarah, pembuat kebijakan, supaya apa yang dilakukan mencapai visi
dan misi, juga target-target yang dicanangkan.

Komunita: Kendala dan hambatan dalam upaya mewujudkan relevansi dan kualitas
pendidikan di Widyatama?

Prof. Dr. H. Dadang Suganda,M.Hum.: Yang paling mendasar adalah tradisi, watak,
budaya dan kebiasaan. Budaya yang selama ini terbelenggu oleh iklim yang bersifat
Top-Down dan selalu diberi petunjuk, tinggal melaksanakan. Kemudian ada perubahan
bahwa ada kemerdekaan untuk menciptakan dan bergerak sendiri. Menurut saya yang
paling utamanya adalah keterbelengguan cara berfikir, cara bertindak dosen dalam
melakukan itu semua, dan budaya yang sifatnya Top-Down tadi harus diubah pelan-
pelan menjadi Bottom Up.

Komunita: Ada pandangan PT/PTS tidak merespon kebutuhan dunia kerja, sejauh ini
hanya merespon regulator, pemilik PT/PTS, mahasiswa dari sisi layanan tetapi tidak
memperhatikan dunia kerja dan industri?

Prof. Dr. H. Dadang Suganda, M.Hum.: Kalau memang stigma itu ada dalam setiap
PT, mungkin harus ada perubahan paradigma berfikir. Di Widyatama, Yayasan sebagai
owner sangat support dan juga apresiatif terhadap apa yang dilakukan Rektorat. Sebab
bagaimanapun citra dan branding, popularitas PT dimata customer adalah apakah PT
dapat mencetak SDM yang memiliki ilmu yang bisa menjadi bekal hidup kelak mahasiswanya. Ini tidak bisa dihindari, oleh karena itu paradigma berfikir yang lama
seperti itu sekarang harus berubah. Customer akan mengapresiasi, menghargai,
menghormati sebuah PT jika lulusannya bisa diserap dalam dunia kerja dan institusi.
Juga jika lulusannya punya keterampilan, punya ilmu dimana dia bisa menciptakan
jalan kehidupannya sendiri. Tujuan pendidikan adalah mencerdaskan bangsa.
Kemudian kata cerdas itu, apabila seseorang mempunyai kecerdasan yang maksimal,
maka dia memiliki banyak sekali kemampuan yang bisa dia ciptakan. Untuk menurunkan kecerdasan itu sekarang PT harus diberi contoh bagaimana mengimplementasikan kecerdasannya dalam dunia hidup. Jadi PT harus mempunyai pemikiran berorientasi kepada kebutuhan hidup yang nyata di masyarakat sekarang.

Komunita: Bagaimana hubungannya dengan ikatan alumni yang bisa kita pandang
sebagai jembatan?

Prof. Dr. H. Dadang Suganda, M.Hum.: Ikatan alumni sangat strategis, karena citra
sebuah PT bahwa PT itu berkualitas atau tidak, salah satunya ditopang oleh bagaimana
alumni diterima, dan berkiprah. Jadi kiprah-kiprah alumni itu menjadi potret sebuah PT.
Oleh karena itu kerjasama dengan alumni bukan hanya dari aspek keterikatan batin,
dan juga norma sosiologis hubungan yang bersangkutan dengan PT. Tetapi alumni
harus memberikan juga support dan masukkan kepada PTnya, bahwa bagaimana
alumni diterima pasar, juga nilai alumni di pasar. Alumni memberikan semacam
masukan untuk mengubah, bahwa ilmu yang didapatkannya masih relevan atau sudah
kadaluarsa. Maka alumni yang menjadi salah satu testimoni untuk mengubah kurikulum
Jadi hubungan PT dengan alumni sangat strategis. Bukan hanya sebagai lulusan tetapi
alumni juga sebagai treasure, testimoni, juga citra (branding), juga customer yang
secara existing betul-betul menjadi potret sebuah universitas.

Komunita: Sejauh mana Widyatama menjalin keeratan dengan alumni? Sejauh mana Widyatama menjalin keeratan dengan alumni?

Prof. Dr. H. Dadang Suganda, M.Hum.: Kebetulan kami sudah bertemu dengan
alumni, dan diskusi bagaimana peran yang harus dilakukan oleh alumni. Kemudian
bagaimana alumni juga memberikan masukkan, juga hubungan baik itu terus
dilaksanakan, kemudian dikembangkan. Bahkan dari alumni sekarang yang saya
harapkan semacam ketulusan, bukan hanya untuk kepentingan pribadi, tetapi
kepentingan lembaga, khususnya universitas dan kepentingan masyarakat. Jadi
kepada alumni kami menghimbau, mari kita bersama-sama membesarkan universitas,
mahasiswa dan juga masyarakat, terutama dalam kaitannya relevansi lulusan dengan
pekerjaan dan apresiasi pasar.

Komunita: Merespon dunia kerja, apakah PT/ Fakultas/ Prodi perlu melakukan
pemetaan kebutuhan dunia kerja sesuai dengan bidang keilmuannya?

Prof. Dr. H. Dadang Suganda, M.Hum.: Menurut saya bukan perlu tetapi harus.
Pertama universitas terutama prodi tentunya pemetaan mengenai kebutuhan pasar itu
menjadi keharusan, dan itu sebagai input bagi kita melihat audit seberapa jauh prodi
yang sedang kita ampuh, dan berjalan masih relevan. Kedua, mengapa harus, karena
bagaimanapun ilmu itu berkembang dan bertransformasi, alam itu berkembang juga kehidupan. Jika kita tidak mengevaluasi kondisi prodi, sementara institusi menghadapi
perkembangan ilmu, alam dan kehidupan. Apabila kita tidak merespon jangan–jangan
bisa menjadi hal yang mubadzir. Jadi untuk melihat kerelevansian antara prodi dan
dunia nyata maka harus dipertahankan. Lalu bagaimana pemetaan itu. Pertama ada
pemetaan ilmu linear, ada pemetaan ilmu yang beririsan dengan kehidupan nyata,
bahkan ada yang bertolak belakang atau tidak ada dalam kompetensi prodi. Inilah
kesempatan merdeka kita untuk menciptakan sesuatu yang baru. Jadi hal-hal yang
bersifat inovasi, kreatifitas itu berangkat dari upaya kita memotret dunia nyata. Hasil
pemotretan itu bisa jadi, ada ilmu yang masih relevan, ada yang beririsan, dan ada
yang sama sekali tidak bersinggungan. Karena hidup itu memerlukan modal. Modal
yang kita berikan kepada mahasiswa mungkin hanya modal ilmu dan teori, kemudian
pergaulan, agama, sosial, kesehatan, watak dan sikap. Kita tidak bisa memberikan
seluruhnya. Maka satu-satunya cara adalah kita harus memberikan kesempatan
kepada mahasiswa dan dosen untuk bergaul. Dalam pengertian bukan hanya bergaul
dalam lingkungan kampus, tetapi juga lingkungan luar kampus. Itulah hakikat kampus
merdeka, memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk belajar di luar kampus,
dan tidak dibelenggu oleh kompetensi prodinya. Tetapi belajar di luar kampus boleh di
luar prodi, boleh beririsan. Asal indikator-indikator kompetensinya terukur baik yang
sifatnya sains, keterampilan maupun sikap.

Komunita: Khusus Widyatama, bagaimana pendekatan sinergi dengan dunia kerja dan
dunia usaha?

Prof. Dr. H. Dadang Suganda, M.Hum.: Pertama-tama tentu kami apresiasi Pusat
Karir Widyatama yang telah menjadi model yang ditunjuk DIKTI. Pusat Karir Widyatama
agresif sekali melakukan kerjasama, melakukan treasure study, testimony baik dari
alumni, terutama customer dalam lingkup yang lebih luas Itu salah satu bentuk evaluasi
kondisi Widyatama Kedua, kami sudah menerapkan program kampus merdeka. Itu
tidak sederhana, ada perubahan ilkim dari yang sifatnya regular dengan merdeka.
Tentu ada semacam adaptasi perlu waktu secara bertahap. Sekarang sudah ada
perubahan karakter sikap, baik dari dosen, prodi, pimpinan, juga dari mahasiswa itu
sendiri. Mudah-mudahan secara bertahap akan menjadi kebiasaan Kami mengangkat
agar perubahan ini terus mengakar menjadi tradisi di Widyatama. Itu kebijakan yang
dilakukan dalam rangka perubahan-perubahan yang sedang dihadapi.

Komunita: MBKM sesuatu yang baru bagaiamana prodi dan dosen diberi ruang, dan
Universitas memberikan kebijakan. Bagaimana kendali Widyatama agar tujuan dicapai?

