Friday, August 8, 2025
Home Blog Page 4

Green Curriculum, Perguruan Tinggi & Dampak Positif

0

Green Curriculum merupakan upaya pendidikan dalam rangka menjawab tantangan
perubahan iklim dengan tujuan menciptakan kesadaran lingkungan dan memberdayakan
generasi muda menghadapi tantangan perubahan iklim. Green curriculum melibatkan
perubahan dan sistem pendidikan yang memprioritaskan topik lingkungan, keberlanjutan dan
perubahan iklim. Green curriculum sebagai upaya mengintegrasikan prinsip-prinsip
keberlanjutan ke dalam kurikulum perguruan tinggi. Green curriculum didefinisikan sebagai
program dan proses pendidikan that incorporates principles of sustainability enables all people
to become effective, engaged, global citizens by empowering them with the knowledge, values
& skills to promote a future that is socially just, and humane, economically viable, ecologically
sound, supporting healthy quality of life and holistic well-being” (Sustainable Peralta Green
Curriculum Subcommittee, 07 Nov 2006).
Berkaitan dengan tantangan mencapai SDGs Indonesia menuju 2030 yang mencakup:
1) Kesenjangan Wilayah, disparitas pembangunan antara daerah perkotaan dan pedesaan; 2)
Pendanaan, keterbatasan sumber daya finansial untuk pembiayaan berbagai program SDGs; 3)
Kapasitas Institusional, keterbatasan kapasitas di tingkat lokal mengimplementasikan dan
memantau pencapaian SDGs; 4) Perubahan Iklim, ancaman perubahan iklim yang dapat
mempengaruhi berbagai sektor pembangunan. Merujuk Peta Jalan SDGs Indonesia secara
langsung green curriculum mencakup upaya mencapai:
1) SDG-4, Pendidikan Berkualitas: mendorong akses pada pendidikan yang mendukung
keberlanjutan, termasuk metode pembelajaran yang inovatif dan inklusif.
2) SDG-13, Penanganan Perubahan Iklim: melakukan riset yang berkontribusi pada solusi
perubahan iklim dan mengajarkan mahasiswa tentang dampak perubahan iklim.
3) SDG-11, Kota dan Komunitas Berkelanjutan: perguruan tinggi dapat bekerja sama dengan
pemerintah untuk mengembangkan kebijakan lokal yang mendukung keberlanjutan.
4) SDG-12, Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab: mendorong pola konsumsi yang
bertanggung jawab di kampus serta mengembangkan riset terkait produksi berkelanjutan.
Sedang secara tidak langsung green curriculum mencakup dampak pada: SDG-1, SDG-
2, SDG-3, SDG-6, SDG-7, SDG-8, SDG-9, SDG-10, SDG-16, dan SDG-17.
Peta Jalan SDGs Indonesia Terkait Green Curriculum

1. Pendidikan Berkualitas (SDG 4):
 Program dan Inisiatif: Program Indonesia Pintar, Wajib Belajar 12 Tahun, dan Peningkatan Kualitas
Pendidikan Tinggi.
 Target: Memastikan semua anak mendapatkan akses pendidikan dasar dan menengah yang gratis,
setara, dan berkualitas.
2. Kota dan Komunitas Berkelanjutan (SDG 11):
 Program dan Inisiatif: Pengembangan Kota Cerdas (Smart City), Peningkatan Transportasi Umum, dan
Perencanaan Perkotaan yang Berkelanjutan.
 Target: Meningkatkan kualitas hidup di perkotaan dan memastikan pembangunan kota yang inklusif dan
berkelanjutan.
3. Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab (SDG 12):
 Program dan Inisiatif: Program Pengelolaan Limbah, Promosi Konsumsi Berkelanjutan, dan Edukasi

tentang Produksi Ramah Lingkungan.
 Target: Mengurangi separuh sampah makanan per kapita dan memastikan pola konsumsi dan produksi
yang berkelanjutan.
4. Penanganan Perubahan Iklim (SDG 13):
 Program dan Inisiatif: Program Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim, Penghijauan, dan Pengurangan
Emisi Gas Rumah Kaca.
 Target: Mengurangi emisi karbon hingga 29% (dengan upaya sendiri) atau 41% (dengan bantuan
internasional) pada tahun 2030.
Peran dan Kontribusi Perguruan Tinggi
Menjawab tantangan pendidikan tinggi terkait green curriculum, perguruan tinggi dapat
berperan aktif dalam tiga hal utama: penyusunan kurikulum, pengembangan infrastruktur ramah
lingkungan, dan penelitian serta pengabdian masyarakat yang mendukung keberlanjutan.
Upaya mengintegrasikan prinsip-prinsip keberlanjutan ke dalam kurikulum perguruan tinggi
dapat dilakukan melalui:
• Kurikulum Berbasis Keberlanjutan: menyusun program studi yang mencakup topik-topik
seperti ekologi, perubahan iklim, energi terbarukan, dan pengelolaan sumber daya alam.
• Pembelajaran Interdisipliner: menggabungkan ilmu sosial, sains, dan teknologi dalam
memahami isu keberlanjutan dari berbagai sudut pandang.
• Penerapan Teori ke Praktek: mengadakan kegiatan yang memungkinkan mahasiswa terlibat
langsung, seperti praktik lapangan, program magang pada lembaga yang bergerak di bidang
lingkungan, dan proyek penelitian keberlanjutan.
Nana Supriatna mengilustrasikan green curriculum dalam pelajaran sejarah
mencontohkan dalam dua hal: Pertama, sebagai pendekatan untuk memilih materi pelajaran
sejarah tentang masalah lingkungan hidup, kerusakan lingkungan, bencana kemanusiaan,
pemanasan global yang berlangsung dalam perjalanan sejarah umat manusia yang disebabkan
oleh adanya hegemoni pemilik kuasa (power) atas kelompok lain. Kedua, sebagai cara
pandang kritis (critical theory) yang relevan dengan pemikiran postmodernism tentang
pentingnya otonomi para siswa untuk menentukan jalan hidupnya pada masa yang akan
datang, tentang pentingnya menggali kearifan lokal masyarakat (termasuk sejarah lokal) dalam
beradaptasi dengan lingkungan hidup, serta tentang pentingnya mengembalikan posisi biner
(binari) kepada masyarakat setempat (masyarakat lokal) seperti diungkap oleh para pendukung
postcolonial theory. Cara pandang kritis tersebut difasilitasi dengan menggunakan konsep
dalam ecopedagogy sebagai bagian dari critical pedagogy (Nana Supriatna – Universitas
Pendidikan Indonesia, Agustus 2017).
Dampak Positif Green Curriculum
Perguruan tinggi sudah merasakan dampak positif penerapan green curriculum.
Program-program keberlanjutan yang mereka integrasikan ke dalam kurikulum dan aktivitas
kampus telah memberikan hasil signifikan, baik dalam hal perubahan perilaku mahasiswa
maupun dalam kinerja institusi. University of Queensland berhasil meraih Penghargaan Green
Gown pada 2021 untuk inisiatif pengurangan karbon, serta rating Silver dalam STARS yang
mengakui performa keberlanjutan mereka di tingkat internasional. Gothenburg University dan
Wageningen University telah melaporkan peningkatan dalam efisiensi energi dan pengurangan
emisi sebagai bagian dari program green curriculum, juga mencatat pengurangan penggunaan

plastik sekali pakai di laboratorium dan kampus. Wageningen University telah menghasilkan
lulusan yang berperan penting dalam penelitian lingkungan global dan pengembangan teknologi
hijau. Banyak alumninya bekerja di organisasi internasional untuk menyelesaikan masalah
keberlanjutan pangan dan lingkungan. Kyoto University memperkenalkan kurikulum
keberlanjutan yang berfokus pada adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, serta pengelolaan
sumber daya air. Kurikulum ini melibatkan mahasiswa dalam riset tentang teknologi energi
terbarukan, kebijakan lingkungan, dan mitigasi bencana. Lulusan Kyoto kini bekerja di sektor
energi, pemerintahan, dan organisasi internasional, dan mereka turut serta dalam
pengembangan kebijakan lingkungan Jepang yang lebih ketat. Perguruan tinggi ini telah diakui
sebagai model penerapan green curriculum di Asia Timur.
Penerapan green curriculum memberi dampak menguntungkan tidak hanya perguruan
tinggi, tetapi juga masyarakat luas, terutama pada:
• Peningkatan Kesadaran Lingkungan: mahasiswa dan masyarakat menjadi lebih sadar akan
pentingnya menjaga lingkungan dan peran mereka dalam upaya keberlanjutan.
• Pengembangan SDM Ramah Lingkungan: lulusan yang memiliki pemahaman kuat terhadap
isu lingkungan dan kemampuan menerapkan praktik berkelanjutan di dunia kerja.
• Inovasi dalam Teknologi Hijau: riset-riset yang dihasilkan perguruan tinggi berpotensi
menghasilkan teknologi ramah lingkungan dan solusi inovatif untuk tantangan lingkungan,
serta menghasilkan teknologi energi terbarukan dan praktik keberlanjutan yang dapat
diadopsi oleh industri dan masyarakat.
• Kebijakan Pemerintah yang Lebih Berwawasan Keberlanjutan: banyak lulusan perguruan
tinggi berkontribusi dalam kebijakan publik yang mendukung praktik ramah lingkungan di
sektor energi, transportasi, dan pengelolaan limbah.
• Masyarakat yang Berkelanjutan: adanya tenaga ahli di bidang keberlanjutan, masyarakat
dapat lebih cepat beradaptasi dengan kebijakan yang mendukung keberlanjutan lingkungan,
baik di sektor industri, pemerintahan, maupun pendidikan.
Implementasi green curriculum akan semakin relevan seiring dengan kebutuhan untuk
mencetak lulusan yang dapat menjadi pionir dalam pencapaian keberlanjutan, baik di dalam
maupun di luar kampus. Green curriculum memberikan kontribusi signifikan bagi SDGs dan
masa depan keberlanjutan global, serta mempersiapkan generasi baru yang tidak hanya
memiliki kemampuan profesional, tetapi juga pemahaman mendalam akan tanggung jawab
mereka terhadap lingkungan.
Written by: lili irahali dari berbagai sumber: https://sdgs.bappenas.go.id/, Sterling, S. (2002), Cortese,
A.D. (2003), Leal Filho, W., et al. (2018), Clugston, R.M., & Calder, W. (2000), Nana Supriatna. (2017).

Green Curriculum Menuju Keberlanjutan

0

Prof. Dr. Ratih Hurriyati, M.P., CSBA.
Guru Besar UPI, Wakil Direktur Bidang Sumber daya, Keuangan, dan Umum

Majalah Komunita: Perubahan iklim harus disikapi, apa maknanya
berkaitan dengan pendidikan tinggi dan kurikulum?
Prof. Ratih: The Brundtland Report mendefinisikan sustainable
development sebagai “development that meets the needs of the present
without compromising the ability of future generations to meet their own
needs” (United Nations 1987). Karena itu, penting bagi kita membantu
memastikan bahwa dunia akan terus mempunyai cukup air, material,
dan sumber daya lainnya untuk sistem kehidupannya. Hal ini juga
berarti setiap pembangunan harus memerlukan keseimbangan yang
baik antara kondisi ekonomi, sosial, dan lingkungan. Sejak terbitnya
Laporan Brundtland, keberlanjutan telah menjadi salah satu perhatian
utama lembaga pemerintah, perusahaan, dan organisasi lainnya.
Deklarasi Stockholm tahun 1972 telah membahas tentang
Keberlanjutan dalam Pendidikan Tinggi. Deklarasi fokus pada menemukan cara agar
perguruan tinggi, pimpinan, dosen, peneliti, dan mahasiswa dapat menggunakan
sumber daya mereka dalam menanggapi tantangan dalam menyeimbangkan antara
upaya manusia untuk pembangunan ekonomi dan teknologi, dengan pelestarian
lingkungan. Foo (2013) menyatakan pendidikan tinggi merupakan kontributor besar bagi
masyarakat untuk mencapai keberlanjutan. Peneliti perguruan tinggi dapat memberikan
peringatan pertama mengenai tantangan lingkungan melalui riset mereka. Berdasarkan 2
hal tersebut maka pengembangan kurikulum, khususnya terkait kurikulum yang
mendukung keberlanjutan harus disesuaikan dengan 2 deklarasi tersebut.
Majalah Komunita: Urgensi mengintegrasikan keberlanjutan ke dalam kurikulum
perguruan tinggi saat ini?
Prof. Ratih: Memberikan landasan bagi pengembangan kurikulum sebagai perangkat
pendidikan yang terdiri dari tujuan, materi, kegiatan belajar dan lingkungan belajar yang
positif bagi perolehan pengalaman pembelajar yang relevan dengan perkembangan
personal dan sosial pembelajar (Ornstein & Hunkins, 2014, p. 128). Kurikulum harus
mampu mewariskan Pendidikan yang berkelanjutan dari satu generasi ke generasi
berikutnya di tengah terpaan pengaruh globalisasi yang terus mengikis eksistensi
kebudayaan lokal. Ascher dan Heffron (2010) menyatakan bahwa kita perlu memahami
pada kondisi seperti apa justru globalisasi memiliki dampak negatif terhadap praktik
Pendidikan keberlanjutan. Lebih jauh mereka menyampaikan bahwa kita perlu mengenali
aspek keberlanjutan untuk membentengi diri dari pengaruh globalisasi. Sejalan dengan
pendapat Plafreyman (2007) yang menyatakan bahwa masalah Pendidikan
berkelanjutan menjadi topik hangat di kalangan civitas academica di berbagai negara.
Dalam hal mana perguruan tinggi diharapkan mampu meramu antara kepentingan
memajukan proses pembelajaran yang berorientasi kepada kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi, dengan unsur keberlanjutan peserta didik.