Prof. Dr. H. Dadang Suganda, M.Hum.: Konsep yang pertama, Universitas
menggelontorkan program kampus merdeka. Kedua, di tingkat operasional,
memberikan kemerdekaan untuk mengimpelementasikan. Ketiga, tentu kami evaluasi,
seberapa jauh dan apa yang diharapkan Universitas itu dilaksanakan. Keempat, ada
semacam bottom up. Apa aspirasi operasional teknis dilaksanakan, kemudian evaluasi
dan hasil dari semua proses itu nantinya sudah tergambarkan bagaimana proses
implementasi dan lainnya. Kami menarik kesimpulan pertama sekarang Widyatama membuat kebijakan bersifat sebagai rujukan umum, sudah dibuatkan pedomannya,
dibuatkan juga bagaimana operasionalnya, baik dalam implementasi dan evaluasinya.
Kemudian ada semacam sosialisasi kepada Prodi, Dosen, Mahasiswa agar mereka
memahami apa konsep kampus merdeka. Dan paling kasat mata, kami sudah membuat
semacam kelompok khusus implementasi kampus merdeka dengan adanya
“koordinator” Duta Kampus Merdeka Widyatama, ada PIC yang menangani kegiatan
teknis dalam bidang indikator yang diberikan pemerintah. Tetapi juga kami memberikan
keleluasaan kepada PIC untuk menciptakan hal-hal baru. Jadi PIC diberi tugas
program-program pemerintah baik dari dana, indikator luarannya, proses output dan
input, maupun bagaimana proses kegiatannya. Kami mendorong dan memberikan
arahan dibuatkan program–program yang artinya inisiatif internal Widyatama, inisiatif
PIC. Mengapa demikian, karena prinsip kegiatan kampus merdeka adalah kegiatan-
kegiatan mahasiswa di luar kampus. Kalau itu menghasilkan indikator variable
kompetensi untuk bekal hidup mahasiswa ke depan harus diakuisisi, meskipun bagian
dari temuan-temuan inovasi. Sebab Widyatama menganut pemikiran bahwa,
pengalaman adalah ilmu yang secara diam-diam dianugerahkan oleh Tuhan kepada
manusia dan menjadi pengetahuan individu yang khas, dan pengetahuan itu sekaligus
menjadi modal dia. Kebetulan saya terinspirasi oleh Dirjen Vokasi, Wikan Sakarinto,
S.T., M.Sc., Ph.D. Ia mengatakan bahwa ia belajar di Jerman S2 dan di Jepang S3,
kemudian menjadi Dirjen, ilmu yang saya dapatkan dari petualangan luar negeri, tidak
semuanya relevan dengan apa yang dikerjakan sekarang, justru ilmu yang saya
dapatkan dari pengalaman itulah yang memberikan kontribusi bagi hidup saya. Artinya
bahwa pengalaman menjadi modal juga untuk seseorang memiliki ilmu, dan
keterampilan. Hal itu dijadikan sebagai rujukan inspirasi untuk diterapkan di Widyatama
Ada Duta Kampus, PIC. Ada tugas-tugas yang harus dilakukan oleh PIC, koordinator
lapangan, dan lainnya.

Duta kampus berperan mendesain implementsi kampus merdeka di Widyatama,
dan didistribusikan kepada PIC. Lalu Duta kampus punya konsep, PIC mengajar itu
bagi mahasiswa itu. Akan mengajar apa materinya, bagaimana proses belajar
mengajarnya, siapa yang mendapatkan pengajarannya dan lain- lain. Duta kampus
sebagai Koordinator dan PIC sebagai orang yang ujung tombak mengimpelemntasikan
operasional kampus mengajar itu. Jadi RektoratUniversitas tentu memberikan tugas
kepada Duta Kampus dan PIC untuk bisa merancang secara terukur. Bahwa
impelementasi kampus merdeka tidak hanya dalam bentuk wacana, tetapi input dan
output, serta hasilnya jelas.

Komunita: Kerjasama Widyatama banyak sekali dengan dunia industri, dalam kaitan
relevansi lulusan apa sudah terwujud?

Prof. Dr. H. Dadang Suganda, M.Hum.: Memang kita sudah banyak kerjasama
dengan dunia industri. Apresiasi dunia industry bahwa Widyatama menjadi salah satu
lulusan yang diperhitungkan untuk diterima di dunia pekerjaan. Tentu capaian ini akan
terus digalakkan, dan kerjasama dikembangkan lebih teroganisasi dengan baik supaya
kebutuhan-kebutuhan dalam pencapaian indikator akreditasi dalam konteks internal PT terpenuhi juga. Saya kira hal-hal yang berkaitan dengan kerjasama tentu pentahelix
sudah. Dan sekarang ada hexahelix tentu kegiatan-kegiatan yang tidak terakomodasi
dalam pentahelix pemerintah, komunitas, media, bisnis dan masyarakat, tentu akan kita
akomodasikan dalam hexahelix. Jadi pentahelix dikembangkan dan dipelihara, serta
hexahelix juga dibuka keran-kerannya. Untuk itu, insiatif individu dan organisasi diujung
tombak kita beri ruang yang lebih leluasa (merdeka).

Komunita: Ada pendapat tenaga kerja asing lebih professional daripada tenaga
Indonesia?

Prof. Dr. H. Dadang Suganda, M.Hum.: Saya melihat dari prespektif yang namanya
kebutuhan tenaga kerja itu harus membumi. Yang dimaksud membumi secara teknologi
ada beberapa Negara mempunyai keterampilan lebih tinggi, tetapi dalam konteks
implementasi pembangunan tidak bisa tercerabut dari akar budaya. Karena itu
Widyatama menganut pembangunan berkelanjutan. Berkelanjutan artinya tidak
menghilangkan ruang-ruang budaya, ruang tradisi kebiasaan tempat orang berada
kontekstual. Sedangkan kalau dari luar negeri dan tidak mengenal budaya kita,
mungkin ada hal yang sifatnya menjadi tidak relevan, tidak membumi dengan
kebutuhan masyarakat setempat. Jadi di satu sisi orang mengatakan tenaga kerja luar
negeri mempunyai keterampilan IT, tetapi dalam konteks implementasi pembangunan
apakah relevan dengan dunia Indonesia. Sebab kalau ada semacam program-program
yang tidak membumi akan terjadi gegar budaya. Ketika orang gegar budaya kehilangan
pegangan, daya hidup, spirit dan lainnya. Widyatama tetap akan berbasis pada
bagaimana budaya menjadi tolok ukur untuk mengembangkan kemampuan-
kemampuan mahasiswa. Karena pada akhirnya mereka akan hidup di bumi Indonesia
dan sebagai pedomannya kami memegang prinsip pembangunan berkelanjutan. Ada
17 tujuan pembangunan berkelanjutan dan kami memegang filosofi “kehidupan ini,
alam ini, ilmu ini bisa jadi bukan warisan nenek moyang, tetapi titipan anak dan cucu”.
Artinya harus dipelihara, kemudian keadaan bumi masih dapat dipertahankan dan
berkembang uyang ujung-ujungnya sebuah negara bisa mengakomodsaikan kebutuhan
masyarakatnya sesuai dengan kemampuan negaranya. Kalau kita terus mengimpor
tenaga asing nanti bagaimana dengan manusia Indonesia? Justru kita harus
mengeksploitasi orang Indonesia hidup di Indonesia dan mendunia.

Komunita: Terkait relevansi dan kualitas ini, Apa saran bagi PT dan jajarannya, juga
dunia kerja?

Prof. Dr. H. Dadang Suganda, M.Hum.: Setelah melihat kondisi faktual di beberapa
PT, dan mengaudit kondisi kami. Saran bagi PT tentu sebuah PT mempunyai Visi, Cita-
cita dan target. Kemudian target itu harus terukur dalam pengertian, apapun target jika
kapabilitas dan kapasitas resources yang dimiliki tidak bisa mencapai itu mungkin
hanya akan berantakan. Kedua, sebuah PT tidak bisa narsis seolah-olah paling super
dan paling hebat. Perubahan terjadi per detik dan menit. Karena itu bisa jadi kualitas
unggulan yang dimiliki saat ini, 3-5 tahun akan datang akan tergilas oleh dinamika
kemajuan jaman. Terakhir PT harus menciptakan semacam branding, citra dan keunggulan apa yang akan diangkat didalamnya. Sebab tidak mungkin seluruh keunggulan kita raih, harus mempunyai skala prioritas apa yang akan dilakukan. Terakhir tentu membina mahasiswa, dosen, dan prodi mengarahkan mereka untukselalu responsif terhadap kondisi faktual sekarang dan yang akan datang. Bahkandalam pandangan ilmuwan ke depan dunia dalam kondisi VUCA (Volatility, Uncertainty,Complexity, dan Ambiguity) Kondisi ini akan mengacaukan situasi pendidikan. Olehkarena itu harus ada strategi, PT harus memiliki strategi bagaimana menghadapi era VUCA. Kalau tidak merancang strategi, tunggu tanggal mainnya, bisa jadi tergerus jaman atau beradaptasi pada jaman. Dua sisi yang harus kita pikirkan.

Bagi dunia kerja menjadi mitra strategis. Karena dunia kerja akan mendorong
kondisi PT. Dunia kerja juga harus kritis terhadap PT, kalau PT dianggap sudah tidak
punya kualitas yang relevan dengan dunia kerja maka menurut saya justru cara apapun
yang dilakukan dunia kerja untuk mengkritisi PT menjadi bagian dari support dan input
yang harus diterima PT. Bahkan PT harus mengundang praktisi dari dunia industri/
kerja, memberikan pembekalan dan kurikulum, pelatiha-pelatihan, agar PT mempunyai
bobot pemikiran yang nyata dalam kehidupan sehari-hari.(lee-Nov2022)

Interview & Rewrite: Lili Irahali – Audio to transcript: Yanda Ramadana

Narasumber: Dadang Suganda adalah Professor of Linguistics,
dan Guru Besar Universitas Padjadjaran yang juga Rektot Universitas Widyatama.
Meraih Sarjana dariUNPAD (1983), Magister Hukum dari UNPAD(1993), dan Doktor dari
UNPAD (2003).

 

Wawancara Konseptual Tentang Arah Kebijakan Pendidikan Tinggi Di Indonesia: Komentar Praktisi Non-Pejabat Struktural Antara Komunita Dan Bachrudin Musthafa

Komunita: Tentang relevansi dan kualitas Pendidikan Tinggi di
Indonesia…dan Apa yang menjadi Tolak-Ukurnya?

Pertama-tama, Universitas harus didudukkan dalam proporsinya yang benar sesuai visi-misi dan tugas-tugas pokok yang dibebankan kepada setiap universitas yang mungkin unik (secara relatif) dibandingkan universitas yang lain. Jadi, dengan rektor beserta para wakilnya dan jajaran intelektual-birokrat yang mendukungnya (pada level fakultas dan program studi), unit besar yang disebut Universitas ini seyogianya diposisikan sebagai pihak independen, selain dalam posisinya sebagai bagian dari komponen Pendidikan Tinggi (DIKTI) di Indonesia, yang dapat juga dipandang sebagai unit pelaksana sebagian visi-misi DIKTI sebagai Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.

Setelah posisi setiap universitas ini didudukkan secara relatif dengan dirinya sendiri,
dalam organisasi besar ini ada bagian-bagian apa saja yang mengurusi relevansi
program pembelajaran dengan dunia di luar universitas, seperti Industri dan pihak
pemekerja lulusan yang tentunya memiliki harapan dan hak untuk didengar keinginan-
keinginannya (misalnya sekaitan dengan bekal keilmuan dan keterampilan yang
diberikan kepada lulusan universitas yang telah mentas dari proses pendidikan). Di sini
isu kontrol kualitas dan relevansi pengetahuan dan keterampilan lulusan menjadi
penting.

Ada contoh menarik dari Prof. Wardiman (mantan Mendiknas RI) sehubungan dengan
kesenjangan antara kesiapan kerja para lulusan dengan tuntutan dunia kerja. Kata
beliau, lulusan universitas (Perguruan Tinggi/PT) di Indonesia seyogianya diposisikan
sebagai “calon pekerja terampil” yang memiliki kesiapan keilmuan dan keterampilan
berpikir yang siap dilatihkan dan disinkronkan dengan tuntutan kerja.
Jadi—sebaiknya—pihak pemekerja melihatnya seperti ini supaya proporsional: lulusan
PT seyogianya diberi kesempatan untuk beradaptasi dan mengembangkan
keterampilan spesifik yang dituntut pada dunia kerja supaya segera dapat mengambil
peran yang bermakna bagi derap kemajuan dunia-kerja. Untuk keperluan ini, pihak PT
dan Perusahaan (Pemekerja) harus bekerja-sama memfasilitasi lulusan yang akan
beradaptasi dengan “tuntutan nyata di lapangan.”

Melalui desain programnya yang terkenal—disebut “link and match”—Prof. Wardiman
mengindikasikan adanya sinergi terus-menerus antara pihak kampus dengan pihak
industri pemekerja lulusan, Sinergi ini harus didesain sedemikian rupa sehingga
keterkaitan visi-misi program pembelajaran mata-mata kuliah utama tertentu terasa
berkait-berkelindan dengan bagian-bagian penting di perusahaan dan/atau industri.
Seperti di bagian-bagian lain yang penting-penting, “godaan” dan tantangan “survival” bagi program ini terletak pada niat-baik dan kekompakan altruistik yang mementingkan
relevansi pembelajaran dan dengan tuntutan keterampilan dalam dunia kerja.
Yang perlu dicamkan oleh kedua pihak—yakni pihak universitas/PT tempat mahasiswa
belajar dan industri (perusahaan) sasaran tempat kerja– adalah kenyataan dari riset
bahwa pekerja pemikir lulusan PT akan dapat dijadikan motor pemikir bagi kemajuan
perusahaan bila dipandu dan dilatih dengan benar. Ini yang dapat dijanjikan bagi
kemaslahatan PT dan Perusahaan berdasarkan riset ilmiah.

Komunita: Faktor-faktor apa yang menghambat PT dalam mewujudkan relevansi dan
kualitas pendidikan tinggi di Indonesia?

Banyak alasan tentang hal itu dan masing-masingnya dapat saling mempengaruhi.
Alasan yang dapat dibayangkan antara lain yang berikut. (1) Keterbatasan biaya
pengembangan: anggaran yang jumlahnya kecil seringkali dijadikan alasan mengubah-
fokus pada hal-hal yang dianggap paling mendesak (apapun kenyataannya). (2)
Wawasan pengembangan ke depan yang amat-sangat komprehensif. Pada PT yang
relatif canggih terdapat pembedaan antara keperluan pengembangan strategis jangka
panjang dan keperluan jangka pendek yang mendesak (yang masih dianggap searah
namun dilaksanakan dalam skala relatif kecil), (3) Mungkin juga ada dirasakan “godaan”
untuk segera melihat hasil dari “modal yang ditanam.” Gejala keterburuan ini seringkali
mewujud ke permukaan karena ingin melihat hasil dalam waktu relatif cepat (contohnya
dalam hal inisiatif pembaruan yang harus segera dilaporkan kepada penyandang dana
karena tenggat-waktu yang “mepet”).

Mungkin masih banyak alasan lain yang dapat dibenarkan tetapi—dalam
perjalanannya, kita memang perlu belajar lebih baik dan belajar lebih kolaboratif dengan
mitra dalam semangat saling-membantu dalam kebajikan.
Memikirkan relevansi dan kualitas suatu PT (perguruan tinggi) jelaslah masalah besar.
Oleh karena itu, kita dapat menyiasatinya dengan cara “mencicil” tugas dengan menata
skala prioritas. Ini merupakan fungsi internal perencanaan di dalam organisasi yang
bersangkutan. Tidak semua PT mau dan mampu mengolah diri sesuai arahan “pusat”:
dalam hal ini mungkin diperlukan diferensiasi tugas berdasarkan minat dan
kesanggupan masing-masing PT. Ambil sebagai contoh pengembangan budidaya
tanaman obat bagi PT yang memiliki minat dan sarana ke arah ini. Fokuskan perhatian
ke tanaman obat ini dan kerahkan sumberdaya dan dana ke bidang pilihan ini dengan
segala daya-dukung “penta helix” yang sering dibicarakan para ahli.
Contoh lain adalah rekayasa teknologi. Bagi PT yang memiliki sumberdaya kuat dan
mitra kerjasama yang cocok dalam semangat saling mengembangkan diri, kolaborasi
jangka panjang dapat direncanakan dan tim-kerja dapat dibentuk untuk saling
memfasilitasi (dengan dukungan “penta helix” yang diseragamkan semangat dan
militansinya) agar para ilmuwan muda dan praktisi yang memiliki kemampuan
teknologisnya untuk mendesain robotika yang bermanfaat dan dapat menghasilkan
keuntungan bagi kelanjutan pekerjaan kolaboratif selanjutnya.

Komunita: Kita perlu belajar spesifik sebelum berkolaborasi. Apa persisnya tuntutan
dunia kerja? Agar para pegawai pemula memiliki kemampuan apa sebagai sasaran
kinerja? Agar mereka siap memproduksi apa?

Di universitas/PT sebagai institusi pendidikan dan pengetahuan kepakaran kita
mengisyaratkan dengan sangat jelas bahwa institusi besar ini menganggap ikhitar kependidikan ini berhasil bila tercapai indikator utama sebagai berikut. Para lulusan
lembaga ini mampu mengartikulasikan dengan baik pengetahuan teoretis dan alasan -alasannya; mampu mengartikulasikan dengan jernih proses-proses yang perlu dilalui
dengan rinci untuk sampai kepada keterampilan yang digambanrkannya; dan mampu
menyebut-kenali perangkat kasus-kasus yang relevan yang dirincinya dalam pengetahuan teoretis dan pengetahuan prosedural yang diungkapkannya.