Majalah Komunita: Menjabarkan “green curriculum” dan elemen utama yang harus ada di
dalamnya?
Prof. R a t i h : Berorientasi pada tindakan dengan memperhatikan empat konsep
elemen, yakni:
a. Memberdayakan: mendukung pemberdayaan, kemanjuran diri, dan agensi peserta didik
dengan meningkatkan keterampilan analitis, komunikasi, dan keterampilan lainnya, serta
dengan mendukung perolehan pengetahuan dan nilai-nilai yang relevan untuk
pembangunan berkelanjutan dan mengatasi perubahan iklim.
b. Berpusat pada peserta didik: pedagogi (misalnya pendekatan kritis, partisipatif,
berorientasi pada masalah, berpusat pada peserta didik, dan eksperiensial)
memungkinkan peserta didik berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran, terlibat
secara kritis dengan pengalaman pribadi dan lingkungan alami mereka, serta
membangun pemahaman mereka sendiri.
c. Terkait karier: menggabungkan praktik atau ide yang dapat diterapkan pada
pilihan karier dan praktik tempat kerja.
d. Transformatif: berkontribusi pada upaya kolektif di seluruh masyarakat, lokal, dan
global untuk mengubah perilaku manusia, sistem, dan penyebab mendasar serta
pendorong utama perubahan iklim.
Majalah Komunita: Bagaimana mengintegrasi konsep keberlanjutan secara efektif ke
dalam berbagai mata pelajaran di perguruan tinggi?
Prof. Ratih: Mengintegrasikan konsep berkelanjutan dengan mengedepankan konsep
kunci berikut:
a. Konten berkualitas
b. Akurat secara ilmiah: konten didasarkan pada bukti yang terkait dengan
perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan.
c. Menyampaikan urgensi: pendidikan penghijauan menekankan urgensi menangani
darurat iklim yang terus meningkat.
d. Sesuai usia dan perkembangan: konten responsif terhadap kemampuan anak dan
remaja yang terus berkembang seiring pertumbuhan mereka.
e. Dipengaruhi oleh masyarakat adat: pengetahuan dan perspektif masyarakat adat
dimasukkan dalam pendidikan, terutama dari kelompok masyarakat adat yang berbasis
di daerah setempat.
f. Seimbang: dimensi pembelajaran kognitif, sosial dan emosional, serta perilaku
ditangani secara seimbang untuk memastikan pendekatan holistik terhadap pendidikan
penghijauan.
Majalah Komunita: Tantangan utama perguruan tinggi dalam mengimplementasikan
green curriculum.
Prof. Ratih: Dunia menghadapi tantangan yang saling terkait dengan krisis iklim yang
membayangi sebagai ancaman eksistensial. Mengatasi tantangan ini diperlukan sistem
pendidikan yang tidak hanya mengakui realitas ini tetapi juga secara aktif mempersiapkan
individu menavigasinya dan berinovasi demi masa depan yang lebih berkelanjutan. Sistem
pendidikan nasional sering kali gagal membekali peserta didik mengatasi krisis iklim secara
efektif. Salah satu faktor penyebabnya adalah kurangnya tolok ukur yang jelas
mengembangkan kurikulum yang memberdayakan individu sebagai agen perubahan. Kita
perlu mendefinisikan apa arti sebenarnya dari pendidikan berkualitas untuk aksi hijau.
Mengacu pada kerangka kerja Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan
(ESD) untuk tahun 2030, negara-negara mengintegrasikan perubahan iklim sebagai
komponen kurikulum utama pada tahun 2030. Tujuannya adalah menanamkan pendidikan
perubahan iklim yang berkualitas secara konsisten di semua mata pelajaran.
Terdapat kerangka kerja fleksibel mendukung revisi kurikulum, yang
memungkinkan penyesuaian khusus konteks sambil mencapai tujuan pendidikan. Ini
dirancang untuk dilengkapi dengan sumber daya lain yang menerjemahkan hasil

pembelajaran dari panduan ini untuk pengembangan buku teks, pedagogi transformatif,
dan teknik penilaian. Melalui komitmen global untuk mengubah pendidikan, sehingga
dapat dipastikan bahwa semua lembaga pembelajaran secara efektif mempersiapkan
peserta didik mengatasi krisis iklim dan menciptakan solusi yang dibutuhkan
membangun masa depan yang berkelanjutan.
Majalah Komunita: Bagaimana mempersiapkan dosen dan tenaga pengajar dalam
mengadopsi dan mengimplementasikan green curriculum.
Prof. Ratih: Kurikulum pada tingkat ini harus memprioritaskan keterampilan berpikir tingkat
tinggi dari taksonomi Bloom dan menggabungkan pedagogi inovatif untuk menjelaskan
konsep-konsep kompleks secara efektif untuk memastikan pemahaman yang komprehensif
tentang ilmu dasar yang mendasari krisis iklim. Pada akhir tahap ini, peserta didik harus
mampu mengartikulasikan definisi yang jelas tentang perubahan iklim, penyebabnya,
mekanismenya, dan strategi mitigasi potensial yang didukung oleh bukti yang kuat.
Kurikulum harus mengintegrasikan diskusi tentang teknologi energi terbarukan dan
praktik berkelanjutan, seperti desain dan isolasi bangunan yang lebih baik, yang menyoroti
peran mereka dalam mengurangi ketergantungan bahan bakar fosil dan mencapai emisi nol
bersih. Selain itu, peserta didik harus mengeksplorasi dampak buruk pengasaman laut dan
peningkatan suhu pada ekosistem laut, serta peran ganda kemajuan teknologi dalam
meningkatkan produksi pangan, sekaligus menimbulkan ancaman bagi keanekaragaman
hayati.
Penting menggarisbawahi dampak perubahan iklim yang semakin meningkat
terhadap keanekaragaman hayati dan ekosistem di masa mendatang. Peserta didik harus
memahami bahwa krisis iklim berakar pada sistem ekonomi dan politik historis, yang
melanggengkan kesenjangan sosial dan ekonomi global. Ketidakadilan iklim memperkuat
ketidaksetaraan yang ada di berbagai tingkatan. Peserta didik harus mengeksplorasi
bagaimana kelompok tertentu kekurangan sumber daya untuk terlibat dalam kegiatan yang
lebih rendah polusi, dengan menekankan perlunya transisi yang adil menuju kesetaraan,
pemerataan, dan keberlanjutan. Untuk mencapai masa depan yang lebih hijau dan lebih
adil, semua pemangku kepentingan harus menerima tanggung jawab yang berbeda
berdasarkan keadilan sosial dan hak asasi manusia.
Kurikulum harus menyoroti peran gerakan sosial dan keterlibatan masyarakat dalam
mengadvokasi keadilan iklim dan menekan pemerintah memprioritaskan tindakan iklim.
Kurikulum harus menyoroti meningkatnya frekuensi dan tingkat keparahan peristiwa cuaca
dan bencana terkait perubahan iklim, dengan menggarisbawahi dampak ekonomi yang
signifikan.
Peserta didik harus membedakan antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan
berkelanjutan, dengan memahami bahwa pembangunan berkelanjutan mencakup
perubahan berkelanjutan untuk kesejahteraan secara keseluruhan. Mereka harus
menolak gagasan partum-buhan tak terbatas, dengan mengakui dampak merugikan dari
eksploitasi sumber daya yang tinggi terhadap manusia dan planet. Dengan demikian, perlu
ditekankan bahwa model pertumbuhan ekonomi dan pola konsumsi saat ini merupakan
pendorong krisis iklim.
Selain itu, kurikulum dapat menekankan pendekatan siklus hidup dalam ekonomi
sirkular, yang mempertimbangkan dampak lingkungan dari semua tahap kehidupan suatu
produk. Lebih jauh, mekanisme adaptasi dan mitigasi berfungsi sebagai alat untuk
mengurangi konsekuensi ekonomi yang merugikan dari perubahan iklim.
Pembelajar dapat mengeksplorasi hubungan antara pertumbuhan ekonomi, model
ekonomi yang berlaku, dan kontribusinya terhadap krisis iklim dari berbagai perspektif.
Dalam ranah sosial dan emosional, kurikulum harus membahas kecemasan iklim
sebagai kesempatan mengembangkan kesadaran emosional dan strategi penanggulangan.
Pembelajar harus membedakan antara emosi seperti kesedihan, kemarahan, ketakutan,
dan rasa bersalah yang berasal dari masalah iklim dan berempati dengan diri mereka sendiri
dan orang lain yang mengalami perasaan tersebut.

Majalah Komunita: Langkah-langkah konkret perguruan tinggi mengatasi tantangan
ini, baik dalam jangka pendek maupun panjang.
Prof. Ratih: Langkah konkrit jangka pendek. Terbentuknya domain awal dari pembelajaran
green curriculum, yakni:
a. Aspek Kognitif: memperoleh pengetahuan dan pemahaman, serta mempraktikkan
pemikiran kritis tentang isu-isu global, regional, nasional, dan lokal; keterkaitan dan saling
ketergantungan berbagai negara dan populasi; serta aspek sosial, ekonomi, dan
lingkungan dari pembangunan berkelanjutan.
b. Aspek Sosial dan Emosional: memiliki rasa memiliki terhadap kemanusiaan yang
sama dan peduli terhadap lingkungan alam; berbagi nilai dan tanggung jawab lintas
batas; memiliki empati, solidaritas, dan rasa hormat terhadap perbedaan dan
keberagaman; serta merasakan, merefleksikan, dan memikul rasa tanggung jawab
antargenerasi untuk masa kini dan masa depan.
c. Aspek Perilaku: bertindak secara efektif, kreatif, dan bertanggung jawab di tingkat lokal,
nasional, dan global untuk mempromosikan dunia yang lebih damai, inklusif, hijau, dan
berkelanjutan. Domain ini memelihara kemampuan peserta didik bertindak secara
bertanggung jawab, penuh kasih sayang, penuh rasa hormat, dan tanpa kekerasan,
membangun hubungan yang konstruktif dan berkelanjutan. Dimensi ini juga merujuk
pada kompetensi tindakan, seperti berpartisipasi secara konstruktif dalam proyek
komunitas (lokal atau global) yang mempromosikan pembangunan berkelanjutan di
lingkungan sekitar seseorang dan sekitarnya. Terakhir, dimensi perilaku membantu
peserta didik menerapkan pembelajaran mereka sesuai dengan norma komunitas lokal
atau standar masyarakat yang lebih luas.
Untuk jangka Panjang, masih diperlukan penelitian yang mendasar dan signifikan
terutama untuk Indonesia.
Majalah Komunita: Dampak jangka panjang dari green curriculum terhadap kualitas
lulusan dan kontribusi mereka terhadap keberlanjutan global.
Prof. Ratih: Melalui green curriculum menumbuhkan harapan dan mengenali potensi
tindakan kolektif dan individu untuk mengatasi tantangan iklim. Karena green curriculum
berfokus pada tindakan peserta didik mendorong penerjemahan pengetahuan kognitif
menjadi hasil perilaku. Ini dapat mencakup perilaku baru yang diadopsi oleh individu,
penggunaan bakat mereka (misalnya komunikasi, ekspresi artistik, dll.) untuk menyoroti isu-
isu kritis, partisipasi dalam acara advokasi pemuda, dan proyek-proyek komunitas.
Sehingga Pendidikan yang berkelanjutan dapat terrealisasi.
Majalah Komunita: Green curriculum dapat membantu menciptakan pemimpin masa
depan yang lebih peduli terhadap lingkungan?
Prof. Ratih: Perlu pengukuran dan model ilmiah menggunakan data iklim untuk
memprediksi masa depan alternatif. Metode ilmiah juga mendukung pemahaman kita
tentang dampak perubahan iklim
pada ekosistem dan keanekaragaman hayati. Pemahaman yang jelas tentang sains dan
bukti fundamental dapat membantu hasil peserta didik yang dapat memerangi
misinformasi, agar diberdayakan untuk terlibat aktif dalam transformasi sosial dan ekonomi
yang ramah lingkungan, dan untuk mengadopsi gaya hidup yang berkelanjutan.
Penting bagi peserta didik menyadari upaya yang dilakukan di seluruh dunia oleh
para ilmuwan dan insinyur menemukan cara mengurangi pemanasan global dan
beradaptasi dengan perubahan iklim. Ini memberikan jalan harapan. Namun, peserta didik
perlu menyadari tantangan dan peluang yang lebih luas. Mereka memang harus mampu
memadukan apa yang mereka pelajari tentang proyeksi iklim dengan solusi dari ilmu fisika
dan ilmu biologi. Yang sama pentingnya, peserta didik harus membangun tinjauan
multidisiplin dan holistik, yang menghubungkan sains, sosial, dan ekonomi.
Pemodelan perubahan iklim menunjukkan perlunya tindakan segera membatasi
kecepatan dan tingkat pemanasan global. Ilmu pengetahuan dan teknologi dimanfaatkan

untuk menemukan pendekatan baru bagi keberlanjutan. Energi terbarukan, misalnya,
menawarkan janji menggantikan bahan bakar fosil guna memenuhi kebutuhan energi gaya
hidup modern.
Pertanian berkelanjutan dapat membantu memulihkan ekosistem dan
melindungi keanekaragaman hayati. Memperkuat kesiapsiagaan dan ketahanan terhadap
perubahan iklim, baik untuk mengurangi risiko bencana maupun kecemasan ekologi,
dapat ditangani melalui tindakan positif terhadap isu iklim yang relevan bagi peserta didik.
Tindakan masyarakat memastikan pengambilan keputusan kolektif tentang kebijakan
mengurangi, beradaptasi, dan menjadi tangguh terhadap perubahan iklim.
Majalah Komunita: Harapan, saran atau rekomendasi yang ingin disampaikan kepada
pemerintah atau lembaga pendidikan terkait pentingnya mengadopsi green curriculum.
Prof. Ratih:
Harapan bahwa setiap perubahan kurikulum dapat mengantisipasi perubahan sesuai
dengan SDGs 2045. Ada dua saran atau rekomendasi:
a. Kebijakan pendidikan ramah lingkungan memperoleh legitimasi jika dikaitkan
dengan prioritas pendidikan nasional (Benavot, 2014). Meskipun ada kebutuhan yang
jelas dan mendesak akan peran penting yang dimainkan pendidikan dalam krisis iklim,
banyak negara masih menghadapi tantangan. Ada banyak alasan untuk ini, termasuk
tidak adanya contoh kurikulum; kurikulum yang terlalu padat; persepsi bahwa perubahan
iklim hanya sesuai untuk ilmu pengetahuan alam atau geografi; dan kurangnya
kapasitas guru untuk mengatasi masalah terkait.
b. Selain itu, beberapa negara memiliki sistem pendidikan federalis yang
terdesentralisasi yang menambah lapisan kompleksitas tambahan dalam
mengorganisasi upaya reformasi pendidikan yang terkoordinasi secara nasional. Penting
untuk mengatasi hambatan ini dengan memasukkan pendidikan ramah lingkungan
dalam program pendidikan.
Inreview by: Keni Kaniawati; Editing by Lili Irahali, dari berbagai sumber)

Green Curriculum, Tantangan & Praktek di Pendidikan

0

Bincang Bersama:
Prof. Dr. H. Dinn Wahyudin, MA. dan Prof. Dr. Ratih Hurriyati, M.P., CSBA.