Dengan demikian, gambaran orang pintar di kampus mungkin tidak sepenuhnya sama-
dan-sebangun dengan gambaran yang ada pada harapan mitra kolaborasi di perusahaan (industri) tempat bekerja. Dengan alasan itulah diperlukan adanya “sinkronisasi” dan pertemuan yang berulang dan terjadual secara sistematis sehingga semua pihak yang bekerjasama (pihak wakil kampus dan pihak pengelola industri)sama-sama memperoleh pemahaman yang lebih baik dan lebih matang. Dengan demikian, salah satu indikator penting keberhasilan suatu kolaborasi adalah peningkatan wawasan yang semakin mendekat dan menyatu secara kohesif.

Komunita: Perlukah atau mampukah PT melakukan pemetaan dan prediksi kebutuhan
tenaga kerja di semua sektor menurut jenjang dan bidang keterampilan dalam
perencanaan jurusan maupun target-target lulusan?

Saya lebih cenderung memberikan keleluasaan pada tingkat prodi atau fakultas untuk
tugas (atau inisiatif) pemetaan ini. Hal ini – andaipun akan dilakukan—harus dilakukan
bersama-sama dengan tim mitra dari industri atau perusahaan yang merupakan mitra-
kerjasama. Jadi, sedari awal, harus disepakati kedua belah pihak apa yang akan
digarap bersama dan bagaimana melakukannya (dan dengan pengaturan sumberdaya
seperti apa).

Dengan cara berpikir dan prosedur kerja yang serupa, tim ini juga mengajak pihak
pendukung (yang diistilahkan dengan “penta helix” itu). Dengan demikian, masalah pentingnya “pemetaan dan kebutuhan dan prediksi kebutuhan tenaga kerja” itu merupakan hajat bersama kita sebagai “komunitas terdidik” yang memilih bekerjasama untuk menopang perbaikan kualitas proses dan produkpendidikan kita sebagai bagian penting dari forum-kerja “penta helix” yang kita bicarakan ini. Kita sepakati urgensinya dan kita modali pengembangannya. Kita lakukan ini semua bersama-sama sebagai komunitas terdidik yang peduli terhadap pemberdayaan bersama bagi seluruh kelompok yang kita upayakan perbaikan kesejahteraannya.

Komunita: Apakah tenaga kerja asing (TKA)—dari sisi kualitas, profesionalisme, dan
kompetensi—lebih baik dari tenaga kerja Indonesia?

Sejauh yang pernah saya baca dan saya yakini selama ini, kualitas kerja,
profesionalisme, dan kompetensi kerja, tidak ada kaitannya dengan latar belakang
kebangsaan seseorang. Selama ini belum ada studi sistematis yang membandingkan
kualitas kerja, profesionalisme, dan kompetensi kerja orang asing di Indonesia dan
membandingkannya dengan “pekerja lokal”. Dalam ketiadaan data hasil studi sistematis
tentang hal ini, kita hanya dapat menduga-duga. Kalau saya harus menduga-duga tentang kualitas kerja, profesionalisme, dan kompetensi kerja, saya kira tiga hal ini merupakan fungsi dari nilai yang dipilih individu dalam bekerja dan menginvestasikan energi dan keterampilan untuk menyajikan yang terbaik bagi apa (dan siapa) saja yang dianggapnya penting sebagai sasaran pengabdiannya.

Dengan basis keyakinan semacam ini, saya lebih cenderung menyerahkan kontrol
kualitas kerja, profesionalisme, dan kompetensi kinerja pada pelatih-pelatih yang menghayati olah-batinnya ke arah pengabdian bagi kemaslahatan orang lain yang
sedang dilayaninya. Dengan memosisikan kualitas kerja, cara pandang terhadap pekerjaan, dan keterampilan yang dikerahkan terhadap tugas yang dilakukan berafiliasi dengan niat
melayani dan mengabdi kepada pekerjaan yang sah dan dianggap baik, maka masalah
besaran upah tidaklah menjadi parameter satu-satunya dalam pelaksanaan pekerjaan
yang mulia.

Komunita: Apa saran-saran bagi PT dan Dunia Usaha sekaitan dengan relevansi
antara Dunia Pendidikan dan Dunia Kerja?

Saran dari saya sederhana saja: Carilah keberkahan dari apa-apa yang kita kerjakan
dan upayakan melalui kerja keras dan kerja tuntas yang kita niatkan sebagai “jejak
kehadiran kita” di suatu konteks tempat dan waktu. Caranya bagaimana? Niatkan
kegiatan fasilitasi peningkatan kualitas kerja dan perolehan penghasilan dari pekerjaan
kita sebagai amal kebjikan sebagai tugas eksistensial kita. Dalam melaksanakan semua
pekerjaan ini, niatkan sebagai bentuk ungkapan cinta-kasih melalui pelaksanaan
kewajiban kita kepada Negara Republik Indonesia melalui upaya peningkatan kualitas
layanan kepada lulusan perguruan tinggi (PT) melalui wadah yang ada melalui
kewenangan yang ada pada kita.
Dengan orientasi nilai semacam ini, nilai pekerjaan dan penilaian terhadap kualitas
yang melekat padanya bukanlah masalah dunia semata melainkan masalah ibadah
yang bermatra ukhrowi (keakhiratan). Insya Allah berkah (Bachrudin Musthafa).

Interviewer: Lili Irahali

Narasumber: Bachrudin Musthafa, adalah Guru Besar UPI, dan Dekan periode (2012-2016) Fak. Bahasa Universitas Widyatama. Ia meraih gelar Sarjana dari IKIP Bandung, 1979 (Bachelor in English Education), Indiana University,
1992 (Master in Rhetoric), Ohio State University, 1997 (Ph.D. in Literacy Education – early childhood education). Ia peneliti dan guru besar dengan disiplin pada primary education, teacher education, serta teaching methods, serta mengembangkan berbagai riset (69 aktivitas riset tercatat dalam https://www.researchgate.net/. Ia memiliki Google
Scholar h-index 13, dengan lebih 1.000 sitasi atas karya-karyanya, per Desember 2022. Sejak tahun 2013 sampai saat ini Bachrudin Musthafa menulis untuk majalah Komunita.

Mengapa Perguruan Tinggi Swasta Di Indonesia Harus Bereputasi

0

OPINI #34

Menurut Acep Edison

Reputasi atau citra didefinisikan sebagai a picture of mind, yaitu suatu gambaran yang ada di dalam benak seseorang. Citra dapat berubah menjadi buruk atau negatif, apabila
kemudian ternyata tidak didukung oleh kemampuan atau keadaan yang sebenarnya (Wiki-pedia.org). Makna yang mendalam reputasi bagi perguruan tinggi adalah apabila visi
dan misi yang disampaikan tidak didukung oleh kemampuanatau keadaan yang sebenarnya, maka citra menjadi negatifatau sering ungkapan umum menyatakan memble.

Terdapat perguruan tinggi yang membuat slogan atau motto pencitraan dengan
masif pada berbagai media, tetapi ada juga yang malu-malu melakukan pencitraan dan
ada yang diam tidak memperdulikan pencitraan. Perguruan tinggi banyak yang
melakukan pencitraan dengan pendekatan angka rangking perguruan tinggi yang di
publikasikan oleh berbagai lembaga dari mulai lembaga kredibel sampai lembaga abal-
abal. Timbul pertanyaan apa kriteria dan ukuran perguruan tinggi yang bereputasi.
Menjawab pertanyaan ini sangat sederhana yaitu perguruan tinggi mampu memenuhi
janji–janjinya pada masyarakat sesuai slogan pada buklet–buklet dan baligo-baligo
pada saat penerimaan mahasiswa baru. Tetapi pada nyatanya janji–janji sering kali
sangat sulit diwujudkan karena untuk merealisasikannya adalah pekerjaan yang sangat
berat.

Sepuluh Charta

Bagaimana kriteria standar minimal untuk menentukan perguruan tinggi
bereputasi. Pertama, mampu memenuhi dan menjalankan seluruh regulasi Pendidikan
tinggi dan Pemerintah Daerah. Kedua, mampu membuat kurikulum dan proses
pembelajaran yang sangat mendekati dengan dunia nyata dengan kedalaman teoritis
yang andal didukung oleh dosen yang berkompenten dan terlepas dari nepotisme. Ketiga, pengelola memiliki kemampuan dalam merealisasi rencana strategis. Keempat, dukungan sarana dan prasarana yang memadai dalam pencapaian visi dan misi. Kelima, mampu melaksanakan tanggungjawab sosial. Keenam, mampu mencapai akreditasi unggulan dan memberikan jaminan kualitas dalam mencapai kapabilitas lulusan mendapatkan pekerjaan. Ketujuh, mampu memberikan kesejahteraan pada seluruh karyawan dan apresiasi pada prestasi dosen dan mahasiswa. Kedelapan, mampu melakukan perbaikan secara terus menerus dan inovasi pengajaran serta menghasilkan karya nyata yang dapat dinikmati oleh masyarakat. Kesembilan, mampu menjadi pusat pengkajian ilmu pengetahuan dalam partisipasinya pada kemajuan bangsa dan negara dan internasional. Kesepuluh, mampu melakukan interaksi sesama perguruan tinggi sebagai wujud integrasi terhadap kemajuan perguruan tinggi dan ilmu pengetahuan.