Isu green curriculum dalam dunia pendidikan mulai mendapat perhatian luas pada
akhir abad ke-20, terutama sebagai respons terhadap meningkatnya kekhawatiran global
tentang kerusakan lingkungan, perubahan iklim, dan keberlanjutan sumber daya alam. Para
akademisi, aktivis lingkungan, dan lembaga internasional mulai mengadvokasi pentingnya
mengintegrasikan prinsip-prinsip keberlanjutan ke dalam pendidikan untuk menciptakan
masyarakat yang lebih sadar lingkungan. Green curriculum merupakan upaya
mengintegrasikan prinsip-prinsip keberlanjutan ke dalam kurikulum perguruan tinggi.
Penggagas utama green curriculum dari kolaborasi internasional dipimpin organisasi
UNESCO dan UNEP yang telah lama berkomitmen mengatasi tantangan lingkungan melalui
pendidikan. Diawali Konferensi Stockholm (1972) yang diinisi PBB; lalu UNESCO melalui
Program Pendidikan Lingkungan (1975) dan UNEP meluncurkan International
Environmental Education Program (IEEP); berikut World Commission on Environment and
Development (1987); KTT Bumi di Rio de Janeiro (1992) menghasilkan Agenda 21; serta
UNESCO’s Decade of Education for Sustainable Development (2005-2014). Maknanya, isu
green curriculum menjadi penting karena urgensi dan dampak nyata dari krisis lingkungan
yang kita hadapi saat ini.
Majalah Komunita tergelitik mengangkat isu tersebut. Pada kesempatan ini kami
menyempatkan diri berbincang-bincang dengan Prof. Dr. H. Dinn Wahyudin, MA, pakar
bidang kurikulum pendidikan di tengah kesibukan beliau sebagai guru besar UPI dan Wakil
Rektor IKOPIN. Juga dengan Prof. Dr. Ratih Hurriyati, M.P., CSBA. guru besar UPI, dan
Wakil Direktur Bidang Sumber daya, Keuangan, dan UmumUPI. Berikut bincang-bincang
kami.


Prof. Dr. H. Dinn Wahyudin, MA.
Guru Besar UPI dan Wakil Rektor IKOPIN

Green Curriculum, Antara Gerakan dan Manajemen

Majalah Komunita: Selamat pagi Prof. Dinn Wahyudi sehat
selalu, kami ingin mendiskusikan agenda majalah Komunita
dengan tema green curriculum di pendidikan, khususnya
pendidikan tinggi.
Prof. Dinn: Terima kasih, pak Lili Irahali. Saya apresiatif
kepada pengelola majalah Komunita Universitas Widyatama
pada penerbitan mendatang mengangkat isu bagaimana kita
menjaga atau melestarikan tantangan global yang harus
menjadi pemikiran bersama masyarakat, yakni global
warming. Itu indikator bahwa kita harus peduli untuk semua
lapisan masyarakat dan setiap negara.
Di tingkat dunia, dalam perspektif pendidikan dan
pembangunan hal tersebut terkait dengan SDGs, bukan hanya pendidikan. Sustainable
Development Goals merupakan kesepakatan UNESCO, artinya kesepakatan warga dunia.
Dalam satu dekade terakhir kita sedang melaksanakan SDGs dengan 17 butir tujuan. Ada

aspek-aspek yang mengkait secara langsung global warming, efek rumah kaca, green
environment; fenomena-fenomena alam yang harus kita jaga, dan lestarikan. Kalau kita abai
akan melahirkan persoalan-persoalan baru. Karena itu setiap negara wajib membuat suatu
menyusun program tersebut.
Kita di Indonesia, perguruan tinggi juga bergerak melaksanakan pendidikan bermutu
(SDG- 4), termasuk di sekolah dari mulai TK sampai perguruan tinggi, dan masyarakat.
Pendidikan sesungguhnya mencakup hampir semua aspek dari 17 butir SDGs. Misalnya
SDG-1 & 2, tidak ada kemiskinan dan kelaparan lagi di dunia. Kalau bicara lapar, artinya
bukan hanya aspek ekonomi saja, ada kaitan erat dengan pendidikan. Mengapa dia miskin?
Jangan-jangan pendidikannya di bawah standar, buta huruf, atau basic education juga tidak
tercapai. Jadi agar tidak terus miskin, pendidikannya dibenahi. Masyarakat miskin umumnya
mereka berpendidikan rendah. Mereka yang berpendidikan tinggi akan menggunakan
pemikirannya, dan melakukan suatu usaha agar tidak miskin secara material/ekonomis, juga
miskin secara psikologis.
Bagi kita di pendidikan tinggi memaknai SDGs per topik, sesungguhnya tidak hanya
melihat masalah pendidikan belaka, tetapi menyinggung aspek lain, seperti Kesehatan dan
kesejahteraan (SDG- 3). Banyak yang sakit (kesehatan terganggu) diantaranya, karena
ketidakmampuan pendidikan. Jadi pengetahuan itu sangat mendasar agar memahami
tentang kesehatan.
Majalah Komunita: Bagaimana pendidikan berperan dalam membangun kesadaran
terhadap lingkungan?
Prof. Dinn: Kembali ke aspek lingkungan yang menjadi pembicaraan kita. Seseorang tidak
peduli terhadap lingkungan karena dia mendapat pengalaman yang tidak tepat ketika di
sekolah, dan ketika di rumah. Di rumah diajari klinis itu bagian dari kebersihan dan
kehidupan kita. Lalu sekolah membina kebersihan. Namun tidak cukup dengan tulisan “Jaga
Kebersihan”. Harus ada ikhtiar-ikhtiar nyata. Ikhtiarnya, antara lain: menyiapkan tempat
sampah, bahkan dengan memisahkan atau mengelompokkan sampah dalam dua kelompok:
yang bisa didaur ulang, tidak bisa didaur ulang. Ini artinya manajemen.
Jadi secara umum global warming, green curriculum harus menjadi gerakan (the
movement), serta memerlukan manajemen. Gerakan the spirit of green environment secara
global sudah didengungkan oleh SDGs. Ikhtiar oleh lembaga-lembaga dunia, antara lain
UNESCO dengan SDGs (Sustainable Development Goals). Sustainable (berkelanjutan)
menjadi kata kunci. Ikhtiar-ikhtiar dari berbagai bidang, termasuk bidang environment, green
environment menjadi fokus yang harus disiapkan. Secara nasional, ikhtiar-ikhtiar di
Indonesia juga sudah banyak. Saya mengapresiasi bagaimana di sekolah kebersihan
menjadi budaya. Di tingkat nasional ada Penghargaan Adipura. Gerakan-gerakan tersebut
kalau dulu memang menjadi indikator. Pemda (pemerintah daerah) yang mendapatkan poin
indikator kebersihan, yang kalau diakumulatifkan menjadi the best district. Namun sekarang
kendor karena politiknya terlalu kental.
Secara lebih khusus di bidang kurikulum. Saya melihat di Puskur (Pusat Kurikulum)
banyak sekali program-program yang intinya keberpihakan pada bagaimana kebersihan
lingkungan menjadi faktor penting. Bahkan bagaimana topik-topik global warming menjadi
kajian riset dan kajian di sekolah-sekolah. Di sekolah secara umum ada tiga jenis kurikulum.
Di dalam kurikulum tadi unsur lingkungan, unsur kebersihan, berkaitan dengan green
environment itu dilakukan.
Yang pertama, disebut intrakurikuler. Intrakurikuler adalah mata pelajaran wajib.
Sebagai satu mata pelajaran – kalau di SD belum ada satu mata pelajaran – seperti: IPS,

IPA, sejarah menjadi mata pelajaran. Jadi lingkungan hidup belum menjadi mata pelajaran
tersendiri. Walaupun tidak menjadi satu mata pelajaran tidak berarti abai, karena lingkungan
kebersihan sudah terkait, diintegrasikan pada mata pelajaran yang intrakurikuler itu. Artinya
bagaimana kebersihan melekat di mata pelajaran bahasa Indonesia misalnya. Topik-topik
dalam bahasa Indonesia dalam bahasa Indonesia banyak yang berkaitan dengan
lingkungan, perilaku sehat, perilaku peduli lingkungan, dan sebagainya. Kalau mata
pelajaran muatan lokal, di Pemda tertentu ada muatan lokal yang berkaitan dengan
lingkungan ini. Di dalamnya ada berbagai hal peduli lingkungan, termasuk pemanasan
global ini.
Walau di dalam mata pelajaran mungkin belum, tetapi topik-topik di SMP, SMA
sudah melekat di dalamnya. Bagus sekali bila dilakukan penelitian mata pelajaran-mata
pelajaran di SMP atau di SMA yang subtopiknya berkaitan dengan lingkungan. Misalnya
mata pelajaran IPA, subtopik apa saja yang melekat dengan lingkungan. Kita
inventarisasikan, simpulkan, dan kembangkan.
Di kurikulum merdeka sekarang, ada istilah intrakurikuler, ko-kurikuler, juga ekstra
kurikuler. Yang ko-kurikuler di SD, mereka sudah mulai belajar P5. Rumpunnya P5 – Projek
Penguatan Profil Pelajar Pancasila. Intinya sekolah merancang satu program, apapun
program itu, di mana siswa bisa belajar berbasis projek. Di P5 (Projek Penguatan Profil
Pelajar Pancasila) banyak topik berkaitan dengan lingkungan. Apa projeknya? Projeknya
diserahkan kepada sekolah yang bersangkutan, sebagai bentuk merdeka belajar. Dalam
kaitan ini siswa dan guru berencana.
Di SD total waktu 25% dari total setahun. Jadi kalau setahun ada 1000 jam, berarti
250 jam digunakan untuk P5. Di P5 topik-topik yang akan dipelajari salah satunya adalah
peduli lingkungan atau lingkungan hidup, atau lingkungan bersih, atau mengkaji sungai, dan
seterusnya. Jadi secara inisiatif sudah dilakukan, tinggal nanti menjadi gerakan. Di
beberapa sekolah sudah mulai dirintis, tapi memang belum semua sekolah.
Bagaimana konsep-konsep yang bagus itu dirancang dan dilaksanakan oleh
masyarakat, oleh generasi muda, di kelas ataupun di luar kelas. Sehingga akhirnya akan
melahirkan satu gaya kolektivitas masyarakat yang cinta kebersihan, cinta lingkungan.
Majalah Komunita: Bagaimana dengan kurikulum perguruan tinggi yang diharapkan
menghasilkan SDM yang paham danmelaksanakan.
Prof. Dinn: Di perguruan tinggi, kita lihat pertama, dari manajemen perguruan tinggi itu.
Apakah manajemen pendidikan di perguruan tinggi memiliki keberpihatan pada lingkungan
yang bersih? Dilihat dari manajemennya.
Bagaimana membuat peraturan di pergurun tinggi? Di perguruan tinggi ada mata
kuliah nasional, mata kuliah fakultas, mata kuliah Prodi. Atau apakah di tingkat mata kuliah
dasar umum (MKDU). Jadi bisa terjadi di universitas tertentu masuk dalam MKDU, semisal
mata kuliah Agama, Kewarganegaraan. Beberapa perguruan tinggi memasukkan tema
lingkungan menjadi mata kuliah wajib Universitas serumpun dengan Agama, Pancasila
Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia.
Kembali pada mata kuliah intrakurikuler di Prodi tertentu pasti ada. Kontennya
berkaitan dengan lingkungan belum jadi mata kuliah, tapi dalam setiap mata kuliah dosen
menyisipkan perlunya green education, green curriculum. Sehingga kalau saya guru Bahasa
Inggris akan memilih mencari topik bacaan-bacaan berkaitan dengan green curriculum.
Mengapa terjadi malapetaka banjir. Itu menjadi best practice.
Di perguruan tinggi juga kaitannya melaksanakan Tridharma perguruan tinggi
(pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat). Adakah pemerintah memiliki

kuota menerima topik-topik peduli lingkungan. Kementerian Dikti menurut saya memiliki
kuota mempertimbangkan topik-topik peduli lingkungan. Namun bukan hanya dari
Kementerian, juga dari universitas yang bersangkutan. Tridharma dalam aspek penelitian
dan pengajaran ada mata pelajaran tertentu yang kaitannya dengan lingkungan, atau
diintegrasikan dalam mata kuliah oleh setiap dosen. Begitu di tataran Universitas dari segi
manajemennya. Interview & Written by: lili irahali

Green Curriculum: Solusi Pendidikan, Mencetak Pemimpin Ekologis Masa Depan di Era Inovasi Berkelanjutan

0

Muhammad Rozahi Istambul, S.Kom.,M.T.,GRCE.

(Dosen Program Studi Sistem Informasi)

 

Green Curriculum, atau Kurikulum Hijau, bukan sekadar menambahkan materi lingkungan dalam kurikulum, tetapi menuntut perubahan menyeluruh dalam pendekatan pendidikan. Kurikulum ini mengintegrasikan isu-isu lingkungan dan keberlanjutan ke dalam berbagai disiplin ilmu, dari sains hingga humaniora, untuk menciptakan generasi yang lebih sadar akan tantangan global. Sebagai contoh, dalam program studi teknik, mahasiswa bisa belajar mengenai inovasi energi terbarukan seperti panel surya atau turbin angin. Sementara, mahasiswa ekonomi dapat mempelajari konsep ekonomi hijau dan model bisnis berkelanjutan. Pembelajaran tidak lagi terbatas pada teori, tetapi lebih berfokus pada praktik dan solusi nyata untuk masalah lingkungan.

Pedoman UNESCO, Green Curriculum menargetkan agar pada tahun 2030, mayoritas negara-negara di dunia memasukkan perubahan iklim sebagai komponen inti dalam kurikulum mereka (Transforming Education Summit 2022). Perguruan tinggi memainkan peran penting dalam mencapai target ini dengan menyusun kurikulum yang tidak hanya membahas ilmu pengetahuan tentang iklim, tetapi juga etika lingkungan, keadilan iklim, dan solusi sosial terhadap masalah lingkungan global.

Pentingnya Pendidikan untuk Aksi Iklim

Isu perubahan iklim tidak dapat ditangani hanya dengan pendekatan akademis yang sempit. Perguruan tinggi perlu mengembangkan kurikulum yang menekankan keterampilan berpikir kritis dan kemampuan untuk beraksi. Green Curriculum dirancang untuk mengajarkan mahasiswa tidak hanya memahami pemahaman teoretis tentang perubahan iklim, tetapi juga cara mengambil tindakan nyata dalam mitigasi dan adaptasi iklim. Contoh, dalam studi interdisipliner, mahasiswa dari program studi sains dapat berkolaborasi dengan mahasiswa dari bidang sosial untuk mengembangkan solusi terhadap masalah perubahan iklim di komunitas mereka. Proyek ini tidak hanya mendidik mahasiswa tentang tantangan ilmiah, tetapi juga melibatkan mereka dalam aksi langsung, seperti pembuatan sistem pengelolaan limbah berkelanjutan di masyarakat lokal atau kampus.

Panduan dalam UNESCO, pendidikan untuk aksi iklim harus mengintegrasikan pendekatan lintas disiplin yang melibatkan aspek kognitif, sosial-emosional, dan perilaku mahasiswa. Ini berarti mahasiswa harus dilatih untuk memahami dampak iklim dari perspektif ilmiah, tetapi juga dibimbing untuk mengembangkan empati sosial dan keterampilan komunikasi yang diperlukan untuk mempengaruhi perubahan dalam komunitas mereka.

Relevansi Green Curriculum dalam Pendidikan Tinggi

            Dua relevansi perlu menjadi perhatian pendidikan tinggi, yakni: perubahan iklim dan tantangan global, dan permintaan global untuk keberlanjutan.

Pertama, Perubahan iklim dan tantangan global. Perubahan iklim adalah fenomena yang paling signifikan di abad ini, dengan konsekuensi mencakup kenaikan suhu global, pencairan es di kutub, peningkatan permukaan laut, dan kerusakan ekosistem yang tak terhitung. Fenomena ini menyebabkan cuaca ekstrem yang lebih sering terjadi, seperti badai, banjir, dan kekeringan, yang mengancam keberlanjutan hidup manusia serta spesies lainnya. Dalam konteks ini, Green Curriculum sangat penting karena menawarkan pendekatan berbasis ilmu pengetahuan dan solusi praktis untuk memahami serta mengatasi masalah lingkungan. Pada perguruan tinggi, Green Curriculum mengintegrasikan isu-isu keberlanjutan ke dalam setiap aspek pembelajaran. Mahasiswa tidak hanya belajar teori tentang perubahan iklim, tetapi juga dilatih untuk berpikir kritis, berempati terhadap lingkungan, dan mampu merancang solusi nyata yang relevan. Misalnya, mahasiswa teknik dapat belajar tentang konstruksi bangunan berkelanjutan yang hemat energi, sementara mahasiswa ekonomi dapat mempelajari model bisnis berbasis ekonomi sirkular yang ramah lingkungan. Studi ilmiah menunjukkan bahwa integrasi pendidikan keberlanjutan mampu meningkatkan kesadaran mahasiswa terhadap masalah lingkungan dan memperkuat komitmen mereka dalam mencari solusi praktis. Salah satu penelitian dari United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada tahun 2022 mengungkap, bahwa penerapan kurikulum hijau di tingkat pendidikan tinggi meningkatkan keterlibatan mahasiswa dalam proyek-proyek sosial berbasis lingkungan hingga 30% dibandingkan kurikulum tradisional.

Kedfua, Permintaan global untuk keberlanjutan. Dunia saat ini menghadapi permintaan yang semakin besar untuk beralih ke ekonomi hijau, di mana praktik industri dan konsumsi diarahkan pada keberlanjutan dan pengurangan jejak karbon. Perjanjian global seperti Paris Agreement dan Sustainable Development Goals (SDGs) menggarisbawahi pentingnya tindakan cepat untuk menurunkan emisi karbon. SDGs butir 13, misalnya, secara khusus menyerukan tindakan terhadap perubahan iklim, menekankan pentingnya peran semua sektor, termasuk pendidikan tinggi, untuk mempersiapkan generasi muda yang akan memimpin transisi ini. Dalam hal ini, Green Curriculum memainkan peran penting. Mahasiswa lulusan dari perguruan tinggi yang menerapkan kurikulum ini akan memiliki pengetahuan dan keterampilan yang lebih komprehensif untuk menjawab tantangan global ini. Mereka tidak hanya belajar tentang prinsip keberlanjutan, tetapi juga bagaimana menerapkannya dalam berbagai konteks profesional, baik itu di industri, pemerintahan, maupun komunitas lokal. Menurut The Future of Jobs Report 2023 menunjukkan bahwa hampir seperempat pekerjaan (23%) diperkirakan akan berubah dalam lima tahun ke depan melalui pertumbuhan 10,2% dan penurunan 12,3%. Perguruan tinggi memiliki peran sentral dalam mempersiapkan tenaga kerja ini melalui pendidikan yang memprioritaskan keberlanjutan, terutama dalam bidang energi terbarukan, pertanian berkelanjutan, dan transportasi ramah lingkungan.

Implementasi Green Curriculum di Perguruan Tinggi

Untuk mengimplementasikan Green Curriculum secara efektif, perguruan tinggi harus mengambil beberapa langkah penting. Pertama, revisi kurikulum yang ada diperlukan untuk memasukkan elemen-elemen keberlanjutan ke dalam semua disiplin ilmu. Hal ini dapat dilakukan melalui pembelajaran berbasis proyek yang melibatkan mahasiswa dalam mengatasi masalah lingkungan nyata di sekitar mereka. Misal, program studi teknik dapat merancang proyek yang berfokus pada pengembangan energi terbarukan di kampus, sementara mahasiswa ilmu sosial dapat mempelajari dampak kebijakan lingkungan terhadap masyarakat setempat. Langkah ini memungkinkan mahasiswa mengembangkan keterampilan lintas disiplin yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah keberlanjutan yang kompleks. Kedua, penting bagi perguruan tinggi memberikan pelatihan khusus kepada dosen agar mereka mampu mengintegrasikan prinsip-prinsip keberlanjutan ke dalam pengajaran sehari-hari. Dosen harus dilatih untuk menggunakan teknologi dan pendekatan interdisipliner dalam mengajar, serta melibatkan mahasiswa secara aktif dalam diskusi dan proyek yang berkaitan dengan isu lingkungan.

Ketiga, langkah nyata perguruan tinggi juga dapat memulai dari tindakan kecil untuk menerapkan prinsip keberlanjutan di lingkungan kampus. Beberapa langkah nyata yang dapat diambil antara lain:

  1. Pengurangan sampah dan daur ulang: menerapkan kebijakan pengurangan sampah dengan menyediakan tempat sampah terpisah untuk limbah organik, plastik, dan kertas di seluruh kampus, serta mengurangi penggunaan plastik sekali pakai.
  2. Pemanfaatan energi terbarukan: pemasangan panel surya atau lampu tenaga surya di kampus untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil.
  3. Program penghijauan kampus: menggalakkan program penanaman pohon di sekitar kampus, menciptakan ruang hijau yang dapat digunakan sebagai laboratorium hidup bagi mahasiswa.
  4. Pelatihan dan proyek keberlanjutan: mengadakan pelatihan wajib atau pilihan mengenai perubahan iklim, energi terbarukan, atau pembangunan berkelanjutan untuk semua mahasiswa, terlepas dari jurusannya.
  5. Audit lingkungan: melibatkan mahasiswa, dosen, dan staf dalam audit lingkungan untuk menilai jejak karbon kampus dan menyusun rencana aksi untuk mengurangi penggunaan energi dan sumber daya lainnya secara efisien.

Melalui langkah-langkah ini, perguruan tinggi dapat menjadi laboratorium hidup yang tidak hanya mengajarkan teori keberlanjutan, tetapi juga menerapkannya dalam praktik sehari-hari.

Skenario Ketika Green Curriculum Tidak Diterapkan

            Merujuk uraian di atas sedikitnya kita bisa menggambarkan skenario yang mungkin terjadi, ketika Green Curriculum tidak kita terapkan. Pertama, Lulusan yang tidak siap menghadapi tantangan global. Tanpa Green Curriculum, mahasiswa berisiko lulus dengan pemahaman yang terbatas mengenai isu-isu lingkungan dan keberlanjutan. Hal ini dapat mengakibatkan generasi lulusan yang tidak siap menghadapi tantangan besar seperti perubahan iklim. Sebagai contoh, lulusan teknik sipil yang hanya diajarkan metode pembangunan konvensional mungkin akan mengabaikan aspek-aspek penting seperti efisiensi energi, dampak karbon, dan bahan bangunan ramah lingkungan. Penelitian menunjukkan bahwa lulusan yang tidak memiliki pendidikan keberlanjutan cenderung membuat keputusan yang kurang mempertimbangkan dampak lingkungan jangka panjang (Nousheen et al., 2019). Dalam dunia yang semakin terhubung secara global, keputusan yang tidak berkelanjutan dapat memperburuk kerusakan ekosistem dan mempercepat krisis lingkungan.

Kedua, Penurunan daya saing dalam inovasi berkelanjutan. Dunia pendidikan adalah pusat inovasi, tanpa pendidikan yang terintegrasi dengan keberlanjutan, perguruan tinggi berisiko tertinggal dalam mengembangkan teknologi hijau yang sangat dibutuhkan di masa depan. Perguruan tinggi yang tidak mengajarkan mata kuliah tentang energi terbarukan, ekonomi sirkular, atau teknologi ramah lingkungan akan kesulitan bersaing dengan universitas lain yang fokus pada inovasi hijau. Sebagai contoh, universitas yang berhasil menerapkan Green Curriculum sering kali berada di garis depan dalam penelitian energi terbarukan. Universitas Stanford, misalnya, dikenal karena proyek mereka dalam pengembangan teknologi penyimpan energi yang lebih efisien dan bahan bangunan ramah lingkungan, berkat fokus mereka pada keberlanjutan dalam kurikulum.

Bagaimana Keterlibatan Masyarakat

Green Curriculum tidak hanya berfokus pada mahasiswa dan kampus, tetapi juga pada keterlibatan aktif masyarakat dalam proses pembelajaran. Perguruan tinggi harus mendorong mahasiswa untuk berpartisipasi dalam proyek-proyek berbasis komunitas yang terkait dengan keberlanjutan lingkungan. Ini bisa mencakup program magang di organisasi lingkungan, kolaborasi dengan pemerintah lokal dalam proyek mitigasi iklim, atau kerja sama dengan perusahaan yang bergerak di sektor ekonomi hijau. Misal, di daerah pesisir yang rentan terhadap kenaikan permukaan laut, mahasiswa dapat bekerja dengan masyarakat setempat untuk mengembangkan strategi mitigasi dan adaptasi yang spesifik, seperti membangun tanggul alami atau mempromosikan praktik pertanian berkelanjutan. Pendekatan ini juga mempromosikan keadilan iklim, dengan memberikan perhatian khusus kepada kelompok masyarakat yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. UNESCO menekankan bahwa pendidikan untuk keberlanjutan harus mencakup prinsip keadilan sosial dan antar generasi, di mana pendidikan tidak hanya berfokus pada tantangan global, tetapi juga memberikan solusi lokal yang relevan.

Urgensi Implementasi Green Curriculum

Dalam menghadapi tantangan global yang kompleks, Green Curriculum bukan hanya opsi, melainkan kebutuhan mendesak. Mahasiswa yang dilatih melalui kurikulum ini akan lebih siap untuk menjadi pemimpin yang inovatif, peka terhadap lingkungan, dan siap menghadapi tantangan perubahan iklim. Perguruan tinggi, sebagai tempat di mana inovasi dan penelitian berkembang, memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa pendidikan keberlanjutan diintegrasikan secara menyeluruh ke dalam kurikulum mereka. Jika tidak, kita berisiko menghasilkan lulusan yang tidak siap menghadapi krisis global, tertinggal dalam inovasi teknologi hijau, dan gagal membangun masyarakat yang adil secara sosial dan ekologis. Dengan mengimplementasikan Green Curriculum, perguruan tinggi dapat memainkan peran kunci dalam mempersiapkan generasi pemimpin yang mampu membawa dunia menuju masa depan yang lebih berkelanjutan dan adil. Semoga.

Green Curriculum in Higher Education for a Sustainable Future?

0

Major forest fire events in California, Australia, the Amazon,
Siberia, and Europe; melting polar ice is causing sea level rise to threaten
coastal areas and small islands; storms and typhoons are becoming
stronger and more frequent; flooding in coastal areas and large rivers;
prolonged drought and clean water crisis; deadly heat waves; climate
migration; and ocean acidification and coral bleaching in recent decades reflect an increase in
the frequency and intensity of extreme climate events. Even though climate change is a normal
natural event, due to excessive human intervention, this event occurs very quickly and has a
negative impact.
The World Meteorological Organization (WMO) “State of the Global Climate 2023”
highlights worrying trends in climate indicators. A report released in March 2024 showed that
2023 was the hottest year ever recorded, with average global temperatures reaching 1.45 °C
above pre-industrial temperatures. The year also marked the highest levels of greenhouse gas
concentrations, sea level rise, and ocean heat content ever recorded. Extreme weather events,
including heatwaves, floods, droughts, and tropical cyclones, cause enormous human suffering
and economic damage. Nearly a third of the global ocean experiences marine heat waves at
some time during the year. Additionally, the number of people facing acute food insecurity has
more than doubled, reflecting the broader impact of climate change on society.
The environmental damage above arises from the accumulation of human activities for
reasons of development, which have triggered levels of consumption and exploitation of natural
resources that have been very pronounced in the last two decades. This excessive use has
long-term impacts, not only on the environment but also on the economy and society. In
Indonesia, the National Disaster Management Agency (BNPB) noted that in recent years, there
has been an increase in the frequency of natural disasters related to climate change. Even
Global Forest Watch said Indonesia lost around 270,000 hectares of primary forest in 2021,
even though the deforestation trend—due to land conversion, illegal logging, and forest
fires—has decreased compared to the previous decade. This loss of forest causes a reduction
in Indonesia's ability to absorb carbon, worsening global greenhouse gas emissions, as well as
flash floods in various regions. This incident is the impact of human activity, which should
encourage various sectors to move more environmentally and socially responsible.
Climate change and environmental damage have become global issues that require
serious attention from all levels of society, including education. Sustainable innovative solutions
are needed to change people's perspectives, attitudes, lifestyles, and interactions with the
surrounding natural environment so that the above disasters can be minimized. This at least
increases pressure on the education system. Education is one sector that has an important role
in building understanding and awareness of the environment, as well as forming a culture of
sustainability. Therefore, the vision of future education is required to be more inclusive,
adaptive, and responsible for the environment, which is a global and local challenge, especially
climate change and the sustainability of life. In this context, education is very wise if it pays
attention to two things. First, education as a holistic and interdisciplinary process. A
comprehensive educational approach, namely knowledge from various fields of
science—humanities, social sciences, and natural sciences—combines to create a more
comprehensive understanding. Holistic education emphasizes that learning is not just an
accumulation of facts from a particular discipline but also involves an understanding of how
these disciplines are related and impact each other. The current focus on action and the theme