Sepuluh kriteria tersebut merupakan charta, yakni gambar rangkaian pencapaian
reputasi perguruan tinggi, terutama perguruan tinggi swasta. Kemungkinan
charta–charta reputasi sangat sulit direalisasikan. Reputasi dapat dianggap sebagai
“sebuah sumber daya berharga dan tidak berwujud, yang dapat berkontribusi pada
pencapaian keunggulan bersaing berkelanjutan bagi organisasi” (Walsh, G., Beatty,
S.E. dan Shiu, E.M.K. , 2009, The customer-based corporate reputation scale:
replication and short form, Journal of Business Research, Vol. 62 No. 10, pp. 924- 30).
Hasil penelitian mengungkapkan bahwa variabel reputasi universitas positif
berpengaruh signifikan terhadap keputusan mahasiswa memilih studi. Temuan
menunjukkan bahwa reputasi, integritas dan kredibilitas perguruan tinggi yang baik
akan mendorong minat calon mahasiswa untuk memilih studi di suatu universitas.
(Dedy Ansari Harahap, dkk : Pengaruh Reputasi Universitas Terhadap Keputusan
Mahasiswa Memilih Studi Di Universitas Islam Sumatera Utara. Prosiding Seminar
Nasional & Konferensi Forum Manajemen Indonesia (FMI 9), Semarang ISBN : 978-
602-8557-31-3 Patra Semarang Hotel & Convention, 8-10 November 2017).

Sepuluh charta sangat sukar untuk direalisasikan dan perlu tenaga ekstra dalam
jangka panjang untuk melakukannya, terutama kejujuran perguruan tinggi swasta dalam
mempublikasikan kinerja yang telah dihasilkan pada masyarakat. Di masa lalu terjadi
dan mungkin masih berlangsung adanya rekayasa akreditasi yang nyata–nyata
dilakukan dan diketahui oleh dosen bahkan mahaiswa. Akreditasi BAN-PT difahami
oleh perguruan tinggi merupakan salah satu preferensi yang kuat untuk menarik minat
masyarakat kuliah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa reputasi perguruan tinggi yang
dikenal masyarakat adalah akreditasi dari BAN-PT. Untuk itu pengelola perguruan tinggi
harus mampu mencapai nilai akreditasi terbaik untuk program studi maupun institusi,
sedangkan pemeringkatan dari lembaga lain tidak banyak dikenal oleh masyarakat.
(Muji Gunarto, Vanessa Gaffar : Analisis Persepsi Dan Preferensi Masyarakat Terhadap
Reputasi Pemeringkat Perguruan Tinggi. Dosen Program Studi Manajemen FEB
Universitas Bina Darma).

Akreditasi merupakan substansial dari charta keenam yakni ; mampu mencapai
akreditasi unggulan dan memberikan jaminan kualitas dalam mencapai kapabilitas
lulusan mendapatkan pekerjaan. Kualitas mahasiswa merupakan aspek penentu yang
penting, kualitas pengajar pun tidak kalah menentukan dalam mewujudkan proses
pembelajaran yang bermutu. Tidak mungkin seorang pengajar mampu berbagi
pengetahuan seandainya tidak memiliki kemampuan pengetahuan yang memadai untuk
dibagikan kepada mahasiswa. Penting bagi pengajar untuk terus mengasah kemampuan intelektualnya dari waktu ke waktu. Perkembangan ilmu pengetahuan, terutama ilmu yang menjadi spesialisasi seorang pengajar harus selalu diikuti dan dicermati. Membaca berbagai literatur terkini dan melakukan kajian atau penelitian terhadap spesialisasi bidang keilmuan merupakan aktivitas yang melekat dalam profesi pengajar. Apakah membaca buku teks kuliah sudah mencukupi untuk bekal seorang dosen mengajar mata kuliah di kelas? Jika universitas ingin menciptakan proses pembelajaran bermutu tinggi (misalnya berstandar kualitas internasional), tentu pengetahuan pengajar tidak cukup memadai seandainya hanya mengandalkan diri dari membaca buku teks. Satu cara untuk meningkatkan kualitas keilmuan pengajar adalah melalui aktivitas penelitian sesuai dengan spesialisasi keilmuan yang diminati. Seorang pengajar seharusnya juga seorang peneliti. Penelitian dan pengajaran merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Universitas perlu memiliki kinerja riset (research performance) yang baik dan unggul jika ingin menjadi sebuah universitas yang memiliki reputasi hebat di tingkat global.

Kinerja riset dapat diukur berdasarkan beberapa aspek, seperti keunggulan riset, kemampuan riset ilmiah, produktivitas riset, aliansi strategis melalui riset kolaboratif,
kualitas riset, perilaku ilmiah yang bertanggung jawab, dan upah untuk produktivitas
ilmiah. Jika seluruh aspek dikelola dengan baik, maka mimpi untuk menjadi universitas
bereputasi global (reputable global university) akan terwujud. Seluruh sumber daya universitas sebaiknya diarahkan, dipusatkan, dan difokuskan pada upaya untuk
membangun dan meningkatkan kinerja riset universitas. Upah atas karya ilmiah sebagai
hasil sebuah riset ilmiah semestinya dimaknai secara mendalam sebagai sebuah
“proses panjang” dan dipandang dalam “perspektif jangka panjang” bagi
pengembangan institusi di masa-masa mendatang menuju world-class university.

Karya ilmiah seorang peneliti semestinya tidak hanya dilihat sebagai karya
individual peneliti semata, tetapi juga mesti dipandang sebagai karya institusional
universitas. Jadi, karya riset peneliti sangat terkait dan tidak terlepas dari (kepentingan)
institusi universitas. Prestasi riset seorang peneliti sebaiknya dipandang sebagai
prestasi riset institusi universitas. Karya tersebut semestinya dilihat sebagai hasil karya
institusi, juga karena mampu mengharumkan nama baik, citra, dan reputasi universitas
sebagai sebuah institusi, sehingga institusi patut berbangga dan memberikan apresiasi
atasnya. (Alexander Joseph Ibnu Wibowo Program Studi S1 Marketing – Prasetiya
Mulya School of Business and Economics, Jurnal Manajemen, Vol.13, No. 2, Mei 2014).
Ironinya apresiasi seringkali diabaikan oleh institusi dan ketidakcermatan institusi dalam
melakukan publikasi jurnal internasional yang tidak sustainable atau abal–abal dan
jurnal yang dipublikasikan adalah hasil modifikasi dan rekayasa skripsi, thesis
mahasiswa yang dibimbing sehingga tidak dapat memenuhi nilai kredit yang layak
sebagaimana regulasi yang berlaku.

Jika reputasi perguruan tinggi dikaitkan dengan preferensi mahasiswa dalam
memilih perguruan tinggi, maka salah satu pendekatan yang perlu dikaji berdasarkan
Analisis Persepsi dan Preferensi Masyarakat Terhadap Reputasi Pemeringkat
Perguruan Tinggi, berdasarkan temuan penelitian Muji Gunarto, Vanessa Gaffar. (Dosen Program Studi Manajemen FEB Universitas Bina Darma Jurnal IlmuManajemen Vol. 5 No. 2 Juni 2016), bahwa Persepsi terhadap kualitas guru/dosen yang berkualitas, tenaga administrasi adalah yang dapat memberikan pelayanan dan terbuka terhadap keluhan. Artinya bahwa persepsi masyarakat terhadap lembaga pemeringkat tidak begitu berdampak dan terlihat dari pernyataan konsumen bahwa dalam pemilihan suatu perguruan tinggi masih relatif sedikit yang menggunakan peringkat perguruan tinggi sebagai referensinya. Aspek-aspek yang dinilai penting oleh masyarakat terkait dengan berbagai atribut dalam pemilihan perguruan tinggi, antara lain terkait dengan aspek harga (biaya), reputasi, lokasi, manajemen, dosen, suasana kuliah, penelitian, alumni, gengsi, mudah lulus, sarana prasarana, dan kesesuaian dengan minat.

Reputasi dan Preferensi Masyarakat

Hasil penelitian menyangkut penilaian preferensi masyarakat terhadap atribut pemilihan perguruan tinggi; mengungkapkan bahwa urutan pertama kepentingan dalam pemilihan perguruan tinggi adalah reputasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam pemilihan perguruan tinggi, variabel reputasi atau nama baik merupakan unsur utama yang diinginkan responden seperti; banyak mahasiswanya berprestasi, banyaknya alumni yang terserap di dunia kerja, banyak prestasi baik dalam maupun luar negeri yang ditorehkan oleh mahasiswanya maupun dosen-dosennya.