"Climate" reflect the urgency to prepare students to face the global challenge of climate change.
So education not only prepares individuals to think critically but also to act and to participate in
real solutions to environmental and social problems.
Second, education should adapt to local needs and conditions. An educational approach
cannot be applied uniformly in every place. Each community has a unique social, cultural,
economic, and environmental context. So educational strategies need to be adapted to local
conditions. A locally relevant approach helps increase educational effectiveness because the
materials and methods taught are closer to the real lives of students and their communities. This
kind of education is more contextual, which allows teaching to be more responsive to specific
needs and exploit local potential while respecting cultural values and diversity. Educational
thinker John Dewey said society could transform itself, become more democratic, and shape a
more just future through education (Tampio 2024). Therefore, universities as managers of
higher education are not institutions that are free from the obligation to answer society's
problems. A university's obligation comes with its ideal duties—Tridharma—which should be
carried out for society according to its existence. So the process of higher education (learning to
teach at a university) is not just a matter of meeting employment needs. One alternative solution
for transforming the education sector in order to form an environmentally friendly paradigm,
point of view, behavior, and culture to achieve sustainable development is integrating the
conventional curriculum and the green curriculum in every educational activity.
Universities are not just places for the transfer of knowledge; they are actually centers of
change that can develop transformative solutions to the global issues above. Universities can
create and disseminate innovative knowledge, as well as produce human resources who not
only have in-depth knowledge but also awareness of sustainability. In this context, universities
play an important role in forming a generation that cares about sustainability and has the ability
to face the challenges of climate change. Green Curriculum is an educational approach that
prioritizes the concept of sustainability, mitigating environmental impacts, and wise
management of natural resources in various fields of study. This approach allows students from
various disciplines to understand the impact of human actions on the environment and develop
solutions that support sustainable development.
Green Curriculum as an educational program and process that incorporates
sustainability principles enables everyone to become effective, engaged, global citizens by
empowering them with the knowledge, values, and skills to advance a socially just, humane,
and economically viable future. environmentally friendly, supports a healthy quality of life and
holistic well-being” (Sustainable Peralta Green Curriculum Subcommittee, 7 November 2006).
Green Curriculum as an educational program involves discussing environmental and
sustainability issues in existing subject matter such as science, social sciences, arts, and
languages. The material in this curriculum includes an introduction to the surrounding
environment, conservation of natural resources, efficient use of energy, new renewable energy
technology, waste processing, and other green practices. The implementation of the green
curriculum aims to create awareness and an in-depth understanding of sustainability in every
student, who will ultimately become a decision-maker in the future. The urgency of the green
curriculum in the Indonesian context is: environmental conditions and climate change; the need
for sustainable development; labor market readiness; and green industry.
Many universities in the world integrate a green curriculum into their curricula, especially
for study programs related to the environment, engineering, social, and business. In our internet
exploration of Europe, universities implemented the Green Deal Roadmap, which guides
integrating sustainability into academic, research, and campus management aspects. In
ASEAN, the University of Technology Malaysia (UTM) is a pioneer in integrating sustainability
principles into the curriculum, research, and campus activities, as well as focusing on reducing
carbon emissions and using clean energy. In Indonesia, various initiatives have been
implemented in the curriculum. The Bandung Institute of Technology (ITB) and Gadjah Mada

University (UGM) run programs related to climate change and sustainability at the study
program and faculty levels. Universities that succeed in this mission will become leaders in the
academic and social fields, advance science, and make real contributions to global society.
They will continue to transform, innovate, and produce graduates who have a vision of
sustainability, ready to face global challenges with an adaptive and responsible approach. A
sustainable future means a world where every development takes into account its impact on
future generations, maintaining a balance between human needs and nature's carrying
capacity. Universities are the main drivers of this change by focusing on relevant research,
integrating environmentally conscious curricula, and establishing a campus culture oriented
towards the SDGs. Hopefully.
Vivat Widyatama, Vivat Civitas Academica, Vivat Indonesia and our beloved
archipelago. (@lee)
Editor – Lili Irahali

Green Curriculum dalam Pendidikan Tinggi untuk Masa Depan Berkelanjutan ?

0

Peristiwa kebakaran hutan besar di California, Australia,
Amazon, Siberia, dan Eropa; mencairnya es di Kutub
menyebabkan kenaikan permukaan laut mengancam wilayah pesisir dan
pulau kecil; badai dan topan semakin kuat dan sering; banjir di kawasan
pesisir dan sungai besar; kekeringan berkepanjangan dan krisis air
bersih; gelombang panas yang mematikan; migrasi iklim; serta pengasaman laut dan pemutihan
terumbu karang pada dekade terakhir mencerminkan peningkatan frekuensi dan intensitas
peristiwa iklim ekstrim. Walau sejatinya perubahan iklim adalah peristiwa alam yang lumrah,
namun karena campur tangan manusia yang berlebihan peristiwa tersebut terjadi begitu cepat
dan berdampak negatif.
Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) tentang “Status Iklim Global 2023” menyoroti tren
yang mengkhawatirkan dalam indikator iklim. Laporan yang dirilis bulan Maret 2024 lalu
menunjukkan tahun 2023 adalah tahun terpanas yang pernah tercatat, dengan rata-rata suhu
global mencapai 1,45 °C di atas suhu pra-industri. Tahun tersebut juga menandai tingkat
konsentrasi gas rumah kaca, kenaikan permukaan air laut, dan kandungan panas laut tertinggi
yang pernah tercatat. Berbagai peristiwa cuaca ekstrem, termasuk gelombang panas, banjir,
kekeringan, dan siklon tropis, yang menyebabkan penderitaan besar bagi manusia dan
kerusakan ekonomi. Hampir sepertiga lautan global mengalami gelombang panas laut pada
suatu saat sepanjang tahun. Selain itu, jumlah orang yang menghadapi kerawanan pangan akut
meningkat lebih dari dua kali lipat, yang mencerminkan dampak perubahan iklim yang lebih luas
terhadap masyarakat.
Kerusakan linkungan di atas timbul dari akumulasi aktivitas manusia dengan alasan
pembangunan yang memicu tingkat konsumsi, eksploitasi sumber daya alam sangat terasa
dalam kurun dua dekade terakhir. Pemanfaatan berlebih ini berdampak jangka panjang, bukan
hanya terhadap lingkungan, tetapi juga perekonomian dan sosial kemasyarakatan.
Di Indonesia, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat beberapa
tahun terakhir, terjadi peningkatan frekuensi bencana alam yang berkaitan dengan perubahan
iklim. Bahkan Global Forest Watch menyebutkan Indonesia kehilangan sekitar 270.000 hektar
hutan primer pada tahun 2021, meskipun tren deforestasi – karena alih fungsi lahan,
penebangan liar dan kebakaran hutan – telah menurun dibandingkan dekade sebelumnya.
Hilangnya hutan tersebut menyebabkan berkurangnya kemampuan Indonesia menyerap
karbon, memperparah emisi gas rumah kaca global, serta banjir bandang di berbagai daerah.
Peristiwa tersebut merupakan dampak aktivitas manusia, yang seharusnya mendorong
berbagai sektor bergerak secara lebih bertanggungjawab terhadap lingkungan dan sosial.
Perubahan iklim dan kerusakan lingkungan telah menjadi isu global yang membutuhkan
perhatian serius semua lapisan masyarakat, termasuk pendidikan. Perlu solusi inovatif
berkelanjutan untuk mengubah cara pandang, sikap, pola hidup, dan interaksi masyarakat
terhadap lingkungan alam sekitarnya, agar bencana di atas bisa diminimalisir. Hal tersebut
setidaknya meningkatkan tekanan pada sistem pendidikan. Pendidikan adalah salah satu sektor
yang memiliki peran penting membangun pemahaman dan kesadaran terhadap lingkungan,
sekaligus membentuk budaya keberlanjutan. Karena itu, visi pendidikan masa depan dituntut
lebih inklusif, adaptif, dan bertanggung jawab terhadap lingkungan yang merupakan tantangan
global dan lokal, khususnya perubahan iklim dan keberlanjutan kehidupan.
Dalam konteks tersebut pendidikan sangat bijak bila memperhatikan dua hal. Pertama,
pendidikan sebagai proses holistik dan lintas disiplin. Pendekatan pendidikan yang menyeluruh,

yakni pengetahuan dari berbagai bidang ilmu – humaniora, ilmu sosial dan ilmu alam – berpadu
untuk menciptakan pemahaman yang lebih komprehensif. Pendidikan holistik menekankan
belajar bukan sekedar akumulasi fakta-fakta dari disiplin tertentu, tetapi juga melibatkan
pemahaman tentang bagaimana disiplin-disiplin tersebut saling terkait dan berdampak satu
sama lain. Saat ini fokus pada aksi dan tema "Iklim" mencerminkan urgensi untuk
mempersiapkan mahasiswa menghadapi tantangan global perubahan iklim. Jadi pendidikan
tidak hanya mempersiapkan individu untuk berpikir kritis, tetapi juga bertindak, berpartisipasi
dalam solusi nyata terhadap masalah lingkungan dan sosial.
Kedua, pendidikan seyogyanya menyesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi lokal.
Pendekatan pendidikan tidak bisa diterapkan secara seragam di setiap tempat. Setiap
komunitas memiliki konteks sosial, budaya, ekonomi dan lingkungan yang unik. Sehingga
strategi pendidikan perlu disesuaikan dengan kondisi lokal tersebut. Pendekatan yang relevan
dengan lokalitas membantu meningkatkan efektivitas pendidikan, karena materi dan metode
yang diajarkan lebih dekat dengan kehidupan nyata mahasiswa dan komunitas mereka.
Pendidikan semacam ini lebih bersifat kontekstual, yang memungkinkan pengajaran lebih
responsif terhadap kebutuhan spesifik dan memanfaatkan potensi lokal, sekaligus
menghormati nilai-nilai budaya dan keanekaragaman.
Pemikir pendidikan John Dewey mengatakan masyarakat dapat mentransformasi
dirinya serta menjadi lebih demokratis dan membentuk masa depan yang lebih adil melalui
pendidikan (Tampio 2024). Karena itu, perguruan tinggi sebagai pengelola pendidikan tinggi
bukan sebagai lembaga yang terlepas dari kewajiban menjawab permasalahan-permasalahan
masyarakat. Sebuah kewajiban perguruan tinggi hadir dengan tugas-tugas idealnya – Tridharma
– yang selayaknya ditunaikan bagi masyarakat sesuai keberadaannya. Jadi proses pendidikan
tinggi (belajar mengajar di perguruan tinggi) bukan sekedar urusan memenuhi kebutuhan
lapangan pekerjaan. Salah satu alternatif solusi transformasi sektor pendidikan dalam rangka
membentuk paradigma, sudut pandang, perilaku dan budaya yang ramah lingkungan untuk
mencapai pembangunan berkelanjutan yakni mengintegrasikan kurikulum konvensional dan
green curriculum (kurikulum hijau) di setiap kegiatan pendidikannya.
Perguruan tinggi bukan sekedar tempar transfer ilmu, justru merupakan pusat
perubahan yang dapat mengembangkan solusi transformatif bagi isu-isu global di atas.
Perguruan tinggi dapat menciptakan dan menyebarkan ilmu pengetahuan inovatif, serta
menghasilkan SDM yang tidak hanya memiliki pengetahuan mendalam, tetapi juga kesadaran
terhadap keberlanjutan. Dalam konteks ini, perguruan tinggi memegang peranan penting
membentuk generasi yang peduli terhadap keberlanjutan dan memiliki kemampuan untuk
menghadapi tantangan perubahan iklim.
Green Curriculum merupakan pendekatan pendidikan yang mengedepankan konsep
keberlanjutan, mitigasi dampak lingkungan, dan pengelolaan sumber daya alam secara bijak di
berbagai bidang studi. Pendekatan ini memungkinkan mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu
memahami dampak tindakan manusia terhadap lingkungan dan mengembangkan solusi yang
mendukung pembangunan berkelanjutan.
Green Curriculum sebagai program dan proses pendidikan yang menggabungkan
prinsip-prinsip keberlanjutan memungkinkan semua orang menjadi warga global yang efektif,
terlibat, dengan memberdayakan mereka dengan pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan
untuk memajukan masa depan yang adil secara sosial, manusiawi, layak secara ekonomi,
ramah lingkungan, mendukung kualitas hidup yang sehat dan kesejahteraan holistik”
(Sustainable Peralta Green Curriculum Subcommittee, 07 November 2006). Green Curriculum
sebagai program pendidikan melibatkan pembahasan isu-isu lingkungan dan keberlanjutan ke
dalam materi pelajaran yang sudah ada seperti ilmu sains, sosial, seni dan bahasa. Materi
dalam kurikulum ini mencakup pengenalan terhadap lingkungan hidup sekitar, konservasi
sumber daya alam, penggunaan energi yang efisien, teknologi energi baru terbarukan,
pengolahan sampah dan praktek-praktek hijau lainnya.