Urutan kepentingan kedua yang dinilai responden adalah aspek sesuai minat.
Responden menginginkan bahwa perguruan tinggi yang dipilih karena program studinya
sesuai dengan minatnya, tidak memilih perguruan tinggi semata, namun lebih pada
program studi yang sesuai dengan minatnya. Kemampuan dan kualitas dosen berada pada urutan ketiga dan sangat berkaitan dengan reputasi dari perguruan tinggi. Menurut responden, biaya hasil penelitian berada pada urutan kepentingan kesebelas, artinya bahwa preferensi masyarakat terhadap perguruan tinggi bukan karena jumlah atau kualitas penelitian perguruan tinggi. Aspek gengsi, hanya sedikit masyarakat yang memilih perguruan tinggi karena gengsi.

Preferensi tertinggi dalam memilih perguruan tinggi adalah reputasi perguruan tinggi dan kesesuaian program studi yang dipilih dengan minatnya. Mencapai dan memiliki reputasi positif serta unggul perguruan tinggi swasta adalah suatu perjalanan yang sangat panjang dan sukar untuk direalisasikan dan mempertahankanya merupakan detik demi detik yang sangat berat. Faktor kejujuran terhadap mahasiswa sebagai bagian integral dari masyarakat merupakan faktor yang terpenting pada bagian terdepan, sehingga kemampuan perguruan tinggi sesuai dengan slogan–slogan yang dipublikasikan, bukan slogan bodong yang hanya digunakan saat penerimaan mahasiswa baru.

Diskusi mengapa perguruan tinggi swasta harus bereputasi adalah diskusi yang
sangat panjang dan mungkin tidak pernah berujung dan charta sebagaimana yang
dikemukakan perlu penjabaran yang sangat luas dan mendalam. Makna yang terpenting bahwa perguruan tinggi swasta harus bereputasi adalah berkaitan dengan kelangsungan hidup. Sekali masyarakat mencap perguruan tinggi bereputasi negatif seperti lulusan jarang yang mampu meraih pekerjaan dalam masa tunggu satu tahun setelah lulus dan banyaknya pengangguran, serta kekecewaan para alumni, biaya SKS yang lebih tinggi dibandingkan perguruan tinggi lain, dan tidak sesuai dengan pelayanan serta sarana dan prasarana yang diterima mahasiswa, apresiasi yang tidak ada atas prestasi mahasiswa dan dosen, terdapat dosen–dosen yang kompentensinya tidak sesuai dengan program studi, banyaknya dosen yang berkompenten dan berkualitas mengundurkan diri, PHK, pensiun.

 

Kisah Raih Program Essence, Tekuni Writerpreuner

Program Essence memang belum familier bagi kita. Adalah UK-Indonesia Tech Hub
yang merupakan inisiatif Pemerintah Inggris untuk mendukung pertumbuhan Ekosistem Teknologi Indonesia. Salah satu program yang telah diluncurkanadalah program Essence yang merupakan produk pengembangan untuk UMKM Indonesia dalam bertransformasi digital. Program Essence yang diluncurkan oleh Duta Besar Inggris untuk Indonesia
dan Timor Leste, Owen Jenkins ini bertujuan untuk mengembangkan inovasi dan wirausahawan menuju inklusif digital. Pemerintah Inggris memang terus memprioritaskan secara global upaya-upaya mengentaskan kemiskinan dan menumbuhkan ekonomi, khususnya bagi anak muda, perempuan dan disabilitas di Indonesia, Dalam sambutan pada para peserta program Essence, Owen Jenkins menyampaikan: “Saya berharap Anda semua mengikuti materi dengan seksama dan menjadi pengusaha yang inovatif dan sukses di waktu yang telah tepat,”. Sebuah pemicu semangat yang simpatik bagi para peserta.

Program Essence menarik sekitar 2.500 pendaftar dari seluruh Indonesia yang berminat ambil bagian dalam program tersebut. Tetapi, hanya 100 peserta yang terpilih mengikuti program ekslusif tersebut dengan pembagian grup yang dibimbing oleh masing-masing mentor. Adalah Ilham Maulana salah satu yang lolos sebagai peserta program Essence. Setelah melalui proses pembekalan tersebut pada grand-final hanya dipilih 10 peserta terbaik dari total 100 orang terpilih tersebut. Dimana Ilham Maulana salah satunya.

Program Essence sendiri merupakan kerjasama antara Pemerintah Inggris dengan UNDP
Indonesia, Archipelagic & Island States Forum, serta Yayasan Semesta Nusantara dalam rangka meluncurkan program pengembangan bisnis bagi UMKM Indonesia. Ada 20 orang pakar dari industri yang membimbing dan menyampaikan materi bagi para peserta mencakup: pemasaran, hukum, finansial dan kewirausahaan. Para peserta Program Essence mendapatkan materi eksklusif meliputi 6 bidang, yaitu: Dasar pembukuan dan Manajemen Keuangan untuk UMKM, Keamanan Digital dan Pembayaran Digital, Legalitas dan Sertifikasi, Strategi Branding, Pemasaran Digital, Market Place dan Media Promosi.

Selama mengikuti program, para peserta telah ditentukan dan dibagikan berdasarkan
kelompok dan mentornya masing-masing. Saat itu, 18 November 2021 panitia sedang melakukan seleksi peserta pilihan, hingga akhirnya Ilham Maulana mendapat pesan email khusus dari Essence “Selamat Anda terpilih mengikuti Program Essence Inovasi Digital dan Pengembangan Ekonomi Digital UMKM” pada tanggal 24 Desember 2021, dan acara akan dimulai dari tanggal 6 Januari sampai dengan 22 Maret 2022.

Ilham Maulana termasuk dalam kelompok 5 dengan mentor Yusron Nur Kholis bersama
20 orang peserta lain. Yusron salah seorang konsultan bisnis dan bekerja di agen travel umroh bernama AFI Tour. Materi pertama yang telah ditetapkan membahas mengenai Dasar Pembukuan dan Manajemen Keuangan UMKM. Materi tersebut berkaitan dengan latar belakang Ilham yang pernah menempuh jurusan Akuntansi di Universitas Widyatama sejak 2013 sampai dengan 2017. Kini, Ilham terjun sebagai seorang penulis novel dengan karya sastra perdana berjudul “ILHAM” diambil dari namanya sendiri yang merupakan singkatan dari “In the Letter of the Human Angel Messenger” atau yang berarti di dalam surat terdapat pesan human angel. Seorang penulis pada dasarnya akan berhadapan dengan wirausaha bisnis. Apalagi saat akan mencetak buku dengan berbagai pengeluaran, dan tentu saja transaksi-transaksi tersebut harus dicatat agar berimbang dan terhindari dari kerugian antara modal pengeluaran dan balik modal. Pilihan Ilham sebagai writepreneur dimana kemampuan menulisnya dijadikan ladang bisnis, yakni sebagai konsultan kepenulisan, pemateri buku, copywriter dan sejenisnya.

Selama kegiatan berlangsung, para peserta diminta berperan aktif dan memanfaatkan
acara eksklusif ini sebagai sarana interaktif dalam seputar usaha bisnisnya. Apalagi dengan
pengusaha bisnis satu sama lain, sehingga bisa memanfaatkan fasilitas yang ditawarkan para peserta merupakan seorang konsultan Pemerintah Inggris untuk memajukan perekonomian UMKM Indonesia di masing-masing daerahnya.

Wawancara dalam yang dilakukan oleh Ibu Fitri Sukmawati, S.E.,M.M.,Ak.,CA yang
merupakan dosen pendahulu berkata,“Wah keren sekali, Ilham. SELAMAT YA! Kamu memang luar biasa. Bagaimana perasaanmu selama mengikuti mentoring ekslusif ini yang cukup panjang?, tentu saja menikmatinya bukan?” Ilham menjawab: “Tentu saja aku senang sekali ibu…. bahwa aku bisa terpilih dalam acara ekslusif ini yang dipersembahkan oleh Pemerintah Inggris melalui UK – Indonesia Tech Hub. Saya tergabung pada Group Essence 5 yang dibimbing Pak Yusron Nur Kholis dan didampingi oleh Nn. Kiran. Semua rekan digrup-aku kebetulan asyik-asyik, selain sang mentor yang super ramah, dan responsif terhadap para peserta group Essence 5 untuk saling berdiskusi. Bahkan Pak Yusron sendiri mewanti-wanti dengan dipertemukan kita ke dalam komunitas ini, diharapkan dapat juga menjalin network yang luas. Sebab, semakin banyak network kenalan, peluang rezeki datang kepada kita dari arah yang tak disangka-sangka. Dengan latar belakang yang pernah Ilham tempuh, serta kompetensi kesarjanaan Ekonomi-nya, ia dapat menemukan intisari selama mengikuti program ekslusif Essence. Apalagi materi yang diberikan sesuai yang pernah diterima semasa kuliah. Namun menurut Ilham, materi yang disajikan sang moderator Essence lebih realistis dan praktis untuk diterapkan selaku praktisi di dunia lapangan. Yusron Nur Kholis, selaku moderator atau pembimbingnya berkata bahwa, ”Materi perkuliahan yang selama kita tempuh sekalipun di bidang yang linear, bisa saja kita lupa dan tak semua materi perkuliahan meski kita kuasai. Hal itu hanya sebagai nilai plus. Karena, saat kita terjun di lapangan tetap saja kita harus paham dan tahu fokus arah kita mau dibawa kemana”. Bahkan, aku sendiri masih tak percaya sampai sekarang, jika aku menduduki peringkat 1 dari 10 pemenang terbaik selama mengikuti kegiatan mentoring dan training ekslusif ini. Selain dapat ilmu dan networking, serta hadiah yang telah mereka konfirmasi padaku. Wah…. senengnya!”.