Implementasi green curriculum bertujuan untuk menciptakan kesadaran dan
pemahaman mendalam tentang keberlanjutan pada setiap mahasiswa, yang pada akhirnya
akan menjadi pengambil keputusan di masa depan. Urgensi green curriculum dalam konteks
lndonesia yakni: kondisi lingkungan dan perubahan iklim; kebutuhan pembangunan
berkelanjutan; kesiapan pasar tenaga kerja dan industri hijau.
Banyak perguruan tinggi di dunia mengintegrasikan green curriculum dalam kurikulum
mereka, terutama untuk program studi terkait lingkungan, teknik, sosial, dan bisnis. Dalam
jelajah internet kami ke Eropa, perguruan-perguruan tingginya menerapkan Green Deal
Roadmap yang memandu mengintegrasikan keberlanjutan dalam aspek akademik, penelitian,
dan pengelolaan kampus. Di ASEAN, Universitas Teknologi Malaysia (UTM) termasuk pionir
dalam mengintegrasikan prinsip keberlanjutan ke dalam kurikulum, penelitian, dan aktivitas
kampus, serta fokus pada pengurangan emisi karbon dan penggunaan energi bersih. Di
Indonesia, berbagai inisiatif telah diterapkan dalam kurikulum. Institut Teknologi Bandung (ITB)
dan Universitas Gadjah Mada (UGM) menjalankan program terkait perubahan iklim dan
keberlanjutan di tingkat program studi maupun fakultas.
Perguruan tinggi yang berhasil dalam misi ini akan menjadi pemimpin di bidang
akademik dan sosial, memajukan ilmu pengetahuan, serta memberikan kontribusi nyata bagi
masyarakat global. Mereka akan terus bertransformasi, berinovasi, dan mencetak lulusan yang
memiliki visi keberlanjutan, siap untuk menghadapi tantangan global dengan pendekatan yang
adaptif dan bertanggung jawab. Masa depan yang berkelanjutan berarti dunia di mana setiap
pembangunan memperhitungkan dampaknya bagi generasi mendatang, menjaga
keseimbangan antara kebutuhan manusia dan daya dukung alam. Perguruan tinggi menjadi
pendorong utama perubahan ini dengan memfokuskan pada penelitian yang relevan,
mengintegrasikan kurikulum yang sadar lingkungan, dan membentuk budaya kampus yang
berorientasi pada SDGs. Semoga.
Vivat Widyatama, Vivat Civitas Academica, Vivat Indonesia dan Nusantara tercinta.
(@lee)
Redaksi – Lili Irahali

SDGs, National Development, and Higher Education

0

Sustainable Development Goals (SDGs) are an important global framework for sustainable development and also a series of goals set by the United Nations (UN) to achieve a better and more sustainable life for everyone on the planet. Observing the SDGs as a continuation of the MDGs is a goal and ideal of humanity, so as a country that aims to improve the welfare of its people, the SDGs should be a reference. This is in line with the aim of establishing the Indonesian state and nation: “… an Indonesian state that protects the entire Indonesian nation and all of Indonesia’s blood and to promote general welfare, educate the life of the nation, and participate in implementing world order based on independence, eternal peace, and social justice” (Preamble to the 1945 Constitution). To realize the above ideals, Indonesia has a national development policy, which is essentially the development of Indonesian people as a whole so that a just and prosperous society is realized that is materially and spiritually equal based on Pancasila and the 1945 Constitution. The aim of national development in the field of education is to make the nation’s life more intelligent and improve the quality of Indonesia’s human resources. In the above context, universities, as management institutions that run higher education, cannot be separated from the national development system as the supra system.  Therefore, universities as managers of higher education are not institutions that are separated from answering society’s problems.

Higher education institutions, which are educational institutions, function as: a learning forum for students and the community; an educational forum for future national leaders; a science and technology development center; a center for the study of virtue and moral strength to seek and find truth; and a center for developing national civilization is obliged to carry it out through Tridharma activities (education, research, community service) in higher education (Law Number 12 of 2012 article 58). Therefore, referring to national development and also the SDGs, it is the obligation of universities to present their ideal tasks—tridharma—that should be carried out for society according to its existence. Universities are certainly not ivory towers, but universities seem to exist within and are integrated with society to solve society’s problems.

The SDGs launched by the UN, as a world institution that cares about equitable development, include 17 goals. The Times Higher Education report assesses the contribution of higher education institutions to each of the 17 SDGs through four main activities: teaching, research, outreach, and management of higher education resources—especially campuses and their staff. In realizing the SDGs, universities are developing the next generation of skilled and sustainable society, as well as preparing our future leaders. They are making the breakthrough discoveries we need to solve the world’s greatest challenges. They transfer their knowledge and ideas from lecture halls and laboratories to society through collaboration with the government and the business world. By engaging higher education institutions, their staff, and students, governments across the G20 will find willing and strong partners in achieving these goals,” the report said. In the five years since its launch, Impact Rankings has grown in popularity as universities around the world step forward to share data, determined to demonstrate their commitment to the 2030 goals (https://www.weforum.org/agenda/2023/09/).

Indonesia, in the context of national development, launched the SDGs Road map for Indonesia towards 2030. This road map certainly requires the support and contribution of universities in accordance with their functions and roles. Indonesian higher education institutions still face challenges, namely: quality, governance, resource management, adaptation to change, and reputation. However, by collaborating, of course, this is very possible to implement.

How can the SDGs be realized? Let’s approach, understand, collaborate, and then contribute to the potential of higher education for society. This means that with the right approach, deep understanding, strong collaboration, and real contributions, universities can play a very significant role in achieving the SDGs. This will not only strengthen the position of universities but also improve societal welfare and global sustainability. Wallahualam. Hopefully.

            Vivat Widyatama, Vivat Civitas Academica, Vivat Indonesia and our beloved archipelago. (@lee)

Editorial – Lili Irahali

 

SDGs, Pembangunan Nasional, dan Perguruan Tinggi

0

Sustainable Development Goals (SDGs) adalah kerangka kerja global yang penting untuk pembangunan berkelanjutan,  juga merupakan serangkaian tujuan yang ditetapkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dan lebih berkelanjutan bagi semua orang di planet ini. Mencermati SDGs sebagai kelanjutan MDGs merupakan tujuan dan cita-cita kemanusiaan, maka sebagai negara yang bertujuan menyejahterakan rakyatnya SDGs patut menjadi rujukan. Hal tersebut searah dengan tujuan pendirian Negara dan bangsa Indonesia “… Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,…” (Pembukaan UUD 1945).

Mewujudkan cita-cita di atas Indonesa memiliki kebijakan Pembangunan Nasional yang hakekatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya sehingga terwujud suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spirituil berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Tujuan Pembangunan Nasional dalam bidang pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan mutu atau kualitas sumber daya manusia Indonesia. Dimana dalam konteks di atas perguruan tinggi – sebagai lembaga pengelola yang menjalankan pendidikan tinggi – tidak terlepas dari sistem Pembangunan Nasional sebagai supra sistemnya.  Karena itu perguruan tinggi sebagai pengelola pendidikan tinggi bukan sebagai lembaga yang terlepas dari menjawab permasalahan-permasalahan masyarakat.

Perguruan tinggi yang merupakan lembaga pendidikan berfungsi sebagai: wadah pembelajaran Mahasiswa dan Masyarakat; wadah pendidikan calon pemimpin bangsa; pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan Teknologi; pusat kajian kebajikan dan kekuatan moral untuk mencari dan menemukan kebenaran; serta pusat pengembangan peradaban bangsa berkewajiban melaksanakannya melalui kegiatan Tridharma (pendidikan, penelitian, pengabdian kepada masyarakat) perguruan tinggi (UU Nomor 12 Tahun 2012 pasal 58). Karena itu, merujuk pada Pembangunan Nasional dan juga SDGs adalah sebuah kewajiban perguruan tinggi untuk hadir dengan tugas-tugas idealnya – Tridharma – yang selayaknya ditunaikan bagi masyarakat sesuai keberadaannya. Perguruan tinggi tentunya bukan menara gading, tapi perguruan tinggi layaknya ada dalam dan menyatu  bersama masyarakat mengurai permasalahan masyarakat.

SDGs yang dicanangkan PBB – sebagai lembaga dunia yang peduli pada pembangunan yang berkeadilan – mencakup 17 butir tujuan. Laporan Times Higher Education menilai kontribusi perguruan tinggi terhadap masing-masing 17 SDGs melalui empat kegiatan utama: pengajaran, penelitian, penjangkauan, dan pengelolaan sumber daya perguruan tinggi – terutama kampus dan stafnya. Dalam mewujudkan SDGs perguruan tinggi membina generasi penerus masyarakat yang terampil dan berkelanjutan, serta mempersiapkan pemimpin masa depan kita. Mereka membuat penemuan-penemuan terobosan yang kita perlukan untuk mengatasi tantangan terbesar dunia. Mereka mentransfer pengetahuan dan ide-ide mereka dari ruang kuliah dan laboratorium ke masyarakat melalui kolaborasi dengan pemerintah dan dunia usaha. Dengan melibatkan lembaga-lembaga pendidikan tinggi, staf, dan mahasiswanya, pemerintah di seluruh G20 akan menemukan mitra yang bersedia dan kuat dalam mencapai tujuan-tujuan tersebut,” ungkap laporan tersebut. Dalam lima tahun sejak peluncurannya, Impact Rankings semakin populer ketika perguruan tinggi di seluruh dunia melangkah maju berbagi data, bertekad menunjukkan komitmen mereka terhadap tujuan tahun 2030 (https://www.weforum.org/agenda/2023/09/).

Indonesia dalam rangka Pembangunan Nasional meluncurkan peta jalan SDGs Indonesia Menuju 2030. Peta jalan ini tentunya perlu dukungan dan kontribusi perguruan tinggi sesuai fungsi dan perannya. Perguruan tinggi Indonesia memang masih menghadapi tantangan, yakni: kualitas, tata kelola, manajemen sumber daya, adaptasi terhadap perubahan, serta reputasi. Namun demikian dengan berkolaborasi tentunya hal tersebut sangat mungkin dilaksanakan.

  Bagaimana SDGs bisa diwujudkan? Mari kita dekati, pahami, berkolaborasi, lalu  menyumbangkan potensi perguruan tinggi bagi masyarakat. Artinya dengan pendekatan yang tepat, pemahaman mendalam, kolaborasi yang kuat, dan kontribusi nyata, perguruan tinggi dapat memainkan peran yang sangat signifikan dalam pencapaian SDGs. Ini tidak hanya akan memperkuat posisi perguruan tinggi, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan keberlanjutan global. Wallahualam. Semoga.

            Vivat Widyatama, Vivat Civitas Academica, Vivat Indonesia dan Nusantara tercinta. (@lee)

Redaksi – Lili Irahali

 

Peta Jalan SDGs Indonesia, Bagaimana Kontribusi Perguruan Tinggi ?

Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan merupakan kelanjutan Millennium Development Goals (MDGs) yang berakhir pada tahun 2015 lalu. SDGs dicanangkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dimaksudkan untuk mencapai target-target pembangunan yang lebih komprehensif dan holistik hingga tahun 2030 (tinggal 6 tahun lagi). SDGs adalah kerangka kerja global yang penting untuk pembangunan berkelanjutan, dengan pencapaian yang bervariasi di berbagai negara. Keberhasilan dan tantangan dalam mencapai tujuan-tujuan ini sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, politik, dan sosial di negara masing-masing.

SDGs merupakan serangkaian tujuan yang ditetapkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dan lebih berkelanjutan bagi semua orang di planet ini. Terdapat 17 tujuan SDGs yang saling terkait dan saling mendukung untuk mengatasi berbagai tantangan global yang kita hadapi, yaitu: (1) Tanpa Kemiskinan; (2) Tanpa Kelaparan; (3) Kehidupan Sehat dan Sejahtera; (4) Pendidikan Berkualitas; (5) Kesetaraan Gender; (6) Air Bersih dan Sanitasi Layak; (7) Energi Bersih dan Terjangkau; (8) Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi; (9) Industri, Inovasi dan Infrastruktur; (10) Berkurangnya Kesenjangan; (11) Kota dan Permukiman yang Berkelanjutan; (12) Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab; (13) Penanganan Perubahan Iklim; (14) Ekosistem Lautan; (15) Ekosistem Daratan; (16) Perdamaian, Keadilan dan Kelembagaan yang Tangguh; (17) Kemitraan untuk Mencapai Tujuan.

            Program SDGs dicanangkan PBB memperhatikan beberapa alasan:

  1. Pendekatan Holistik terhadap Pembangunan. SDGs terdiri dari 17 tujuan yang mencakup aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Pendekatan ini dirancang untuk memastikan pembangunan yang berkelanjutan di seluruh dunia.
  2. Kesenjangan dalam Pembangunan. Meskipun MDGs berhasil dalam beberapa aspek, masih banyak kesenjangan dalam berbagai sektor pembangunan, seperti kemiskinan, ketimpangan, dan degradasi lingkungan. SDGs bertujuan mengatasi kesenjangan ini.
  3. Masalah Global yang Meningkat. Isu-isu global seperti perubahan iklim, ketidaksetaraan, dan krisis kemanusiaan semakin mendesak untuk ditangani. SDGs memberikan kerangka kerja untuk menangani isu-isu ini secara terkoordinasi.
  4. Keberlanjutan Jangka Panjang. Tujuan-tujuan SDGs dirancang untuk memastikan bahwa pembangunan yang dicapai tidak hanya untuk jangka pendek tetapi juga dapat berkelanjutan dalam jangka panjang.

            Tantangan Global yang dihadapi dunia kita: 1) Ketidaksetaraan, 2) Perubahan Iklim,  3) Biodiversitas. Ketidaksetaraan ekonomi dan sosial masih tinggi, baik antar negara maupun di dalam negara itu sendiri. Perubahan iklim, meskipun ada upaya global, dampak perubahan iklim semakin nyata dan mempengaruhi banyak aspek kehidupan, termasuk kesehatan, ekonomi, dan lingkungan. Kehilangan biodiversitas terus berlanjut, dengan banyak spesies yang terancam punah akibat aktivitas manusia.

            Beberapa capaian penting SDGs meliputi: pengurangan kemiskinan, akses pendidikan, kesehatan, dan energi bersih.

  1. Pengurangan Kemiskinan, tingkat kemiskinan global telah menurun, namun pandemi COVID-19 sempat meningkatkan angka kemiskinan di beberapa wilayah.
  2. Akses Pendidikan, akses ke pendidikan dasar meningkat, dengan lebih banyak anak-anak yang bersekolah. Namun, kualitas pendidikan dan akses ke pendidikan menengah dan tinggi masih perlu ditingkatkan.
  3. Kesehatan, kesehatan global menunjukkan perbaikan, dengan penurunan angka kematian ibu dan anak serta peningkatan akses ke layanan kesehatan dasar. Namun, penyakit menular dan tidak menular tetap menjadi tantangan.
  4. Energi Bersih, akses ke energi terbarukan dan bersih semakin meningkat, meskipun masih ada ketergantungan pada bahan bakar fosil di banyak negara.