“Dari 2.500 orang yang mendaftar, hanya 10 orang terbaik yang terpilih sebagai
pemenang, ditambah lagi kamu adalah pemenang nomor 1 di seluruh Indonesia, tentu saja ini ekstra kompetitif. Apa yang membuat kamu antusias sekali hingga bisa memenangkan ini semua?,” tanya ibu Fitri. “Baiklah, terima kasih mewawancari saya. Program Essence ini erat kaitannya dengan konsentrasi saya kuliah Akuntansi Manajemen. Apalagi pernah membaca buku tentang “Management Accounting in Digital Economics” yang diterbitkan oleh Oxford Press University, Universitas Oxford. Selain itu, kebetulan saya juga sedang melakukan riset tentang University of Oxford dan University of Cambridge dalam rangka membuat karya sastra novel fiksi untuk edisi ke-4 hingga seterusnya. Bahkan, saya berharap karya sastra ini mendapat apresiasi dari Pemerintah Inggris. Seringkali saya berharap suatu hari nanti ingin tercapai mimpi bisa kuliah di antara 2 univesitas top dunia itu, Oxford atau Cambridge. Kalo kata orang, mau masuk ke dua kampus ini harus pintar, IPK tinggi, Bahasa Inggris harus Higher Level, punya prestasi internasional, dan sebagainya, tapi selama masih ‘katanya’ …. ya jangan ditelan mentah- mentah langsung. Ada cara bagaimana seseorang untuk meraih itu dengan masing-masing keunggulannya. Just be yourself!. Jadi, aku anggap aja sekalian latihan mental karena bisnispun di lapangan kehidupan bisa saja jauh lebih keras dan tak terduga-duga peristiwa apa yang akan terjadi. Kalau yang sudah didapat selama perkuliahan menurutku belum ada apa-apanya ya, masih kulit saja! Kalo sudah terjun ke lapangan akan tahu bagaimana rasanya.” terang Ilham.

“Kamu memang berbakat dan tetap bisa menjaga produktifitasmu, nak! Lanjutkan!
Bisakah kamu menceritakan sesuatu spesial apa yang ingin kamu sampaikan? Siapa tahu ini bermanfaat bagi banyak orang. “Saya baru saja beres membuat novel seri 1 “THE LAND OF PASUNDAN WAS BORN WHILE GOD WAS SMILING” atau “BUMI PASUNDAN LAHIR SAAT TUHAN SEDANG TERSENYUM” dalam bahasa Inggris yang memang ini ditujukan untuk dipasarkan ke Luar Negeri. Saya akan membuat cerita novel saya seperti J.K Rowling – Harry Potter secara time- series. Nah, nanti di tengah hingga akhir cerita itu akan menceritakan kuliah ke Luar Negeri di Universitas Oxford atau Cambridge. Jadi, saya juga mau memperkenalan cagar budaya Sunda sekaligus pertukaran lintas budaya dengan beberapa negara di Eropa, khususnya Britania Raya.”

Adapun sisi menarik yang ia alami bagi kebanyakan orang akan sulit dipercaya, namun
masing-masing keunikan setiap insan yang dimiliki patut kita apresiasi. “Kalau difilm Harry Potter itu kan sosok dirinya adalah seorang murid bertalenta dan pintar yang dicintai oleh professor-professor di sekolahnya, nah itu memang terjadi kehidupan dunia nyata pada diri saya. Saya dulu anak mantan kelas unggulan yang pernah diberi kasus spesial oleh Sang Professor, saat itu mulanya ingin ambil kelas internasional, tetapi minim peminat akhirnya dialihkan ke kelas unggulan hingga akhirnya saya memilih independent study.
Saya tak seperti kebanyakan mahasiswa lainnya yang biasanya bareng-bareng, sebab perkuliahan yang kita jalani adalah kesadaran diri kita masing-masing. Apalagi, saya juga punya jejak rekam prestasi internasional waktu lomba IMUN – International Model United Nations 2016 sebagai Press-Konferensi dengan channel NEW YORK TIMES yang kebetulan kampus saya, Universitas Widyatama, pernah bekerjasama dengan Troy University, Alabama, United States.” Lanjut Ilham.

Segala dokumentasi, rekaman dan materi yang sudah disajikan selama 2 bulan berturut-
turut, Ilham pun menyimpan file-file tersebut dengan baik. Sebab, jika sewaktu-waktu
diperlukan, ia akan terus ingat atas apa yang pernah dilakukannya. Sebagai seorang praktisi atau konsultan bisnis tentu saja ini adalah langkah yang matang untuk perbekalan menghadapi dunia lapangan. Menariknya lagi, jika ingin lanjut studi S2 M.B.A atau jurusan yang berkenaan dengan bisnis dimana mayoritas mahasiswa maupun tenaga pengajar adalah sesama seorang profesional praktisi. Beruntung sekali jikalau dirinya sudah keputusan yang tepat semasa kuliahnya telah menempuh konsentrasi Akuntansi Manajemen yang sekarang ini sedang ia jalani sebagai seorang praktisi/konsultan bisnis. Bahkan, diantara konsentrasi-konsentrasi akuntansi lainnya, dapat dikatakan Akuntansi Manajemen adalah yang paling spesial lebih leluasa cakupannya. Sebab, Akuntansi Manajemen dapat diukur dengan pendekatan finansial maupun non-finansial. Disinilah non finansial turut berperan akan perkembangan yang pesat terhadap Akuntansi Manajemen, karena disiplin ilmu yang melandasi bisa lintas seperti ilmu psikologi, ilmu sosial, ilmu politik dan sebagainya. Berbeda dengan Akuntansi Keuangan, Pajak, Sektor Publik yang
mana cakupannya ini masih bisa dikatakan bagian dari Akuntansi Manajemen. Bila ingin
menjadi pengusaha, membuka bisnis, ataupun menduduki posisi middle hingga top management maka pilihan yang tepat jika pilih Akuntansi Manajemen sebagai konsentrasi kuliah. Tapi, semua itu balik kembali kepada masing-masing individu.

“Tapi, saya belum tahu pasti mau ambil apa nanti. Yang penting ikuti kata aja sesuai
passion akan terasa nikmat menjalaninya. Minat saya sebetulnya ingin ambil rumpun
Humaniora, Sastra dan Ilmu Sosial hehe karena perjalanan karir saya sudah terlampau jauh di dunia tulis menulis, jurnalis yang kebetulan berkenaan dengan sastra….,” ungkap Ilham penuh sukacita. (Ilham Maulana)

 

E-Magazine-34

0

 

Sudahkah PTS Melaksanakan Penganggaran Berbasis Kinerja ?

0

Penganggaran Berbasis Kinerja merupakan metode penganggaran bagi manajemen untuk mengaitkan setiap biaya yang dituangkan dalam kegiatan-kegiatan dengan manfaat yang dihasilkan. Manfaat dideskripsikan pada seperangkat tujuan dan sasaran yang dituangkan dalam target kinerja pada setiap unit kerja”

Oleh: Lili Irahali *)

ADA perasaan prihatin di tengah upaya kita meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia yang merupakan kunci bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa. Sekitar 60 % PTS di Indonesia saat ini dalam kondisi kurang sehat. Padahal perguruan tinggi yang melaksanakan pendidikan tinggi harus mewujudkan kualitas dirinya.

Negeri ini memiliki lebih dari 3.115 PTS yang mendidik 4,4 juta mahasiswa (52 %)  serta melibatkan lebih dari 182.844 dosen (59 %). Sementara PTN mendidik 2,9 juta (35 %) mahasiswa dan melibatkan 82.608 (27 %) dosen. Namun 60 % dari 3.115 PTS tersebut dalam posisi lemah. Artinya sebagian besar PTS kesulitan meningkatkan mutu pendidikan dan kesehatan lembaganya. Sehingga upaya menjalankan proses pendidikan dan pengajaran yang terjamin dengan manajemen mutu yang baik sangat terkendala. Apa yang bisa kita lakukan bagi perberdayaan sebagian besar PTS tersebut.

Pendidikan tinggi merupakan industri mulia (noble industry) yang bersifat nirlaba, besar, kompleks dan terus berubah, serta tidak ada ukuran tunggal untuk industri nirlaba ini.

PTS sebagai salah satu lembaga pendidikan tinggi dituntut melakukan pengelolaan yang tepat, termasuk dari sisi pendanaan dan penganggaran.

Penganggaran dari sumber pendanaan mahasiswa maupun sumber lainnya patut dikelola secara optimal dalam mendukung tujuan pendidikan tinggi dan pendirian PTS tersebut.

Penganggaran pendidikan memang harus dikembalikan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Karena itu, pengelolaan penganggaran memiliki arti strategis bagi perguruan tinggi (baca – PTS) sebagai bentuk menjaga kualitas dan keberlanjutan pendidikan.

Karena itu pengelolaan PTS yang tepat perlu menggunakan cara inovatif, serta harus lebih akuntabel terhadap kinerjanya.

Organisasi Nirlaba.

Melkers J. (2003) mengatakan bahwa perguruan tinggi, seperti organisasi nirlaba (non-profit) lainnya, harus memonitor kualitas keluaran (output)pendidikan dan penelitiannya, atau mengawasi relevansi programnya, juga penggunaan subsidi publik di ranah perguruan tinggi.

Ini jelas membutuhkan sistem manajemen berbasis-kinerja, dan juga mekanisme alokasi terkait-kinerja, guna mendukung penggunaan sumberdaya publik secara efisien.

Penerapan penganggaran berbasis kinerja/PBK pada perguruan tinggi saat ini masih belum optimal dan efektif  karena masalah ukuran kinerja yang tepat, atau baru sebatas untuk memenuhi peraturan perundangan (Suryanto & Kurniati, 2020), sebagaimana diatur peraturan Nomor 21 Tahun 2004 terkait praktek manajemen publik, salah satu fokusnya adalah mendorong PTS menerapkan praktek penganggaran berbasis kinerja/PBK (performance-based budgeting)  yang dilaksanakan secara bertahap mulai tahun 2005. Konsepsi penerapan PBK akan mendorong peningkatan kinerja PTS.

Penelitian Yuli Anggraini (2016) membuktikan banyak PTS belum menerapkan Perencanaan berbasis outcome yang diikuti dengan Penganggaran Berbasis Kinerja/PBK (performance-based budgeting)karena banyak hal yang menjadi prasyarat dalam keberhasilan penerapan anggaran yang disusun berdasarkan kinerja.

Ia merekomendasikan PTS agar memahami hal-hal yang berkaitan dengan: 1) pembuatan pedoman/acuan rinci pelaksanaan PBK; 2) komitmen dan arahan pimpinan di semua level untuk melaksanakan sistem PBK; 3) sosialisasi dan pelatihan rutin bagi pimpinan maupun staf mengenai PBK; 4) penetapan tupoksi, SOP dan SPM pada setiap unit kerja di lingkungan PTS;  5) monitoring, pengendalian dan arahan pimpinan terkait pelaksanaan tupoksi dengan tujuan mencapai efektifitas dan efisiensi dalam pekerjaan.

Dalam konteks pendidikan tinggi, pengertian kualitas pendidikan mencakup tiga aspek dasar yaitu: masukan (input), proses pendidikan, dan keluaran (output) pendidikan yang perlu mendapat perhatian.

Dari tiga aspek tersebut terdapat sepuluh indikator meningkatkan kualitas sebuah perguruan tinggi, yakni: Tata Kelola/Administrasi, Pengabdian pada Masyarakat, Kurikulum Program Studi, Proses Pembelajaran, Sumber Daya Manusia, Suasana Akademik, Penelitian dan Publikasi, Kemahasiswaan, Manajemen Pembiayaan/Penganggaran, serta Prasarana dan Sarana.

Sistem penganggaran yang meskipun sebagian dari sub-sistem di perguruan tinggi, namun memainkan peran strategis dalam mendukung peningkatan kualitas perguruan tinggi.

Pengelolaan pembiayaan/penganggaran  biaya pendidikan yang baik merupakan salah satu faktor kunci keberhasilan dalam meningkatkan kualitas pendidikan (Anwar Abidin 2017).

Manajemen Pembiayaan/Penganggaran adalah salah satu indikator sangat signifikan. Karena melibatkan internal manajemen perguruan tinggi  dalam hal biaya yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan pendidikan dan pembelajaran berkualitas.

Setiap upaya meningkatkan kualitas pendidikan tinggi membutuhkan pembiayaan/penganggaran. Biaya yang dibutuhkan mengakibatkan mahasiswa atau calon mahasiswa menanggung biaya pendidikan tersebut.

Sementara penetapan biaya pendidikan bagi mahasiswa harus berada dalam batas kewajaran dan memperhatikan faktor kebutuhan. Juga perlu evaluasi berkala terhadap besaran biaya tersebut.

Selanjutnya alokasi dana disesuaikan dengan prioritas kebutuhan dan berorientasi pada peningkatan kualitas. Terakhir harus ada pertanggungjawaban pengunaan dana secara berkala.

Implementasi penganggaran berbasis kinerja/PBK bukan sekedar alat untuk merencanakan anggaran yang bertindak sebagai alat strategis untuk mengendalikan tujuan akhir kegiatan yang dilakukan sesuai visi, misi, dan tujuan perguruan tinggi (Jones et al., 2013).

ALat Strategi.

Penganggaran berbasis kinerja/PBK merupakan alat strategi yang dapat menyelaraskan tujuan individu dengan organisasi. Sebagai pendekatan yang berorientasi pada hasil yang akan dicapai dalam penetapan alokasi sumberdaya. Secara konsepsi, penganggaran berbasis kinerja/PBK sangat logis karena ada hubungan yang rasional antara penyediaan sumberdaya dengan hasil yang diharapkan.

Keberhasilan menerapkan sistem penganggaran berbasis kinerja/PBK tergantung pada kompetensi manajemen sebagai sumberdaya.

Memang terdapat hubungan tidak langsung antara kompetensi manajemen dengan kualitas perguruan tinggi. Namun sumberdaya yang berkualitas akan mempengaruhi kinerja perguruan tinggi melalui penerapan sistem penganggaran yang berperan sebagai kontrol.

Landasan teori yang mendasari penerapan PBK adalah: 1) output and outcome oriented; 2) money follow function; dan 3) let the manager manages. PBK merupakan suatu metode pengganggaran yang menghubungkan antara alokasi anggaran dengan hasil-hasil yang akan dicapai.

Ada tiga jenis performance-based budgeting.  Pertama, presentational budgeting yaitu suatu bentuk penganggaran yang mensyaratkan informasi-informasi kinerja dalam proses penganggaran. Akan tetapi informasi-informasi kinerja dimaksud belum dipakai sebagai dasar dalam menentukan besaran alokasi anggaran.

Kedua, performance informed budgeting adalah format penganggaran yang sudah menggunakan informasi kinerja dalam proses pengambilan keputusan untuk pengalokasian anggaran namun tidak secara otomatis mempengaruhi jumlah alokasi anggaran.

Ketiga, direct performance budgeting yaitu format pengangggaran yang telah secara langsung menghubungkan informasi kinerja terhadap kebijakan pengalokasian anggaran (Kelly and Wanna 2000; OECD 2007).

gar pelaksanaan PBK dapat meningkatkan kualitas anggaran, perlu tersedia informasi dan fakta dalam pengambilan keputusan. Tahapan proses pelaksanaan PBK sampai pada pengumpulan “informasi kinerja” merujuk pada laporan penelitian yang dilakukan oleh Christiane Lorenz (Lorenz 2012), terjabarkan: 1) menyusun rencana strategis organisasi jangka menengah (3-5 tahun); 2) membuat rencana operasional tahunan; 3) eksekusi anggaran kinerja tahunan; 4) melakukan pengukuran kinerja; 5) monitoring dan evaluasi pelaksanaan anggaran; 6) comprehensive spending review/CSR atau public expenditure review.

CSR biasanya berakibat pada pemotongan anggaran jika terjadi duplikasi, inefisiensi dalam pelaksanaan anggaran. Singkatnya, PBK dapat mencapai tujuannya apabila para pembuat kebijakan menggunakan “informasi kinerja” yang kredibel dalam menentukan besaran alokasi anggaran.

Akhirnya Penganggaran Berbasis Kinerja/PBK memang menjadi salah satu faktor yang menentukan dalam meningkatkan mutu perguruan tinggi, karena dengan transparansi dan akuntabilitas maka akan menumbuhkan kepercayaan pemangku kepentingan (stakehoulder), serta menjadi motivasi setiap sivitas akademika sesuai areanya masing-masing untuk meningkatkan kinerja PTS. Wallahualam.***

*) (@lee) – Pemerhati Pendidikan Tinggi

sumber: https://cirebon.pikiran-rakyat.com/pendidikan/pr-045868841/sudahkah-pts-melaksanakan-penganggaran-berbasis-kinerja?page=1