Peta Jalan SDGs Indonesia

            Tantangan utama dalam mencapai SDGs Indonesia menuju 2030 antara lain: 1) Kesenjangan Wilayah,  Disparitas pembangunan antara daerah perkotaan dan pedesaan; 2) Pendanaan, Keterbatasan sumber daya finansial untuk pembiayaan berbagai program SDGs; 3) Kapasitas Institusional, Keterbatasan kapasitas di tingkat lokal untuk mengimplementasikan dan memantau pencapaian SDGs; 4) Perubahan Iklim,  Ancaman dari perubahan iklim yang dapat mempengaruhi berbagai sektor pembangunan. Indonesia telah mengembangkan Peta Jalan SDGs Indonesia sebagai berikut.

Peta Jalan SDGs Indonesia
1. Pengentasan Kemiskinan (SDG 1):

·     Program dan Inisiatif: Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT), dan berbagai program bantuan sosial.

·     Target: Mengurangi tingkat kemiskinan hingga di bawah 7% pada tahun 2024.

2. Mengakhiri Kelaparan (SDG 2):

·     Program dan Inisiatif: Program Diversifikasi Pangan, Program Pemberdayaan Petani, dan Peningkatan Ketahanan Pangan.

·     Target: Meningkatkan produksi pangan nasional dan memastikan akses pangan yang cukup dan bergizi.

3. Kehidupan Sehat dan Sejahtera (SDG 3):

·     Program dan Inisiatif: Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Peningkatan Akses Kesehatan Ibu dan Anak, serta Pengendalian Penyakit Menular.

·     Target: Meningkatkan harapan hidup dan menurunkan angka kematian ibu dan bayi.

4. Pendidikan Berkualitas (SDG 4):

·     Program dan Inisiatif: Program Indonesia Pintar, Wajib Belajar 12 Tahun, dan Pening-katan Kualitas Pendidikan Tinggi.

·     Target: Memastikan semua anak mendapatkan akses pendidikan dasar dan menengah yang gratis, setara, dan berkualitas.

5. Kesetaraan Gender (SDG 5):

·     Program dan Inisiatif: Program Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan terhadap Kekerasan, dan Promosi Partisipasi Perempuan dalam Ekonomi.

·     Target: Meningkatkan partisipasi perempuan dalam berbagai sektor dan menghapus diskriminasi gender.

6. Air Bersih dan Sanitasi Layak (SDG 6):

·     Program dan Inisiatif: Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS), serta Proyek Penyediaan Air Bersih di Daerah Tertinggal.

·     Target: Memastikan akses universal terhadap air bersih dan sanitasi pada tahun 2030.

7. Energi Bersih dan Terjangkau (SDG 7):

·     Program dan Inisiatif: Pengembangan Energi Terbarukan, Program Listrik Desa, dan Efisiensi Energi.

·     Target: Meningkatkan proporsi energi terbarukan dalam bauran energi nasional hingga 23% pada tahun 2025.

8. Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi (SDG 8):

·     Program dan Inisiatif: Program Ketenagakerjaan, Pemberdayaan UMKM, dan Investasi dalam Infrastruktur Ekonomi.

·     Target: Meningkatkan tingkat partisipasi angkatan kerja dan menciptakan lapangan kerja yang layak.

9. Industri, Inovasi, dan Infrastruktur (SDG 9):

·     Program dan Inisiatif: Pengembangan Infrastruktur, Dukungan bagi Riset dan Inovasi, dan Pengembangan Industri Manufaktur.

·     Target: Mempercepat pembangunan infrastruktur berkualitas dan meningkatkan daya saing industri nasional.

10. Mengurangi Kesenjangan (SDG 10):

·     Program dan Inisiatif: Program Redistribusi Pendapatan, Peningkatan Akses terhadap Layanan Dasar bagi Kelompok Rentan, dan Pemberdayaan Daerah Tertinggal.

·     Target: Mengurangi kesenjangan pendapatan dan kesempatan di dalam negeri.

11. Kota dan Komunitas Berkelanjutan (SDG 11):

·     Program dan Inisiatif: Pengembangan Kota Cerdas (Smart City), Peningkatan Transportasi Umum, dan Perencanaan Perkotaan yang Berkelanjutan.

·     Target: Meningkatkan kualitas hidup di perkotaan dan memastikan pembangunan kota yang inklusif dan berkelanjutan.

12. Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab (SDG 12):

·     Program dan Inisiatif: Program Pengelolaan Limbah, Promosi Konsumsi Berkelanjutan, dan Edukasi tentang Produksi Ramah Lingkungan.

·     Target: Mengurangi separuh sampah makanan per kapita dan memastikan pola konsumsi dan produksi yang berkelanjutan.

13. Penanganan Perubahan Iklim (SDG 13):

·     Program dan Inisiatif: Program Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim, Penghijauan, dan Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca.

·     Target: Mengurangi emisi karbon hingga 29% (dengan upaya sendiri) atau 41% (dengan bantuan internasional) pada tahun 2030.

14. Ekosistem Lautan (SDG 14):

·     Program dan Inisiatif: Pengelolaan Sumber Daya Laut yang Berkelanjutan, Pemberantasan Penangkapan Ikan yang Ilegal, dan Konservasi Ekosistem Laut.

·     Target: Melindungi 10% wilayah laut Indonesia dan mengelola sumber daya laut secara berkelanjutan.

15. Ekosistem Darat (SDG 15):

·     Program dan Inisiatif: Rehabilitasi Hutan dan Lahan, Perlindungan Keanekaragaman Hayati, dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Berkelanjutan.

·     Target: Meningkatkan tutupan hutan hingga 45% dan mengurangi degradasi lahan.

16. Perdamaian, Keadilan, dan Kelembagaan yang Tangguh (SDG 16):

·     Program dan Inisiatif: Reformasi Hukum dan Kelembagaan, Pemberantasan Korupsi, dan Penguatan Sistem Keadilan.

·     Target: Meningkatkan kepercayaan publik terhadap lembaga pemerintahan dan menurunkan tingkat korupsi.

17. Kemitraan untuk Mencapai Tujuan (SDG 17):

·     Program dan Inisiatif: Peningkatan Kerjasama Internasional, Mobilisasi Sumber Daya Domestik, dan Penguatan Kapasitas Nasional.

·     Target: Meningkatkan kemitraan dengan berbagai pihak, termasuk sektor swasta, masyarakat sipil, dan komunitas internasional.

Pendekatan dan Strategi
Mencapai tujuan-tujuan tersebut, Indonesia mengadopsi beberapa strategi utama:

•  Integrasi SDGs dalam Rencana Pembangunan Nasional: SDGs telah diintegrasikan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan berbagai kebijakan sektoral.

•  Kolaborasi Multi-stakeholder: Melibatkan berbagai pihak termasuk pemerintah, swasta, akademisi, dan masyarakat sipil dalam implementasi SDGs.

•  Peningkatan Kapasitas dan Data: Meningkatkan kapasitas institusi dan memperbaiki sistem data untuk pemantauan dan evaluasi.

•  Mobilisasi Sumber Daya: Menggalang sumber daya finansial dari berbagai sumber, baik domestik maupun internasional.

Penguatan Kelembagaan: Memperkuat koordinasi antar lembaga dan memperbaiki tata kelola untuk mendukung implementasi SDGs.

Tantangan
Tantangan utama yang dihadapi dalam mencapai SDGs di Indonesia antara lain:

•  Kesenjangan Wilayah: Disparitas pembangunan antara daerah perkotaan dan pedesaan.

•  Pendanaan: Keterbatasan sumber daya finansial untuk pembiayaan berbagai program SDGs.

•  Kapasitas Institusional: Keterbatasan kapasitas di tingkat lokal untuk mengim-plementasikan dan memantau pencapaian SDGs.

•  Perubahan Iklim: Ancaman dari perubahan iklim yang dapat mempengaruhi berbagai sektor pembangunan.

Implementasi dan Kontribusi Perguruan Tinggi

            Kontribusi perguruan tinggi tidak terasa gaungnya. Padahal implementasi SDGs di perguruan tinggi memerlukan pendekatan yang terintegrasi dan komprehensif, mencakup pengajaran, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, serta kebijakan dan tata kelola kampus. Peran secara optimal, mendorong perguruan tinggi dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap pencapaian SDGs dan memberikan manfaat nyata bagi masyarakat.

            Langkah konkret yang dapat diambil perguruan tinggi untuk memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pencapaian SDGs diantaranya: 1) integrasi SDGs dalam kurikulum (mengembangkan kurikulum yang relevan, pengajaran berbasis proyek); 2) penelitian yang mendukung SDGs (fokus penelitian, pendanaan dan sumber daya); 3) pengabdian  kepada  masyarakat (program pemberdayaan komunitas, kemitraan dengan komunitas); 4) kebijakan dan tata kelola yang mendukung SDGs (kebijakan kampus berkelanjutan, kepemimpinan & advokasi); 5) keterlibatan dan kolaborasi (jaringan dan kemitraan, forum diskusi).

            Merujuk praktek baik University of California, Berkeley (UC Berkeley) yang memiliki berbagai inisiatif keberlanjutan, semisal: proyek energi bersih dan penelitian tentang perubahan iklim, serta menawarkan kursus mendalam tentang berbagai aspek keberlanjutan. Lalu, University of Cambridge, Inggris memiliki Cambridge Institute for Sustainability Leadership bekerjasama dengan berbagai sektor mempromosikan praktik bisnis berkelanjutan dan kebijakan publik.

Universitas Widyatama melalui kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat (PKM) di Desa Cikurubuk, Sumedang, Jawa Barat berkolaborasi dengan para pemangku kepentingan (unsur masyarakat, komunitas, pemerintah daerah dan dinas terkait, serta kementerian terkait) sesuai dengan potensi dan masalah Desa Cikarubuk mengkolaborasikan program bersama berupa Pengembangan Produk  Padi Organik berbasis green economy dan digital ekonomi.  Melalui program ini, penjadwalan kegiatan dan pengembangan lebih lanjut pada Triwulan tahun Triwulan  2024/2025 – 2025/2026 – 2027/2028. Setidaknya SDGs yang dapat dikembangkan Universitas Widyatama (perguruan tinggi) di desa ini (dengan melibatkan 20 mitra strategis) mencakup 11 butir (dari 17 butir), yaitu: menghapus kemiskinan, mengakhiri kelaparan, kesehatan yang baik dan kesejahteraan, akses air bersih dan sanitasi, energi bersih dan terjangkau, pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi, mengurangi ketimpangan, konsumsi dan produksi yang bertanggungjawab, penanganan perubahan iklim, menjaga ekosistem darat, dan kemitraan untuk mencapai tujuan. Dengan kata lain, Pengembangan produk padi organik yang dimaksud bersesuaian dengan 11 fokus tujuan SDGs.

Padi organik diproduksi tentunya dengan tetap melestarikan keanekaragaman hayati, sehat, bebas bahan kimia berbahaya, dan dapat menjaga ekosistem darat sebagaimana diharapkan oleh SDGs (Napitupulu et al., 2022). Selamat bekerja dalam pengabdian Tim Universitas Widyatama, dan seluruh mitra.

Written by: lili irahali dari berbagai sumber: https://sdgs.bappenas.go.id/

ooo0ooo

PKM Widyatama Berbasis SDGs Kolabarasi Program Bersama Mewujudkan Kesejahteraan

Bincang Bersama:

Prof. Dr. Dadang Suganda, M.Hum – Rektor Universitas WIiyatama

 

Memaknai  tujuan pendirian Negara dan bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945: “… Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,…”. Tentunya ada benang merah yang menghubungkan Pembukaan UUD 1945 tersebut dengan fungsi dan tujuan pendidikan tinggi yang direpresentasi oleh perguruan tinggi. Dua butir Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2012 menyebutkan pendidikan tinggi bertujuan menghasilkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui Penelitian yang memperhatikan dan menerapkan nilai Humaniora agar bermanfaat bagi kemajuan bangsa, serta kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia; dan mewujudkan Pengabdian kepada Masyarakat berbasis penalaran dan karya Penelitian yang bermanfaat dalam memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

            Bertepatan dengan itu, dalam 15 tahun yang lalu (sejak 2016) sampai 2030 mendatang Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) telah mencanangkan kerangka kerja global yang penting untuk mencapai kehidupan lebih baik dan lebih berkelanjutan bagi semua orang di planet ini. Kerangka kerja ini disebut Sustainable Development Goals (SDGs) – Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang mencakup 17 kerangka kerja.

            Realitanya kita – bangsa Indonesia – sedang berproses mewujudkan tujuan  tersebut di atas mengingat problematika kehidupan masyarakat yang tampak dihadapan kita. Menjawab realita ini salah satunya melalui peran perguruan tinggi untuk berkontribusi.

Belakangan ini, majalah Komunita tergelitik dengan pengabdian masyarakat (PKM) Universitas Widyatama berbasis pada SDGs. Untuk itu kami menyempatkan diri berbincang-bincang dengan Rektor Universitas Widyatama – Prof. Dr. H. Dadang Suganda, M.Hum ditengah kesibukan beliau mengusung gagasan “Widyatama Unggul, Mengakar, dan Bermanfaat dalam upaya menjalankan peran perguruan tinggi memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Berikut bincang-bincang kami.

 

Majalah Komunita:

Bagaimana perspektif Prof. Dadang selaku Rektor terkait dengan SDGs dan tantangan PTS berkontribusi dalam menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi?

Prof. Dadang:

Pertama, ada 17 tujuan SDGs yang merangkum berbagai problematika kehidupan, bukan hanya regional tapi juga global. Bahkan PBB sudah mencanangkan peta jalan kehidupan ke depan menggunakan SDGS sebagai rujukan. Kedua, Indonesia sudah mendesain peta jalan SDGsnya. Kami sering mendapatkan informasi berkaitan bagaimana SDGs menjadikan Indonesia ke depan lebih baik, terutama berkaitan dengan pelestarian alam, sosial budaya, dan lain-lain.

Karena itu, SDGs kami turunkan dalam platform Tridarma Perguruan Tinggi Widyatama. Memang kelihatannya beberapa perguruan tinggi belum merujuk pada SDGs komprehensif. Tapi kami Universitas Widyatama memfokuskan SDGs setelah direnungkan, direfleksikan problematika kehidupan kampus dengan SDGs sangat linier. Linearitas ini dapat di-matching-kan dalam pendidikan, pengabdian kepada masyarakat. Karena itu, kami menurunkan SDGs sebagai rujukan untuk orientasi Tridharma.

Contoh ketika membicarakan MBKM, sasarannya adalah mahasiswa memiliki keterampilan bukan hanya sifatnya kecerdasan akademik, tapi juga kecerdasan keterampilan, sikap dan karakter. Kemudian untuk apa tujuan itu semua, salah satunya misalnya mendapatkan pekerjaan, sasaran akhir dari mendapatkan pekerjaan itu supaya tidak ada kemiskinan. Jadi kemiskinan diturunkan pada bagaimana kita mencerdaskan anak bangsa supaya tidak miskin, kemudian kami menerjemahkan miskin bukan hanya miskin harta, miskin ilmu, miskin keterampilan, miskin sikap dan karakter. Karena dengan miskin ilmu peluang untuk mendapatkan jalan kehidupan yang layak menjadi tipis, dan ruang sempit. Karena itu, bagi kami menerjemahkan SDGs bukan hanya dalam bentuk yang sifatnya tercantum dalam tujuan pendidikan, tapi bagaimana dioperasionalkan. Bagaimana penanggulangan kemiskinan dioperasionalkan di dalam pendidikan, dimana tujuan pendidikan yakni  mencerdaskan bangsa. Maka kita jangan memiskinkan anak untuk yang sifatnya akademis keilmuan dan lain-lain. Itu maksud kami SDGs dalam rujukan sebagai platform terhadap Tridharma di Widyatama.

Majalah Komunita:

Kalau begitu makna SDGs bagi perguruan tinggi swasta, khususnya WIdyatama seperti apa?

Prof. Dadang:

Kami mendasarkan SDGs terkait Academic University, tujuan kami adalah bagaimana Widyatama dikelola yang berkaitan dengan proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran betul ada kurikulum, ada kurikulum yang sifatnya kurikulum, yang saya sebutkan sebagai core business dan  core disciplineCore discipline adalah bagaimana kurikulum inti di setiap prodi. Lalu Wings discipline bagaimana kurikulum lintas prodi dan lintas fakultas dalam universitas.

Ketika kita bicara soal rumpun keilmuan kemudian cabang dan ranting, ujung-ujungnya memang ada di dalam peta 17 tujuan pembangunan berkelanjutan. Jadi, sekali lagi makna SDGs dalam Academic University adalah kurikulum yang adaptif dengan 17 tujuan SDGs. Bagaimana implementasinya, kita harus menciptakan kreativitas bagaimana sisi substansi di Fakultas Hukum, di FIB, FEB berkaitan dengan itu semua. Mungkin juga memang ada hal yang sifatnya substantif ke inti, ke ber-irisan atau ketambahan. Ini sangat relevan dengan kurikulum MBKM, ada kurikulum inti, ada kurikulum yang ber-irisan, ada kurikulum tambahan. Jadi kami mendistribusikan SDGs dalam akademik, bisa dalam kurikulum inti, ber-irisan dan tambahan. Bagaimana implementasinya itu kreativitas kita sebagai pembimbing.

Majalah Komunita:

Tantangan yang dihadapi dalam rangka implementasi SDGs pada proses Tridharma di Widyatama?

Prof. Dadang:

Pertama, SDM harus betul-betul menguasai satu secara lain apa itu SDGS, bagaimana operasional SDGs, lalu bagaimana implementasinya, dan bagaimana impact dari SDGs itu sendiri. Kedua, bagaimana SDM terutama para dosen bisa menerjemahkan SDGs dalam bentuk struktur kurikulum. Kurikulum ada yang sifatnya mata kuliah transdisiplin, interdisiplin sampai multidisiplin. Misalnya teori-teori, ada praktik-praktik, ada juga best practice. Bagaimana dosen bisa menerjemahkan, mempraktikkan, mengoperasionalkan SDGs dalam setiap kurikulum sendiri. Oleh karena itu kami juga memperhatikan dosen dalam aspek kualitas dosen, kualifikasi pendidikan dan kompetensi. Itulah  implementasi yang merupakan tantangan.

Majalah Komunita:

Dalam kaitan itu persiapan-persiapan yang dilakukan Universitas Widyatama, khusus dalam aspek penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, bagaimana menjabarkan dalam jangka pendek.

Prof. Dadang:

Pertama, dalam riset dan pengabdian masyarakat Widyatama membuat rencana induk penelitian dan pengabdian masyarakat. Di dalam rencana induk itu tentu semua program unggulan perguruan tinggi dimatangkan. Program ini mengacu pada dua subjek: Kewirausahaan, dan SDGs.  Kemudian kita akan membuatkan topik dan tema yang berkaitan dengan turunan dari SDGs. Kedua, para dosen harus memiliki semacam perpajangan bagaimana respons SDGs diturunkan pada kompetensi masing-masing. Demikian juga, disiapkan kepakarannya,  ada kepakaran utama dan kepakaran tambahan. Sebab bagaimanapun nanti ketika kita bicara tentang kepakaran dengan hasil riset dan lain-lain.  Selain itu, disiapkan sebuah rancangan bagaimana menciptakan inter dan multidisiplin dalam bentuk riset dan pengabdian masyarakat. Kita membuat kerja induk penelitian, dan pengabdian masyarakat, dengan memperhatikan peta jalan individu mengenai pengabdian dan riset termasuk untuk prodi, fakultas dan universitas. Selanjutnya bagaimana implementasi dari peta jalan itu dikaitkan dengan kompetensi linieritas dan arahan yang bersangkutan untuk jabatan fungsional. Itulah jabaran jangka pendeknya.

Majalah Komunita:

Akhir-akhir ini arah PKM ke Desa Cikurubuk – Sumedang dan Cisontrol – Ciamis, Kenapa fokusnya ke situ ?

Prof. Dadang:

Pertama, kami dihimbau LLDIKTI bahwa Widyatama mewakili PTS Wilayah IV. Memang pada saat LLDIKTI mengadakan KKN tematik untuk PTS Wilayah IV Widyatama terlibat dan sampai dengan tahap empat. Kedua, selesai tahap empat LLDIKTI menyarankan untuk membuat KKN mandiri. Kebetulan Widyatama diundang oleh Dinas Pertanian dan kerja sama Kabupaten Sumedang untuk mendiskusikan berbagai problematika, permasalahan di Sumedang. Kemudian juga proyek-proyek yang sedang dirancang, lalu kami tertarik dengan pengelolaan padi organik di desa Cikurubuk. Tentu sebagai perguruan tinggi dengan tupoksi Tridharma kami berpikir bisa berkontribusi dalam pengelolaan pendidikan di Cikurubuk. Di situ kita diskusikan ada produksi, distribusi dan konsumsi. Kami mengambil celah-celah apa yang bisa kami kontribusikan dalam hal yang bersifat produksi, dan konsumsi. Kami sudah sepakati dengan kabupaten Sumedang, Dinas Pertanian dan Perikanan, dan dua Dinas Tanaman Pangan Jabar, juga ada dukungan dari Menteri PMK dan Koperasi Widyatama melakukan KKN tematik di desa Cikurubuk – Sumedang dengan objek utamanya pengelolaan padi organik.

Sedang untuk desa Cisontrol – Ciamis,  Widyatama sudah bekerja sama dengan UNIGAL (Universitas Galuh) melaksanakan kampung literasi Cisontrol. Kegiatannya pertama memberikan semacam edukasi kepada masyarakat terkait: literasi bahasa Inggris, literasi finansial bagi UMKM dan lain- lain. Tujuan kami ingin memberikan sedikit keterampilan dan sains kepada mereka. Kemudian kalau bisa memfasilitasi mereka terutama potensi UMKM bisa menjadi besar. Tentu bagi kami adalah memberikan pencerahan bagaimana dunia saat ini berkaitan dengan kompetensi dan literasi digital.

Majalah Komunita:

Bagaimana dengan KKN Nusantara yang sedang digiatkan Kementerian.

Prof. Dadang:

Berkaitan KKN Nusantara sebetulnya waktu itu kami tidak diminta menjadi koordinator, tetapi pada saat diskusi dengan LLDIKTI IV dan teman-teman PTS, Widyatama mengajukan secara mandiri mengadakan KKN tematik Nusantara dengan Bangka Belitung. Mengapa ke Bangka Belitung karena kami sudah menjalin kerja sama dengan Universitas Ba-Bel, dan Kabupaten Belitung Timur. Ternyata LLDIKTI IV merespons sebagai bagian dari subjek yang dijadikan rujukan dalam artian tematik Nusantara. Sejak itu, beberapa perguruan tinggi bergabung, dan kami diminta menjadi PIC-nya di sana. Sekarang kami sudah melakukan koordinasi, juga sudah berkunjung ke Belitung Timur, lalu kami putuskan KKN Nusantara di bawah Widyatama akan dikonsentrasikan di Belitung Timur. Berkaitan dengan potensi apa yang bisa diangkat untuk KKN Nusantara Belitung Timur? Merujuk rencana kerja Belitung Timur terdapat banyak sumber daya alam yang bisa di eksplorasi. Pertama, berkaitan untuk potensi hasil bumi dan juga pertambangan. Mungkin adik-adik kami yang akan kami kirimkan ke Belitung, Kedua, juga difokuskan pada hal yang berkaitan dengan problematika Belitung Timur, kemudian bagaimana prospek ke depannya yang bisa mengangkat perekonomian di sana.

Majalah Komunita:

Prodi-prodi yang terlibat terkait PKM di atas, agar tepat menjawab tantangan yang ada di sana ?

Prof. Dadang:

Untuk Cikurubuk – Sumedang dan Cisontrol – Ciamis, kami melibatkan seluruh Prodi, baik mahasiswa dan dosen. Mengapa demikian, karena sekali lagi dalam program KKN mahasiswa tidak hanya diberi dengan ilmu-ilmu yang sifatnya mono-disiplin, tapi ada ilmu sifatnya tambahan. Oleh karena itu seluruh mahasiswa kami berikan kesempatan, Apa yang mereka lakukan di sana? Kita melakukan semacam magang atau riset. Kemudian untuk para dosen kita memberikan arahan supaya mereka membuat semacam kegiatan-kegiatan bersifat sains, maupun bersifat keterampilan yang bisa memberikan kontribusi pada program-program, dan problematika desa Cikurubuk dan Cisontrol. Lalu berkaitan dengan KKN Nusantara kami melibatkan seluruh mahasiswa.  Kami tawarkan tapi tidak memaksa mereka. Ada beberapa mahasiswa yang berminat, tapi kami hanya memberikan jatah tiga orang. Hal ini sebagai bentuk partisipasi kami dengan masyarakat agar ada implementasinya. Lalu bagaimana kami mengarahkan mahasiswanya, kami memberikan pembekalan kepada mahasiswa, kemudian ada rekognisi, ada dosen yang ditugaskan membimbing. Pada akhirnya hasil dari kegiatan akan berkognisi untuk pemenuhan kurikulum di prodi. Tentang rekognisi kami sedang menghitung.  Selama dua bulan ini kami rekognisi sepuluh sks, kemudian sisanya akan diberikan pada tugas-tugas lain supaya bisa memenuhi target dua puluh sks.

Majalah Komunita:

Kalau KKN yang berkaitan dengan SDGs, tentunya tidak berlaku jangka pendek, bagaimana menjaga keberlanjutannya?

Prof. Dadang:

Inilah yang sedang kami desain, bahkan kami membuat peta jalan yang kami diskusikan bersama Warek Riset dan Pengabdian Masyarakat. Jadi setiap dosen akan kami arahkan untuk membuat ranting-ranting keilmuannya, lalu diimplementasikan dalam bentuk riset dan pengabdian. Tentu ranting ilmu itu tidak bisa hanya diselesaikan dengan satu tahun, dua tahun, sebab akan bersinggungan terus.

Oleh karena itu, pada tahap pertama, tahun pertama kami membuat hematokrit (membuat parameter untuk mengukur, red.) yang sesuai dengan kepentingan-kepentingan dosen, kemudian dengan arah kebijakan kami tahun berikutnya kita berikan semacam ruang baru.

Bagaimana dosen melanjutkan atau mungkin juga membuat tema- tema topik baru. Yang jelas bagi kami adalah SDGs adalah peta jalan jangka pendek dan jangka panjang. Kemudian kami mengambil filosofis SDGs bahwa “alam semesta itu bukan warisan nenek moyang, tapi titipan anak cucu”. Oleh karena itu, kelestarian alam semesta dan kehidupan sosial harus bisa dinikmati oleh generasi penerus. Tentu perubahan itu sendiri di-support oleh tiga hal: 1) agen, 2) ruang, dan 3) waktu. Artinya mungkin kita harus beradaptasi dengan pelaku Generasi X dan Generasi Z, kemudian generasi milenial dan lain- lain. Kemudian juga ruangnya ada ruang abstrak, ruang bagaimana pemikiran mereka, bagaimana sosial mereka. Lalu periodisasi ruangan dan waktu, mungkin tahun sekarang akan berbeda dengan tahun yang akan datang, berkaitan dengan situasi, bermacam-macam yang akan mendukung program itu sendiri.

Majalah Komunita:

Pesan-pesan Prof. Dadang, saran untuk pertma rekan rekan di internal, kedua untuk perguruan tinggi lain, karena SDGs merupakan tantangan ke depannya harus kita jawab.

Prof. Dadang:

Pertama, untuk teman-teman di Widyatama mari kita akrabi indikator tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs), kemudian mari kita turunkan operasional seperti apa. Turunan ini harus diintegrasikan pada Tridharma, baik akademik kemudian penelitian dan pengabdian. Lalu kalau kita belum memiliki kompetensi yang memadai mari kita adakan semacam workshop, kemudian berbagi pengetahuan. Juga bisa mengikuti seminar-seminar atau mungkin arahan berbagai komunitas, berbagai institusi, berbagai kelompok yang akan memberikan pencerahan. Kemudian, mari kita refleksikan diri kita sendiri untuk masyarakat, kebermanfaatannya. Tujuan SDGs juga supaya masyarakat bisa menikmati kehidupan yang layak. Dan selanjutnya kemudian alam ini tidak boleh hancur lebur berantakan dalam pengertian karena proses-proses pengelolaan yang tidak berbasis pada keberlanjutan.  Untuk internal kami arahkan, kami ajak untuk bisa mengakrabi secara mendalam berkaitan dengan SDGs dan operasionalnya.

Kedua, bagi teman-teman di perguruan tinggi lain, memang hak masimng-masing untuk membuat rencana strategis dan pengembangan. Jika memang mempunyai visi misi yang sama berkaitan dengan SDGs. Terima kasih mudah-mudahan kita bisa berkolaborasi, bisa bekerja sama dan bisa saling berbagi tentang kelebihan-kelebihannya dan menutupi kekurangan-kekurangan.

Interview & Written by: Lili Irahali; Transkrip wawancara: Yanda Ramadana.